Anda di halaman 1dari 32

PEWARIS, HARTA WARISAN DAN AHLI WARIS

Makalah

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Naskah Fikih Hukum Keluarga
I (Kewarisan) Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah)
Program Pascasarjana (S2) IAIN Bone

Oleh:

ROSALINA
NIM. 741302022029
EKA FAJRIANI
NIM. 741302022030

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2023
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah

memberikan kesehatan dan kemampuan kepada hambanya sehingga penulis dapat

menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw., yang telah membawa risalah yang akan

menghantarkan manusia kepada kehidupan bahagia dunia dan akhirat.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan

pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi

makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Olehnya itu, penulis mengharapkan saran dan kritik guna kesempurnaan makalah ini

selanjutnya. Semoga segala kebaikan yang diterima menjadi berkat tersendiri bagi

penulis, sehingga menjadi bekal yang sangat bermanfaat dikehidupan penulis nantinya.

Akhir kata apa yang telah penulis lakukan dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan, semoga Allah swt. selalu melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua, Āmīn.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Watampone, 25 April 2023

Penulis,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 3

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 3


BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pewaris 4

B. Pengertian Harta Warisan 8

C. Pengertian Ahli Waris 16

BAB III PENUTUP

A. Simpulan 27

B. Saran 28
DAFTAR RUJUKAN

ii
BAB II

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan

dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat

kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan

mengalami peristiwa yang merupakan hukum yang lazimnya disebut dengan


meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang

sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu bagaimana tentang pengurusan dan

kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia.1

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan kedua orang

tuanya ketika kedua orang tua atau si pewaris itu telah meninggal dunia. Untuk

melanjutkan kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat

mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-

undang berprinsip bahwa seseorang bebas menentukan kehendaknya tentang harta

kekayaannya setelah ia meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak


menentukan sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap

harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang kembali akan menentukan

perihal pengaturan harta yang ditinggalkan oleh seseorang dimaksud.

Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang

berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang

setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum

1
Nur Moh. Kasim, Hukum Islam Dan Masalah Kontemporer (Yogyakarta: Interpena, 2014),
h. 69.

1
2

kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta

peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam

yang pokok.2

Dalam hukum pewarisan. Unsur-unsur pewarisan terbagi menjadi beberapa

macam, yaitu: Pewaris, Warisan, dan Ahli Waris. Pewaris adalah orang yang

memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah
harta kekayaan. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris,

sedangkan Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan

pewaris.

Harta warisan tersebut harus segera dibagikan dan setiap waris

mendapatkan pembagian warisan untuk dapat menguasai atau memiliki harta

warisan menurut bagian-bagiannya masing-masing. Adapun harta warisan ini

kemudian diadakan pembagian yang berakibat para waris dapat menguasai dan

memiliki bagian-bagian tersebut untuk dinikmati, diusahakan, ataupun dialihkan

kepada sesama waris, anggota kerabat, ataupun orang lain. Begitu pewaris wafat,

harta warisan harus segera dibagikan atau dialihkan kepada ahli warisnya. Pasal
833 KUHPerdata menyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya secara

hukum memperoleh hak waris atas barang, segala hak, dan segala piutang dari

pewaris.3

2
Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam dalam teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017), h. 2.
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Sditya Bakti, 2003), h. 33.
3

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

masalah pokok dalam pembahasan ini adalah bagaimana pewaris, harta warisan

daan ahli waris yang kemudian dibagi ke dalam sub pokok masalah sebagai

berikut:

1. Apa pengertian pewaris?

2. Apa pengertian harta warisan?


3. Apa pengertian ahli waris?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan dari penelitian ini berdasarkan rumusan masalah di atas adalah:

a. Untuk mengetahui dan memehami pengertian pewaris.

b. Untuk mengetahui dan memehami pengertian harta warisan

c. Untuk mengetahui dan memehami pengertian ahli waris.

2. Kegunaan Penulisan

Adapun kegunaan penelitian adalah sebagai berikut :

a. Kegunaan teoritis yaitu penelitian ini diharapkan dapat memberikan


sumbangsi dan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya dan

ilmu agama pada khususnya serta untuk referensi bagi peneliti maupun

pembaca.

b. Kegunaan praktis yaitu penulisan ini diharapkan dapat memberikan

gambaran kepada mahasiswa mengenai pewaris, ahli waris dan warisan.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pewaris (al-Muwarrith)

Pewaris (al-Muwarrith) adalah orang yang mewariskan hartanya. Bisa saja

berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri, dapat pula

dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan

meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
Penjelasan mengenai siapa pewaris yang dimaksud dapat dipelajari dari al-

