Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

( ILMU WARIS )

DOSEN PENGAMPU:

Abdul Alimun Utama,S.Pd.M.Pd.

DISUSUN OLEH:

Anggota:

DINA ARIANA ( 291012009)

KARTINA ( 231012016)

PROGRAM STUDI

TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS TEKNOLOGI SUMBAWA

Tahun 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur atas kehadirat Allah swt karena berkat limpahan rahmat-Nyalah
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tanpa ridha dan kasih sayang serta petunjuk dari-Nya mustahil
makalah ini dapat dirampungkan. Tak lupa pula kami haturkan shalawat beriring salam kepada nabi
besar kita Nabi Muhammad saw yang telh membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh
dengan ilmu dan terang benderang ini.

Makalah ini disusun agar mempermudah proses pembelajaran Pendidikan agama Islam. Dengan
adanya makalah ini semoga bisa digunakan sebagai sarana untuk menimba ilmu dan belajar bersama.

Akhirnya, sesuai dengan kata pepatah “tiada gading yang tak retak”. Demikian juga dengan
makalah ini masih banyak kekurangan disana-sini. Kami mengharapkan saran dan kritik, khususnya dari
teman-teman sangat kami harapkan. Kebenaran dan kesempurnaan hanya Allahlah yang punya.

Bersama makalah ini kelak Anda akan menjadi generasi yang cerdas dan berakhlak mulia. Selamat
belajar, semoga Anda menjadi umat terbaik di mata sesama manusia, juga di mata Allah swt.
DAPTAR ISI

JUDUL MAKALAH…………………………………………………………………………………………………………………………… i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………………………………………………………. ii

DAPTAR ISI …………………………………………………………………………………………………………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………………………………………… 1

A. latar belakang………………………………………………………………………………………………………………………… 1

B. Permasalahan………………………………………………………………………………………………………………………… 1

C. Tujuan penulisan……………………………………………………………………………………………………………………… 1

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………………………………………… 2

A. Pengertian ilmu waris……………………………………………………………………………………………………………. 2

B. Hukum mempelajari dan mengajarkannya……………………………………………………………………………… 2

C. Rukun dan sebab pembagian waris………………………………………………………………………………………… 2

D. Halangan untuk menerima waris…………………………………………………………………………………………….. 2

E. Hak-Hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagikan Kepada Ahli Waris…………………….. 2

F. Golongan Ahli Waris……………………………………………………………………………………………………………….. 2

BAB III PENUTUP ………………………………………………………………………………………………………..……………… 3

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………………….. 3

B. Kritik dan Saran…………………………………………………….………………………………………………………………… 3


BAB I

PENDAHULUAN

A Latar belakang

Rasulullah SAW. memerintahkan belajar dan mengajarkan ilmu waris, agar tidak terjadi perselisihan-
perselisihan dalam membagikan harta pusaka, sebagaimana sabda beliau:

“pelajari Al-Qur’an dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajari ilmu faraidh serta ajarkan kepada
orang-orang. Karena saya adalah orang yang bakal direnggut (mati), sedang ilmu itu bakal diangkat.
Hampir-hampir saja dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak
menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (HR. Ahmad, An-Nasai dan
Al-Daruqutniy)

Berdasarkan sabda diatas bahwa belajar dan mengajarkan ilmu waris adalah wajib, tetapi
kategorinya wajib kifayah, yakni bila ada sebagian yang telah melaksanakannya, maka gugurlah
kewajiban yang lainnya.

Ilmu faraidh sangatlah penting untuk kita pelajari, karena pentingnya ilmu faraidh, para ulama salaf
dan khalaf sangat memperhatikan ilmu ini, sehingga mereka menghabiskan waktu untuk menelaah,
mengerjakan, menuliskan kaidah-kaidah ilmu faraidh, dan mengarang beberapa buku tentang faraidh.
Karena sangat penting untuk dipelajari sehingga orang yang mempelajarinya mempunyai kedudukan
tinggi dan mendapatkan pahala yang besar. Ini karena ilmu faraidh merupakan bagian ilmu-ilmu Qur’ani.

