Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Naskah Fikih Hukum Keluarga
I (Kewarisan) Program Studi Hukum Keluarga Islam (Ahwal Syakhshiyyah)
Program Pascasarjana (S2) IAIN Bone
Oleh:
ROSALINA
NIM. 741302022029
EKA FAJRIANI
NIM. 741302022030
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BONE
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad saw., yang telah membawa risalah yang akan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
Olehnya itu, penulis mengharapkan saran dan kritik guna kesempurnaan makalah ini
selanjutnya. Semoga segala kebaikan yang diterima menjadi berkat tersendiri bagi
penulis, sehingga menjadi bekal yang sangat bermanfaat dikehidupan penulis nantinya.
Akhir kata apa yang telah penulis lakukan dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca dan pihak-pihak yang membutuhkan, semoga Allah swt. selalu melimpahkan
Penulis,
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah 3
A. Pengertian Pewaris 4
A. Simpulan 27
B. Saran 28
DAFTAR RUJUKAN
ii
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan
dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia akan
menegaskan bahwa anak memiliki hak untuk mewarisi harta kekayaan kedua orang
tuanya ketika kedua orang tua atau si pewaris itu telah meninggal dunia. Untuk
mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal itu. Undang-
Hukum kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang
berkenaan dengan peralihan hak atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang
setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dengan demikian, dalam hukum
1
Nur Moh. Kasim, Hukum Islam Dan Masalah Kontemporer (Yogyakarta: Interpena, 2014),
h. 69.
1
2
kewarisan ada tiga unsur pokok yang saling terkait yaitu pewaris, harta
peninggalan, dan ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari hukum, sedangkan hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam
yang pokok.2
macam, yaitu: Pewaris, Warisan, dan Ahli Waris. Pewaris adalah orang yang
memberi pusaka, yakni orang yang meninggal dunia dan meninggalkan sejumlah
harta kekayaan. Warisan adalah harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris,
sedangkan Ahli waris adalah orang-orang yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris.
kemudian diadakan pembagian yang berakibat para waris dapat menguasai dan
kepada sesama waris, anggota kerabat, ataupun orang lain. Begitu pewaris wafat,
harta warisan harus segera dibagikan atau dialihkan kepada ahli warisnya. Pasal
833 KUHPerdata menyatakan bahwa sekalian ahli waris dengan sendirinya secara
hukum memperoleh hak waris atas barang, segala hak, dan segala piutang dari
pewaris.3
2
Anshary MK, Hukum Kewarisan Islam dalam teori dan Praktik (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017), h. 2.
3
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Sditya Bakti, 2003), h. 33.
3
B. Rumusan Masalah
masalah pokok dalam pembahasan ini adalah bagaimana pewaris, harta warisan
daan ahli waris yang kemudian dibagi ke dalam sub pokok masalah sebagai
berikut:
1. Tujuan Penulisan
2. Kegunaan Penulisan
ilmu agama pada khususnya serta untuk referensi bagi peneliti maupun
pembaca.
PEMBAHASAN
berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri, dapat pula
dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
Penjelasan mengenai siapa pewaris yang dimaksud dapat dipelajari dari al-
Qur’an surat al-Nisā’ ayat 11 yang merinci bahwa setidaknya terdapat beberapa
kelompok ahli waris dalam ayat tersebut, yaitu kelompok ahli waris anak baik laki-
laki maupun perempuan. Dengan demikian pewarisnya adalah bapak atau ibu
mereka. Kelompok lainnya adalah ahli waris ibu dan bapak, artinya bahwa
Menurut KHI Pasal 171 huruf b, pewaris adalah orang yang pada saat
beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta warisan.5 Adapun syarat-syarat
kematiannya.6
berikut:
4
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam (Surabaya: Pustaka Radja, 2016), h.
92.
5
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Cet. VII; Bandung: Nuansa Aulia,
2017), h.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Kencana, 2004), h. 309
4
5
sejumlah kewajiban.
c. Zainuddin Ali, mengatakan bahwa pewaris adalah orang yang pada saat
yang masih hidup. Istilah pewaris secara khusus dikaitkan dengan suatu
proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meninggal dunia
kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yang masih hidup dan
Dari pendapat para ahli tersebut diatas, dapat diketahui bahwa tidak semua
orang yang meninggal dunia, disebut pewaris, karena syarat untuk dapat disebut
pewaris adalah orang yang meninggal dunia tersebut harus meninggalkan perbagai
hak dan kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga yang dapat dinilai dengan
uang yang disebut dengan harta peninggalan. Oleh karena itu, sepanjang belum jelas
7
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Cet.VI; Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h.
114.