Qur’an surat al-Nisā’ ayat 11 yang merinci bahwa setidaknya terdapat beberapa

kelompok ahli waris dalam ayat tersebut, yaitu kelompok ahli waris anak baik laki-

laki maupun perempuan. Dengan demikian pewarisnya adalah bapak atau ibu

mereka. Kelompok lainnya adalah ahli waris ibu dan bapak, artinya bahwa

pewarisnya adalah terdiri dari anak laki-laki maupun perempuan.4

Menurut KHI Pasal 171 huruf b, pewaris adalah orang yang pada saat

meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan

beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta warisan.5 Adapun syarat-syarat

pewaris diantaranya jenis kematiannya, harta yang ditinggalkan bukanlah milik


intansi melainkan milik pribadi dan harta itu beralih kepada ahli warisnya setelah

kematiannya.6

Adapun pengertian pewaris menurut beberapa ahli, antara lain sebagai

berikut:

4
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), h.
92.
5
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Cet. VII; Bandung: Nuansa Aulia,
2017), h.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h. 309

4
5

a. Erman Suparman, mengatakan bahwa pewaris adalah seorang yang

meninggal dunia, baik laki laki maupun perempuan yang meninggalkan

sejumlah harta kekayaan baik merupakan hak maupun kewajiban yang

harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat wasi’at maupun

tanpa surat wasi’at.

b. H.M Idris Ramulyo, mengatakan pewaris adalah setiap orang yang

meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan (harta kekayaan).


Hal ini berarti syarat sebagai pewaris adalah adanya hak-hak dan/ atau

sejumlah kewajiban.

c. Zainuddin Ali, mengatakan bahwa pewaris adalah orang yang pada saat

meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris

yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu

proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia

kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup dan

mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris,

meskipun pengalihan harta itu dilakukan saat menjelang kematiannya.7

Dari pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tidak semua
orang yang meninggal dunia, disebut pewaris, karena syarat untuk dapat disebut

pewaris adalah orang yang meninggal dunia tersebut harus meninggalkan perbagai

hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga yang dapat dinilai dengan

uang yang disebut dengan harta peninggalan. Oleh karena itu, sepanjang belum jelas

meninggalnya seseorang hartanya tetap menjadi miliknya sebagaimana halnya

7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet.VI; Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h.
114.
6

orang yang masih hidup. Dengan demikian, bila belum ada kepastian meninggal

seseorang maka orang itu dipandang masih hidup.

1. Jenis-jenis pewaris

a. Hakiki (sejati)

Jenis pewaris pertama disebut sebagai pewaris mati sejati atau hakiki.

Sebutan ini merujuk kepada kematiannya dari pewaris yang diketahui

kematiannya dengan sangat jelas. Artinya kematian pewaris disaksikan


langsung oleh seseorang atau bisa dibuktikan dengan oleh kesaksian dua

orang yang adil atas kematian tersebut. Jadi, apabila ada orang yang

kematiannya jelas dan dapat dilihat dengan langsung termasuk pewaris jenis

hakiki.

b. Hukmi

Jenis pewaris kedua adalah mati hukmi, yaitu kematian yang

disebabkan oleh keputusan hakim dan tidak bisa dilihat secara langsung.

Jenis inimati karena mafqud, yaitu orang yang tidak diketahui

keberadaannya, apakah masih hidup atau meninggal. Status ini jka telah

melewati batas waktu yang ditentukan untuk pencariannya karena


didasarkan atas sangkaan yang kuat.8

c. Taqdiri

Maksud dari kematian taqdiri adalah kematian yang semata-mata

didasarkan pada dugaan yang sangat kuat. Misalnya tentang kematian

seseorang yang mendatangi suatu tempat yang sedang dilanda perang, yang

bisa mengancam keselamatan banyak orang. Maka jika seseorang tersebut

8
Rizem Aizid, Fiqh Keluarga Terlengkap (Cet. I; Yogyakarta: Laksana, 2018), h. 370-371.
7

tidak pulang-pulang dan tidak ada kabar beritanya, bisa saja ia secara

perkiraan dan dugaan kuat telah meninggal dunia.9

Undang-Undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan

hukum seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak

dari orang yang meninggal itu, Undang-Undang berprinsip bahwa seseorang bebas

untuk menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah setelah ia

meninggal dunia. Akan tetapi apabila tenyata seorang tidak menentukan sendiri
ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, maka

dalam hal demikian Undang-Undang kembali akan menentukan perihal peraturan

harta yang ditinggalkan seseorang tersebut.