B. Permasalahan

1. Apa yang dimaksud dengan ilmu waris?

2. Bagaimana hukum mempelajari dan mengajarkannya?

3. Apa saja rukun dan sebab pembagian waris?

4. Apa saja halangan untuk menerima waris?

5. Apa saja hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan kepada ahli waris?

6. Siapa saja golongan ahli waris?


C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan Ilmu Waris

2. Mengetahui hukum mempelajari dan mengajarkannya

3. Mengetahui apa saja rukun dan sebab pembagian waris

4. Mengetahui apa saja halangan untuk menerima waris

5. Mengetahui apa saja hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum warisan dibagikan
kepada ahli waris

6. Mengetahui siapa saja golongan ahli waris.


BAB II

PEMBAHASAN

ILMU WARIS

A. Pengertian Ilmu Waris

Waris adalah bentuk isim fa’il dari waritsa, yaritsu, irtsan, fahuwa waritsun yang bermakna orang
yang menerima waris. Kata-kata itu berasal dari kata waritsa yang bermakna perpindahan harta milik.
Sehingga secara istilah ilmu waris adalah ilmu yang mempelajari tentang proses perpindahan harta
pusaka peninggalan mayit kepada ahli warisnya.[1]

Warits adalah orang yang mewarisi. Muwarrits adalah orang yang memberikan waris (mayit). Al-Irts
adalah harta warisan yang siap dibagi. Warasah adalah semua harta peninggalan orang yang meninggal.

Ilmu waris juga sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Kata faraidh adalah bentuk jamak dari fardh yaitu
bagian yang ditentukan. Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang
telah ditentukan kepada ahli waris.

B. Hukum Mempelajari dan Mengajarkannya

Nabi Muhammad SAW berkata:

“Pelajarilah Al-Faraidh dan ajarkanlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya ilmu Faraidh itu separoh
ilmu, dan iapun akan dilupakan, serta iapun ilmu yang pertama kali akan dicabut di dalam organisasi
kalangan ummatku.” (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruqutniy)

Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh sampai
dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai separoh ilmu.[2] Disamping itu oleh beliau diingatkan,
ilmu inilah yang pertama kali akan dicabut. Artinya, pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak
orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama
akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya. Lebih-lebih orang akan membagi harta warisan
berdasarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan, dan tidak berdasarkan hukum Allah SWT.
C. Rukun dan Sebab Pembagian Waris

Ada beberapa rukun yang harus dipenuhi dalam pembagian waris. Rukun pembagian waris ada tiga:

1. Muwarrits, yaitu orang yang mewariskan hartanya atau mayit yang meninggalkan hartanya.
Syaratnya adalah muwarrits benar-benar telah meninggal dunia.

Orang disebut “meninggal dunia” apabila nyawanya telah meninggalkan tubuh. Dalam ajaran Islam,
meninggal dunia adalah masa istirahat untuk menjelang hidup yang abadi di akhirat nanti. Suatu masa
hidup yang tidak berkesudahan.[3]

2. Al-Warits atau ahli waris, yaitu orang-orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan
baik karena hubungan darah atau sebab perkawinan.

3. Al-Mauruts yaitu harta peninggalan si mayit setelah dikurangi biaya perawatan jenazah dan
pelunasan hutang.

Adapun kriteria seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu:

1. Hubungan Kekerabatan (al-Qarabah)

Kekerabatan menjadi sebab mewarisi adalah hubungan yang dekat dengan muwarrits, seperti anak,
cucu, bapak, ibu dan lain sebagainya. Atau kerabat jauh seperti paman, saudara sekandung, saudara
seayah dan saudara seibu. Hubungan kerabat yang paling dekat dialah yang paling banyak mendapatkan
harta muwarits. Hubungan kekerabatan ini tidak dibatasi untuk pihak laki-laki saja, tetapi juga pihak
wanita sama-sama mendapatkan harta warisan.

Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab antara yang mewariskan dengan yang mewarisi, kerabat-
kerabat itu dapat digolongkan kepada 3 golongan, yakni:

a. Furu’ yaitu anak turunan si mayit.

b. Ushul yaitu leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mayit.

c. Hawasyi yaitu keluarga yang dihubungkan dengan si mayit melalui garis menyamping seperti saudara
sekandung, seayah atau seibu.

Sedangkan ditinjau dari segi penerimaan bagian waris, mereka terbagi 4 golongan:

a. Golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu. Golongan ini disebut dengan ashabu l-furudh
nasabiyah yang jumlahnya 10 orang; ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan, cucu perempuan dari
anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu
dan saudara laki-laki seibu.
b. Golongan kerabat yang tidak mendapat bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ashabu l-
furudh atau mendapatkan seluruh peninggalan bila ternyata tidak ada ashaba l-furudh seorang pun.
Golongan ini disebut dengan ashabah nasabiyah. Mereka itu adalah anak laki-laki, cucu laki-laki terus ke
bawah, ayah, kakek terus ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah dan paman.

c. Golangan kerabat yang mendapat dua macam bagian, yaitu fardh dan ushbah bersama-sama, yaitu
ayah, jika ia mewarisi bersama anak perempuan dan kakek sama seperti posisi ayah.

d. Golongan kerabat yang tidak terasuk ashabu l-furudh dan ashabah. Mereka ini disebut dengan dzawi
l-arham. Mereka itu adalah cucu dari anak perempuan terus ke bawah, ayah dari ibu terus ke atas. Ibu
dari ayahnya ibu.

2. Hubungan Perkawinan (al-Musaharah)

Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan
istri. Hak saling mewarisi itu selama hubungan perkawinan itu masih tetap berlangsung. Jika merek
atelah bercerai, maka tidak ada lagi hak saling mewarisi. Tetapi jika istri tersebut dalam keadaan ditalak
raj’i (yang masih memungkinkan untuk rujuk) selama masa iddah, suaminya meninggal dunia, maka istri
tersebut berhak mendapatkan waris dari suaminya.

Ada beberapa faktor hubungan perkawinan menyebabkan hak waris mewarisi, sebagai berikut:

a. Setiap pihak suami-istri menjadi penolong yang setia dalam mengemudikan bahtera hidup, memupuk
pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.

b. Dalam beberapa hal sering terjadi bahwa seorang suami meninggal dunia, meninggalkan istri dalam
keadaan melarat tidak ada yang menafkahi, pemberian waris kepada istri ini besar artinya sampai ada
orang lain yang menafkahinya.

c. Sebaliknya seorang istri meninggal dunia, meninggalkan suami, pemberian waris kepada suami
sebagai bukti cinta dan kasih sayangnya istri yang telah mengorbankan hidup dan matinya untuk
kepentingan suaminya.

3. Hubungan Karena Sebab al-Wala’

Al-Wala’ berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak atau memerdekakannya.[4]
Dalam konteks ini, wala yang dimaksud adalah wala’ al-ataqah, yakni yang disebabkan adanya
pembebasan budak, dan bukan dimaksudkan dengan wala’ al-mawlah dan muhalafah membebaskan
budak karena kepemimpinan dan adanya ikatan sumpah, karena keduanya mempunyai muatan yang
berbeda-beda dalam sebab-sebab pewarisan.

Adapun yang dimaksud dengan wala al-ataqah adalah ushubah. Penyebabnya adalah kenikmatan
pemilik budak yang dihadiahkan kepada budaknya dengan membebaskan budak melalui pencabutan
hak mewakilkan dan hak mengurusi harta bendanya, baik secara sempurna maupun tidak. Tujuannya
adalah tathawwu melaksanakan anjuran syariat atau kewajiban,
sekalipun dengan imbalan. Dalam hal ini bentuk pembebasan mengakibatkan pada penetapan hak wala.