6
orang yang masih hidup. Dengan demikian, bila belum ada kepastian meninggal
1. Jenis-jenis pewaris
a. Hakiki (sejati)
Jenis pewaris pertama disebut sebagai pewaris mati sejati atau hakiki.
orang yang adil atas kematian tersebut. Jadi, apabila ada orang yang
kematiannya jelas dan dapat dilihat dengan langsung termasuk pewaris jenis
hakiki.
b. Hukmi
disebabkan oleh keputusan hakim dan tidak bisa dilihat secara langsung.
keberadaannya, apakah masih hidup atau meninggal. Status ini jka telah
c. Taqdiri
seseorang yang mendatangi suatu tempat yang sedang dilanda perang, yang
8
Rizem Aizid, Fiqh Keluarga Terlengkap (Cet. I; Yogyakarta: Laksana, 2018), h. 370-371.
7
tidak pulang-pulang dan tidak ada kabar beritanya, bisa saja ia secara
dari orang yang meninggal itu, Undang-Undang berprinsip bahwa seseorang bebas
meninggal dunia. Akan tetapi apabila tenyata seorang tidak menentukan sendiri
ketika ia hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya, maka
peninggalan pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat
atau testament adalah suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia
meninggal dunia. Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan kekuatan
berlaku setelah pembuat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali.10
saja, sehingga ibu dalam masyarakat patrilineal tidak masuk dalam pewaris untuk
anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Begitu pula dengan masyarakat
matrilineal, pewaris senantiasa dihitung dari garis ibu, sehingga ayah tidak dapat
menjadi ahli waris dari anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. berbeda
dengan masyarakat parental, pewaris selalunya dihitung secara bilateral yakni dari
9
Maimun Nawawi, Pengantar Hukum Kewarisan Islam , h. 94.
10
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW (Cet. V;
Bandung: PT. Refiks Aditama, 2018), h. 28.
8
garis ibu dan bapak, sehingga orang tua senantiasa menjadi pewaris untuk anak-
harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil untuk kepentingan
meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima oleh ahli waris
menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benar-benar hak mereka
meninggal dunia, baik yang berbentuk benda dan hak-hak kebendaan, serta hak-
hak yang bukan kebendaan. Dari definisi tersebut, dapat diuraikan bahwa harta
termasuk dalam kategori ini adalah benda bergerak dan tidak bergerak.
11
Andi Nuzul, Sistem Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin dan Pengaruhnya Terhadap
Pembaruan Hukum Kewarisan di Indonesia (Cet. I; Yogyakarta: Trussmedia Grafika, 2018), h. 89.
12
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), h.5.
9
c. Hak-hak yang bukan kebendaan yaitu seperti hak khiyar, hak syuf’ah
(hak beli yang diutamakan bagi salah seorang anggota syarikat atau hak
yang menjadi harta warisan. Pasal 171 huruf e menyebutkan bahwa “Harta
waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah
kerabat".14
pasal 171 hurf e Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka bentuk perolehan
a. Harta Bawaan
dari uami dan istri atau harta milik suami atau istri adalah harta yang
diperoleh suami atau istri sebelum terjadinya perkawinan yang berasal dari
warisan kedua ibu-bapak dan kerabat, hibah, hadiah dan harta yang
13
Suhrawardi dan Komis Simajuntak, Hukum Waris Islam (Cet. IV; Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 50.
14
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h.
10
diperoleh dari usaha sendiri. Untuk harta bawaan yang diperoleh dari
warisan, hibah, hadia serta sedekah dari ibu-bapak dan kerabat mereka
termasuk harta bawaan.15 Harta bawaan ini menjadi milik mutlak dari
perbuatan hukum atas harta tersebut. KHI pasal 87 ayat (1) dan (2)
dijelaskan:
(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh
masing-masing sebagai hasiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
sodaqah atau lainnya.16
Dalam pengelolaan harta bawaan ini tidak dibenarkan adanya
percampuran antara harta suami dan harta isteri walaupun telah terjadi
perkawinan. Hal ini dijelaskan dalam Kompilasi pasal 86 ayat (1) “Pada
dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
bawaan ini tidak ada sangkut paut dengan milik dan hak-hak orang lain
kecuali yang bersangkut paut dengan hak pewaris sewaktu hidup dan
sebelum dikuburkan.
15
M Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam DalamKewarisan
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) (Cet. I; Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 103.
16
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h.