Di samping Undang-Undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta

peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat

atau testament adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia

meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan kekuatan

berlaku setelah pembuat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali.10

Pada maasyarakat patrilineal, pewaris selalunya dihitung dari garis laki-laki

saja, sehingga ibu dalam masyarakat patrilineal tidak masuk dalam pewaris untuk
anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula dengan masyarakat

matrilineal, pewaris senantiasa dihitung dari garis ibu, sehingga ayah tidak dapat

menjadi ahli waris dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. berbeda

dengan masyarakat parental, pewaris selalunya dihitung secara bilateral yakni dari

9
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam , h. 94.
10
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Cet. V;
Bandung: PT. Refiks Aditama, 2018), h. 28.
8

garis ibu dan bapak, sehingga orang tua senantiasa menjadi pewaris untuk anak-

anaknya, baik aki-laki maupun perempuan.11

B. Pengertian Harta Warisan (Tirkah)


Dalam bahasa Arab harta peninggalan disebut dengan tirkah, ialah semua

harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan

pemeliharaan jenazah, pelunasan utang-utang, dan pelaksanaan wasiat yang

dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.12

Warisan atau harta peninggalan adalah sejumlah harta benda kekayaan

pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan pembayaran

hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh

meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris

menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-benar hak mereka

yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris.

Harta peninggalan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang

meninggal dunia, baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan, serta hak-

hak yang bukan kebendaan. Dari definisi tersebut, dapat diuraikan bahwa harta

peninggalan terdiri dari:

a. Benda dan sifat-sifat yang mempunyai niai kebendan. Adapun yang

termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak dan tidak bergerak.

b. Hak-hak kebendaan, meliputi sumber air minum, irigasi, pertanian,

perkebunan, dan lain-lain.

11
Andi Nuzul, Sistem Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin dan Pengaruhnya Terhadap
Pembaruan Hukum Kewarisan di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Trussmedia Grafika, 2018), h. 89.
12
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.5.
9

c. Hak-hak yang bukan kebendaan yaitu seperti hak khiyar, hak syuf’ah

(hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak

tetangga atas tanah pekarangan dan lain-lain.13


1. Harta warisan menurut KHI

Sehubunga dengan hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI)

memberikan penjelasan tentang harta peninggalan yang berhak diwarisi dan

yang menjadi harta warisan. Pasal 171 huruf e menyebutkan bahwa “Harta
waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah

digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya

pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk

kerabat".14

Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa harta peninggalan yang

ditinggalkan pewaris ada kemungkinan bercampur dengan milik dan hak

orang lain seperti diuraikan dalam penjelasan sebelumnya. Melihat bentuk

perolehan harta peninggalan tersebut dengan memperhatikan penjelasan

pasal 171 hurf e Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka bentuk perolehan

harta peninggalan ada dua macam, yaitu:

a. Harta Bawaan

Harta bawaan atau disebut juga dengan harta milik masing-masing

dari uami dan istri atau harta milik suami atau istri adalah harta yang

diperoleh suami atau istri sebelum terjadinya perkawinan yang berasal dari

warisan kedua ibu-bapak dan kerabat, hibah, hadiah dan harta yang

13
Suhrawardi dan Komis Simajuntak, Hukum Waris Islam (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 50.
14
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h.
10

diperoleh dari usaha sendiri. Untuk harta bawaan yang diperoleh dari

warisan, hibah, hadia serta sedekah dari ibu-bapak dan kerabat mereka

masing-masing setelah menikah dan bukan karena usahanya sendiri, tetapi

adalah diusahakan setelah mereka bersamasama sebagai suami-istri

termasuk harta bawaan.15 Harta bawaan ini menjadi milik mutlak dari

masing-masing suami atau istri dan dikuasai sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta tersebut. KHI pasal 87 ayat (1) dan (2)

dijelaskan:
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.16
Dalam pengelolaan harta bawaan ini tidak dibenarkan adanya

percampuran antara harta suami dan harta isteri walaupun telah terjadi

perkawinan. Hal ini dijelaskan dalam Kompilasi pasal 86 ayat (1) “Pada

dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena

perkawinan.” Oleh karena itu, harta peninggalan yang berbentuk harta

bawaan ini tidak ada sangkut paut dengan milik dan hak-hak orang lain

kecuali yang bersangkut paut dengan hak pewaris sewaktu hidup dan

sebelum dikuburkan.