Adapun yang dapat mewarisi dengan sebab wala’ adalah pemilik budak laki-laki dan perempuan yang
telah melangsungkan pembebasan budak. Lalu, keduanya menjadi ‘ashabah, yaitu ashabah bin nafs .
sebab, wala’ dapat mewarisi dan bukan diwarisi. Tanpa budak yang dibebaskan, niscaya wala’ tidak
dapat mewarisi dari pembebasan budak atau tuannya. Dengan demikian, wala’ dapat mewarisi hanya
dari satu sisi saja, yakni sisi orang yang memerdekakan budak.

D. Halangan Untuk Menerima Waris

Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari
mendapatkan harta peninggalan muwarrits. Adapun halangan tersebut adalah:

1. Pembunuhan

Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang lain secara langsung atau tidak.
Para ulama fiqih telah bersepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu penghalang dalam hukum
waris. Karena tujuan dari pembunuhan tersebut agar ia segera memiliki harta muwarrits.

Dalam hal ini, Rasulullah SAW. bersabda:

“Tidak ada hak bagi pembunuh sedikit pun untuk mewarisi ” (HR. Al-Nasai)

2. Beda Agama

Para ahli fiqh telah bersepakat bahwasannya, berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan
orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi.
Berlainan agama terjadi anatara satu agama dengan syariat yang berbeda.

Agama ahli waris yang berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris.
Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi
harta orang kafir.[6] Sebagaimana sabda Nabi SAW.

“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat
mewarisi harta orang Islam.” (HR. Bukhari-Muslim)

3. Perbudakan

Perbudakaan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinaju dari dua sisi. Oleh karena itu,
budak tidak dapat mewarisi harta peningggalan dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta
untuk ahli warisnya. Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya yang
memiliki warisan tersebut adalah tuannya, sedangkan budak tersebut merupakan orang asing (bukan
anggota keluarga tuannya).
E. Hak-Hak yang Wajib Ditunaikan Sebelum Warisan Dibagikan Kepada Ahli Waris

Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, sebagai berikut:

1. Biaya Perawatan Jenazah

Biaya perawatan yang diperlukan oleh orang-orang yang meninggal seperti biaya-biaya untuk
memandikan, mengkafani, menghusung dan menguburkannya, semuanya itu ditanggung dari harta
muwarrits secara tidak berlebih-lebihan atau terlalu dibatasi. Sebab jika berlebih-lebihan akan
mengurangi hak ahli waris dan jika terlalu dibatasi akan mengurangi hak si mayit.

2. Pelunasan Hutang

Hutang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi. Hutang dapat diklarfikasi kepada dua macam,
pertama, dainullah (hutang kepada Allah) seperti puasa dan zakat. Kedua, dainu l-‘ibad (hutang kepada
manusia) semua hutang ini harus dibayarkan terlebih dahulu sebelum harta warsian dibagikan,
sebagaimana firman Allah SWT.”

“Setelah diambil untuk wasiat yang diwasiatkan dan atau sesudah dibayar hutang-hutangnya… ” (Q.S.
An-Nisa [04]: 11)

3. Pelaksanaan Wasiat

Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlaku
apabila yang menyerahkan itu meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan yang semasa hidupnya
berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain. Wajib dilaksanakan
sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya. Orang yang berhak menerima wasiat adalah
bukan ahli waris. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.:

“Tidak ada hak menerima wasiat bagi ahli waris yang menerima warisan kecuali apabila ahli waris lain
membolehkannya.” (HR. Daruqutniy)

Ahli waris berhak menerima wasiat, tetapi harus ada izin dengan ahli waris lain, karena akan
mengurangu hak-hak mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah tidak boleh sama
sekali berwasiat kepada ahli waris, sekalipun ahli waris lainnya mengizinkan.

F. Golongan Ahli Waris

Ahli waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Dzu Fardlin

Dzu fardlin artinya yang mempunyai bagian tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada
enam:
1) ½ (setengah), adalah bagian untuk:

- Anak perempuan apabila hanya seorang diri, tidak mempunyai saudara.

- Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan), apabila hanya seorang diri.

- Saudara perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja jika sendirian.

- Suami, jika tidak ada anak.

2) ¼ (seperempat), adalah bagian untuk:

- Suami, jika ada anak.

- Istri, baik hanya satu orang atau berbilang, jika tidak ada anak.

3) 1/8 (seperdelapan), adalah bagian untuk:

- Istri, apabila ada anak atau anak dari anak laki-laki (cucu).

4) 1/3 (sepertiga), adalah bagian untuk:

- Ibu. Apabila orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga.

- Dua saudara laki-laki atau perempuan seibu.

5) 2/3 (dua pertiga), adalah bagian untuk:

- Dua orang anak perempuan (atau lebih), jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki.

- Dua cucu perempuan atau lebih.

- Dua saudara perempuan yang seibu sebapak atau lebih.

- Dua saudara perempuan yang sebapak atau lebi

6) 1/6 (seperenam), adalah bagian untuk:

- Ibu jika ada anak atau cucu.

- Ayah jika ada anak atau cucu laki-laki.

- Nenek jika tidak ada ibu.

- Cucu perempuan dari anak laki-laki, jika ada satu anak perempuan.

- Saudara perempuan seayah jika ada satu saudara perempuan sekandung.

- Seorang saudara perempuan atau laki-laki seibu jika sendirian.


- Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak laki-laki, sedangkan bapak
tidak ada.

Ahli waris yang mendapat bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut, dinamakan ahli waris
dzu fardlin.

2. ‘Ashabah

‘Ashabah ialah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah
satu enam macam pembagian tersebut diatas.

Ahli waris ‘ashabah menerima pusaka salah satu diantara dua, yaitu menerima seluruh pusaka atau
menerima sisa pusaka. Jika ahli waris dzu fardlin tidak ada, ia menerima seluruh pusaka, tetapi kalau ada
dzu fardlin ia menerima sisa pusaka setelah ahli waris dzu fardlin mengambil bagiannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ilmu waris juga sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang
membahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan kepada ahli waris. Hukum mempelajari ilmu
faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad
SAW. sebagai separoh ilmu.

Rukun pembagian waris ada tiga: Muwarrits, Al-Warits dan Al-Mauruts. Adapun kriteria seseorang
menerima waris ada tiga hal, yaitu: Hubungan kekerabatan (al-Qarabah), hubungan perkawinan (al-
Musaharah), hubungan karena sebab al-Wala’.

Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari
mendapatkan harta peninggalan muwarrits. Adapun halangan tersebut adalah: pembunuhan, beda
agama, dan perbudakan.

Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, sebagai
berikut: biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat.

Golongan Ahli Waris terbagi menjadi dua golongan, yaitu:

1. Dzu Fardlin

Dzu fardlin artinya yang mempunyai bagian tertentu. Pembagian tertentu menurut Al-Qur’an ada
enam: ½ (setengah), ¼ (seperempat), 1/8 (seperdelapan), 1/3 (sepertiga), 2/3 (dua pertiga), dan 1/6
(seperenam).

2. ‘Ashabah

‘Ashabah ialah orang yang berhak mendapat pusaka dan pembagiannya tidak ditetapkan dalam salah
satu enam macam pembagian tersebut diatas.

B. Kritik dan Saran

Alhamdulillah kami panjatkan sebagai implementasi rasa syukur kami atas selesainya makalah Materi
Fiqh MI ini. Namun dengan selesainya bukan berarti telah sempurna, karena kami sebagai manusia,
sadar bahwa dalam diri kami tersimpan berbagai sifat kekurangan dan ketidak sempurnaan yang
tentunya sangat mempengaruhi terhadap kinerja kami.

Oleh karena itu, saran serta kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami perlukan guna
penyempurnaan dalam tugas berikutnya dan dijadikan suatu pertimbangan dalam setiap langkah
sehingga kami terus termotivasi ke arah yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai