Anda di halaman 1dari 26

UJIAN AKHIR SEMESTER FIQIH

Tulisan ini di buat untuk memenuhi tugas akhir semester

(FIQIH MAWARIS)

Dosen Pengampu : Yoga Anjas Pratama,M.pd

Disusun Oleh Kelompok 10

Merisa Anggaraini

2311080073

Kelas/Semester : BKPI 1-C

PROGRAM STUDI
BIMBINGAN DAN KONSELING PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TAHUN AJARAN 1444 H / 2023 M

ii iii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah m
elimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis diberikan waktu dan kesem
patan untuk menyelesaikan makalah dengan judul "Fiqih Mawaris” Makalah ini di
ajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah program studi Bimbingan Dan Konseli
ng Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Raden Intan Lampung. Penulis menguca
pkan banyak terimakasih kepada Bapak Yoga Anjas Pratama, M.Pd. selaku dosen
pengampu mata kuliah Kebijakan Pendidikan Islam, yang telah membimbing pen
ulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Kami berharap mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan sumbangan p


ikiran dan bermanfaat khususnya bagi kami dan umumnya bagi pembaca. Penulis
sangat menyadari akan kerterbatasan dan kekurangan wawasan dan ilmu pengetah
uan yang dimiliki. Oleh karena itu, Penulis sangat mengharapkan kontribusi kritik
dan saran dari rekan-rekan pembaca yang bersifat konstruktif demi penyempurnaa
n makalah ini bahkan penyempurnaan makalah - makalah yang akan disusun selan
jutnya.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua demi mena
mbah wawasan dan ilmu pengetahuan kita semua. Aamiin..

Bandar Lampung, 8 Desember 2023

Penulis

ii iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1

A. Latar Belakang ...............................................................................................


1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2

C. Tujuan Penulisan............................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................3

A. Pengertian Ashabah........................................................................................3

B. Macam-Macam Ashabah................................................................................1

C. Rukun, Syarat, Dan Azas–Azas Hukum Kewarisan.....................................11

BAB III PENUTUP..............................................................................................20

A. Kesimpulan...................................................................................................20

B. Saran.............................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................22

iii ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sebelum Era islam, bangsa arab telah mengenal system waris yang menjadi se
bab berpindahnya hak kepemilikan atas harta benda atau hak-hak material lainnya,
dari seseorang yang meninggal kepada orang lain yang menjadi ahli warisnya. Isla
m telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan se
baik-baik dan seadil-adilnya. Agama Islam menetapkan hak milik seseorang atas h
arta, baik laki-laki atau perempuan melalui jalan syara', seperti perpindahan hak m
ilik laki-laki dan perempuan di waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kep
ada para ahli warisnya setelah ia meninggal dunia.
Dalam Al-Qur'an telah dijelaskan dan merinci secara detail hukumhukum yang
berkaitan dengan hak warisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang h
arus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apa
kah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan han
ya sebatas saudara seayah atau seibu. Seiring berkembangnya zaman, masalah ke
warisan dikembangkan secara kompleks oleh para fuqoha. Dalam kewarisan terse
but mereka mengelompokkan pihak-pihak dalam hal warisan diantaranya Ashabah.

Mewariskan dengan cara Ashabah merupakan cara kedua untuk memberikan h


arta waris kepada ahli waris si mayit. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahw
a pembagian harta waris dapat dilakukan dengan dua cara yaitu fard dan ta'shib (a
shabah). Ahli waris yang mewarisi bagian tetap lebih didahulukan dari pada ahli y
ang menjadi ashabah. Hal ini dikarenakan kedudukan ashabul furudh lebih utama
daripada kedudukan ashabah. Nabi SAW bersabda. "Berikanlah bagian-bagian teta
p itu kepada orang yang berhak, dan jika ada sisa, baru untuk laki-laki dari keturu
nannya

1 2
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ahli Waris Ashabah ?
2. Apa Saja Macam-Macam Ashabah ?
3. Bagaiamana Rukun, Syarat, Dan Azas–Azas Hukum Kewarisan?

C. Tujuan Penulisan
1. Supaya Kita Mengetahui Dengan Jelas Siapa Orang Yang Memang Berhak
Untuk Mendapatkan Dn Menerima Harta Warisan
2. Supaya Bisa Menentukan Dalam Pembagian Harta Warisan Dengan Cara Y
ang Adil Dan Benar
3. Mengetahui Rukun, Syarat, Dan Azas–Azas Hukum Kewarisan

PAGE \* MERGEFORMA
T2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ashabah
"Ashabah adalah bentuk jama' dari kata ‫ بصاع‬yakni ahli waris yang mendapa
t harta warisan dengan bagian yang tidak ditentukan. Sedangkan ahli faroid mende
finikan "ashabah yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendi
rian dan mendapat sisanya setelah Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang t
elah ditentukan. Jika ahli waris mayit hanya mereka, maka mereka mengambil se
mua harta, dan apabila bersama mereka ini ada ahli waris yang mendapat bagian f
urudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh diberikan. 1Namu
n jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.
Dalam pembagian sisa harta warisan, ahli waris yang terdekatlah yang lebih
dahulu menerimanya. Konsekuensinya adalah, ahli waris yang peringkat kekeraba
tannya dibawah tidak mendapatkan bagian. Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah:

‫اْلِح قُىا اْلفَر ائض بِأَْهِلَها فََم ا بَِقي فَُهَى ألولى َر ُج ٍل ذََك ر‬

"Berikanlah warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya dan jika te
rsisa, maka diberikan kepada ahli waris laki-laki yang lebih berhak menerimanya"
( H.R Al-Bukhari dan Muslim),
Ahli waris ashabah harus menunggu sisa pembagian dari ahli waris yang tel
ah ditentukan bagiannya, dan keistimewaan ashabah ini ia dapat menghabiskan sel
uruh, kalau ahli waris yang ditentukan bagiannya sudah mengambil apa yang men
jadi haknya.

1
Muhammad bin Shahil al-'Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu
Katsir, 2009) him. 96 2. Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Sur
abaya, Mutiara

3 2
B. Macam Macam Ashabah
Ashabah terbagi menjadi 2 bagian yaitu Ashabah Nasabiah dan Ashabah Sab
abiyah. Nasabiah adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Sedangkan ashabah
Sababiah adalah ashabah yang disebabkan pembebasan budak."
I. Ashabah Nasabiah
adalah ashabah yang disebabkan oleh nasab. Adapun macam-macam
ashabah nasabiah terbagi kepad 3 macam yaitu:

1. Ashabah bin Nafsi


Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bagian
ashabah, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu tiqah (orang pere
mpuan yang memerdekakan hamba sahaya) yaitu terdi dari
• Anak laki-laki
• Cucu laki-laki dari garis laki-laki
• Bapak
• Kakek (dari garis bapak)
• Saudara laki-laki sekandung  Saudara laki-laki seayah.
• Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
• Anak laki-laki saudara laki-laki se ayah
• Paman sekandung
• Paman se ayah
• Anak laki-laki paman sekandung
• Anak laki-laki paman se ayah
• Mu'tiq atau mu'tiqah (orang laki-laki atau Perempuan ya
ng memerdekakan hamba sahaya).

1 2
Sebagai contohnya, jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahl
i waris seorang ayah dan seorang anak laki-laki, maka ayah mendapatkan 1/6 dan 3
selebihnya diberikan kepada anak laki-laki sebagai bagian ashabah. Dalam hal ini
bapak tidak mendapatkan 'ashabah, sebab jalur bunuwwah mendahului arah ubuw
wah21."Hukum ashabah bin nafsi”
"Ashabah bin nafsh mempunyai empat arah dan derajat kekuatan hak warisnya s
esuai urutannya. Hingga salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli war
is seorang yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yan
g ada.. Namun bila ternyata pewaris mempunyai ahli waris dari 'ashabul furudh, m
aka sebagai ashabah mendapat sisa harta setelah dibagikan kepada ashabul furudh.
Dan bila setelah dibagikan kepada 'ashabul furudh ternyata tidak ada sisa, maka p
ara ashabah tidak mendapat hagian.

Adapun bila para ashabah bin nafsh lebih dari satu orang, maka cara penarjihanny
a (pengunggulannya sebagai berikut:
Pertama : penarjihan dari segi arah
Apabila ada suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa ashabah bin
nafs, maka pengunggulannya di lihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan
dibanding yang lain. Anak akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, at
au akan menerima sisa harta waris setelah dibagikan kepada 'ashabul furudh bagia
n masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki dari keturunan anak
laki-laki dan seterusnya, Sehab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak a
da. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara
kandung. Dalam keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki.
Sebab arah anak lebih didahulukan dari pada arah yang lain. Sedangkan ayah term
asuk ashabul furudh karena mewarisi bersama-sama dengan
Kedua : penarjihan secara derajat
Apabila dalam suatu keadaan pempembagian waris terdapat 'ashabah bin naf
s, kemudian merekapun dalam satu arah, maka penarjihannya dengan melihat dera
jat mereka, siapakah diantara mereka yang paling dekat pada pewaris. Sebagai mis

1
2 Muhammad All Ash-Shabuni, Op.Cit, hlm 57

7 6
al, seseorang wafat dan meninggalkan anak dan cucu keturunan anak laki-laki. Da
lam hal ini hak warisnya secara ashabah diberikan kepada anak, sedangkan cucu ti
dak mendapatkan bagian apapun. Sebab, anak lebih dekat kepada pewaris dibandi
ngkan cucu laki-laki.

Ketiga : penarjihan menurut kuatnya kekerabatan


Bila dalam suatu kedaan pembagian waris terdapat banyak ashabah bin nafsi
yang sama dalam arah dan derajatnya, maka penarjihannya dengan melihat manak
ah diantara mereka yang paling kuat kekerabatannya dengan pewaris. 1Misal: saud
ara kandung lebih kuat dari pada seayah, paman kandung lebih kuat dari pada pam
an seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat dari pada anak dari saudara seaya
h dan seterusnya. Dalam hal ini hanya digunakan untuk arah saudara dan arah pa
man.

2. "Ashabah bil ghair


Yaitu ahli waris yang menerima bagian dari sisa karena bersamasama denga
n ahli waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tida
k ada maka ia tetap menerima bagian tertentu. Ahli waris penerima "ashabah bil g
hair tersebut terdiri dari:
a. Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki
b. Cucu perempuan garis laki-laki bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki
c. Saudara perempuan sekandung bersama saudara laki-laki sekandung

d. Saudara perempuan se ayah bersama dengan saudara laki-laki se ayah."  Ada


pun syarat-syarat "ashabah bil ghair:
1) Perempuan tersebut tergolong ahli waris ashabul furud (mempunyai bagian teta
p).
Orang perempuan yang tidak tergolong ashabul furud walaupun ia mewar
isi bersama dengan muasib-nya, tidak menjadi ashabah bil ghair. Misalnya, ana
k perempuannya saudara laki-laki sekandung tidak dapat menjadi ashabah deng
an saudara laki-laki sekandung. Hal ini, karena anak

. Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, Op. Cit, hlm 101


13

8 5
perempuannya saudara laki-laki sekandung tidak mempunyai bagian tetap. De
mikian juga, saudara perempuan ayah sekandung tidak dapat menjadiashabah d
engan saudara laki- laki ayah sekandung. Karena saudara perempuan ayah seka
ndung tidak memiliki bagian tetap.