15
M Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam DalamKewarisan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 103.
16
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h.
11

b. Harta Bersama

Dalam kenyataan hidup berkeluarga, antara pewaris dan ahli waris

tidak menutup kemungkinan terdapat harta peninggalan menjadi milik

bersama apakah itu wujudnya harta benda atau hak-hak. Keberadaan harta

bersama dalam satu keluarga susah untuk menghindarinya karena hampir

semua keluarga yang ada memiliki harta bersama. Suami isteri misalnya,

sama-sama berusaha untuk menghidupi keluarganya, istri melayani segala


keperluan dan kebutuhan suami untuk dapat memperoleh harta dalam

kehidupan rumah tangganya. Istrinya membantu suami dalam memelihara

anak-anak suami di rumah, ikut bersamasama suami mencari harta untuk

menghidupi keluarganya, dan bahkan ada yang sebaliknya isteri yang

mencari harta dan suami menggantikan posisi isteri memelihara anak di

rumah. Dengan kenyataan ini, maka perolehan harta dalam satu rumah

tangga, tidak dapat dipungkiri bahwa berasal dari perolehan suami dan

isteri.

Fatchur Rahman mengatakan bahwa harta kekayaan yang diperoleh

oleh suami-isteri selama langsungnya perkawinan dimana kedua-duanya


bekerja untuk kepentingan hidup berumah tangga. Bekerja ini hendaklah

diartikan secara luas, hingga seorang isteri yang pekerjaannya tidak nyata-

nyata menghasilkan kekayaan, seperti memelihara dan mendidik anak-

anaknya, dianggap sudah bekerja. Dan harta kekayaan yang diperoleh

secara kongkrit oleh suami menjadi milik bersama.17

Fatchur Rahman, llmu Waris (Cet.III; Bandung: PT Alma’arif, 194), h. 41


17
12

Untuk jelasnya pengertian secara luas apa yang dimaksud Facthur

Rahman tentang bekerja dalam memperoleh harta bersama, maka perlu

dibuat kategorisasi harta bersama sebagai berikut :

1) Harta yang dibeli selama perkawinan

Sebagai ukuran untuk menentukan apakah sesuatu barang itu

termasuk objek harta bersama atau tidak, adalah saat pembeliannya. Setiap

barang yang dibeli selama berlangsung ikatan perkawinan, termasuk objek


harta bersama, tanpa mempersoalkan siapa diantara suami-isteri itu

membelinya, terdaftar atas dalam hal ini, tanah dan rumah tersebut adalah

termasuk dalam objek harta bersama

2) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian tetapi dibiayai dari

harta bersama

Sebagai ukuran yang kedua adalah apa saja yang dibeli, jika uang

pembelinya itu berasal dari harta bersama, maka barang tersebut tetap

termasuk dalam pengertian harta bersama, meskipun barang tersebut dibeli

atau dibangun sesudah terjadinya perceraian.

3) Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan


Dalam sengketa harta bersama, jarang sekali yang berjalan secara

mulus, apalagi kalau hal itu terjadi jauh setelah berlangsungnya perceraian.

Biasanya, dalam menanggapi dalil gugatan penggugat, tergugat selalu

membantah bahwa harta yang sedang dipersengketakan itu bukan sebagai

harta bersama, tetapi sebagai harta pribadinya. Dalam hal ini, menjadi

patokan untuk menentukan bahwa barang itu termasuk tidaknya sebagai

objek harta bersama, ditentukan oleh keberhasilan penggugat untuk


13

membuktikan harta yang sedang dipersengketakan itu diperoleh selama

berlangsungnya perkawinan dan perolehannya itu bukan melalui warisan

atau hadiah.

4) Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang berasal dari harta bersama, secara otomatis

menjadi harta bersama, karena ia berasal dari harta bersama. Akan tetapi

tidak demikian halnya pada harta pribadi, karena penghasilan yang berasal
dari harta pribadi suami atau isteri, tidak menentukannya secara lain dalam

perjanjian perkawinan.

5) Segala penghasilan pribadi suami atau isteri

Penghasilan suami atau istri, dengan sendirinya menjadi harta

bersama, karena memang demikianlah ketentuan yang telah digariskan

oleh pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan

bahwa “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

benda bersama” dan pasal 1 huruf f KHI dijelaskan juga bahwa harta

kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik

sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan


berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan

terdaftar atas nama siapapun. Dua pasal ini berlaku sepanjang antara suami

istri tidak dibuat perjanjian perkawinan.

