Anda di halaman 1dari 96

MAKALAH

ILMU KALAM

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


“ ILMU KALAM”
Dosen Pengampu : Liza Wahyuninto, M.H

Disusun oleh :
Alwi Ramadhani

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU TARBIYAH


PROGRAM STUDY PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKRIFATUL ILMI
BENGKULU SELATAN
1445/2023
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim
Alhamdulillahi Robbil’Alamin, atas nikmat yang senantiasa Allah beri kepada
kita. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Junjungan Nabi
Muhammad Saw. Insan yang setiap muslim dibelahan bumi manapun berharap akan
syafaatnya kelak di hari kiamat. Ucapan terima kasih kepada pak dosen dan teman-
teman yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Kali ini kami menyampaikan materi kuliah Ilmu Kalam dengan tema “ Ilmu
Kalam”. Sebagaimana kita ketahui bersama Ilmu Kalam adalah boleh dibilang
pokoknya ilmu bagi orang Islam. Bagi seseorang yang mengaku beragama Islam tapi
tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu Kalam adalah ibarat orang yang membeli
produk tapi tak tahu tentang produk knowledge-nya.
Ilmu Kalam adalah pengetahuan tentang Ke-Tuhanan atau dalam dunia barat
sering disebut Ilmu Teologi. Kenapa dibilang pokoknya Ilmu Islam, karena sebelum
kita jauh-jauh mempelajari Islam kita wajib mengetahui dulu tentang Allah, karena
Allah-lah sumber dari Islam. Dengan mempelajari Ilmu Kalam diharapkan seorang
mahasiswa muslim tidak akan tersesat dalam luasnya samudra ilmu keIslaman.
Demikianlah semoga apa yang kami sajikan ini mendapat ridho dari Allah dan
dapat menambah wawasan kita semua. Membawa manfaat bagi penyusun maupun
rekan-rekan sekAlian.
Amin Yaa Robbal ‘Alamin.
Manna, 10 Oktober 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………….. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………. iii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................... 4
BAB II. PEMBAHASAN……………............................................ 6
A. PENGERTIAN, DASAR-DASAR, DAN SEJARAH
ILMU KALAM…………………………………………… 6
1. PENGERTIAN ILMU KALAM................................ 6
2. DASAR-DASAR DAN RUANG LINGKUP
ILMU KALAM………………….............................. 7
3. SEJARAH ILMU KALAM........………………… 8
B. SEBAB-SEBAB MUNCULNYA ILMU KALAM………. 9
C. PERMASALAHAN ILMU KALAM DALAM ISLAM…. 12
1. MASALAH PELAKU DOSA BESAR…………… 12
2. MASALAH PERBUATAN MANUSIA DAN
KAITANNYA PADA TUHAN…………………... 13
BAB III. PENUTUP.......................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................ 15

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ilmu kalam merupakan objek kajian berupa ilmu pengetahuan dalam agama
Islam yang dikaji dengan menggunakan dasar berfikir berupa logika dan dasar
kepercayaan-kepercayaaan pribadi atau suatu golongan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan akan eksistensi atau keberadaan Tuhan, bagaimana Tuhan, seperti apa
wujudnya dan pertanyaan-pertanyaan sejenis lainnya yang berhubungan dengan
Tuhan.
Pembahasan di atas terlihat merupakan dasar-dasar dari pembahasan ilmu
kalam itu sendiri dan bagaimana peranannya atau korelasinya dengan kurikulum
pendidikan agama Islam. Dengan begitu diharapkan kita mampu meenguasai dasar
pembahasan tentang ilmu kalam dan korelasinya dengan kurikulum pendidikan Islam.
Adapun tujuan utama dari ilmu kalam adalah untuk menjelaskan landasan
keimanan umat Islam dalam tatanan yang filosofis dan logis. Bagi orang yang beriman,
bukti mengenai eksistensi dan segala hal yang menyangkut dengan Tuhan yang ada
dalam al-Qur’an, Hadits, ucapan sahabat yang mendengar langsung perkataan Nabi dan
lain sebagainya, sudah cukup. Namun tatkala masalah ini dihadapkan pada dunia yang
lebih luas dan terbuka, maka dalil-dalil naqli tersebut tidak begitu berperan. Sebab,
tidak semua orang meyakini kebenaran al-Qur’an dan beriman kepadanya. Karenanya
diperlukan lagi interpretasi akal terhadap dalil yang sudah ada dalam al-Qur'an tersebut
untuk menjelaskannya. Awalnya perbincangan mengenai teologi ini hanyalah debat
biasa sebagai diskusi untuk mempertajam pemahaman keIslaman, namun lama-
kelamaan ia membentuk sebuah kelompok pro-kontra yang berjuang pada kebencian,
permusuhan dan bahkan peperangan.
Penyusun berharap dengan ditulisnya materi Ilmu Kalam ini dapat memberikan
efek positif kepada kita yang tengah menjalani mata kuliah Ilmu Kalam ini. Dengan
pembahasan yang sederhana ini mudah-mudahan dapat membantu kita untuk
memberikan suatu motivasi dan pemahaman untuk kita dalam menjalani hidup dan
kehidupan beragama kita sekarang hingga akhir nanti.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Ilmu Kalam?
2. Apa saja dasar-dasar dan ruang lingkup Ilmu Kalam?
3. Bagaimana sejarah Ilmu Kalam?
4. Apa saja sebab-sebab munculnya ilmu Kalam?
5. Apa saja permasalahan dalam Ilmu Kalam dalam Islam?

C. Tujuan
1. Ketahui tentang pengertian dari ilmu kalam.
2. Mengetahui syarat dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu kalam.
3. Mengetahui sejarah tentang ilmu kalam.
4. Mengetahui sebab-sebab munculnya ilmu kalam.
5. Mengetahui tentang permasalahan dalam ilmu kalam dalam Islam.

v
6

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN, DASAR-DASAR DAN SEJARAH ILMU KALAM
1. Pengertian Ilmu Kalam
Ilmu kalam biasa disebut dengan beberapa nama, antara lain:ilmu ushuluddin,
ilmu tauhid, fiqh Al-Akbar, dan teologi Islam. Disebut ilmu ushuluddin karena karena
ilmu ini membahas pokok-pokok agama. Disebut ilmu tauhid karena ilmu ini
membahas ke-Esaan Allah SWT.
Teologi Islam merupakan istilah lain dari ilmu kalam, yang diambil dari Bahasa
Inggris, theology. William L. Reese mendefisinikannya dengan discourse or reason
concerning God(diskursus atau pemikiran tentang Tuhan).
Sementara itu Musthafa Abdul Raziq berkomentar, “ilmu ini (ilmu kalam) yang
berkaitan dengan akidah imani ini sesungguhnya dibangun di atas argumentasi-
argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islami ini bertolak atas
bantuan nalar ”. sementara itu Al-Farabi mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut :
“ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan sifat Allah beserta
eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai
masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah
memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis”
Ibnu Khaldun mendefinisikan ilmu kalam sebagai berikut:
“ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai aargumentasi tentang
akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional”.
Adapun ilmu ini dinamakan ilmu Kalam, disebabkan :
a) Persoalan yang terpenting yang menjadi pembicaraan pada abad-abad
permulaan hijriah ialah apakah Kalam Allah (Al-qur’an) itu qadim atau hadits.
b) Dasar ilmu Kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil fikiran ini tampak
jelas dalam pembicaraan para mutakallimin. Mereka jarang
7

mempergunakan dalil naqli (Al-Qur’an dan hadits), kecuali sesudah menetapkan


benarnya pokok persoalan terlebih dahulu berdasarkan dalil-dalil fikiran.
c) Dinamakan Ilmu Kalam karena pembicaraan tentang Tuhan dibahas dengan
logika. Maksudnya menggunakan dalil-dalil aqliyah ; dari permasalahan
masalah sifat-sifat kalam bagi Allah.
2. Dasar-dasar dan ruang lingkup ilmu kalam
a. Al-quran
Sebagai dasar dan sumber ilmu kalam, Al-quran banyak menyinggung hal yang
berkaitan dengan masalah ketuhanan, diantaranya adalah:
Artinya:
“Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakan (3) dan tidak ada sesuatu yang sama
denganDia (4)”
b. Hadis
Hadis Nabi SAW pun banyak membicarakan masalah-masalah yang dibahas
ilmu kalam yang dipahami sebagian ulama sebagai prediksi Nabi mengenai
kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya adalah:
“hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “orang-orang Yahudi akan terpecah belah menjadi tujuh puluh
dua golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh golongan.”
c. Pemikiran manusia
Pemikiran manusia dalam hal ini, baik berupa pemikiran umat Islam sendiri
atau pemikiran yang berasal dari luar umat Islam. Sebelum filsafat Yunani masuk dan
berkembang di dunia Islam, umat Islam sendiri telah menggunakan pemikiran
rasionalnya untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan ayat-ayat Al-quran,
terutama yang belum jelas maksudnya (al-mutasyabihat)1.

1
Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia,2009, h. 13-21.
8

Seperti halnya filosof muslim yaitu Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Al-
Razi atau yang di kenal dengan Al-Razi yang mendukung penggunaan akal dalam
memahami kalam Ilahi, ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui
yang baik serta apa yang buruk, untuk tahu kepada Tuhan, dan untuk mengatur hidup
manusia di dunia2.
d. Insting
Secara instingtif, manusia selalu ingin bertuhan, oleh karena itu kepercayaaan
adanya Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. William L. Reese
mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan ini yang dikenal dengan
istilah theologia, telah berkembang sejak lama dan muncul dari mitos. Selanjutnya
teologi itu berkembang menjadi teologi alam dan teologi wahyu3.
Sebelum membahas mengenai ruang lingkup ilmu kalam kita harus mengetahui
ajaran dasar agama yang tidak boleh diperselisihkan seperti:
1. Allah maha Esa
2. Muhammad adalah Rasul
3. Al-Quran adalah wahyu
4. Hari akhirat itu pasti
5. Surga dan neraka itu ada.
Selanjutnya yang menjadi tema besar ajaran ilmu kalam (ruang lingkup), seperti:
1. Allah mempunyai sifat di luar dzat atau tidak
2. Diutusnya Rasul wajib atau tidak
3. Al-quran Qadim atau baharu
4. Surga dan neraka itu jasmani atau rohani
5. Melihat Tuhan di akhirat, dengan jasmani atau rohani
6. Dan lain-lain4.

2
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, h. 18
3
op. cit. h. 26-27
4
M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, h. 8-9.
9

3. Sejarah Timbulnya Ilmu alam


Menurut Harun Nasution, kemunculan persoalan kalam dipicu oleh persoalan
politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan Utsman bin affan yang berbuntut pada
penolakan Muawwiyah atas kekhalifahan Ali bin abi Thalib. Ketegangan tersebut
mengkristal menjadi perang Siffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase).
Sikap Ali menerima tipu muslihat Amr bin Al ash, utusan dari pihak Muawwiyah
dalam tahkim. Kelompok yang awalnya berada dengan Ali menolak keputusan tahkim
tersebut mereka menganggap Ali telah berbuat salah atas keputusan tersebut sehingga
mereka meninggalkan barisannya, kelompok ini dikenal dengan nama khawarij, yaitu
orang yang keluar dan memisahkan diri.
Diluar pasukan yang membelot Ali, adapula yang sebagian besar tetap
mendukung Ali. Mereka inilah yang kemudian memunculkan kelompok Syiah.
Harun lebih jauh melihat bahwa persoalan kalam yang pertama muncul adalah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir5.
Sementara itu menurut Dr. M. Yunan yusuf masalah ilmu kalam ini timbul
berawal dari masalah politik yaitu ketika Utsman bin Affan wafat terbunuh dalam suatu
pemberontakan . sebagai gantinya Ali dicalonkan sebagai khalifah namun pencalonan
Ali ini banyak mendapat pertentangan dari para pemuka sahabat di Mekkah. Tantangan
kedua datang dari Muawwiyah, gubernur Damaskus salah seorang keluarga dekat
Utsman bin Affan. Ia pun tidak mau pengangkatan Ali sebagai khalifah. Muawwiyah
menuntut untuk menghukum para pembunuh Utsman bin Affan.

B. SEBAB-SEBAB MUNCULNYA ILMU KALAM


Pada zaman Abbasiyah, telah banyak berlaku pembahasan di dalam perkara-
perkara akidah termasuk perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Nabi s.a.w.
atau zaman para sahabatnya. Berlaku pembahasan tersebut dengan memberi

5
op.cit. h. 27-28.
10

penumpuan agar ia menjadi satu ilmu baru yang diberi nama Ilmu Kalam. Ilmu ini
muncul dan berkembang atas sebab-sebab dalaman dan eksternal.

Sebab-sebab internal
Berikut ini adalah sebab-sebab internal yang menjadi puncak munculnya ilmu
Kalam:
1) Al-Quran di dalam ajarannya kepada tauhid menceritakan aliran-aliran
penting dan agama-agama yang bertebaran pada zaman Nabi s.a.w., lalu al-
Quran menolak perkataan-perkataan mereka. Secara tabi'i, para ulama telah
mengikuti cara al-Quran di dalam menolak mereka yang bertentangan, di
mana apabila penentang memperbaharui cara, maka kaum muslimin juga
memperbaharui cara menolaknya.
2) Pada zaman pemerintahan Bani Umaiyah, hampir-hampir keseluruhan umat
Islam di dalam keimanan yang bersih dari semua pertikaian dan perdebatan.
Dan apabila kaum muslimin selesai melakukan penaklukan negeri dan
kedudukannya telah mantap, mereka beralih pembahasan sehingga
menyebabkan perselisihan pendapat di kalangan mereka.
3) Perselisihan di dalam masalah politik menjadi sebab di dalam perselisihan
mereka mengenai soal-soal keagamaan. Jadilah partai-partai politik tersebut
sebagai satu aliran keagamaan yang mempunyai pandangannya sendiri. Partai
(kelompok) Imam Ali r.a. membentuk golongan Syiah, dan manakala mereka
yang tidak setuju dengan Tahkim dari kalangan Syiah telah membentuk
kelompok Khawarij. Dan mereka yang membenci perselisihan yang berlaku
di kalangan umat Islam telah membentuk golongan Murji'ah.

Sebab-sebab ekternal
Berikut ini adalah sebab-sebab eksternal yang menjadi puncak munculnya ilmu
Kalam:
11

1) Banyaknya orang yang memeluk agama Islam setelah penaklukan beberapa


negeri adalah terdiri dari penganut agama lain seperti yahudi, Nasrani, Ateis
dan lain-lain. Kadangkala mereka menzahirkan pemikiran-pemikiran agama
lama mereka bersalutkan pakaian agama mereka yang baru (Islam).
2) Kelompok-kelompok Islam yang pertama, khususnya Muktazilah, perkara
utama yang mereka tekankan ialah mempertahankan Islam dan menolak hujah
mereka yang menentangnya. Negeri-negeri Islam terdoktrin dengan semua
pemikiran-pemikiran ini dan setiap kelompok berusaha untuk membenarkan
pendapatnya dan menyalahkan pendapat kelompok lain. Orang-orang Yahudi
dan Nasrani telah melengkapkan diri mereka dengan senjata ilmu Falsafah,
lalu Muktazilah telah mempelajarinya agar mereka dapat mempertahankan
Islam dengan senjata yang telah digunakan oleh pihak yang menyerang.
3) Ahli-ahli Kalam memerlukan falsafah dan mantiq (ilmu logik), hingga
memaksa mereka untuk mempelajarinya supaya dapat menolak kebatilan-
kebatilan (keraguan-keraguan) yang ada di dalam ilmu tersebut.
Kemunculan aliran-aliran Islam
Masalah khilafah (pemerintahan) adalah masalah yang menyebabkan telah
terjadi perselisihan yang kuat antara kaum muslimin. Kesan dari perselisihan ini ialah,
terbentuknya beberapa kelompok besar di dalam Islam, yaitu:
1) Syiah: Mereka ialah orang-orang yang berpendapat bahawa yang lebih berhak
terhadap pemerintahan selepas kewafatan Rasulullah s.a.w. ialah saiyidina Ali
r.a.
2) Khawarij: Yaitu mereka yang tidak menyetujui majlis Tahkim. Mereka keluar
dari kelompok saiyidina Ali.
3) Murji'ah: Yaitu mereka yang membenci perselisihan dan menjauhi dua
kelompok di atas.
Setelah kaum muslimin selesai membuka negeri-negeri, lalu ramai dari kalangan
penganut agama lain yang memeluk Islam. Mereka ini menzahirkan pemikiran-
pemikiran baru yang diambil dari agama lama mereka tetapi diberi rupa bentuk Islam.
12

Iraq, khususnya di Basrah merupakan tempat segala agama dan aliran. Maka terjadilah
perselisihan apabila ada satu golongan yang menafikan kemahuan (iradah) manusia.
Kelompok ini diketuai oleh Jahm bin Safwan. Dan antara pengikutnya ialah para
pengikut aliran Jabbariyah yang diketuai oleh Ma'bad al-Juhni. Aliran ini lahir
ditengah-tengah kekacauan pemikiran dan asas yang dibentuk oleh setiap kelompok
untuk diri mereka.
Kemudian bangkitlah sekelompok orang yang ikhlas memberi penjelasan
mengenai akidah-akidah kaum muslimin berdasarkan jalan yang ditempuh oleh al-
Quran. Antara yang masyhur di kalangan mereka ialah Hasan al-Basri.
Dan sebahagian dari kesan perselisihan antara Hasan al-Basri dengan muridnya Washil
bin Atho' ialah lahirnya satu kelompok baru yang dikenali dengan Muktazilah.
Perselisihan tersebut ialah mengenai hukum orang beriman yang mengerjakan dosa
besar, kemudian mati sebelum sempat bertaubat.
Pada akhir kurun ketiga dan awal kurun keempat, lahirlah imam Abu Mansur
al-Maturidi yang berusaha menolak golongan yang berakidah batil. Mereka
membentuk aliran al-Maturidiah. Kemudian muncul pula Abul Hasan al-Asy'ari yang
telah mengumumkan keluar dari kelompok Mu'tazilah dan menjelaskan asas-asas
pegangan barunya yang bersesuaian dengan para ulama dari kalangan fuqahak dan ahli
hadis. Dia dan pengikutnya dikenal sebagai aliran Asya'riah. Dan dari dua kelompok
ini, terbentuklah kelompok Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dan kesimpulannya, kita dapat melihat bahawa kemunculan kelompok-kelompok di
dalam Islam adalah kembali kepada dua perkara:
1) Perselisihan mengenai pemerintahan
2) Perselisihan di dalam masalah usul atau asas agama.

C. PERMASALAHAN ILMU KALAM DALAM ISLAM

1. Masalah Pelaku Dosa Besar


13

a) Mazhab Syi’ah

Dalam masalah politik yaitu terbunuhnya ke-tiga yaitu khalifah Utsman bin
affan oleh pemberontakkan dari Mesiar yang dipimpin oleh Abu Saudah bin Saba,
Utsman tewas dan melahirkan konsep permasalahan apakah tetap beriman atau telah
kafir, pelaku pembunuh Utsman itu dan pelaku dosa besar yang keluar dari barisan Ali
karena tidak puas dengan hasil administrasi maka mereka keluar dari barisan Ali.
Menurut mazhab Syi’ah pelaku dosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam dan
murtad maka ia wajib dibunuh.

b) Mazhab Murji’ah

Murji’ah artinya menunda tentang pelaku dosa besar dia di akhirat, pendirinya
Abdullah Ibnu Umar (anak Umar bin Khatab), mereka berpendapat bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir adapun dosa yang
dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuni.

c) Mazhab Mu’tazilah

Pendirinya adalah Wasil bin Atok pendapatnya orang yang berdosa besar bukan
kafir tetapi bukan pula mu’min orang semacam ini mengambil dua posisi diantara dua
posisi atau tidak masuk surga atau tidak masuk neraka

d) Mazhab Asy’-Ariyah

Mazhab ini pendirinya adalah Hasan Al-Asy Ari (260-324 H), dia menentang
pendapat mazhab mu’tazilah menurutnya tidak mungkin orang yang berbuat dosa besar
itu tidak mukmin maka terdapat iman , menurutnya mu’min yang melakukan dosa
besar bila wafat tanpa taubat mungkin orang itu diampuni dosanya oleh Allah sehingga
diakhirat orang itu langsung masuk surga dan mungkin pula tidak di ampuni mak ia
dimasukkan keneraka dulu baru surga. Seperti dalam hadits rosul.

2. Masalah Perbuatan Manusia dan Kaitannya pada Tuhan

Dalam ilmu kalam masalah perbuatan manusia ada dua macam :


14

a. Khodoriyah
Menurut Khodoriyah manusia memiliki kebebasan atau kemerdekaan
dalam kehendak dan perbuatan, Khodoriyah mempunyai paham
manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
b. Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari “Jabarah” yang mengandung arti
memaksa. Paham ini berpendapat manusia tidak mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan kehendak dan
perbuatannya dalam paham ini manusia mutlak terikat dalam kehendak
Tuhan.
15

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan di atas merupakan sebuah pengantar bagi kita untuk lebih
mendalami pembahasan tentang ilmu kalam atau yang biasa disebut teologi Islam.
Ketika kita telah mempelajari pembahasan tersebut besar harapan penyusun untuk kita
lebih tahu lagi tentang arti dari sebuah perbedaan dengan berpegang pada dasar
pengertian yang relevan
Terlebih kita sebagai umat muslim perlu meningkatkan produktivitas
keilmuan kita dengan berfikir seperti apa yang dijelaskan di atas yaitu tetap
menyeimbangkan antara urusan dunia dan akhirat agar seimbang apa yang kita lakukan
di mata Allah. Dan juga pembahasan ilmu kalam ini tidak terlepas dari kritikan tajam
dari para ulama sebagai warna perbedaan bagi kita untuk lebih menyikapinya dengan
arif dan bijaksana.
Semoga dengan kita telah memperdalam pembahasan ini kita mendapatkan
khazanah keilmuan yang bermanfaat bagi kita sebagai modal dalam mengarungi
kehidupan yang semakin rumit terutama problema-problema tentang pemikiran antara
kaum tradisionalisme dan rasionalisme mengenai teologi Islam ini
Kritik dan saran yang membangun, penyusun harapkan demi tercapainya
perbaikan kearah yang lebih positif dan bermanfaat.
16

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Razak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Bandung: Pustaka
Setia,2009, h. 13-21.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1999, h. 18.
M. Yunan Yusuf, Diktat Ilmu Kalam, Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 2001, h. 8-9.
M. Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta: Perkasa, 1990, h. 3-6.
Husain bin Muhammad Al Jassar, Al-Ushbun Al Hamidiyah Li Al-Muhafadzah ‘Ala Al-‘
Aqo’id Al-Islamiyah (Bandung: SyirkahAl-Ma’arif)
Mustafa Abd. Razak. Tahmid li tarikh al-fasafah al-islamiyah, lajnah wa at-thalif wa-
attarjamahwanasyir, 1959
MAKALAH

ALIRAN KHAWARIJ

Makalah diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam


Dosen Pengampu:
Liza Wahyuninto, M.H

Oleh :
Hendri Siprianto

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKRIFATUL ILMI
BENGKULU SELATAN
1445 H/2023

1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan
Rahmat dan Hidayah-Nya semata, kami dapat menyelesaikan Makalah dengan judul
Khawarij. Salawat dan salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, para keluarga, sahabat-sahabat dan pengikut-pengikutnya sampai
hari penghabisan.
Atas bimbingan dari Dosen Ilmu Kalam dan saran dari teman-teman maka
disusunlah Makalah ini, semoga dengan tersusunnya Makalah ini dapat berguna bagi
kami semua dalam memenuhi tugas dari mata kuliah Ilmu Kalam dan semoga segala
yang tertuang dalam Makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi para
pembaca dalam rangka membangun khasanah keilmuan. Makalah ini disajikan khusus
dengan tujuan untuk memberi arahan dan tuntunan agar yang membaca bias
menciptakan hal-hal yang lebih bermakna.
Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan kepada:
1. Dosen Pembimbing mata kuliah Ilmu Kalam, Bapak Liza Wahyuninto, M.H
2. Semua pihak yang telah membantu demi terbentuknya Makalah.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Untuk itu kami berharap akan kritik dan saran yang
bersifat membangun kepada para pembaca guna perbaikan langkah-langkah
selanjutnya.
Akhirnya hanya kepada Allah SWT kita kembalikan semua, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT semata.

Manna, 10 Oktober 2023

2
Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL............................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................. 1
1.3. Tujuan Penulisan .................................................................... 1
1.4. Sistematika Penulisan ............................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
2.1 Pengertian Khawarij ............................................................... 3
2.2 Sebab-sebab munculnya khawarij .......................................... 4
2.3 Pengaruh Ajaran Khawarij ..................................................... 5
2.4 Sekte-sekte Khawarij .............................................................. 6
BAB IV PENUTUP ......................................................................................... 12
1.1 Simpulan................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kaum khawarij muncul pertama kali pada masa kekhalifahan Ali bin Abi
Thalib Radhiyallahu’anhu pada perang Siffin atau perang saudara yang terjadi
antara pengikut Ali Radhiyallahu’anhu sebagai khalifah yang sah, dengan
pemberontak yang dipimpin oleh Mu’awiyah Radhiayallahu’ahu. Peperangan itu
diakhiri dengan gencatan senjata, guna untuk mengadakan perundingan antara
kedua bela pihak, namum diantara sebagian pengikut Ali Radhiayallahu’anhu
tidak setuju dengan gencatan senjata. Mereka keluar dari kelompok Ali bin Abi
Thalib dan membuat kelompok sendiri yang disebut Khawarij yaitu orang-orang
yang tidak puas dengan kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu’anhu.
Kelompok khawarij ini akhirinya menentang kelompok Ali dan Mu’awiyyah
Radhiyallau’anhuma..

1.2 Rumusan Masalah


Ada beberapa rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah
yang berjudul Khawarij, antara lain :
1. Apa pengertian khawarij?
2. Apa sebab-sebab munculnya khawarij?
3. Bagaimana pengaruh ajaran khawarij?
4. Bagaimana sekte-sekte khawarij?