11
b. Harta Bersama
bersama apakah itu wujudnya harta benda atau hak-hak. Keberadaan harta
semua keluarga yang ada memiliki harta bersama. Suami isteri misalnya,
rumah. Dengan kenyataan ini, maka perolehan harta dalam satu rumah
tangga, tidak dapat dipungkiri bahwa berasal dari perolehan suami dan
isteri.
diartikan secara luas, hingga seorang isteri yang pekerjaannya tidak nyata-
termasuk objek harta bersama atau tidak, adalah saat pembeliannya. Setiap
membelinya, terdaftar atas dalam hal ini, tanah dan rumah tersebut adalah
2) Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian tetapi dibiayai dari
harta bersama
Sebagai ukuran yang kedua adalah apa saja yang dibeli, jika uang
pembelinya itu berasal dari harta bersama, maka barang tersebut tetap
mulus, apalagi kalau hal itu terjadi jauh setelah berlangsungnya perceraian.
harta bersama, tetapi sebagai harta pribadinya. Dalam hal ini, menjadi
atau hadiah.
menjadi harta bersama, karena ia berasal dari harta bersama. Akan tetapi
tidak demikian halnya pada harta pribadi, karena penghasilan yang berasal
dari harta pribadi suami atau isteri, tidak menentukannya secara lain dalam
perjanjian perkawinan.
benda bersama” dan pasal 1 huruf f KHI dijelaskan juga bahwa harta
kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik
terdaftar atas nama siapapun. Dua pasal ini berlaku sepanjang antara suami
ahli waris. Dalam hal ini sebelum harta peninggalan dibagi-bagi kepada para
ahli waris dapat meneliti lebih dahulu macam dan asal harta peninggalan itu
14
dan penguasaan harta yang tidak dibenarkan. KHI pasal 86 dijelaskan sebagai
berikut:
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta
isteri karena perkawinan.
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan kuasai
penuh olehnya. 18
dalam bentuk harta milik masing-masing. Oleh karena itu apa yang dilakukan
adat sangat tepat sekali dan merupakan satu-satunya cara untuk memisahkan
pemisahannya dengan melihat dua bentuk kasus yang mungkin bisa terjadi.
apabila terjadi kematian dari salah satu pihak, apakah itu isteri atau suami.
pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan
18
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, h.
15
kekayaan ada juga yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
bersifat pribadi;
mengakibatkan peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga
kepada ahli warisnya. Hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 833 ayat
(1) BW, yaitu "Sekalian ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak dan segala piutang si
yang meninggal."
Peralihan hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli
warisnya disebut saisine. Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu ahli
waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia tanpa
memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris tersebut
gono-gini" atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta
warisan dalam BW dari siapa pun juga merupakan "kesatuan" yang secara
bulat dan utuh dalam keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal
16
ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam Pasal 849 BW, yaitu
dan mana yang termasuk harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh bersama
hal tersebut, melainkan sebaliknya, yaitu harta asal yang dibawa masing-
perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan bulat yang akan beralih dan
Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang hukum untuk menjadi ahli waris.19
baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau perkawinan, atau
muwaris, ahli waris diketahui benar-benar dalam keadaan hidup. Termasuk dalam
hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat
19
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 115.
17
lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan
saling mewarisi.
Dalam pembagian harta waris, ahli waris benar-benar hidup ketika muwaris
meninggal dunia. Tetapi jika ahli warisnya adalah dalam keadaan mafqud (orang
hilang atau tidak diketahui kabarnya), apakah ia hidup atau tidak. Dalam hal ini
perlu keputusan hakim, apakah ia diputuskan mati atau masih hidup. Jika ia
pusaka itu. Apabila ia memang tidak ada kabar, tidak datang juga dalam waktu yang
telah ditentukan, maka bagian harta warisannya dikembalikan lagi kepada ahli
Anak dalam kandungan juga dianggap sebagai ahli waris, jadi ia berhak
mendapat harta warisan apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Apabila ia lahir
dalam keadaan mati sesudah muwarisnya meninggal dunia, berhak menerima apa
yang diwasiatkan untuknya dan memiliki diyatnya serta menghalang-halangi
a. Dzul farā’idh
Dzul farā’idh yaitu ahli waris yang sudah ditentukan di dalam al-
Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap
20
Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh Jilid 3, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 18-19.
18
farā’idh ini dalam al-Qur’an surah an-Nisā ayat 11, 12, dan 176 yang
yaitu:21
1) Keturunan garis ke bawah
a) Anak perempuan
a) Ayah
b) Ibu
4) Duda
5) Janda
21
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 17.
19
Ada lima ahli waris yang yang tidak perna gugur mendapatkan
1) Suami
2) Istri
3) Ibu
4) Ayah
Ashabah dalam bahasa Arab berarti anak laki-laki dan kaum kerabat
adalah golongan ahli waris yang mendapatkan bagian terbuka atau bagian
sisa. Jadi bagian ahli waris yang terlebih dahulu dikeluarkan adalah dzul
farā’idh yaitu bagian yang ditentukan dalam al-Qur’an, setelah itu sisanya
mempunyai ahli waris dzul farā’idh, maka harta peninggalan diwarisi oleh
ashabah. Akan tetapi, jika ahli waris dzul farā’idh itu ada, maka sisa bagian
dzul farā’idh menjadi bagian ashabah.
bukan dzul farā’idh, yang kemudian dibagi menjadi tiga golongan, antara
22
Mustafa Bid al-Bugha, Fiqih Islam Lengkap, (Surakarta: Media Zikir, 2009), h. 327.