2) Antara perempuan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud) dengan o


rang yang meng-ashabah-kan (muasibnya) memiliki tingkatan (dalam jihat) ya
ng sama.
Dengan demikian, anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki yang
mewarisi bersama saudara kandung tidak menjadi ashabah bil ghair, karena kedud
ukan derajat mereka tidak sama. Anak perempuan dari anak laki-laki jihatnya adal
ah bunuwwah, sedangkan saudara sekandung jihatnya adalah ukhuwwah.
3) Orang yang meng-ashabah-kan (muasib) harus sama derajatnya dengan peremp
uan yang mempunyai bagian tetap (ashabul furud).
Oleh karena itu, cucu perempuan dari anak laki-laki bila ia mewarisi bersam
a dengan anak laki-laki, tidak dapat menjadi ashabah bil ghair sebagaimana halny
a saudari kandung bila bersamasama anak laki-laki saudara kandung. Dalam conto
h terakhir, saudara kandung mendapat bagian, kemudian sisanya yaitu ½ di berika
n kepada anak laki-laki saudara sekandung secara ashabah.

4) Adanya persamaan kekuatan kerabat antara furuddengan muasibnya. perempua


n ashabul
Saudari kandung yang mempunyai (yang mempunyai dua jurusan kekerabat
an) bila bersama-sama dengan saudara seayah (yang hanya mempunyai satu jurus
an kekerabatan) tidak dapat menjadi ashabah bil ghair,kecuali cucu perempuan dar
i anak laki-laki yang dapat menjadi ashabah bil ghair dengan cucu laki-laki dari an
ak laki-laki yang lebih rendah derajatnya, bila ia di butuhkan oleh cucu perempua
n tersebut untuk memperoleh warisan.
Adapun beberapa contoh dari ashabul bil ghair yaitu:

9 8
a. Seseorang wafat meninggalkan anak perempuan, ibu, dan paman, dalam hal ini
anak perempuan memperoleh dari harta warisan, ibu memperoleh 1/6 berdasar
kan furudh dan paman mendapatkan sisanya ashabah

b. Seseorang wafat meninggalkan 2 anak perempuan, istri, dan paman, dalam hal
ini dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagian berdasarkan ketentuanfurudh,
istri mendapatkan 1/8 bagian berdasarkan ketentuan furudh, dan paman. menda
patkan sisanya ashabah.

c. Seseorang wafat meninggalkan ayah, ibu, anak laki-laki, dan anak perempuan
dalam hal ini, ayah memperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furdh, ibu m
emperoleh 1/6 bagian berdasarkan ketentuan furudh,dan anak laki-laki dan ana
k perempuan mendapatkan sisanya sebagaiashabah dengan ketentuan bagian. k
ali-laki adalah dua kali lipat bagian perempuan. 5

3. Ashabah ma'al ghair


Ashabah ma'al ghair adalah ahli waris yang menerima bagian ashabah kare
na bersama ahli waris lain yang bukan penerima bagian ashabah. Apabila ahli
waris lain tadi tidak ada, maka menerima bagian tertentu.
Ashabah ma'al ghair ini diterima ahli waris:

 Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena bersama dengan an


ak perempuan (seorang atau lebih), atau bersama dengan cucu perempuan garis
laki-laki (seorang atau lebih). Misalnya, seorang meninggal ahli warisnya terdir

i dari seorang anak perempuan, saudara perempuan dan ibu. Maka bagian:  A
nak perempuan
• Saudara perempuan sekandung
• Ibu
• 1½
• Ashabah
• 1/6

10 7
 Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cuc
u perempuan (seorang atau lebih). Misalnya seorang meniggal, ahli warisnya te
rdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan garis laki-laki dan
dua orang saudara perempuan seayah. 41
Maka bagian masing-masing adalah:

• Anak perempuan
• Cucu perempuan garis laki-laki
• 2 saudara perempuan seayah
• 1½  1/6
• ashabah

Yang menjadi ashabah ma'al ghair ini adalah saudara perempuan seibu se
bapak karena mewaris bersama dengan anak perempuan, cucu perempuan, cicit
perempuan, dan seterusnya. Apabila saudara perempuan seayah seibu menjadi
ashabah bersama lainnya, maka ia menjadi seperti saudara lelaki seayah maupu
n seibu. Maka ia menutupi saudara-saudara scayah, baik laki-laki maupun pere
mpuan dan menutup ashabah yang derajatnya di bawah mereka seperti anak-an
ak lelaki dari saudara-saudara lelaki dan paman-paman seayah seibu atau seaya
h.
Begitu pula saudara perempuan seayah bilamana menjadi ashabah bersa
ma anak perempuan. Ia menjadi sama kekuatannya dengan saudara lelaki seaya
h dan menutup anak-anak lelaki dari saudara lelaki dan yang sesudah mereka.1
0
Contoh kasus 1:
Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dan
saudara kandung perempuan, dalam hal ini seorang anak perempuan memperol
eh dari harta warisan, cucu perempuan memperoleh 1/6 dari harta warisan untu
k melengkapi 2/3, dan saudara kandung perempuan memperoleh sisa sebagai a
shahah.

14
Suhrawardi K.Lubis, Op.Cit hlm 100

9 10
Contoh kasus 2:
Seorang wanita wafat meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, dan sau
dara perempuan seayah, dalam hal ini suami memperoleh ¼ dari harta warisan, ib
u memperoleh 1/6 dari harta warisan, dua anak perempuan memperoleh 2/3 bagia
n. Dari contoh diatas dapat diketahui bahwa ashabah ma'al ghair memiliki dua kon
disi dalam warisan:
a. mewarisi apa yang tersisa setelah ashabul furud sebagaimana dalam contoh perta
ma.
b. Tidak mewarisi apapun. Hal itu terjadi jika seluruh harta warisan telah habis dibag
ikan kepada asbabul furud.Perbedaan Ashabah Bil Ghair dan Ashabah Ma'al Ghair
Ashabah bin nafsi adalah setiap perempuan yang mempunyai bagian tetap (a
shabul furud) kemudian mendapatkan ashabah dengan saudaranya. Misalnya, ana
k perempuan dengan anak laki-laki, saudara perempuan sekandung dengan saudar
a laki-laki. sekandung, dan seterusnya. ketentuan hukum warisannya adalah seora
ng laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun ashabah ma'al ghair adalah ashabah yang diperoleh saudara peremp
uan dengan beberapa anak perempuan. Ketentuan hukum warisnya adalah saudar
a-saudara perempuan mendapatkan sisa harta warisan setelah dibagikan kepada ah
li warisyang mempunyai bagian tetap (ashabul furud). Dari ketentuan ini dapat, da
pat di ketahui letak perbedaannya, yaitu dalamashabah bil ghair, selalu ada orang-
orang yang memperoleh ashabah dengan dirinya sendiri, yaitu anak laki-laki, anak
laki-lakinya anak. lakilaki, saudara laki-laki sekandung, dan saudara laki-laki seay
ah. Adapun dalam ashabah ma'al ghairtidak ada orang lain (ahli waris) yang mend
apat ashabah dengan dirinya sendiri.
Dalam Syarah Syirajiyah dijelaskan bahwa perbedaan tersebut dapat di
lihat dari dua segi, yaitu: a) Dari segi mu'asib-nya
Muashib ashabah bil ghair adalah para ashabah bin nafsi, seperti anak laki-la
k, cucu laki-lakidari anak laki-laki, dan saudara sekandung atau seayah.

b) Dari segi penerimaan pusaka

10 9
Pada ashabah bil ghair baik orang yang di ashabahkan maupun muasibnya, bersa
ma-sama menerima bagian ashabah dari ashabul furud, atau seluruh harta peningg
alan bila seluruh ahli waris hanya ashabah saja, dengan ketentuan, laki-laki menda
pat bagian dua kali lipat bagian perempuan. 1
Adapun pada ashabah ma'al ghair, muasibnya tidak turut menerima usubah, la han
ya di minta untuk meng-ashabahkan saja.
Selesai tugasnya, ia menduduki fungsinya sebagai ashabul furud."6

II. Ashabah sababiyah


Ashabah sababiyah adalah ashabah yang terjadi karena telah memerdekakan buda
k. Nabi SAW bersabda: "Hak ketuanan itu milik orang memerdekakannya". Orang
laki-laki atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli war
is, kecuali apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk
ashabah nasabiyah. Dari Abdullah bin Syaddah dari putrid Hamzah, ia berkata: "B
ekas budakku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan seorang putri, maka Ra
sulullah SAW membagi harta peninggalannya kepada kami dan kepada putrinya, y
aitu beliau menetapkan separuh untukku dan separuh lagi untuk dia".

C. Rukun, Syarat, Dan Azas–Azas Hukum Kewarisan


Pada dasarnya persoalan waris-mewarisi selalu identik dengan perpindahan ke
pemilikan sebuah benda, hak dan tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisn
ya. Dan dalam hukum waris Islam penerimaan harta warisan didasarkan menurut
ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa digantungkan pada kehendak pewaris
atau ahli waris (Daud Ali, 1990:129). 2Pengertian tersebut akan terwujud jika syar
at dan rukun mewarisi telah terpenuhi dan tidak terhalang mewarisi.
1. Rukun Kewarisan
Suatu pewarisan atau lebih dikenal dengan istilah pusaka-mempusakai memili
ki 3 (tiga) rukun yang harus terpenuhi. Dan apabila salah salah satu dari ketiga ruk
un ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.sebagaimana hukum lainnya,
masalah warispun memiliki ketentuan khusus (rukun-rukun) yang harus terpenuhi.
Dengan kata lain, hukum waris dipandang sah secara hukum Islam jika dalam

15
M. Thaha Abul Ela Khalifah, Hukum Waris, (Cet.I Solo. Tiga Serangkai, 2007) him,409
2
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Kairo: Jami'ah al-Qohiroh, 1978), hlm. 216
9 10
proses penetapannya dipenuhi tiga rukun, yaitu: muwarrits, warits, dan mauruts. H
al ini senada dengan pendapat Sayyid Sabiq, menurut beliau pewarisan hanya dap
at terwujud apabila terpenuhi 3 hal, yaitu:
A. Al-Muwarrits;
Muwarrits berasal dari bahasa Arab (‫ )الُمَو ِّ رث‬yang sering diartikan sebagai pe
waris, yaitu orang memberikan harta warisan. Dalam sistem hukum waris Islam,
muwarrits adalah orang yang meninggal dunia dalam keadaan beragama Islam, ba
ik meninggal dunia secara haqiqy (sejati) maupun hukmy (menurut putusan haki
m), yang meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Hal ini ses
uai dengan KHI Pasal 171 huruf b yaitu: “Pewaris adalah orang yang pada saat m
eninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan ber
agama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan”. Istilah pewaris sec
ara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang
yang telah meninggal dunia kepada keluarganya yang masih hidup. Seseorang yan
g masih hidup dan mengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut p
ewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematiannya. Dan
harta yang dibagi waris haruslah milik sendiri, bukan milik instansi atau negara. S
ebab instansi atau negara bukanlah termasuk pewaris.

B. Al-Warits;
(‫ )الَو اِر ث‬sering diterjemahkan sebagai ahli waris, yaitu orang yang berhak mewaris
i karena mempunyai sebab-sebab untuk mempusakai, seperti adanya ikatan kekera
batan (nasab), pernikahan atau lainnya. Sedangkan pengertian ahli waris menurut
KHI Pasal 171 huruf c yaitu: “Ahli waris adalah orang pada saat pewaris meningg
al dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan
pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli wa
ris”.Berdasarkan KHI Pasal 172, ahli waris yang dipandang beragama Islam disini
adalah mereka yang dapat diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amal
an atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dew
asa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya. Termasuk dalam pengertian i
ni adalah bayi yang masih dalam kandungan. Meskipun masih berupa janin, apabil
a dapat dipastikan hidup melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, maka bagi
si janin tersebut mendapatkan harta warisan. Hanya saja jumhur ulama mensyarat
12 13
kan bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup. Sebab di kala ia masih dalam k
andungan, walaupun sudah dianggap hidup, namun ia bukan hidup yang sebenarn
ya (di dunia). Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sal
lam. Dengan demikian apabila lahir keadaannya telah meninggal, maka ia tidak be
rhak menerima warisan. Dan apabila telah disediakan harta warisan untuknya, ma
ka harta itu hendaknya diberikan kepada ahli waris lainnya.Dengan demikian apab
ila lahir keadaannya telah meninggal, maka ia tidak berhak menerima warisan. Da
n apabila telah disediakan harta warisan untuknya, maka harta itu hendaknya diber
ikan kepada ahli waris lainnya. Untuk itu, perlu diketahui batasan yang tegas men
genai tenggang waktu minimal usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetah
ui kepada

C. Al-Mauruts (Tirkah);
Di kalangan ahli faraid, istilah mauruts (‫ )الَم ْو ُروث‬lebih dikenal dengan nama tir
kah atau harta peninggalan, yakni harta benda yang ditinggalkan oleh si mati yang
bakal dipusakai oleh para ahli waris setelah diambil untuk biaya perawatan, melun
asi hutang-hutang dan melaksanakan wasiat.126 Namun menurut KHI, antara hart
a warisan dengan harta peninggalan memiliki perbedaan. Tidak semua harta penin
ggalan menjadi harta warisan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, melainkan
semua harta warisan baik berupa benda maupun hak-hak harus bersih dari segala s
angkut paut dengan orang lain. KHI Pasal 171 huruf d menyebutkan, “Harta penin
ggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang
menjadi miliknya maupun hakhaknya”, dan pada Pasal 171 huruf e, “Harta waris
adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk
keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah
(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.
Secara garis besar, mauruts atau tirkah dibagi menjadi 4 (empat), yaitu:
- Tirkah yang berupa nilai kebendaan, baik berupa benda maupun sifat. Seperti be
nda bergerak, benda tetap, piutang, denda wajib.

1
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum Islam, Praktis d
an Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hlm. 211. 26 Ibid, hlm. 22.
13 12
- Tirkah yang berupa hak-hak kebendaan, seperti hak monopoli untuk menarik has
il jalan tol, hak cipta, dan lainnya.
-Tirkah yang berupa hak yang bukan kebendaan, seperti hak khiyar dan hak mema
nfaatkan barang yang diwasiatkan.

Dalam tirkah, KHI telah mengatur adanya harta bersama atau hasil serikat yang ak
an dibagi rata sebelum diwariskan kepada ahli waris. Sebagaimana diatur dalam i
nstruksi presiden RI No. 1 tahun 1991 pada Undang-undang Kompolasi Hukum Is
lam bab XIII pasal 85, 87, 88-97. Misalnya, harta bersama milik suami istri. Bila s
uami meninggal, maka harta itu harus dibagi dua terlebih dahulu untuk memisahk
an mana yang milik suami dan mana yang milik istri. Barulah harta yang milik su
ami itu dibagi waris. Sedangkan harta yang milik istri, tidak dibagi waris karena b
ukan termasuk harta warisan.

2. Syarat Kewarisan
Pada dasarnya pusaka-mempusakai atau pewarisan berfungsi untuk mengganti
kan kedudukan dalam memiliki harta benda antara orang yang telah meninggal du
nia dengan orang yang ditinggalkan. Oleh sebab itu, agar terjadi pusaka-mempusa
kai dalam hukum Islam terdapat syaratsyarat kewarisan. Bilamana salah satu dari
syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak akan terjadi pewarisan. Syarat-syarat te
rsebut adalah sebagai berikut :

a. Meninggalnya Muwarrits.
Meninggalnya pewaris mutlak harus dipenuhi, karena seseorang baru disebut
pewaris setelah dia meninggal dunia. Yang berarti jika seseorang memberikan har
tanya kepada ahli waris ketika dia masih hidup itu bukan waris, melainkan hibah
(pemberian). 1Dan di dalam waris-mewaris kelak harta benda yang yang sudah di
berikan tersebut tidak termasuk diperhitungkan. Untuk meninggal atau matinya se
seorang yang dimaksud disini, para ulama membaginya menjadi tiga macam, yak
ni:
1. Mati haqiqi (sejati).
16
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI,
Ilmu Fiqh 3, cet. 2, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1986), hlm. 19.

12 15
Mati haqiqi adalah kematian yang dapat disaksikan oleh panca indra dan dapa
t dibuktikan dengan alat pembuktian, dimana unsur kehidupan telah lepas dari jas
ad seseorang tanpa membutuhkan keputusan hakim.
2. Mati hukmy (menurut putusan hakim).
Mati hukmy adalah seseorang yang oleh hakim ditetapkan telah meninggal dunia,
meski jasadnya tidak ditemukan, baik pada hakikatnya orang tersebut masih hidu
p maupun dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Misalnya, seorang yan
g hilang (mafqud) di dalam medan perang atau saat bencana alam, lalu secara huk
um formal dinyatakan kecil kemungkinannya masih hidup dan kemudian ditetapk
an bahwa yang bersangkutan telah meninggal dunia. Dalam putusan kematian ini,
para ulama berselisih pendapat tentang waktu mulai boleh diputuskan kematian si
mafqud.
- Imam Hanafi berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya
oleh hakim apabila sudah tidak ada seorang pun dari kawan sebayanya yang masi
h hidup.
- Imam Maliki berpendapat kematian si mafqud boleh diputuskan oleh haki
m setelah 70 tahun dari kepergiannya.
- Imam Syafi’i dan Syafi’iyah berpendapat agar si mafqud tersebut mencapa
i usia 90 tahun beserta usia sewaktu bepergiannya (hilangnya).
- Imam Hambali dan Hambaliyah menetapkan usia 90 tahun sebagai batasan
boleh dihukumi meninggal. Selain itu beliau menetapkan seseorang yang mendap
atkan malapetaka, seperti ikut perang, dll., maka hakim memutuskan batasan bagi
annya adalah 4 tahun

3. Mati taqdiri (menurut dugaan).


Mati taqdiri merupakan kematian seseorang yang didasarkan pada dugaan ker
as. Misalnya seorang ibu hamil dipukul perutnya atau dipaksa minum racun, mak
a kematian bayi tersebut diduga keras akibat pemukulan atau terkena racun1

17
Asyhari Abta dan Djunaidi Abd. Syakur, Ilmu Waris, Al-Faraidl: Deskripsi Hukum
Islam, Praktis dan Terapan, (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2005), hlm. 30.

13 14
B. Hidupnya Warits di Saat Meninggalnya Muwarrits.
Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris, perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Ahli w
aris yang akan menerima harta warisan disyaratkan ia hidup pada saat muwarrits-
nya meninggal dunia. Hidup yang dimaksud adalah hidup secara hakiki. Kepastia
n hidup si ahli waris ini sangatlah penting. Sebab ada beberapa ahli waris yang m
asih diragukan hidupnya, seperti orang hilang (mafqud), anak dalam kandungan a
taupun ahli waris yang meninggal bersamaan dengan si muwarrits.
Masalah orang hilang atau mafqud tergantung pada putusan hakim. Apabila ia
dinyatakan meninggal dunia sebelum meninggalnya muwarrits, maka tidak ada p
ersoalan dengan hal tersebut. Karena mereka yang meninggal dunia sebelum men
inggalnya muwarrits tidak dapat dikatakan sebagai ahli waris. Dan apabila keputu
san hakim menyatakan bahwa ia masih hidup sebelum meninggalnya muwarrits,
maka kewarisan yang menjadi bagiannya ditahan terlebih dahulu sampai batas ya
ng ditentukan. Dan apabila di kemudian hari ia muncul dalam keadaan hidup, ma
ka warisan yang menjadi bagiannya tersebut diserahkan sesuai dengan ketentuan
hukum waris masingmasing. Namun jika sampai batas yang ditentukan ia tidak h
adir juga, maka warisan yang menjadi bagian si mafqud tersebut dapat diberikan
kepada ahli waris lainnya.
Mengenai masalah anak dalam kandungan, ia berhak mendapatkan harta waris
an apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Tetapi apabila ia lahir dalam keadaan me
ninggal dunia sesudah meninggalnya muwarrits dan diduga meninggalnya karena
dipukul atau dianiaya, maka menurut ulama Hanafiyah ia berhak menerima apa y
ang diwasiatkan untuknya dan memiliki diyatnya, serta menghalanghalangi ahli
waris lainnya apabila ia lahir dalam keadaan hidup. Sedangkan menurut golongan
Maliki dan Syafi’i, bayi dalam kandungan tersebut dianggap hidup atas diyatnya
saja, dan diyat inilah yang akan diwarisi oleh ahli warisnya. Madzab Robi’ah dan
AlLaits berpendapat bayi dalam kandungan itu tidak menerima harta warisan dan
tidak pula mewariskannya kepada orang lain, sebab tidak dapat dipastikan ia itu h
idup waktu pemukulan atas ibunya dan tidak pula dapat ditentukan meninggalnya
disebabkan pemukulan itu. Dan diyat untuknya hanya akan dimiliki oleh ibunya
sendiri. Dewasa ini kemajuan ilmu kedokteran dapat memberikan bantuan dalam
mengatasi masalah tersebut.
12 17
Selain orang hilang (mafqud) dan bayi dalam kandungan ialah ahli waris yang
meninggal bersamaan dengan si muwarrits. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha d
igambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan ke
ndaraan, kebakaran, tertimpa puing atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, me
reka adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka
miliki ketika masih hidup. Dan jika keduanya mempunyai harta benda, maka hart
a benda tersebut akan diwarisi oleh ahli warisnya yang masih hidup.
Dalam kasus lain, misal seorang anak yang telah meninggal terlebih dahulu da
ri ayahnya, tidak akan mendapatkan warisan. Meski anak itu telah memiliki istri d
an anak. Istri dan anak itu tidak mendapatkan warisan dari mertua atau kakek mer
eka. Sebab suami atau ayah mereka meninggal lebih dulu dari kakek. Jalan keluar
dari masalah ini ada tiga kemungkinan.
- Pertama, dengan wasiyah wajibah, yaitu si kakek berwasiat semenjak masi
h hidup agar cucu dan menantunya diberikan bagian harta. Bukan dengan jalan w
arisan, melainkan dengan cara wasiat.
- Kedua, bisa juga dengan cara kesepakatan di antara para ahli waris untuk
mengumpulkan harta dan diberikan kepada saudara ipar atau kemenakan mereka.
- Ketiga, dengan cara hibah, yaitu si kakek sejak masih hidup telah menghib
ahkan sebagian hartanya kepada cucunya atau menantunya, sebab dikhawatirkan
nanti pada saat membagi warisan, cucu dan menantunya tidak akan mendapat ap
a-apa.

Terkait dengan kewarisan mafqud dan anak yang masih dalam kandungan, untuk
lebih jelasnya maka akan dipaparkan senagai berikut :
Kewarisan Mafqud
Terkait dengan mafqud ini sedikit diulang dari pembahasan di atas, berkenaan de
ngan kewarisan mafqud ini perlu diketahui tentang kedudukannya.
- Apakah dia sebagai mawarrits (orang yang mewariskan), atau - Apakah dia
sebagai warits (orang yang mewarisi).
Jika dia sebagai orang yang mewariskan (mawarrits), selama belum ada keputusa
n dari hakim tentang meninggalnya/perginya, maka harta benda itu tidak boleh di
bagi. Begitu pula ketika dia menjadi orang yang mewarisi (warits), sebelum ada k
eputusan dari hakim, maka harta benda itu tetap menjadi haknya (ditahan terlebih
13 16
dahulu). Dan apabila telah diputuskan oleh hakim, maka harta tersebut bisa dibag
ikan. Dan andaikata harta benda tersebut sudah terlanjur dibagikan setelah adanya
keputusan dai hakim kemudian si mafqud kembali, maka harta benda tersebut har
us dikembalikan kepadanya, walaupun tinggal sedikit. Bagi orang yang mewarisi
hartanya (setelah menggunakannya sebagian atau seluruhnya), maka dia tidak ter
kena beban untuk mengembalikan, ketika hartanya sudah habis pada saat kembali
nya si mafqud. Dan jika si mafqud tersebut berkedudukan sebagai warits, maka h
arta yang ditangguhkan tersebut harus diberikan kepadanya ketika ia kembali. Na
mun jika benar-benar sudah dihukumi/diputuskan meninggal, maka harta tersebut
akan diwarisi oleh ahli warisnya yang lain.
Seperti keterangan di atas, bahwa si mafqud mempunyai dua kedudukan, yaitu se
bagai muwarrits maupun sebagai warits. Apabila berkedudukan sebagai muwarrit
s, maka harta itu ditahan sampai jelas benar kematiannya oleh putusan hakim. Se
dang apabila ia sebagai warits, hendaknya diperhatikan 2 (dua) ketentuan:
- Jika ia dapat menghijab, maka pelaksanaan itu ditangguhkan sampai bena
r-benar matinya si mafqud.
- Jika ia tidak menghijab, maka yang ditahan hanya milik si mafqud, sedang
harta milik ahli waris lain dapat diberikan.

Diketahuinya Pertalian antara Warits dengan Muwarrits dan Tidak Adanya Pen
ghalang (Hijab) untuk Mewarisi.
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, maka haruslah
diketahui secara pasti jelas hubungan antara keduanya, termasuk jumlah bagian m
asing-masing, seperti hubungan suamiisteri, hubungan orangtua-anak dan hubung
an saudara, dan sebagainya. Sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah b
agian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab dalam huku
m waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang dit
erima.
Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudar
a sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung,
saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum ba
gian, ada yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang ka

12 19
rena ashabah, ada yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), ser
ta ada yang tidak terhalang.
Terhalangnya seseorang menjadi pewaris bisa disebabkan karena perbudakan,
pembunuhan, berlainan agama dan berlainan negara. Mengenai hijab tersebut aka
n diterangkan pada bagian lain.
3, . Azas – Azas Hukum Kewarisan
Dalam penjelasan pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa y
ang dimaksud dengan Waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris
penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli wa
ris dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengad
ilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris,
penentuan bagian masing-masing ahli waris. Dari hal-hal tersebut di atas maka dal
am pelaksanaan pembagian waris tidak dapat dipisahkan dengan azasazas hukum
waris Islam yang meliputi :
a. Azas Integrity
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan.
Azas ini mengandung pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan
dalam Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan at
uran yang diyakini kebenarannya. Hal ini juga dapat dilihat dari keimanan seseora
ng untuk mentaati hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, apalagi penjelasan umum a
ngka 2 alinea keenam Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Ag
ama memberi hak opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan hukum
waris mana yang akan dipergunakan dalam
menyelesaikan pembagian waris, telah dinyatakan dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2
006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Pen
ghapusan tersebut berarti telah membuka pintu bagi orang Islam untuk melaksana
kan hukum waris Islam dengan kaffah yang pada ahkirnya ketulusan hati untuk m
entaati hukum waris secara Islam adalah pilihan yang terbaik

13 18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata ashabah merupakan jamak dari ‫ بصاع‬yang berarti kerabat seseorang
dari pihak bapaknya dalam memberikan defenisi ashabah atau ta'shib pada haki
katnya, para ulama faraid mempunyai kesamaan persepsi dan asal-usul antara l
ain sebagai mana dikemukakn Rifa'l Arif. Dalam pengertian lain ashabah adala
h bagian sisa setelah diberikan kepada ahli waris ashbul alfurud. Sebagai ahli w
aris penerima bagian sisa, ahli waris ashabah terkadang menerima bagian bany
ak (seluruh harta warisan). terkadang menerima bagian sedikit, tetapi terkadang
tidak menerima bagian sama sekali, karena telah habis diberikan kepada ahli w
aris ashabul al-furud. Macam-macam Ashabah.
1. Ashabah bi nafsi
Yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima bag
ian ashabalı, ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu tiqah (ora
ng perempuan yang memerdekakan hamba sahaya)
2. Ashabah bi al-ghair
Yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama dengan ahli
waris yang telah menerima bagian sisa apabila ahli waris penerima sisa tidak a
da maka ia tetap menerima bagian tertentu.
3. Ashabah ma'al-ghair
yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa karena bersama-sama
dengan ahli waris lain yang tidak meneriman bagian sisa.
Berdasarkan makalah ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1. Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (pening
galan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa
uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat Islam untuk diwariskan kepa
da ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan ol
eh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal ya
ng ada pada bagiannya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebe

12 21
ndaan. Hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda
yang bersangkutan dengan hak orang lain.

2. Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan se


adil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli wari
s dan menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang
masih hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-Quran dan al-Hadits, nam
un ada beberapa ketentuan yang di sepakati menggunakan Ijma’ dengan seadil-adi
lnya.

B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Waris merupakan hal penting di dalam hukum Islam karena sering menimbulka
n perselisihan, sebagai umat yang beragama Islam untuk mecegah perpecahan
dalam tali persaudaraan, sebaiknya gunakanlah pembagian waris sesuai dengan
hukum Islam.

13 20
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mulyana. "Memahami Prinsip-Prinsip Pembagian Harta Peninggalan D


alam Perspektif Dakwah Islam." Ahsan: Jurnal Dakwah dan Komunikasi
1.1 (2022): 67-81.
Agung, Burhanusyihab. PEMBAGIAN WARIS PARON PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM STUDI KASUS DESA KABUNDERAN KECAMATAN KARA
NGANYAR KABUPATEN PURBALINGGA. Diss. UIN Saifuddin Zuhri
Purwokerto, 2021.
Arifin, Fandi Dian. Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Kewarisan Anak Bung
su Di Desa Brumbung, Kecamatan Kepung, Kabupaten Kediri. Diss. IAI
N Kediri, 2020.
Arofik, Slamet. "Ahli Waris ‘Ashabah Perspektif Hukum Keluarga Islam." JAS M
ERAH: Jurnal Hukum Dan Ahwal Al-Syakhsiyyah 1.1 (2021): 33-45.
Ash Shabuni, Ali. 2010. Ilmu HUKUM WARIS memurut ajaran islam. Surabaya :
Mutiara Ilmu
Aslah, Arofi Pratama Putra. "Kajian Yuridis Timbulnya Hak Mewaris Menurut Hu
kum Islam." Lex Administratum 5.2 (2017).
DESTIANI, ZELFA DELVIA. "MAKALAH ILMU FARAID “ASHABUL FURU
DH’’."
Faturrahman.. Ilmu mawaris PT-Al-Ma'arif, bandung, 1987
Hadjarati, Abdul Karim, Adi Sujanto, and Papang Sapari. "Asas Keadilan Berimba
ng Dalam Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Menurut Hukum Wari
s Islam." (2022): 541-557.
Honggowibowo, Anton Setiawan, Yuliani Indrianingsih, and Anis Syaul Umami.
"Sistem Pakar Dengan Metode Forward Chaining Untuk Menentukan Pe
mbagian Warisan Menurut Hukum Islam Menggunakan Algoritma Best F
irst Search." Compiler 6.1 (2017).
Ikbal, Muhammad. "Hijab Dalam Kewarisan." At-Tafkir 11.1 (2018): 132-153.
Khasanah, Rahmatul, Besse Elfi Yuwinda, and M. Syarifudin. "Pemahaman Masy
arakat Dusun Sawit Terhadap Hukum Waris Islam." Jurnal Indragiri Penel
itian Multidisiplin 3.1 (2023): 51-56.
Lubis K. Suhrawardi. 2007. HUKUM WARIS ISLAM. Jakarta Raja Grafindo Per
sada Khalifah, Thaha Abul Ela. 2007. HUKUM WARIS. Solo: Tiga Seran
gkai

12 21
Piliang, Muhammad Alfis. "PENDAPAT IMAM SYAFI’I TENTANG PEMBUNU
HAN KARENA HAK SEBAGAI PENGHALANG KEWARISAN." JUR
NAL AS-SAID 1.1 (2021): 26-36.
Rahman, Ahmad Haikal. "Dinamika Putusan Pengadilan dalam Penyelesaian Seng
keta Kewarisan." AHKAM 2.1 (2023): 148-163.
Rofiq, Ahmad. 1993. FIQIH MAWARIS. Jakarta: Raja Grafindo Persada Utsaimin,
Shahil. 2009. Panduan Praktis HUKUM WARIS. Bogor: Pustaka Ibnu K
atsir
Sayid Sabiq.. Figh Sunnah, terjemahan Mahyudin Syaf, jil. 14. Penerbit Al-Maarif
Bandung, 1993
Septriani, Leli. PRAKTIK PEMBAGIAN HARTA WARIS PADA MASYARAKA
T DI DESA GUNUNG RAJA KABUPATEN MUARA ENIM DITINJAU
DARI HUKUM ISLAM. Diss. UIN Raden Fatah Palembang, 2016.
Sriani, Endang. "Fiqih Mawaris Kontemporer: Pembagian Waris Berkeadilan Gen
der." TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law 1.2 (2018): 133-147.
Tampubolon, Liosten RR, Slamet Riyadi, and Wahyu Widayati. "PEMBERDAYA
AN EKONOMI LOKAL INDUSTRI BATIK TULIS GENTONGAN AR
OMATHERAPY AL-WARITS DI TANJUNG BUMI, KABUPATEN BA
NGKALAN." (2021).
Umam, Dian Khairun. 2006. FIQIH MAWARIS. Bandung: Pustaka Setia
Wahyudin, Asep, and Selvi Latifatul Khoerul Umam. "Analisis Istihsan bil Urfi te
ntang Pembagian Waris Secara Tradisi di Desa Panaragan Kecamatan Cik
oneng Kabupaten Ciamis." Al-Hanan: Jurnal Ilmiah Hukum Ekonomi Sya
riah 1.1 (2022): 68-83.
Yunus, Saifullah M., and M. A. Lc. Fiqh Mawarits: Antara Teori dan Praktek. LSA
MA, 2022.
ZUHRI, KH SAIFUDDIN. "PEMBAGIAN WARIS PARON PERSPEKTIF HUK
UM ISLAM (Studi kasus Desa Kabunderan Kec. Karanganyar Kab. Purb
alingga)."

13 22

Anda mungkin juga menyukai