1.3 TujuanPenulisan
Tujuan dari penulisan makalah yang berjudul Khawarij, yaitu:
1. Mengetahi pengertian khawarij

4
2. Mengetahui penyebab munculnya khawarij
3. Dapat paham pengaruh ajaran khawarij
4. Mengetahui macam-macam sekte khawarij

1.4 Sistematika Penulisan


Bab I Pendahuluan:
a. LatarBelakang
b. RumusanMasalah
c. TujuanPenulisan
d. SistematikaPenulisan
Bab II Pembahasan:
a. Pengertian Khawarij
b. Sebab-sebab munculnya khawarij
c. Pengaruh Ajaran Khawarij
d. Sekte-sekte Khawarij
Bab III Penutup:
1. Simpulan

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Khawarij


Istilah Khawarij berasal dari bahasa arab Khoroja, yaitu yang berarti keluar,
muncul, timbul, atau memberontak. Berdasarkan pengertian menurut bahasa
khawarij juga dapat diartikan setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat
islam. Penganut aliran ini adalah kelompok yang memberontak melawan ‘Ali,
amir al-mu’minin, pada waktu arbitrasi dan berkumpul di Harurah dekat kufah.
Para pemimpin mereka adalah ‘Abdullah ibn Al-Kawwa’,’Attab ibn Al-
‘Awar’,’Abdullah ibn Wahab Al-Rasibi’,’Urwah ibn Jarir, Yazid ibn ‘Ashim Al-
muharibi, dan Hurqush ibn Zuhair Al-Bajali yang dikenal sebagai Dzu Al-
Tsudayyah. Pada hari nahrawan mereka berjumlah dua belas ribu orang, yang
mengorbankan [tidak lagi melaksanakan] sholat dan puasa. Kelakuan semacam ini
pernah dikatakan oleh Nabi, “Shalat dan puasa dari siapapun diantara kamu akan
sedikit lebih bermanfaat dibandingkan shalat dan puasa mereka. (kahawarij),
karena keimanan mereka tidak akan mencapai hati mereka. “Orang-orang ini juga
adalah para pemberontak yang kepada mereka Nabi katakan, “Dari keturunan
orang ini, akan muncul seseorang yang akan lari dari agama, sebagimana lepasnya
sebuah anak panah keluar dari busurnya,.[1].
Mereka ini dinamakan Khawarij karena mereka memisahkan diri atau ke luar
dari jamaah umat. Mereka memang menerima sebutan khawarij dengan pengertian
sebagai orang-orang yang ke luar pergi berperang untuk menegakkan kebenaran.
Hal ini mereka dasarkan pada ayat:

6
Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka
bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian
kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh
Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS. An-Nisa (4):100)
Kaum khawarij kadang-kadang menamakan diri mereka sebagai kaum
Syurah. Artinya “orang-orang yang mengorbankan dirinya ”
Untuk kepentingan keridhaan Allah Swt. Mereka mendasarkan pada ayat:
Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-
Nya.(QS. Al-Baqarah (2):207)
Bahwa. “khawarij” adalah nama yang sering dipakaikan kepada golongan
ini. Padahal tadinya mereka adalah sebagian dari pengikut Ali ra., bahwa mereka
mempertaruhkan kehidupan dunia untuk kepentingan kehidupan akherat kelak.
Nama lain yang dipakaikan kepada golongan ini ialah “Muhakkimah” ,
artinya mereka berpendapat bahwa “tidak ada hkum selain Allah.”

2.2 Sebab-Sebab Muncul Khawarij


Asal mulanya kaum khawarij adalah orang-orang yang mendukung
sayyidina Ali. Akan tetapi, akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah
dalam menegakkan kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat
mengecewakan, sebagaimana mereka juga membenci Mu’awiyah karena melawan
sayyidina Ali khalifah yang sah. Mereka menuntut agar sayyidina mengakui
kesalahannya, karena mau menerima tahkim. Bila sayyidina Ali mau bertobat
maka mereka mau bersedia lagi bergabung dengannya untuk menghadapi
Mu’awiyah. Tetapi bila tidak bersedia bertobat, maka orang-orang kahawarij
mengatakan perang terhadapnya, sekaligus juga menyatakan perang terhadap
Mu’awiyah. Semboyan mereka la hukma illa lillahh “tidak ada hukum kecuali
Allah”. Bila ada pihak sayyidina Ali berpidato, mereka mengganggunya dan

7
membikin keonaran dengan berteriak la hukma illa lillaah jumlah mereka sekitar
12.000 orang, mula-mula bermarkas di Harura, dekat kufah. Mereka ini dinamakan
khawarij , karena memisahkan diri atau keluar dari jamaah umat.
Diterangkan Asy-Syahrastani bahwa:[3]
“Tiap yang berontak kepada imam yang benar yang disetujui oleh jamaah
dinamakan khawarij. Baik berontaknya itu pada masa sahabat terhadap Khulafaur
Rasyidin atau pada masa seseudahnya terhadap tabiin dan imam-imam pada setiap
zaman.”

2.3 Pengaruh Ajaran Khawarij


Ajaran pokok khawarij ialah Khilafah, dosa, dan imam. Mereka
menghendaki kedudukan khilafah dipilih secara demokrasi melalui pemilihan
bebas. Menurut sunni khilafah, Khalifah haruslah seorang penguasa yang bebas,
tanpa kekuranga-kekurangan pribadi, seseorang yang berwatak baik, mempunyai
kesanggupa untuk mengurus soal-soal Negara dan memimpin jamaah waktu
sholat.[4]
Dosa yang ada hanyalah dosa besar saja, tidak ada pembagian dosa besar
dan dosa kecil. semua pendurhakaan terhadap Allah Swt. Adalah berakibat dosa
besar. Pendapat Khawarij ini berbeda dengan paham Sunni yang membagi ada
dosa besar dan dosa kecil. Dosa kecil disebut sayyi’at.[5]
Latar belakang khawarij menetapkan dosa itu hanya satu macamnya, yaitu
hanya ada dosa besar saja, agar orang islam yang tidak sejalan dengan
pendiriannya dapat diperangi dan dapat dirampas harta bendanya, dengan dalih
mereka berdosa dan setiap yang berdosa adalah kafir.[6]
Berkenaan dengan persoalan ini Harun Nasution mengidentifikasikan
aliran yang dapat dikatagorikan sebagai aliran Khawarij, yaitu sebagai berikut:
a. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka walaupun
orang itu adalah penganut agama islam.
b. Islam yang benar adalah mereka yang fahami dan amalkan, sedangkan islam
yang sebagaimana yang difahami dan diamalkan golongan lain tidak benar.

8
c. Orang-orang yang tersesat dan menjadi kafir perlu dibawa kembali ke islam
yang sebenarnya, yaitu seperti islam yang mereka fahami dan amalakan.
d. Mereka bersifat fanatic dalam faham dan tidak segan-segan menggunakan
kekerasan dan membunuh untuk mencapai tujuan mereka.

2.4 Sekte-Sekte Khawarij


Khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab badui. Hidup di
padang pasir yang serba tandus membuat mereka bersifat sederhana dalam cara
hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka tidak
tergantung pada orang lain. Perobahan agama tidak membawa pada perobahan
dalam sifat-sifat kebaduwian mereka. Mereka tetap bersifat, suka kekerasan dan
tak gentar mati. Sebagai orang baduwi mereka tetap jauh dari ilmu pengetahuan.
Ajaran-ajaran islam sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist, mereka
artikan menurut lafaznya dan harus dilaksanakan sepenuhnya. Oleh karena itu,
iman dan paham mereka merupakan iman dan paham yang sederhana dalam
pemikiran lagi sempit akal serta fanatik. Iman yang tebal tetapi sempit, ditambah
lagi dengan sikap fanatik ini mereka tidak bisa mentolerir penyimpangan terhadap
ajaran islam menurut paham mereka, walaupun penyimpangan dalam bentuk kecil.
Maka tidaklah mengherankan jika selanjutnya Khawarijj menjadi golongan yang
paling gigih membela mazhabnya dan mempertahankan pendapatnya serta pada
umumnya ketat baragama dan paling mudah menyerang pihak lain. Maka tidak
mengherankan jika dalam kalangan mereka sendiri mudah terjadi perbedaan
pandangan sehinga timbul sejumlah golongan dan sekte yang memiliki paham dan
ajaran tersendiri yang berbeda bahkan bertentangan dengan paham dan ajaran
sekte lain.[7] Kelompok-kelompol yang paling penting dalam Khawarij adalah
Muhakkimah, Azariqah, Najdat, Baihasiyyah, ‘Ajaridah, Tsa’alibah, Ibadhiyyah,
dan Shufriyyah. Yang lainnya merupakan cabang-cabang dari kelompok ini.
Umumnya mereka semua merupakan golongan yang terlepas diri dari ‘Ustman dan

9
‘Ali, yang mereka anggap sebagai bagian dari peristiwa yang lebih besar daripada
segala bentuk ketaatan lainnya. Selain itu perkawinan-perkawinan hanya
diperbolehkan atas syarat ini. Mereka juga berpegang pendapat bahwa mereka
yang melakukan dosa besar adalah kafir dan pemberontakkan terhadap seorang
imam yang menentang sunnah adalah suatu tugas dan kewajiban.[8]
1. Muhakkimah
Sekte muhakkimah merupakan generasi pertama dan terdiri dari
pengikut-pengikut Ali dalam perang Shiffin. Mereka kemudian keluar dari
barisan Ali dan berkumpul Harurah dekat kufah untuk menyusun kekuatan guna
melakukan pemberontakan terhadap Ali bin Abi Thalib. Para pemimpin mereka
adalah Abdullah ibnu Kawwa’, Attab ibn al-awar, Abdullah ibn Wahhab ar-
Rasidi, Urwah ibn Jarir, Yazid ibn ‘Ashim al-Muharibi dan Harqush ibn Zuhair
al-Bajali.[9]
Mereka disebut al-Muhakkimah sesuai dengan prinsip dari golongan
mereka “la hukma illa lillah” (tidak ada hokum selain hokum Allah). Dengan
prinsip tersebut, mereka berpandangan bahwa tidak sah menetapkan hukum
selain hukum Allah yaitu Al-Qur’an.[10] Mereka melakukan pemberontakan
terhadap pemerintahan Ali.
Pada mulanya, golongan muhakkimah ini mendasarkan pemberontakan
mereka pada dua persoalan fundamental. Yang pertama adalah pembaruan yang
berkenaan dengan imamah karena mereka memperbolehkannya kepada orang
lain selain orang Quraisy. Siapapun yang mereka pilih dianggap oleh mereka
sebagai seorang imam, asalkan ia memerintah rakyat sesuai dengan ide-ide
keadilan dan kesetaraan menurut pandangan mereka. Jika ada yang
memberontak melawan imam ini, menjadi suatu kewajiban untuk
menentangnya. Akan tetapi, jika imam tersebut korup dan menyimpang dari
jalan keadilan, menjadi seuatu kewajiban untuk memberhentikannya atau
member hukuman mati. Golongan Muhakkimah juga adalah penganut prinsip
analogi yang kuat. Mereka juga menganggap bolehnya tidak ada imam sama
sekali di mana pun. Kedua adalah karena mereka mempertahankan bahwa ‘Ali

10
bersalah lantaran mengizinkan arbitrasi karena sejak itu dia menunjuk
seseorang menjadi hakim terhadap suatu masalah, padahal Allah adalah satu-
satunya hakim. Mereka juga menganggap ‘Ustman bersalah atas berbagai hal
yang mereka tentang terhadapnya.
2. Azariqoh
Sub-golongan ini adalah para pengikut Abu rasyid Nafi ibn Al-Azraq.
Mereka menyertainya dari Basrah ke Ahwaz, yang mereka taklukkan bersama
dengan kota-kotnya, begitu pun daerah-daerah Faris dan Kirman di luarnya. Ini
terjadi pada masa pemerintahan Abdullah ibn Al-Zubair, yang gubenur-
gubernurnya di daerah-daerah ini mereka bunuh.
Berikut adalah delapan bid’ah dari golongan Azariqah. Pada tempat
pertama Nafi menyatakan bahwa ‘Ali adalah seorang kafir. Dia mengatakann
bahwa Allah mewahyukan kepadanya. Kedua Nafi menanggapi orang-orang
yang tinggal dan tidak pergi ke medan perang sebagai orang-orang kafir dan
dialah yang pertama menyatakan secara terbuka pemisahan dirinya dari mereka,
meskipun mereka setuju dengan pendapat-pendapatnya. Semua orang yang
tidak bergabung dalam kelompoknya dia juga memandangnya sebagi kafir.
Ketiga, Dia membolehkan membunuh anak-anak dan kaum wanita dari lawan-
lawannya. Keempat , dia menghapuskan hukuman rajam bagi pelacuran karena
hal ini tidak disebutkan dalam Al-Qur’an. Dia juga menghapuskan hukuman
bagi fitnah yang dibebankan atas mereka yang memfitnah wanita baik-baik.
Kelima , dia memeperthankan bahwa anak-anak orang musyrik akan berada di
neraka bersama orang tua mereka. Keenam, taqiyyah atau tindakan
menyembunyikan keyakinan untuk meneyelamtkan diri. Tidak dibenarkan
hukum, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Ketujuh Allah bisa saja
mengutus seorang nabi dari orang yang ia ketahui akan jatuh kekafiran setelah
menjadi nabi, atau dia menjadi seorang kafir sebelum menjadi nabi. Karena
dosa besar maupun kecil adalah sama pandangan-NYA dan menyatakannya
kafir,

11
Kedelapan , semua orang Azariqoh berpendapat sama bahwa barang
siapa yang melakukan suatu dosa besar, ia adalah kafir dan berada diluar
golongan Islam. Orang semacam itu akan berada selamanya didalam neraka
bersama dengan orang-orang kafir. Pandangan ini mereka dukung melalui
contoh kekafiran iblis yang, kata mereka, hanya melakukan sebuah dosa besar
manakala dia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, tetapi iblis menolak,
meskipun dia telah mengakui keesaan Allah.[11]
3. Najdah
Nama sekte ini berasal dari nama pemimpinnya, Najdah bin Amir al-
Hanafi. Sekte ini merupakan sempalan dari Azariqah karena mereka tidak
setuju dengan term musyrik yang diberikan kepada orang yang tidak mengikuti
paham Azariqah dan halal dibunuhnya perempuan dan anak-anak orang islam
yangn tak sepaham dengan mereka dengan alas an musyrik.
Diantara pandangan sekte Najdah ini adalah sebagai berikut:
a. Orang yang melakukan dosa besar menjadi kafir dan kekal didalam neraka,
namun apabila yang melakukan hal tersebut adalah pengikutnya akan
mendapat siksa tetapi tidak didalam neraka jahannam.
b. Bila melakukan disa kecil secara terus-menerus akan berkibat pada dosa
besar yang akhirnya menjadi musyrik, tetapi melakukan zina, minum
khamar yang dilakukan secara tidak terus menerus tidak termasuk musyrik
bila sepaham dengan mereka.
c. Manusia pada hakekatnya tidak membutuhkan imam.
d. Diperbolehkan taqiyah baik dalam perbuatan maupun perkataan.
Sub sekte ini juga mengatakan bahwa barang siapa yang
memperkenankan hukuman dari seorang tauhid yang melakukan kesalahan
dalam persoalan hukum, sebelum hukum menjadi benar-benar mantap, dia
adalah kafir.[12]
4. Baihasiyyah
Penganut aliran ini merupakan pengikut Abu Baihas Al-Alhaisham ibn
Jabir, yang berasal dari Bani Sa’d ibn Dhubaibah. Dia berpegang bahwa

12
keyakinan adalah sebuah pengetahuan yang baik terhadap semua yang benar
maupun yang salah. Lagi pula, ini merupakan pengetahuan dalam hati dan
bukan terdiri atas perkataan dan perbuatan. Sebuah kelompok dari Baihasiyah
disebut dengan ‘Awuiyyah, yang pada gilirannya terbagi pada dua sub-cabang.
Salah satunya mengatakan,”kami akan terlepas dari dari mereka yang
meninggalkan tenda tempat mereka hijrah dan kembali pada keadaan mereka
yang malas sebelumnya.”kedua sub cabang tersebut kedua sub cabang tersebut
berpegang pada pandangan bahwa apabila imam menjadi seorang kafir maka
semua pengikutnya menjadi kafir, bukan hanya orang-orang yang
sesungguhnya hidup bersama dengannya, melainkan juga mereka yang ada di
mana saja.[13]
5. Ajaridah
Adalah pengikut Abdul Karim bin Ajrad . Dia adalah pemimpin sekte
yang lebih lunak dari pada pemimpin sekte khawarij lainnya. Menurut mereka,
hijrah bukan merupakan kewajiban tetapi kebajikan sehingga pengikutnya
tinggal di luar kekuasaan mereka, tidak dianggap kafir.
Selanjutnya sekte ini terbagi atas beberapa sub sekte yang dibedakan
berdasarkan tiga pandangan penting:
a. Shilatiyah , kelompok ini memisahkan pandangannya dari sub sekte yang
lain dengan pernyataan bahwa seseorang tidak mewarisi dosa orang tuanya
dan seseorang tidak dapat dimusuhi sebelum menerima dakwah islam.
b. Maimuniyah berpendapat bahwa perbuatan manusia ditemtukan oleh
kehendak manusisa sendiri dengan potensi yang diberikan oleh Allah.
c. Asy-Syu’aibiyah dan al-Hamziyah. Kelompok ini bertentangan dengan
pendapat yang menyatakan bahwa Allahlah menentukan perbuatan
manusia.[14]
6. Tsa’alibah
Golongan Tsa’alibah merupakan para pengikut Tsa’alibah ibn ‘Amir,
yang secara dekat bergabung dengan ‘Abd Al-karim ibn ‘Ajrad hingga mereka
berbeda pendapat dalam persoalan anak-anak. Tsa’alabah mengatakan, “kami

13
akan berlepas dari anak-anak, baik yang lebih muda maupun yang lebih tua
hinnga kami mengamati apakah mereka menolak kebenaran dan mengakui dan
mengakui ketidak adilan atau tidak.” Oleh sebab itu, golongan Ajaridah
memisahkan diri darinya.[15]

7. Ibadhiyah
Sekte ini dipimpin oleh seorang yang moderat dan berpandangan luas
yang sangat dekat dekat dengan pandangan sunni yaitu Abdullah ibn Ibadh.
Sekte ini terdapat di Zanzibar, afrika utara, Omah dan Arab selatan, bahkan
firqh warisnya dipergunakan dimesir. Paham moderat kelompok ini dapat
dilihat dari ajaran-ajaran sebagai berikut:
a. Orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmi dan bukan
pula musyrik, tetapi kafir. Dengan demikian boleh diadakan hubungan
perkawinan dan hubungan warisan, syahadat mereka dapat diterima dan
membunuh mereka adalah haram.[16]
b. Daerah orang islam yang tak sepaham dengan mereka, kecuali camp
pemerintah merupakan dar al-Tauhid , daerah yang mengesakan Tuhan, dan
tak boleh diperangi.yang merupakan dar al-Kufr , yaitu yang harus
diperangi.[17]
c. Orang islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid ,yang mengesakan
Tuhan, tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya merupakan kafir al-
ni’mah dan bukan kafir al-millah , yaitu kafir yang agama.[18]
d. Yang boleh dirampas dalam perang hanyalah kuda dan senjata. Emas dan
perak harus di kembalikan kepada yang punya.[19]
8. Sufriyah
Seke ini adalah pengikut Ziyad ibn al-Ashfar. Pandangan sekte ini lebih
lunak dengan dibandingkan dengan pandangan Azariqah, namun lebih ekstrim
dibanding dengan ajaran khawarij lainnya.
Menurut kelompok ini, orang yang melakukan dosa besar dikenakan bad
sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah, seperti pencuri, pezina, dan

14
sebagainya. Sedangkan dosa pelaku dosa besar yang tidak ada badnya , maka
dia disebut kafir. Menurut sekte ini, syirik dibagi menjadi dua macam, yaitu
syirik kepada ketaatan terhadap syaitan dan syirik kepada penyembahan berhala
sebagaimana juga mereka membagi kafir pada kafir nikmat dan kafir
Tuhan.[20]

BAB IV
PENUTUP
4.1 Simpulan
Demikianlah golongan khawarij yang pada umumnya berpendapat bahwa
orang islam yang sudah berbuat dosa besar sudah bukan orang islam lagi, tetapi
telah menjadi kafir dan murtad, lambat laun juga dosa kecil juga yang mereka
anggap telah menjadi kafir dan halal darahnya . Akhirnya yang mereka anggap
islam hanya khawarij saja. Umat islam lainnya yang tidak sefaham dan tidak
sealiran dengan mereka adalah kafir dan boleh, bahkan wajib dibunuh.
Golongan khawarij kini memang hanya tinggal nama, namun semangat dan
ajarannya masih banyak diikuti oleh masyarakat Islam abad ini termasuk di
Indonesia. Menurut Harus Nasution, suatu paham dalam masyarakat sekarang bisa
disebut sebagai khawarij ada dua dua puluh, apabila mempunyai cirri-ciri sama
dengan cirri-ciri yang dimiliki oleh kaum khawarij. Adapun cirri-ciri kaum
Khawarij adalah sebagai berikut:
1. Mudah mengkafirkan orang yang tidak segolongan dengan mereka.

15
2. Mereka berpendapat bahwa mereka paham merekalah yang paling benar,
golongan islam lain tidak benar.
3. Mereka berpandangan bahwa orang-orang islam tersesat dan menjadi kafir itu
perlu di bawa kembali ke islam yang sebenarnya. Seperti yang mereka pahami.
4. Mereka memilih imam dari golongan mereka sendiri, karena tidak sepaham
dengan pemerintahan dan ulama , dan mereka menyebutnya sesat, maka mereka
memilih imam dari golongan mereka sendiri.
5. Mereka bersikap fanatic dalam paham dan tidak segan-segan menggunakan
kekerasan untuk mencapai tujuan mereka.
Itulah ciri-ciri khawarij. Dengan mengetahui cirri-ciri tersebut tentunya kita
bisa mengetahui kelompok islam yang bisa disebut sebagai khawarij abad dua
puluh ini, sebagaimana yang disebutkan oleh Harun Nasution, tanpa harus
disebutkan namanya secara verbal dalam makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul, Rosihan Anwar.2016.Ilmu Kalam.Bandung: CV Pustaka
Setia.
Ash shiddiqy Tengku Muhammad Hasbi, Penngantar Ilmu Fiqh, Semarang:
PT Pustaka Riski Putra, 1997.
Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemah special for women, Tugu
Bogor: syigma, 2007.
Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah Islam, (Jakarta:
Logos Publishing House, 1996.
Nasution, Harun, Teologi islam Aliran-Aliran sejarah analisa
perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia 2007.
Nata, Abuddin, Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf, Jakarta:
T.Raja Grahindo persada. 1994.
Syukur, Muhammad Asywadie, al milal wa al nihal allran-aliran teologi dalam sejarah
umat manusia, Surabaya: PT bina ilmu, 2003.

16
17
MAKALAH

ALIRAN MUR’JIAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ILMU KALAM

Dosen Pengampu:
Liza Wahyuninto, M.H

Disusun Oleh :

Jeksian Sahadi

FALKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKRIFATUL ILMI

BENGKULU SELATAN

1445 H/ 2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ‘alamin, rasa syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha
Kuasa yang telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan serta pengetahuan
sehingga makalah Ilmu Kalam ‘Aliran Murji’ah’

Kami berharap agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan rekan-
rekan mahasiswa pada khususnya dan para pembaca umumnya tentang Aliran Murji’ah. Mudah-
mudahan makalah sederhana yang telah berhasil kami susun ini bisa dengan mudah dipahami oleh
siapapun yang membacanya. Sebelumnya kami meminta maaf bilamana terdapat kesalahan kata
atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa kami juga berharap adanya masukan serta
kritikan yang membangun dari Anda demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Manna, 3 Oktober 2023

Penulis,

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...................................................................................................................... i
Daftar Isi................................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................... ..................... 1
1.3 Tujuan Penulisan....................................................................................... .................... 1
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................... 2
1.4 Sejarah Aliran Murji’ah................................................................................................... 2
1.5 Doktrin-doktrin Murji’ah................................................................................................. 3
1.6 Sekte-sekte dan Ajaran Dalam Aliran. Murji’ah............................................................. 4
BAB III PENUTUP............................................................................................................... 6
1.7 Kesimpulan...................................................................................................................... 6
1.8 Saran-saran...................................................................................................................... 6
Daftar Pustaka...................................................................................................................... 7

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Problem ketauhidan muncul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661M )
dengan munculnya beberapa kelompok atau aliran karena perbedaan pendapat dalam masalah
tahkim antara Ali dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur syam, pada waktu perang shiffin.
Salah satu aliran yang muncul adalah aliran murji’ah.

Melalui makalah ini penyusun berharap pembaca lebih mengenal tentang peradaban islam khususnya
pada kaum aliran murji’ah agar memperluas wawasan tentang ke-Islaman.

1.2 Rumusan Masalah

Melalui makalah ini, penyusun memaparkan beberapa rumusan masalah, sebagai berikut :

1. Bagaimana sejarah munculnya aliran Murji’ah?

2. Apa saja doktrin pada aliran Murji’ah?

3. Apa saja sekte dalam aliran Murji’ah beserta ajaran-ajarannya?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui sejarah munculnya aliran Murji’ah

2. Untuk mengetahui doktrin-doktrin pada aliran Murji’ah

3. Untuk mengetahui sekte dalam aliran Murji’ah beserta ajaran-ajarannya

4
BAB II

PEMBAHASAN

1.4 Sejarah Aliran Murji’ah

Nama Murji’ah berasal dari kata irja atau arja’a yang berarti penundaan, penangguhan,
dan pengharapan. Kata arja’a juga memiliki arti memberi harapan, yakni memberi harapan
kepada pelaku dosa besar untuk memperoleh pengampunan dan rahmat Allah. Oleh karena
itu, murji’ah artinya orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang
bersengketa, yakni Ali dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing ke hari kiamat
kelak.1

Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik sama halnya dengan kaum
Khawarij, tegasnya persoalan kholifah yang membawa perpecahan dikalangan umat Islam
setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Seperti telah dibahas, kaum Khawarij pada mulanya
adalah penyokong Ali tetapi kemudian menjadi musuhnya. Karena adanya perlawanan ini,
kelompok yang setia pada Ali bertambah keras dan kuat membelanya dan merupakan satu
golongan lain yang disebut Syi’ah. Akan tetapi mereka sama-sama menentang kekuasaan
Bani Umayyah, tetapi dengan motif yang berbeda.2

Dalam permusuhan inilah muncul satu aliran baru yang bersikap netral yang tidak ikut
dalam kafir-mengkafirkan yang terjadi pada golongan tersebut. Bagi merekan golongan
yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari
jalan yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mengeluarkan pendapat siapa yang salah
dan benar dan lebih baik menunda penyelesaian hingga hari perhitungan di depan Allah.
Dengan demikian, kaum Murji’ah adalh kaum yang tidak ikut campur dalam pertentangan
tersebut dan mengambil sikap menyerahkan penentuan kafir atau tidaknya orang-orang
yang bertentangan tersebut kepada Allah.