Dengan adanya harta bersama tersebut, maka kaitannya dengan harta

warisan harus jelas kepemilikannya masing-masing untuk diwariskan kepada

ahli waris. Dalam hal ini sebelum harta peninggalan dibagi-bagi kepada para

ahli waris dapat meneliti lebih dahulu macam dan asal harta peninggalan itu
14

apakah merupakan harta masing-masing atau harta bersama. Usaha yang

dilakukan ini merupakan upaya untuk menghindari terjadinya percampuran

dan penguasaan harta yang tidak dibenarkan. KHI pasal 86 dijelaskan sebagai

berikut:
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kuasai
penuh olehnya. 18

Suami dan isteri masing-masing mempunyai harta dibawa

penguasaannya, sehingga apabila terjadi kematian di antara mereka, maka

pada hakekatnya secara otomatis harta bersama tersebut, menjadi terpisah

dalam bentuk harta milik masing-masing. Oleh karena itu apa yang dilakukan

adat sangat tepat sekali dan merupakan satu-satunya cara untuk memisahkan

harta bersama dari pemilikan masing-masing. Sebagai realisasi pemisahan

harta bersama untuk menjadi harta milik masing-masing, KHI mengatur

pemisahannya dengan melihat dua bentuk kasus yang mungkin bisa terjadi.

Pertama, kemungkinan pemisahan harta bersama bisa dilaksanakan

apabila terjadi kematian dari salah satu pihak, apakah itu isteri atau suami.

Kedua, kemungkinan pemisahan harta bersama dilakukan apabila

kedua pemilik harta bersama terjadi cerai hidup.

2. Harta warisan menurut BW


Warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW

itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban

pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan

18
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h.
15

uang. Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, di

mana hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum harta

kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:

a. Hak memungut hasil (vruchtgebruik);

b. Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan

bersifat pribadi;

c. Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap


menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini

berakhir dengan meninggalnya salah seorang anggota/persero.

Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW

mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga

kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 833 ayat

(1) BW, yaitu "Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum

memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si

yang meninggal."

Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli

warisnya disebut saisine. Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu ahli
waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa

memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut

belum mengetahui tentang adanya warisan itu.

Sistem waris BW tidak mengenal istilah "harta asal maupun harta

gono-gini" atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta

warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan "kesatuan" yang secara

bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal
16

warisan/pewaris ke ahli warisnya. Artinya, dalam BW tidak dikenal

perbedaan pengaturan atas dasar macam atau asal barang-barang yang

ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 BW, yaitu

"Undang-undang tak memandang akan sifat atau asal dari barangbarang

dalam sesuatu peninggalan, untuk mengatur pewarisan terhadapnya."

Dalam hukum adat jika seseorang meninggal dengan meninggalkan

sejumlah harta, harta peninggalan tersebut senantiasa ditentukan dahulu,


mana yang termasuk harta asal yang dibawa salah satu pihak ketika menikah

dan mana yang termasuk harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh bersama

suami-istri selama dalam perkawinan. Sedangkan sistem BW tidak mengenal

hal tersebut, melainkan sebaliknya, yaitu harta asal yang dibawa masing-

masing ketika menikah, maupun harta yang diperoleh selama dalam

perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan bulat yang akan beralih dan

diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.

C. Pengertian Ahli Waris

Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai

hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris.19

Ahli waris yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan

baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau

karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat meninggalnya

muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam

hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat

19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 115.
17

lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan

saling mewarisi.

Dalam pembagian harta waris, ahli waris benar-benar hidup ketika muwaris

meninggal dunia. Tetapi jika ahli warisnya adalah dalam keadaan mafqud (orang

hilang atau tidak diketahui kabarnya), apakah ia hidup atau tidak. Dalam hal ini

perlu keputusan hakim, apakah ia diputuskan mati atau masih hidup. Jika ia

diputuskan mati sebelum muwaris meninggal, maka ia memang tidak mendapatkan


warisan apa-apa. Tetapi jika ia mendapat keputusan masih hidup dan hidupnya itu

sebelum muwaris meninggal dunia, maka ia mendapatkan warisan, tetapi dengan

ketentuan sampai kapan ia boleh ditunggu.

Apabila ia datang atau telah diketahuikeadaannya, maka berikanlah harta

pusaka itu. Apabila ia memang tidak ada kabar, tidak datang juga dalam waktu yang

telah ditentukan, maka bagian harta warisannya dikembalikan lagi kepada ahli

waris yang lain agar dibagi berdasarkan bagianbagian yang semestinya.

Anak dalam kandungan juga dianggap sebagai ahli waris, jadi ia berhak

mendapat harta warisan apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Apabila ia lahir

dalam keadaan mati sesudah muwarisnya meninggal dunia, berhak menerima apa
yang diwasiatkan untuknya dan memiliki diyatnya serta menghalang-halangi

sekiranya ia itu lahir dalam keadaan hidup.20

1. Golongan ahli waris

a. Dzul farā’idh

Dzul farā’idh yaitu ahli waris yang sudah ditentukan di dalam al-

Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap

20
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 3, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 18-19.
18

tertentu tidak berubah-ubah. Adapun rincian masing-masing ahli waris dzul

farā’idh ini dalam al-Qur’an surah an-Nisā ayat 11, 12, dan 176 yang

dielaborasi secara akademis oleh Th. N. Junybolly dalam bukunya

Hanleiding tot de kennis van den Mohammedaansche School. Sementara

itu, Komar Andasasmita, dengan mengutip buku karta Juynboll di atas,

mengurikan jumlah ahli waris menurut al-Qur’an terdiri dari 12 jenis,

yaitu:21
1) Keturunan garis ke bawah

a) Anak perempuan

b) Anak perempuan dari anak laki-laki

2) Keturunan garis ke atas

a) Ayah

b) Ibu

c) Kakek dari garis ayah

d) Nenek dari garis ayah maupun ibu

3) Keturunan garis ke samping

a) Saudara perempuan seayah dan seibu dari garis ayah


b) Saudara perempuan seayah

c) Saudara laki-laki seibu

d) Saudara laiki-laki seayah

4) Duda

5) Janda

21
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 17.
19

Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan

mendapatkan hak waris, yaitu:22

1) Suami

2) Istri

3) Ibu

4) Ayah

5) Anak yang langsung dari pewaris


b. Ashabah

Ashabah dalam bahasa Arab berarti anak laki-laki dan kaum kerabat

dari pihak bapak. Ashabah menurut ajaran kewarisan patrilinear Syafi’i

adalah golongan ahli waris yang mendapatkan bagian terbuka atau bagian

sisa. Jadi bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul

farā’idh yaitu bagian yang ditentukan dalam al-Qur’an, setelah itu sisanya

baru diberikan kepada ashabah.

Dengan demikian, apabila ada pewaris yang meninggal tidak

mempunyai ahli waris dzul farā’idh, maka harta peninggalan diwarisi oleh

ashabah. Akan tetapi, jika ahli waris dzul farā’idh itu ada, maka sisa bagian
dzul farā’idh menjadi bagian ashabah.

Ahli waris ashabah menurut pembagian Hazairin dalam bukuknya

Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an, dinamakan ahli waris

bukan dzul farā’idh, yang kemudian dibagi menjadi tiga golongan, antara

lain sebagai berikut:

22
Mustafa Bid al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir, 2009), h. 327.
20

1) Ashabah binafsihi

Ashabah binafsihi yaitu ashabah yang berhak mendapat semua

harta atau semua sisa, yang urutannya sebagai berikut:

a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah asal

pertaliannya masih terus laki-laki

c) Ayah
d) Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas asal saja pertaliannya

belum putus dari pihak laki-laki

e) Saudara laki-laki sekandung

f) Saudara laki-laki seayah

g) Anak saudara laki-laki sekandung

h) Anak saudara laki-laki seayah

i) Paman yang sekandung dengan ayah

j) Paman yang seayah dengan ayah

k) Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah

l) Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah


2) Ashabah bilgairi

Ashabah bilgairi yaitu ashabah dengan sebab orang lain, yakni

seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki,

mereka termasuk dalam ashabah bilgairi ini adaah sebagai berikut:

a) Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki

b) Saudara perempuan yang didampingi oleh saudara laki-laki


21

3) Ashabah ma’al-ghairi

Ashabah ma’al-ghairi yaitu saudara perempuan yang mewaris

bersama dengan keturunan pewaris, mereka itu adalah:

a) Saudara perempuan sekandung

b) Saudara perempuan seayah23

c. Dzul arhām

Dzul arhām adalah orang yang mempunyai hubungan darah dengan


pewaris melalui pihak wanita saja. Berikut adalah daftar yang termasuk dzul

arhām tersebut:

1) Kakek dari garis ibu (bapaknya ibu)

2) Neneknya ibu

3) Cucu dari anak perempuan, baik cucu laki-laki maupun perempuan

(anak dari anak perempuan)

4) Keponakan perempuan (anak saudara laki-laki sekandung, sebapak,

ataupun seibu)

5) Keponakan perempuan (anak saudara perempuan sekandung atau

seibu)
6) Paman seibu

7) Saudara kekek seibu

8) Sepupu perempuan (anak dari paman sekandung)

9) Bibi (saudara perempuan bapak dan seterunya ke atas)24

23
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 18-
19.
24
Rizem Aizid, Fiqh Keluarga Terlengkap, h. 373.
22

Itulah daftar dzul arhām, artinya orang dalam daaftar tersebut

maasih memiliki hubungan keluarga dengan pewaris, tapi tidak bisa

mewarisi secara langsung karena bukan ahli waris, melainkan dzul arhām.

2. Bagian masing-masing ahi waris

a. Mereka yang mendapat ½ dari harta peninggalan.

1) Seorang anak perempuan

2) Seorang saudara perempuan


3) Suami bila istri tidak mempunyai keturunan

4) Saudara perempuan sekandung atau seayah

b. Mereka yang mendapat ¼ dari harta peninggalan.

1) Suami bila istri mempunyai keturunan

2) Istri apabila suami tidak mempunyai keturunan

c. Mereka yang mendapat ⅛ dari harta peninggalan.

1) Istri apabila suami mempunyai keturunan

d. Mereka yang mendapat ⅓ dari harta peninggalan.

1) Ibu, bila yang meninggal tidak mempunyai keturunan atau saudara

tidak lebih dari seorang


2) Saudara seibu jika jumlahnya lebih dari seorang

e. Mereka yang mendapat ⅔ dari harta peninggalan.

1) Dua orang atau lebih anak perempuan

2) Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki

3) Dua orang atau lebih saudara perempuan kandung

4) Dua orang atau lebih saudara perempuan sebapak

f. Mereka yang mendapat 1/6 dari harta peninggalan.


23

1) Ibu, jika yang meninggal mempunyai keturunan

2) Ayah jika yang meninggal mempunyai keturunan

3) Nenek, ibu dari ibu-bapak

4) Kakek, bapak dari bapak25

3. Golongan ahli waris menurut sistem BW

Dalam pasal 832 disebutkan bahwa, “Menurut undang-undang, yang

berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut
undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan si suami atau si istri

yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini: Bila keluarga

sedarah dan si suami atau istri yang hidup telama tidak ada, maka semua harta

peninggalan menjadi milik negara, yang wajib melunasi hutang-hutang orang

yang meninggal tersebut, sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk

itu.”

Dengan demikian, ahli waris menurut KUHPerdata dapat

diidentifikasi melalui adanya hubungan sedarah, semenda (ikatan

perkawinan, dan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan muwaris

melalui surat wasiat. Pada KUHPerdata Pasal 290 sebagai berikut:


(1) Keluarga sedarah adalah pertalian kekeluargaan antara mereka, yang
mana yang satu adalah keturunan yang lain, atau yang semua
mempunyai nenek moyang yang sama.”
(2) Pertalian keluarga sedarah dihitung dengan jumlah kelahiran
dinamakan derajat.” 26
Urutan derajat diatur dalam Pasal 291 KUHPerdata yang berbunyi:

25
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 20-
22.
26
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Cet. XLI: PT Balai Pustaka, 2018), h. 71.
24

“Urutan derajat yang satu dengan derajat yang lain disebut garis. Garis
lurus adalah urutan derajat antara orang-orang, di mana yang satu
merupakan keturunan dari yang lain; garis menyimpang ialah urutan
derajat antara orang-orang , di mana yang seorang bukan keturunan
dari yang lain tetapi mereka mempunyai bapak asal yang sama.”27

Dalam beberapa hal terdapat persamaan antara ahli waris Islam

dengan ahli waris dalam sistem barat. Namun dalam beberapa hal, terdapat

perbedaan antara keduanya. Dalam KUHPerdata dibagi menjadi dua

golongan, antara lain:

a. Ahli waris secara langsung

Ahli waris secara langsung adalah ahli waris yang mewarisi

berdasarkan kedudukan sendiri (uit eigen hoofde), misalnya jika ayahnya

meninggal, maka seluruh anak-anaknya yang menjadi ahli waris.

KUHPerdata menggolongkan ahli waris secara langsung ke dalam empat

golongan sebagai berikut:

1) Ahli waris golongan I

Keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta

keturunannya, tanpa membedakan jenis kelamin, waktu kelahiran dari

perkawinan pertama atau kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 852, di

mana bagian mereka sama besar dan mewaris kepala demi kepala dan

mengenal sistem pergantian. Pasal 852 KUHPerdata:


“Anak-anak atau sekalian keturunan mereka walaupun dilahirkan dari
lain-lain perkawinan, mewaris dan kedua orang tua, kakek, nenek atau
semua keluarga sedarah mereka dalam garis lurus ke atas, dengan tiada
perbedaan antara laki-laki atau perempuan dan tiada perbedaan
berdasarkan kelahiran lebih dahulu. Mereka mewaris kepala demi
kepala, jika dengan si mati mereka bertalian keluarga dalam derajat

27
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, h. 72.
25

pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri, mereka


mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atau sebagian
mewarisi sebagai pengganti.”28

Dengan demikian, golongan pertama keluarga dalam garis lurus

ke bawah meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami

atau istri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau istri

yang hidup paling lama baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935,

sedangkan sebelumnya suami atau istri tidak saling mewarisi.