20
1) Ashabah binafsihi
a) Anak laki-laki
c) Ayah
d) Kakek dari pihak ayah dan seterusnya ke atas asal saja pertaliannya
seorang wanita yang menjadi ashabah karena ditarik oleh seorang laki-laki,
3) Ashabah ma’al-ghairi
c. Dzul arhām
arhām tersebut:
2) Neneknya ibu
ataupun seibu)
seibu)
6) Paman seibu
23
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 18-
19.
24
Rizem Aizid, Fiqh Keluarga Terlengkap, h. 373.
22
mewarisi secara langsung karena bukan ahli waris, melainkan dzul arhām.
berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut
undang-undang maupun yang diluar perkawinan, dan si suami atau si istri
sedarah dan si suami atau istri yang hidup telama tidak ada, maka semua harta
itu.”
perkawinan, dan orang lain yang tidak ada hubungannya dengan muwaris
25
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 20-
22.
26
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Cet. XLI: PT Balai Pustaka, 2018), h. 71.
24
“Urutan derajat yang satu dengan derajat yang lain disebut garis. Garis
lurus adalah urutan derajat antara orang-orang, di mana yang satu
merupakan keturunan dari yang lain; garis menyimpang ialah urutan
derajat antara orang-orang , di mana yang seorang bukan keturunan
dari yang lain tetapi mereka mempunyai bapak asal yang sama.”27
dengan ahli waris dalam sistem barat. Namun dalam beberapa hal, terdapat
mana bagian mereka sama besar dan mewaris kepala demi kepala dan
27
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, h. 72.
25
atau istri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. Suami atau istri
yang hidup paling lama baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935,
keturunannya, bila tidak ada suami atau istri serta keturunannya, maka
warisan jatuh pada keluarga sedarah golongan kedua. Hal ini diatur dalam
Ahli waris golongan III adalah keluarga dalam garis lurus ke atas
28
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, h. 225.
26
menyamping yang dibatasi sampai dengan derajat keenam, baik dari pihak
bahwa jika masih ada ahli waris golongan pertama, maka akan menutup hak
Demikian pula golongan yang lebih tinggi derajatnya menutup yang lebih
rendah derajatnya. Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testament
jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris macam ini bergantung pada kehendak
atau beberapa orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian
dari warisan. Akan tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang (ab
Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahli waris
yang manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-
29
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, h. 29.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri,
dapat pula dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah
orang yang meninggal dunia tersebut harus meninggalkan perbagai hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi pada pihak ketiga yang dapat dinilai dengan
hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam kandungan
(al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu, antara
muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.
3. Harta peninggalan atau tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang
oleh orang yang meninggal ketika masih hidup. Sejumlah harta benda
27
28
B. Saran
Demikianlah makalah saya buat, dan dengan selesainya makalah ini, tidak
membangun guna kesempurnaan makalah ini. Dan penulis juga menyarankan agar
para pembaca mencari referensi lain untuk menambah pengetahuan yang lebih luas
lagi tentang pembahasan yang ada di dalam makalah ini. Dan penulis berharap
semoga makalah ini bisa bermanfaat untuk para pembaca dan kita semua.
DAFTAR RUJUKAN
Aizid, Rizem. Fiqh Keluarga Terlengkap. Cet. I; Yogyakarta: Laksana, Ali, Zainuddin.
Hukum Perdata Islam di Indonesia. Cet.VI; Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Al-Bugha, Mustafa Bid. Fiqih Islam Lengkap. Surakarta: Media Zikir, 2009.
Andi Nuzul, Sistem Hukum Kewarisan Bilateral Hazairin dan Pengaruhnya Terhadap
Pembaruan Hukum Kewarisan di Indonesia. Cet. I; Yogyakarta: Trussmedia
Grafika, 2018.
Anshary MK. Hukum Kewarisan Islam dalam teori dan Praktik. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2017.
Burgerlijk Wetboek, Terj. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Cet. XLI: PT Balai Pustaka, 2018.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh Jilid 3. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung: PT. Citra Sditya Bakti, 2003.
Kasim, Nur Moh. Hukum Islam Dan Masalah Kontemporer. Yogyakarta: Interpena,
2014.
Nawawi, Maimun. Pengantar Hukum Kewarisan Islam, Surabaya: Pustaka Radja,
2016.
Rofiq, Ahmad. Fiqh Mawaris. Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005.
Suhrawardi dan Komis Simajuntak. Hukum Waris Islam. Cet. IV; Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW.
Cet. V; Bandung: PT. Refiks Aditama, 2018.
Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2004.
Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam. Cet. VII; Bandung: Nuansa
Aulia, 2017.
2018.