Ada beberapa teori tentang kemunculan Murji’ah. Teori pertama mengatakan bahwa
gagsan irja atau arja’a dikembangkan oleh sebagian sahabat untuk menjamin persatuan dan
kesatuan umat Isam ketika terjadi pertikaian politik antara Khawarij dan Syi’ah.
Diperkirakan Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan Khawarij dan Syiah.

1 Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 56


2 Nasution Harun,2010,Teologi Islam: Aliran-Airan Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta:UI-Press). Hal. 24

5
Teori lain mengatakan bahwa Murji’ah muncul pertama kali sebagai gerakan politik
oleh cucu Ali, yaitu Al-Hasn bin Muhammad Al-Hanafiyah, sekitar tahun 695. Teori lain
menceritakan bahwa ketika terjadi perseteruan antara Ali dan Muawiyah, dilakukan tahkim
(arbitrase) atas usulan Amr bin Ash, seorang kaki tangan Muawiyah. Kelompok Ali
terpecah menjadi dua kubu, kubu yang pro dan kubu yang kontra. Kubu yang kontra
akhirya keluar dari Ali, yakni kaum Khawarij. Mereka berpendapat bahwa tahkim
merupakan dosa besar dan orang yang melaksanakanya termasuk orang yang kafir.
Pendapat ini ditentang oleh kaum Murj’ah.

1.5 Doktrin-doktrin Murji’ah

Di bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap politik netral atau
nonblok. Adapun di bidang teologis doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika
menanggapi persolan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks sehingga
mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan, tauhid, tafsir Al-Quran, eskatologi,
pengampunan dosa besar, kemaksuman nabi, hukuman atas dosa, ada yang kafir di
kalangam generasi awal Islam, tobat, hakikat Al-Quran, nama dan sifat Allah, serta
ketentuan Tuhan.3

Doktrin teologi Murji’ah menurut Harun Nasution menyebutkan empat ajaran pokok, yaitu :4

1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr Bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ary yang
terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakan (pentingnya) iman daripada amal.
4. Memperbaiki pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh
ampunan dan rahmat Allah.

1.6 Sekte-sekte dan Ajaran Dalam Aliran Murji’ah

Sekte dalam aliran Murji’ah tidak jelas jumlahnya karena masing-masing ahli memiliki
pendapat masing-masing. Al-Baghdadi membagi mereka dalam tiga golongan , yaitu al-
Murji’ah yang dipengaruhi ajaran-ajaran al-Qodariyah, al-Murji’ah yang yang dipengaruhi
ajaran-ajaran al-Jabariyah, dan al-Murji’ah yang tidak dipengaruhi keduanya. Golongan
ketiga ini terdiri dari lima sekte, yaitu al-Yunusiyah, al-Ghazaniyah, alSaubaniyah, al-
Tumaniyah, dan al-Murisiyah.

3 Rozak Abdul, 2001,Ilmu Kalam (Bandung:CV Pustaka Setia). Hal. 58


4 Ibid. Hal. 58

6
Al-Asy’ary membagi menjadi 12 golongan, sedangkan al-Syahrastani membagi
menjadi tiga sekte, yaitu al-Murji’ah al-Khawarij, al-Murji’ah al-Jabariyah, dan alMurji’ah
asli.4Aliaran murji’ah dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu golongan moderat
dan golongan ekstrem

Al-Murji’ah moderat disebut juga al-Murji’ah al-Sunnah yang pada umum terdiri dari
para fuquha dan muhditsin.6 Mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar bukanlah
kafir dan tidak kekal dalam neraka, dia akan dihukuk dalam neraka sesuai dosa yang telah
diperbuatnya dan kemungkinan Allah bisa mengampuni dosanya. Dengan demikian,
Murji’ah moderat masih mengakui keberadaan amal perbuatan dan mengakui pentingnya
amal perbutan manusia, meskipun bukan bagian dari iman. Yang termasuk golongan
alMurji’ah moderat, di antaranya al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Tholib, Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis.5

Golongan al-Murji’ah yang eksterm adalah mereka yang secara berlebihan


mengadakan pemisahan antara iman dan amal perbuatan.6 Mereka menghargai iman terlalu
berlebihan dan merendahkan amal perbuatab tanpa perhitungan sama sekali. Amal
perbutan tidak ada pengaruhnya terhadap iman. Iman hanya berkaitan dengan Tuhan dan
hanya Tuhan yang mengetahuinya. Oleh karena itu, selagi orang beriman, perbuatan
apapun tidak dapat merusak imanya sehingga tidak menyebabkan kafirnya seseoarang.
Adapun yang termasuk al-Murji’ah eksterm sebagai berikut.7

1. Golongan al-Jahmiyah

Golongan ini merupakan para pengikut Jahm bin Safwan. Mereka berpendapat bahwa
orang Islam yang percaya kepada Tuhan tidak akan menjadi kafir menyatakan kekufuran
secara lisan karena iman dan kufur letaknya dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh
manusia.

2. Golongan al-Sahiliyah

Golongan ini merupakan pengikut Abu Hasan al-Salahi, berpendapat bahwa iman adalah
mengetahui Tuhan, sedangkan kufur adalah tidak tahu Tuhan. Shalat bukan merupakan
ibadah kepada Allah. Yang disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui
Tuhan. Begitu pula zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.

4 Nurdin, M. Amin, 2011, Sejarah Pemikiran Islam(Jakarta: Teruna Grafika). Hal. 27


6 Ibid. Hal. 28
5 Ibid

6 Ibid

7 Ibid. Hal. 22

7
3. Golongan al-Yunusiyah

Golongan ini merupakan pengikut Yunus bin Aun al-Numairi melontarkan penyataan
bahwa melakukan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan – perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah
merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini Mutaqil bin Sulaiman berpendapat
bahwa perbuatan jahat banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.

4. Golongan al-Ubaidiyah

Pengikut dari Ubaid al-Muktaib. Berpendirian sebagaimana al-Yunusiyah dengan


menambahkan jika sesorang mati dalam iman, dosa-dosa, dan perbuatan jahat yang
dikerjakan tidak merugikan bagi yang bersangkutan.

5. Golongan al-Ghozaniyah

Golongan al-Ghozaniyah menyebutkan bahwa jika seseorang mengatakan, “saya tahu


Tuhan melarang makan babi, tetapi sayatidak tahu apakah babi yang diharamkan adalah
kambing ini”, maka orang tersebut tetap mukmin bukan kafir. Begitu pula yang
mengatakan, “saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke Ka’ba, tetapi saya tidak tahu
apakah Ka’bah di India atau tempat lain.8

8 Nasution, Teologi Islam. (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2002), hlm. 22

8
BAB III

PENUTUP

1.7. Kesimpulan

Kaum Murji’ah ditimbulkan oleh persoalan politik, tegasnya persoalan Kholifah


setelah terbunuhnya Usman Ibn Affan. Diantara pertikaian antara golongan yang setia pada
Ali dan keluar dari Ali, munculah satu aliran yang bersikap netral yang tidak ikut dalam
kafir-mengkafirkan yang terjadi antara golongan tersebut. Golongan yang bersifat netral
ini disebut Kaum Murji’ah.

Kaum Murji’ah penentuan hukum kafir atau tidaknya orang yang terlibat dalam
pertentangan antara Ali dan Muawiyah kepada Allah kelak di hari akhir.

Kaum Murji’ah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu : Murji’ah Moderat dan
Murji’ah eksterm

1.8. Saran-saran

Penulisan makalah ini tentulah banyak sekali kekurangannya, sehingga diharapkan


adanya saran dan kritik yang bersifat membangun baik dari dosen mata kuliah aqidah/Ilmu
kalam maupun dari rekan-rekan mahasiswa.

9
DAFTAR PUSTAKA

Nasution, Harun. 2010. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI Press

Zamzam, Zainal Arifin. Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1996),91.

Simbolon, Maropen. “Persepsi dan Kepribadian”, Ekonomis: Jurnal Ekonomi dan Syarifuddin,
“Kritik M. Arsyad al-Banjari terhadap Beberapa Kepercayaan Masyarakat Banjar”, dalam
Alhadharah Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 12 No.

Nurdin, M.Amin. 2012. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Teruna Grafika

Rozak, Abdul. 2001. Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia

Novan, Ardy Wiyani.2013.Ilmu Kalam. Bumiayu: Teras

Nasution,2002. Teologi Islam. (Jakarta: Universitas Indonesia Press)

10
MAKALAH

ALIRAN JABARIYAH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Liza Wahyuninto, M.H

Disusun oleh

Nazwa Delaila Anwar

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKRIFATUL ILMI

1445 H/2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari
faktor historis yang menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad
saw. wafat, riak-riak perpecahan di antara kaum Muslim timbul kepermukaan.
Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa pengganti pemimpin
setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua terbungkus
dalam isu-isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada
persoalan keyakinan tentang tuhan dengan mengikut sertakan kelompok-
kelompok mereka sebagai pemegang “predikat kebenaran”.
Perpecahan semakin meruncing ketika pada masa pemerintahan Ali, hal
yang sentral diperdebatkan adalah masalah ”Imamah” atau kepemimpin.
Golongan Syi‟ah yang pro terhadap Ali sangat mendukung bahwa imamah
harus diserahkan kepada Ali dan keturunannya. Sedangakan Khawarij dan
Mu‟tazilah menentang dengan pendapat mereka, bahwa siapapun berhak
menduduki kursi kepemimpinan, termasuk budak. Jika ia memang dari kaum
Muslim yang cakap dan berkualitas.
Terjadinya pembunuhan Utsman ra. (17 Juni 656 M), oleh pemberontak
dari Mesir. Merupakan fase kedua sengitnya perdebatan mengenai siapa yang
benar dan siapa yang salah. Tidak berhenti sampai di situ perdebatan semakin
meluas tentang persoalan “dosa kecil” sampai pada “dosa besar”. Bahkan pada
ranah “keimanan”. Dan penentuan siapa yang dianggap “mu’min”, “kafir”,
“fasik”, dan bagaimana kedudukan mereka di akhirat nanti, serta tindakan
Tuhan bagi perbuatan mereka.
Yang kemudian menjadi tema sentral dalam pembahasan makalah ini
adalah Aliran Jabariyah, sebagai salah satu aliran yang pernah eksis dan
menjadi bahan perbincangan oleh banyak orang. Dan untuk memfokuskan bagi
para pembaca, maka rumusan masalah yang akan menjadi pemaparan penulis
sebagai berikut;
B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan jabariyah?

2. Bagaimana sejarah aliran jabariyah?

3. Bagaimana tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah?

4. Apa saja pokok-pokok ajaran jabariyah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian jabariyah.

2. Untuk mengetahui sejarah aliran jabariyah.

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh dan ajaran jabariyah.

4. Untuk mengetahui pokok-pokok ajaran jabariyah.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jabariyah
Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti
memaksa. Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan
perbuatan dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut
kepada Allah swt.
Faham jabariyah ini diperkenalkan pertama kali oleh al-Ja‟id bin
Dirham di Damaskus yang kemudian disiarkan oleh muridnya Jahm bin Safwan
dari Khurasan. Oleh sebab itu, golongan ini disebut juga dengan golongan
Jahamiyah.1Menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas sesuatu. Karena itu,
manusia tidak dapat diberi sifat “mampu” (istitha’ah). Manusia sebagaimana
dikatakan, Jahm bin Shafwan, terpaksa atas perbuatanperbuatannya tanpa ada
kuasa (qudrah), kehendak (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah
yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan Tuhan atas
benda-benda mati.2Dengan kata lain perbuatan manusia sudah ditentukan sejak
semula oleh qadha dan qadhar Tuhan. Sehingga posisi manusia dalam faham
ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat kehendak
mutlak Tuhan. Dalam istilah Inggris faham ini disebut fatalisme atau
predistination, yaitu faham bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula
oleh qadha dan qadhar Tuhan. Maka doktrin aliran jabariyah ini menganut
faham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya, tetapi perbuatannya dalam keadaan terpaksa.