2) Ahli waris golongan II


Ahli waris golongan kedua yaitu keluarga dalam garis lurus ke

atas, meliputi orang tua, saudara-saudara laki-laki dan perempuan serta

keturunannya, bila tidak ada suami atau istri serta keturunannya, maka

warisan jatuh pada keluarga sedarah golongan kedua. Hal ini diatur dalam

Pasal 854, 857, dan 859 KUHPerdata.

3) Ahli waris golongan III

Ahli waris golongan III adalah keluarga dalam garis lurus ke atas

jika si pewaris tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri,

orang tua, saudara-saudara atau keturunan saudara-saudara, maka yang


mendapat giliran adalah keluarga sedarah selanjutnya di dalam garis lurus

ke atas yang disebut golongan ketiga. Meiputi kakek, nenek, dan

selanjutnya ke atas dari pewaris.

28
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, h. 225.
26

4) Ahli waris golongan IV

Ahli waris golongan keempat, yaitu keluarga lainnya dalam garis

menyamping yang dibatasi sampai dengan derajat keenam, baik dari pihak

bapak maupun dari pihak ibu. Dalam Pasal 858 KUHPerdata.29

Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan

perempuan, juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan

bahwa jika masih ada ahli waris golongan pertama, maka akan menutup hak

anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping.

Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih

rendah derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testament

jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak

si pembuat wasiat. Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang

atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian

dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang (ab

intestato), ahli waris menurut surat wasiat (testamenter) akan memperoleh

segala hak dan segala kewajiban dari pewaris.

Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahli waris

yang manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-

undang atau ahli waris menurut surat wasiat. Berdasarkan beberapa

peraturan-peraturan yang termuat dalam BW tentang surat wasiat, dapat

disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut undang-

undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan

seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya.

29
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 29.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pewaris (al-Muwarrith) adalah orang yang mewariskan hartanya. Bisa saja

berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri,

dapat pula dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah

meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada


keluarganya yang masih hidup. Syarat untuk dapat disebut pewaris adalah

orang yang meninggal dunia tersebut harus meninggalkan perbagai hak dan

kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga yang dapat dinilai dengan

uang yang disebut dengan harta peninggalan.

2. Ahli waris yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan

baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan,

atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah pada saat

meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan

hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan

(al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara
muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3. Harta peninggalan atau tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang

meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan

jenazah, pelunasan utang-utang, dan pelaksanaan wasiat yang dilakukan

oleh orang yang meninggal ketika masih hidup. Sejumlah harta benda

kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah dikurangi dengan

27
28

pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang

diakibatkan oleh meninggalnya pewaris.

B. Saran

Demikianlah makalah saya buat, dan dengan selesainya makalah ini, tidak

bisa dipungkiri bahwa di dalamnya masih banyak terdapat kekurangankekurangan,

untuk itu penulis mengharapkan masukan-masukan begitu pula saran-saran yang

membangun guna kesempurnaan makalah ini. Dan penulis juga menyarankan agar
para pembaca mencari referensi lain untuk menambah pengetahuan yang lebih luas

lagi tentang pembahasan yang ada di dalam makalah ini. Dan penulis berharap

semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pembaca dan kita semua.
DAFTAR RUJUKAN
Aizid, Rizem. Fiqh Keluarga Terlengkap. Cet. I; Yogyakarta: Laksana, Ali, Zainuddin.
Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet.VI; Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Al-Bugha, Mustafa Bid. Fiqih Islam Lengkap. Surakarta: Media Zikir, 2009.
Andi Nuzul, Sistem Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin dan Pengaruhnya Terhadap
Pembaruan Hukum Kewarisan di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: Trussmedia
Grafika, 2018.
Anshary MK. Hukum Kewarisan Islam dalam teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017.
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Cet. XLI: PT Balai Pustaka, 2018.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh Jilid 3. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Sditya Bakti, 2003.
Kasim, Nur Moh. Hukum Islam Dan Masalah Kontemporer. Yogyakarta: Interpena,
2014.
Nawawi, Maimun. Pengantar Hukum Kewarisan Islam, Surabaya: Pustaka Radja,
2016.
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005.
Suhrawardi dan Komis Simajuntak. Hukum Waris Islam. Cet. IV; Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW.
Cet. V; Bandung: PT. Refiks Aditama, 2018.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. Cet. VII; Bandung: Nuansa
Aulia, 2017.
2018.

Anda mungkin juga menyukai