¹Mulyono & Bashori, Studi Ilmu Tauhid/Kalam, (Malang: UIN-Maliki Press,


2010), hlm. 139-1402
²M. Amin Nurdin, dkk, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: Amzah, 2014), hlm. 41
³Mulyono & Bashori, Op.Cit, hlm. 140
Selain ituia juga berpendapat bahwa tuhan tidak memiliki sifat-sifat
yang dimiliki manusia. Karena apabila sifat-sifat yang dimiliki manusia juga
disifatkan kepada tuhan, maka hal ini dipandang amat berbahaya dan
dikhawatirkan akan membawa amat tasybih, seperti keadaan Allah ta‟ala itu
tahu dan hidup.
Al-Baghdadi menuturkan didalam al-Farqu Bainal Firaq, tentang
pendapat Jahm ini bahwa: tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang
mematikan dan menghidupkan. Sifat-sifat yang demikian khusus bagi tuhan
saja. Tidak ada tindakan dan perbuatan bagi seseorang kecuali perbuatan dan
tindakan Allah swt.
Lebih lanjut M. Laily Mansur LPH, menganggap bahwa aliran yang
berfaham demikian hanya mendasarkan terhadap penafsiran ayat-ayat dalam
al-Quran menurut pemahamannya sendiri sebagaimana disebutkan dalam
alQuran:

a. Surah as-Saffah 96 ditegaskan:

ْ َُُُ ُ ‫َوهالّلُُُ خَلقَ َُ هكُ ُُُْ ُُ َوما‬


ُُ َ‫تع َُ َملهون‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat
itu”. (QS. Ash-Shaffaat: 96)

b. Surah al-Insan 30:

َ ‫تش َُآ ه ٓءونَ ُُ ُُ اِل َُُ ُُّٓ أ َ ُن‬


ُٓ ُُ‫يش َُآ َء‬ َ ُ ‫َو َما‬
ً ‫ُهال ُلجاِنَ ُُ ُُ الَلُُُ َك َُنَ ُُ ع ِل َُيماًُُ َح ِكيما‬
“Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki
Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha
bijaksana”. (QS. al-Insan: 30)
Sebenarnya ayat-ayat tersebut hanya akan menunjukkan kelemahan
terhadap hamba-hamba-Nya. Dalam pengertian bahwa apabila hamba
mengetahui kelemahan iradah-Nya, maka ia akan tidak mau mengakui
kekuasaan Allah swt.
Menurut Syahrastani, aliran Jabariyah dalam menganalisa perbuatan
manusia terdapat dua pandangan yaitu:
1) Pandangan ekstrim yang disebut al-Jabariyah al-Khalish, yaitu jabariyah
yang tidak menetapkan perbuatan atau kekuasaan sedikitpun pada manusia,
sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jahm bin Sofwan.

2) Pandangan moderat yang diberi istilah al-Jabariyah al-Mutawasithah, yaitu


jabariyah yang menetapkan adanya qudrat pada manusia, tetapi qudrat
tersebut tidak mempunyai efek atas perbuatan. 89 pandangan ini pelopornya
adalah Husain bin Muhammad al Najjar dan Dirar bin „Amr.2

Dari paparan sederhana di atas dapatlah disimpulkan bahwa manusia


dalam paham Jabariyah seperti yang diajarkan oleh Jahm bin Safwan ini adalah
manusia yang lemah, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas. Seluruh tindakan dalam
perjalanan hidupnya adalah tindakan yang tidak boleh keluar dari skenario yang
telah ditentukan oleh Allah sebelumnya. Dengan demikian, terpahami bahwa
akibat baik dan buruk yang diterima manusia dalam perjalanan hidupnya yang
panjang itu merupakan ketentuan dari Allah jua.
Bila diperjelas bahwa manusia dalam pandangan Jabariyah ini tak ada
bedanya seperti wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia adalah wayang
sedangkan Tuhan adalah dalangnya. Sama dengan wayang yang tidak bergerak
kalau tidak digerakkan oleh dalang, manusia pun tidak akan bergerak kalau
tidak digerakkan oleh Tuhan.3
Dan menurut Najjar dan Dirar bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan manusia baik perbuatan itu positif maupun negatif. Namun dalam
manusia mempunyai bahagian yaitu daya yang menciptakan dalam diri
manusia mampu melakukan perbuatan itu. Daya yang diperoleh untuk
mewujudkan perbuatan-perbuatan inilah yang disebut kasb atau acuisition.
Maka faham jabariyah yang dikembangkan oleh Najjar dan Dirar sudah tidak
lagi menggambarkan manusia sebagai wayang, tetapi nampak bahwa di antara

⁴Ibid, hlm. 140-1435


⁵Prof. Dr. M. Yunan Yusuf, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Prenadamedia Group,
⁶Jakarta, Hlm.70
manusia dan Tuhan terdapat kerja sama dalam mewujudkan suatu perbuatan
dan manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan perbuatannya.
Dalam perkembangan berikutnya, sebagaimana aliran Qaadariyah yang
lenyap dari gelanggang sejarah tetapi beberapa ajarannya dimunculkan oleh
para pemikir pembaru, aliran Jabariyah pun mengalami nasib yang sama.
Paham Jabariyah, terutama Jabariyah moderat yang dikembangkan oleh Husein
Ibn Muhammad al-Najjar serta Dirar Ibn Amr sungguhpun tidak dalam bentuk
yang sama dimunculkan oleh aliran asy‟ariyah.

B. Sejarah Aliran Jabariyah


Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang
kedua, yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan
perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak
pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan
perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah
memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut.
Rasulullah hanya menganjurkan agar mengimani takdir dan melarang
untuk memperbincangkan lebih jauh, karena dikhawatirkan akan
membingungkan dan mendorong timbulnya perpecahan.
Namun selanjutnya setelah daerah-daerah Islam meluas ke
negaranegara Syiria, Palestina, Mesir dan Persia pada masa Khalifah Umar bin
Khattab, maka umat Islam bercampur dengan umat lain dan penganut agama
kuno yang membicarakan masalah takdir, ada yang menerima dan ada yang
menolak, maka akhirnya timbullah perdebatan tanpa memperhatikan lagi
larangan Nabi. Akhirnya pada 70 H, muncullah Mabad al-Juhani dalam
pembicaraan tentang hurriah al-irodah dan qudroh yang dimilikimanusia
sebagai anugerah Tuhan untuk melakukan perbuatannya.
Pada masa Nabi, benih-benih paham al-Jabariyah itu sudah ada.
Perdebatan di antara para sahabat di seputar masalah Qadar Tuhan merupakan
salah satu indikatornya. Nabi menyuruh umat Islam beriman kepada takdir,
tetapi beliau melarang mereka membicarakannya secara mendala. Pada masa
sahabat kelihatannya sudah ada orang yang berpikir Jabariyah. Diceritakan
bahwa Umar bin al-Khattab pernah menangkap seorang pencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri”.
Umar menghukum pencuri itu dan mencambuknya berkali-kali. Ketika
keputusan itu ditanyakan kepada Umar, ia menjawab: “Hukum potong tangan
untuk keslahan mencurinya, sedang cambuk untuk kesalahannya
menyadarkan perbuatan dosa kepada Tuhan.”
Sebagian sahabat memandang iman kepada takdir yang dapat
meniadakan rasa takut dan waspada. Ketika Umar menolak masuk suatu kota
yang di dalamnya terdapat wabah penyakit, mereka berkata: “Apakah anda mau
lari dari takdir Tuhan?” Umar menjawab: “Aku lari dari takdir Tuhan ke takdir
Tuhan yang lain”. Perkataan Umar ini menunjukkan bahwa takdir
Tuhan melingkupi manusia dalam segala keadaan. Akan tetapi, manusia tidak
boleh mengabaikan sebab-sebab terjadinya sesuatu karena setiap sesuatu
memiliki sebab berada di bawah kekuasaan manusia(maqdurah).
Pada masa pemerintahan Bani Umayah, pandangan Jabar itu mencuat
kepermukaan. Abdullah bin Abbas dengan suratnya, semakin reaksi keras
kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham al-Jabariyah. Hal yang sama
dilakukan oleh Hasan Bashri kepada penduduk Bashrah. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa pada waktu itu sudah mulai banyak orang yang berpaham
al-Jabariyah.
Dari bukti-bukti di atas dapat dikatakan bahwa cikal bakal paham
alJabariyah sudah muncul sejak awal periode Islam. Namu, al-Jabariyah
sebagai suatu pola pikir yang dianut, dipelajari, dan dikembangkan terjadi pada
akhir pemerintahan Bani Umayah.4
Dengan munculnya pemahaman ini, maka muncul pula pemahaman
yang dilontarkan oleh Ja‟ad Ibn Dirham, yang kemudian disiarkan dengan
gigih oleh muridnya Jaham Ibn Sofwan pada awal abad ke-2 H. Menurut
pemahaman mereka bahwa Tuhan telah menakdirkan perbuatan manusia sejak

⁷ Ibid. Hlm. 42- 44


semula, manusia pada hakikatnya tidak memiliki kehendak dan kudrat,
manusia bekerja tanpa kehendak melainkan bekerja di bawah tekanan dan
pemaksaan Tuhan.
Dengan qudrat berarti manusia merupakan orang yang berhak
menentukan sendiri, mengerjakan apa yang disukainya, sedangkan irodat
berarti manusia menerima tekanan ijbar belaka. Gambaran ajaran Jabariyah ini
persis seperti yang diungkapkan oleh Jaham Ibn Sofwan sendiri:
“Manusia itu sesungguhnya majbur dalam segala tindakannya, ia tidak
mempunyai ikhtiar dan kekuasaan, ia tidak ubahnya seperti bulu ayam yang
terawang di udara, apabila digerakkan ia akan bergerak dan apabila
dimantapkan ia akan mantap, Allah-lah yang berkuasa atas segala tindakan,
semuanya bersumber dari Tuhan”.5
C. Tokoh-Tokoh dan Ajaran Jabariyah

Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu


Jaham Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn
Muhammad al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan
Hafash al-Fard yang alirannyaa disebut al-Diroriah. Dalam hal ini,
alSyahrastani tidak memasukkan Ja‟ad Ibn Dirham, karena paham Jabariyah
pada masanya belum banyak pengikutnya, walaupun Marwan Ibn
Muhammad telah menjadi pengikutnya, sehingga ia diberi gelar Marwan al-
Ja‟di.

1. Ja’ad Ibn Dirham


Ja‟ad adalah putra dari Dirham ,seorang tuan dari Bani al-Hakam.
Sebagai pelopor Jabariyah, Ja‟ad Ibn Dirham dibesarkan dalam lingkungan
masyarakat yang selalu membicarakan tentang teologi,ia bertempat tinggal
di Damaskus tempat ini pada mulanya sebagai basis agama Kristen dan latar
inilah salah satu faktor penyebab timbulnya paham Jabariyah di kalangan
kaum muslimin. Ajaran yang ia kemukakan antara lain ialah bahwa al-quran
itu adalah makhluk, Allah tidak mempunyai sifat seperti sifatnya makhluk
dan menyatakan adanya takdir. Al-quran sebagai makhluk artinya bahwa al-

⁸Prof. Dr. H. Ris‟an Rusli, M.Ag.,2014.Teologi Islam,Prenadamedia Group, Jakarta. Hlm. 30-
Qur‟an itu diciptakan Allah, dan kalau ia di ciptakan berarti baru kalau ia
baru berarti bukan kalamullah.
Menurut al-gorobi, munculnya pemahaman ja‟ad tentang
kemakhlukan al-Qur‟an berkembang sebagai akibat dari pengingkarannya
terhadap sifat-sifat Tuhan. Ia mengemukakan alasan tersebut bahwa
alQur‟an itu baru dan Allah tidak bisa di sifati dengan sifat tersebut,
alQur‟an juga tidak mungkin qodim, karena tidak ada yang qodim selain
Allah.

2. Jaham ibn sofwan


Jaham Ibn Sofyan digelar oleh Abu Mahroj dia adalah seorang
pemimpin Bani Rosib dari Azd. Ia pandai berbicara dan seorang orator,
karena kepandaianya berbicara serta ke pasihannya, ia di angkat sebagai juru
tulis dan seorang muballig. Di samping itu, ia juga sebagai seorang ahli
debat. Akhir hayatnya ia di bunuh oleh Muslim Ibn Ahwaz Al-Mazini pada
akhir masa Bani Marwan. Paham-pahamnya dalam teologi:

a. Bahwa kalamullah (wahyu)Allah itu baru, bukan qodim dan tidak


kekal.

b. Tuhan tidak dapat di sifati dengan sifat-sifat yang di miliki makhluknya


karena dengan mensifatinya akan menimbulkan persamaan.

c. Iman adalah makrifah, sedangkan kufur adalah al-jahluh. Oleh sebab itu
orang yahudi yang mengetahui sifat-sifat nabi juga mukmin.

d. Surga dan neraka adalah baru, ia akan rusak, karena tidak ada sesuatupun
yang kekal selain Allah, adanya ungkapan al-khulud di dalam Al-Quran
adalah hanya menggambarkan lamanya, bukan kekalnya.
Paham Jaham Ibn Sofyan di atas berkembang di daerah Khurasan
dan sekitarnya, setelah ia mati terbunuh selanjutnya dikembangkan oleh
para pengikutnya di nahwan sampai dikalahkan oleh Abu Mansur
alMaturidi.

3. Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar


Pengikut-pengikut Al-Husain Ibn Muhammad Al-Najjar disebut
dengan al-najjariyah, paham-pahamnya yang mereka kemukakan ialah:
a) Kalamuallah bersifat baru

b) Orang yang berakal sebelum turunnya wahyu wajib mengetahui tuhan


dengan najhar.

c) Tuhanlah yang menciptakan perbuatan baik dan perbuatan buruk


manusia.

d) Dalam masalah rukyah, manusia tidak bisa melakukannya dengan mata


kepala, hal ini mustahil terjadi tetapi ia tidak mengingkari kemungkinan
allah memindahkan kekuatan hati untuk makrifat dengan Allah.
e) Tingkah laku manusia yang ditimbulkan oleh iman disebut taat, bukan
iman, gabungan dari keduanya baru disebut iman tetapi bila keduanya
berpisah satu sama lain maka tidak bisa disebut apa-apa.

4. Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard


Para pengikut Dharar Ibn Umar Dan Al-Hafash Al-Fard disebut
dhirorish. Paham-paham ynag mereka kemukakan antara lain:

a. Perbuatan manusia di ciptakan tuhan, manusia adalah muktasib.

b. Tidak adanya sifat-sifat tuhan.

c. Orang asing yang bukan dari suku Quraisy boleh memegang imamah,
bahkan apabila suku Quraisy berkumpul dengan yang bukan qurais,
maka yang bukan Quraisy harus di dahulukan karena jumlah orang yang
bukan Quraisy lebih sedikit.

D. Pokok-Pokok Ajaran Jabariyah


Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran
Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang
dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.
Kalau aliran Qadariyah mengajarkan bahwa semua takdir buruk dan
baiknya adalah terletak pada aktivitas manusia itu sendiri. Sedangkan Allah
tidak turut campur dalam persoalan takdir.8
Menolak adanya kekuasaan pada diri manusia. Manusia itu tidak
memiliki kemauan sendiri, tidak mempunyai pilihan atas aktivitas sesuatu.
Menurutnya Allah yang menjadikan aktivitas manusia sebagaimana benda mati
seperti air mengalir, hawa bergerak. Mereka meniadakan sifat-sifat pada Tuhan
yang mana sifat-sifat itu ada pada manusia. Apabila sifat-sifat manusia juga
disifati kepada Tuhan maka hal itu sangat berbahaya dan akan membentuk
tasybih(penyerupaan dengan makhluk).
Tuhan adalah Maha Kuasa, Maha Pencipta, yang Menghidupkan dan
Mematikan. Sifat-sifat ini adalah khusus bagi Tuhan saja. Tidak ada tindakan
dan perbuatan seseorang kecuali perbuatan dan tindakan Allah SWT. Faham
Jabariyah dikategorikan sebagai faham fatalis. Dalam filsafat Determinisme
manusia dianggap sebab segalanya telah di bentuk sebelumnya Determinisme
teologi menganggap bahwa ketentuan itu datang dalam alam mikro dan makro
kosmos sebagaimana yang terdapat dalam filsafat Cina kuno, Filsafat Mesir
kuno dan filsafat Yunani. Dalil-dalil naqli yang digunakan faham Jabariyah
adalah seperti dalam firman Allah SWT:

“Wahai Tuhan kami janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang
kami tidak sanggup”.(QS. Al-Baqarah:286).
“Allah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu perbuat”.(QS.
Shaffat:96).
“Mereka sebenarnya tidak akan percaya sekiranya
Allah menghendaki”.(QS Al-An‟am:112).9
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Nama jabariyah berasal dari kata “jabara” yang mengandung arti memaksa.
Menurut al-Syakhrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan
dari hamba secara hakikat dan menyerahkan perbuatan tersebut kepada
Allah.

b. Pemunculan aliran Jabariyah berpangkal dari persoalan teologis yang kedua,


yaitu persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan
perbuatan manusia. Bibit perbedaan paham tentang takdir ini sudah tampak
pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin, tetapi belum meninggalkan
perbincangan dan perdebatan yang serius, karena Nabi sendiri pernah
memarahi dan menghentikan perbincangan tentang takdir tersebut.

c. Al-Syahrastani menampilkan 4 pemuka dari aliran Jabariyah, yaitu Jaham


Ibn Sofwan yang alirannya disebut al-Jahmiah, al-Khusain Ibn Muhammad
al-Najjar yang alirannya disebut al-Najjariyah, Ibn Umar dan Hafash al-Fard
yang alirannya disebut al-Diroriah.

d. Pokok-pokok ajaran aliran Jabariyah ini adalah kebalikan dari ajaran


Qadariyah. Dengan kata lain, Jabariyah ini merupakan garis tolak belakang
dengan ajaran Qadariyah dalam soal takdir.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan masih banyak kekurangan
diantaranya adalah kurangnya referensi yang relevan dan pembahasan yang
kurang detail. Dan kiranya makalah kami ini sangat jauh dari kesempurnaan,
kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan demi meningkatkan
kesempurnaan makalah yang kami tulis ini.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyono & Bashori. 2010. Studi Ilmu Tauhid/Kalam. Malang: UIN Maliki Press.
Nurdin, M. Amin. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: Amzah.
Rusli, Ris‟an. 2014. Teologi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.
Yusuf, M. Yunan. Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Matdawam, M. Noor. 1995. Aqidah Dan Ilmu Pengetahuan Dalam Lintasan
Sejarah Dinamika Budaya Manusia. Yogyakarta: Bina Karier.
Mahmud, Latief. 2006. Ilmu Kalam. Pamekasan: StainPress.
MAKALAH

ILMU KALAM TENTANG QADARIYAH

Disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu:

Liza Wahyuninto, M.H

Disusun Oleh:

Agustina Reza Umami

FALKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKRIFATUL ILMI

BENGKULU SELATAN

1445 H/2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan dalam
menyelesaikan makalah ini. Tanpa rahmat dan pertolongannya saya tidak akan mampu
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa sholawat serta salam tercurahkan kepada
Nabi agung Muhammad SAW yang syafa’atnya kita nantikan kelak

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehatnya, sehingga
makalah“ILMU KALAM TENTANG QADARIYAH “ dapat diselesaikan. Saya menyadari
bahwa makalah ini masih perlu banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Saya
terbuka terhadap kritik dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat
banyak kesalahan pada makalah, baik terkait penulisan maupun konten, saya memohon maaf.

Manna, 4 Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. 3

BAB I............................................................................................................................................. 4

PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 4

A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................................................... 5

PEMBAHASAN............................................................................................................................ 5

A. Pengertian Dan Penisbatan Paham Qadariyah.......................................................................... 5


BAB III ........................................................................................................................................ 10

PENUTUP ................................................................................................................................... 10

A. Kesimpulan ............................................................................................................................. 10
B. Saran ....................................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 11

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Persoalan Iman (aqidah) agaknya merupakan aspek utama dalam ajaran Islam yang didakwahkan
oleh Nabi Muhammad.Pentingnnya masalah aqidah ini dalam ajaran Islam tampak jelas pada misi
pertama dakwah Nabi ketika berada di Mekkah. Pada periode Mekkah ini, persoalan aqidah
memperoleh perhatian yang cukup kuat dibanding persoalan syari’at, sehingga tema sentral dari
ayat-ayat al- Quran yang turun selama periode ini adalah ayat-ayat yang menyerukan kepada
masalah keimanan.

Munculnya berbagai kelompok teologi dalam Islam tidak terlepas dari faktor historis yang
menjadi landasan kajian. Bermula ketika Nabi Muhammad saw wafat, riak-riak perpecahan di
antara kaum Muslim timbul kepermukaan. Perbedaan pendapat dikalangan sahabat tentang siapa
pengganti pemimpin setelah Rasul, memicu pertikaian yang tidak bisa dihindari. Semua
terbungkus dalam isu- isu yang bernuansa politik, dan kemudian berkembang pada persoalan
keyakinan tentang tuhan dengan mengikutsertakan kelompok-kelompok mereka sebagai
pemegang “predikat kebenaran”.

Ada beberapa kelompok besar yang pemahamannya sangat ekstrim (berlebihan) dan saling
bertolak belakang. Kelompok ini muncul di akhir era para sahabat. Diantara kelompok tersebut
adalah Qadariyah. Pemikiran qadariyah ini bercorak liberal.

Munculnya corak pemikiran yang beragam dalam Islam disebabkan karena semakin luasnya
wilayah Islam ke Timur dan ke Barat. Umat Islam mulai bersentuhan dengan keyakinan dan
pemikiran dari ajaran-ajaran lain, terutama filsafat Yunani. Seperti diketahui wilayahwilayah yang
bergabung dengan Islam, terutama di bagian Barat adalah wilayah-wilayah yang pernah diduduki
oleh bangsa Romawi(Yunani).

Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Qadariyah. Dalam makalah ini penulis
hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Qadariyah. Mencakup di dalamnya
adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

B. RUMUSAN MASALAH

1.Apa itu Aliran Qodariyah?

2.Bagaimana Aliran Qodariyah muncul?

3.Bagaimana pokok pemikiran Aliran Qodariyah?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Penisbatan Paham Qadariyah

Pengertian dan Asal-usul Qodariyah Kata Qadariyah berasal dari bahasa Arabqadarayang
berarti kemampuan dan kekuatan. Nama Qadariyah juga berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyaiqudrahatau kemampuan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendaknya
sendiri, bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau ketentuan
Allah.3Dalam istilah Inggrisnya paham ini dikenal dengan namafree willdanfree act.

Aliran-aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya. Seseorang dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Aliran ini lebih menekankan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan
perbuatan-perbutannya. Harun Nasution menegaskan bahwa aliran ini berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai kekuatan un- tuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari
pengertian bahwa manu- sia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.

Menurut Ahmad Amin sebagaimana dikutip oleh Hadariansyah, orang- orang yang
berpaham Qadariyah adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan
berkehendak dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan
sebuah perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada se- bagian pakar teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-
Dimasyqi sekitar tahun 70 H/689M.

B. Dokterin-Dokterin Paham Qadariyah

Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghalian tentang ajaran Qadariyah bahwa manusia
berkuasa atas perbuatan-perbutannya. Manusia sendirilah yang melakukan perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbutan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri. Tokoh an-Nazzam menyatakan
bahwa manusia hidup mempunyai daya, dan dengan daya itu ia dapat berkuasa atas segala
perbuatannya.

5
Dalam kitab Al-Milal wa An-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan
pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan antara kedua aliran ini
kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas di kupas oleh
kalangan Mu’tazilah sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah akibatnya,
orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya
bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan tuhan.

Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.
Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri,
baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya. Ganjaran kebaikan di sini disamakan dengan balasan surga kelak di akherat dan
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akherat, itu didasarkan atas pilihan pribadinya
sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan
balasannya sesuai dengan tindakannya.

Faham takdir yang dikembangkan oleh Qadariyah berbeda dengan konsep yang umum
yang dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu paham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib
yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dengan demikian takdir adalah ketentuan
Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum
yang dalam istilah al-Quran adalah sunnatullah.

Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah.
Manusia dalam dimensi fisiknya tidak dapat berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam.
Misalnya manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak mempunyai sirip seperti ikan yang mampu
berenang di lautan lepas. Demikian juga manusia tidak mempunyai kekuatan seperti gajah yang
mampu membawa barang dua ratus kilogram.

Dengan pemahaman seperti ini tidak ada alasan untuk menyandarkan perbuatan kepada
Allah. Di antara dalil yang mereka gunakan adalah banyak ayat-ayat al-Quran yang berbicara dan
mendukung paham itu, seperti berikut:

-Fush-Shilat : 40

‫بصَُ ير‬
ِ َ‫تعَُ َم ُلون‬ ِ ُُ‫ا ْع َم ُلوا َما ِشئتْ ْم‬
ْ ‫إنَُ ُهُ ِب َما‬
Artinya: “Kerjakanlah apa yang kamu kehendaki sesungguhnya Ia melihat apa yang kamu
perbuat”. (QS. Fush-Shilat : 40).

-Ar-Ra’d :11

ِ َُ‫ى ي ُغ ِيَ ِرُُ وا َما بأ ِْن‬


‫فسُُ ِه ْم‬ ِ ‫إنَُ ُ اللََُ َُُ ُ ال ي ُغ ِيَ ِرُُ َما ب‬
َّ ‫قَُ ْو ٍم َحت‬ ِ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan [Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebabsebab
kemunduran mereka.] yang ada pada diri mereka sendiri”. (QS.Ar-Ra’d :11)
6
C. Asas-asas Paham Qadariyah

1. Mengingkari takdir Allah Taala dengan maksud ilmuNya.

2. Melampaui atau berlebihan didalam menetapkan kemampuan manusia dengan menganggap


mereka bebas berkehendak (iradah). Di dalam perbuatan manusia, Allah tidak mempunyai
pengetahuan (ilmu) mengenainya dan ia terlepas dari takdir (qadar). Mereka menganggap
bahawa Allah tidak mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu kecuali selepas ia terjadi.

3. Mereka berpendapat bahawa Allah tidak bersifat dengan suatu sifat yang ada pada makhluknya.
Karena ini akan membawa kepada penyerupaan (tasybih). Oleh itu mereka menafikan sifat-
sifat Ma’ani dari Allah Taala.

4. Mereka berpendapat bahawa al-Quran itu adalah makhluk, Ini disebabkan pengingkaran
mereka terhadap sifat Allah.

5. Mengenal Allah wajib menurut akal, dan iman itu ialah mengenal Allah. Jadi menurut faham
Qadariyah, Iman adalah pengetahuan dan pemahaman, sedang amal perbuatan tidak
mempengaruhi iman. Artinya, orang berbuat dosa besar tidak mempengaruhi keimanannya.

6. Mereka mengingkari melihat Allah (rukyah), kerana ini akan membawa kepada penyerupaan
(tasybih).

7. Mereka mengemukakan pendapat tentang syurga dan neraka akan musnah (fana’), selepas ahli
syurga mengecap nikmat dan ahli neraka menerima azab siksa.

8. Tokoh-tokoh paham Qadariyah

Perpecahan dalam Islam sangat erat kaitannya dengan aliran Qadariyah, karena aliran tersebut
dapat dikatakan dari perpecahan itu sendiri, berikut ini adalah tokoh-tokoh yang termasuk
didalamnya tokoh pencetus aliran Qadariyah :

1. Ibnu Sauda’ Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi

Dia adalah seorang Yahudi yang mengaku-ngaku beragama Islam 34 H. Ibnu Sauda’ ini
memadukan antara faham Khawarij dan Syi’ah.

2. Ma’bad Al-Juhani (meninggal dunia tahun 80 H)

Dia meluncurkan pemikiran seputar masalah takdir sekitar tahun 64 H. Ia menggugat ilmu Allah
dan takdirNya. Ia mempromosikan pemikiran sesaat itu terang-terangan sehingga banyak
meninggalkan ekses. Disamping orang-orang yang mengikutinya juga banyak. Namun bid’ahnya
ini mendapat penentangan yang sangat keras dari kaum Salaf, termasuk di dalamnya para sahabat
yang masih hidup ketika itu, seperti Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma.

Menurut Al-Zahabi dalam kitabnya Mizan al-I’tidal, yang dikutip Ahmad Amin dalam Sirajuddin
Zar, menerangkan bahwa ia adalah tabi’in yang dapat dipercaya, tetapi ia memberikan contoh
yang tidak baik dan mengatakan tentang qadar. Lalu ia dibunuh oleh alHajjaj karena ia

7
memberontak bersama Ibnu al-Asy’as. Tampaknya disini ia dibunuh karena soal politik,
meskipun kebanyakan mengatakan bahwa terbunuhnya karena soal zindik. Ma’bad Al-Jauhani
pernah belajar kepada Hasan Al-Bashri, dan banyak penduduk Basrah yang mengikuti alirannya
.

3. Ghailan Ad-Dimasyqi

Sepeninggal Ma’bad, Ghailan Ibnu Muslim al-dimasyqy yang dikenal juga dengan Abu Marwan.
Menurut Khairuddin al-Zarkali dalam Sirajuddin Zar menjelaskan bahwa Ghailan adalah seorang
penulis yang pada masa mudanya pernah menjadi pengikut Al-Haris Ibnu Sa’id yang dikenal
sebagai pendusta. Ia pernah taubat terhadap pengertian faham qadariyahnya dihadapan Umar Ibnu
Abdul Aziz, namun setelah Umar wafat ia kembali lagi dengan mazhabnya.

Dialah yang mengibarkan pengaruh cukup besar seputar masalah-masalah takdir sekitar tahun 98
H. Dan juga dalam masalah ta’wil, ta’thil (mengingkari sebagian sifat-sifat Allah) dan masalah
irja. Para salaf pun menentang pemikirannya itu. Termasuk diantara yang menentangnya adalah
Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau menegakkan hujjah atasnya, sehingga Ghailan
menghentikan celotehannya sampai Umar bin Abdul Aziz wafat. Namun setelah itu, Ghailan
kembali meneruskan aksinya. Ini merupakan ciri yang sangat dominan bagi ahli bid’ah, yaitu
mereka tidak akan bertaubat dari bid’ah. Sekalipun hujjahnya telah dipatahkan, mereka tetap
kembali menentang dan kembali kepada bid’ahnya. Ghailan ini akhirnya dihukum mati setelah
dimintai taubat namun menolak bertaubat pada tahun 105 H. Dia mati dihukum oleh Hisyam
Abdul al-Malik (724-743). Sebelum dijatuhi hukuman mati diadakan perdebatan antara Ghailan
dan al-Awza’i yang dihadiri oleh Hisyam sendiri.

4. Al-Ja’d bin Dirham (yang terbunuh tahun 124H)

Dia mengembangkan pendapat-pendapat sesat pendahulunya dan meracik antara bid’ah


Qadariyah dengan bid’ah Mu’aththilah dan ahli ta’wil. Kemudian ia menyebarkan pemikiran
rancu (syubhat) di tengah-tengah kaum muslimin. Sehingga para ulama Salaf memberi peringatan
kepadanya dan menghimbaunya untuk segera bertaubat. Namun ia menolak bertaubat. Para ulama
membantah pendapat-pendapat Al-Ja’d ini dan menegakkan hujjah atasnya, namun ia tetap
bersikeras. Maka semakin banyak kaum muslimin yang terkena racun pemikirannya.

para ulama memutuskan hukuman mati atasnya demi tercegahnya fitnah (kesesatan). Ia pun
dibunuh oleh Khalid bin Abullah Al-Qasri. Kisah terbunuhnya Al-Ja’d ini sangat mashur, Khalid
berpidato seusai menunaikan shalat ‘Idul Adha : “Sembelihlah hewan kurban kalian, semoga
Allah menerima sembelihan kalian, sementara aku akan menyembelih Al-Ja’d bin Dirham, karena
telah mendakwahkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menjadikan Ibrahim sebagai
khalilNya dan Allah tidak mengajak Nabi Musa berbicara dan seterusnya”. Kemudian beliau
turun dari mimbar dam menyembelihnya. Peristiwa ini terjadi pada tahun 124 H.

5. Al-jahm bin Shafwan

Sesudah peristiwa itu, api kesesatan sempat padam beberapa waktu. Hingga kemudian marak
kembali melalui tangan Al-Jahm bin Shafwan. Yang mengoleksi bid’ah dan kesesatan generasi
pendahulunya serta menambah bid’ah baru. Akibat ulahnya muncullah bid’ah Jahmiyah serta
8
kesesatan dan penyimpangan kufur lainnya yang ditularkannya. Al-Jahm bin Shafwan ini banyak
mengambil ucapan-ucapan Ghailan dan Al-Ja’d, bahkan ia menambah lagi dengan bid’ah ta’thil
(penolakan sifat-sifat Allah), bid’ah ta’wil, bid’ah irja’, bid’ah Jabariyah, bid’ah Kalam, dan
sebagainya. Al-Jahm akhirnya dihukum mati pada tahun 128 H

6. Washil bin Atha’ dan Amr bin Ubeid

Orang ini muncul bersamaan di masa Al-Jahm bin Shafwan. Mereka berdua meletakkan
dasardasar pemikiran Mu’tazilah Qadariyah.

D. Sekte Paham Qadariyah

Seperti faham dalam ilmu kalam lainnya, faham Qadariyah pun terpecah menjadi beberapa
kelompok. Banyak pendapat tentang perpecahan Qadariyah ini, diantaranya dikatakan bahwa
faham Qadariyah terpecah menjadi dua puluh kelompok besar, yang setiap kelompok dari mereka
mengkafirkan kelompok yang lainnya. Dua puluh aliran dari Qadariyah itu adalah Washiliyah,
‘Amruwiyah, Hudzaliyah, Nazhamiyah, Murdariyah, Ma‘mariyah, Tsamamiyah,
Jahizhiyah, Khabithiyah, Himariyah, Khiyathiyah, Syahamiyah, Ashhab Shalih Qubbah,
Marisiyah, Ka‘biyah, Jubbaiyah, Bahsyamiyah, Murjiah Qadariyah. Dari Bahsyamiyah lahir pula
aliran besar, yakni Khabithiyah dan Himariyah.

Dan sesungguhnya Qadariyah terpecah-pecah menjadi golongan yang banyak, tidak ada yang
mengetahui jumlahnya kecuali Allah, setiap golongan membuat madzhab (ajaran) tersendiri dan
kemudian memisahkan diri dari golongan yang sebelumnya. Inilah keadaan ahlul bid’ah yang
mana mereka selalu dalam perpecahan dan selalu menciptakan pemikiran-pemikiran dan
penyimpangan-penyimpangan yang berbeda dan saling berlawanan. Namun berapa banyak pun
jumlah golongan dari hasil perpecahan penganut faham Qadariyah, tetap saja hal ini berujung dan
bersumber pada tiga pemahaman.

1. Golongan Qadariyah yang pertama adalah mereka yang mengetahui qadha dan
qadar serta mengakui bahwa hal itu selaras dengan perintah dan larangan, mereka berkata
jika Allah berkehendak, tentu kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya,
dan kami tidak mengharamkan apapun.

2. Qadariyah majusiah, adalah mereka yang menjadikan Allah berserikat dalam


penciptaan-penciptaan-Nya, sebagai mana golongan-golongan pertama menjadikan
sekutu-sekutu bagi Allah dalam beribadat kepadanya, sesungguhnya dosa-dosa
yangterjadi pada seseorang bukanlah menurut kehendak Allah, kadang kala
merekaberkata Allah juga tidak mengetahuinya.

3. Qadariyah Iblisiyah, mereka membenarkan bahwa Alah merupakan sumber


terjadinya kedua perkara (pahala dan dosa) Adapun yang menjadikan kelebihan dari
paham ini membuat manusia menjadi kreatif dan dinamis, tidak mudah putus asa, ingin
maju dan berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, namun demikian mengeliminasi
kekuasaan Allah juga tidak dapat dibenarkan oleh paham lainnya (Ahlussunah wal
jamaah).
9
- Sedangkan dalam segi pengamalan Qadariyah terbagi dua, yaitu:

1. Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menolak takdir

2. Qadariyah yang ghuluw (berlebihan) dalam menetapkan takdir.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Intinya paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak


dan memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang buruk
tanpa campur tangan dari Allah S.W.T. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai
kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. . Dalam teologi modern
faham Qadariyah ini dikenal dengan nama free will, freedom of willingness atau fredom of
action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.

Sejarah lahirnya aliran Qadariyah tidak dapat diketahui secara pasti dan masih merupakan sebuah
perdebatan. Akan tetepi menurut Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan
bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad al-Jauhani dan Ghilan ad-Dimasyqi
sekitar tahun 70 H/689M.

Ibnu Nabatah menjelaskan dalam kitabnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Amin,
aliran Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh orang Irak yang pada mulanya beragama Kristen,
kemudian masuk Islam dan kembali lagi ke agama Kristen. Namanya adalah Susan, demikian
juga pendapat Muhammad Ibnu Syu’ib. Sementara W. Montgomery Watt menemukan dokumen
lain yang menyatakan bahwa paham Qadariyah terdapat dalam kitab arRisalah dan ditulis untuk
Khalifah Abdul Malik oleh Hasan al-Basri sekitar tahun 700M.

Sebagai kesimpulan dalam makalah ini kedua aliran baik Qadariyah ataupun jabariyah
memperlihatkan paham yang saling bertentangan. Meskipun mereka sama-sama berpegang teguh
pada Al-Quran’. Hal ini menunjukkan betapa terbukanya kemungkinan perbedaan pendapat
dalam islam.

B. Saran

Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam
makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan dan
kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh hubungannya dengan makalah ini. Penulis
banyak berharap kepada para pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun kepada

10
kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan
para pembaca

DAFTAR PUSTAKA

1. Sufyan Raji Abdullah. Mengenal aliran-aliran dalam islam dan cirri-ciri ajaranya.
Jakarta: Pustaka Riyadl. 2007
2. Ilmu Tauhid Lengkap. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996.
3. Abu Bakar Jabir El-Jazairi. Pola Hidup Muslim Aqidah. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya. 1990.
4. https://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/01/firqah-qadariyah-gen-firqoh-dan-
akarbidah/. Diakses pada tanggal 25 September 2015.

11
MAKALAH

SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN SYI’AH

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam

Dosen Pengampu : Liza Wahyuninto, MH

Disusun Oleh

Tiara Monika

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MAKRIFATUL ILMI

BENGKULU SELATAN

1445 H/2023
KATA PENGANTAR

‫السالم عليكم ورحمةاللهوبركا ته‬


Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami ucapkan banyak terimakasih atas bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah selain untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ilmu Kalam” juga untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada para pembaca
yang senantiasa membaca makalah yang telah kami susun sedemikian rupa. Semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca, untuk dapat
memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi di masa
yang akan datang.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
‫والسالم عليكم ورحمةاللهوبركا ته‬

Bengkulu Selatan,3 Oktober 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
C. Tujuan penulisan makalah........................................................................... 1
BAB II SYI’AH
A. Pengertian Syi’ah………………………………………............................ 2
B. Latar Belakang Kemunculan Syi’ah……………………………………... 2
C. Doktrin, Ushuluddin dan Furu’uddin……………………………………. 4
D. Sekte dalam Syi’ah………………………………………………………. 8
E. Syi’ah dan Khilafah…………………………………………………….... 9
BAB III ANALISIS……………………………………….......................................... 12
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………. 13
B. Kritik dan Saran…………………………………………………………... 13
B
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejarah Islam mencatat bahwa hingga saat ini terdapat dua macam aliran besar dalam
Islam. Keduanya adalah Ahlusunnah (Sunni) dan Syi’ah. Tak dapat dipungkiri pula, bahwa dua
aliran besar teologi ini kerap kali terlibat konflik kekerasan satu sama lain.
Syi’ah dalam sejarah pemikiran Islam merupakan sebuah aliran yang muncul
dikarenakan politik dan seterusnya berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam.
Sebagai salah satu aliran politik, bibitnya sudah ada sejak timbulnya persoalan siapa
yang berhak menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah. Dalam persoalan ini Syi’ah
berpendapat bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah meninggal dunia
adalah keluarga sedarah yang dekat dengan Nabi, yaitu Ali bin Abi Thalib dan harus
dilanjutkan oleh anaknya, Hasan dan Husen, serta keturunan-keturunannya.
Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ahli. Ada yang mengatakan syiah muncul pada masa khalifah Utsman bin Affan,
ada juga yang mengatakan syiah muncul ketika peperangan siffin terjadi yang kemudian
terpecah menjadi dua kelompok salah satunya adalah yang mendukung khalifah Ali bin
Abi Thalib.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Syi’ah ?
2. Bagaimana Latar Belakang Kemunculan Syi’ah ?
3. Bagaimana Doktrin, Ushuluddin dan Furu’uddin ?
4. Bagaimana Sekte yang terdapat dalam Syi’ah ?
5. Bagaimana Syiah dan Khilafahnya ?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Untuk mengetahui definisi syi’ah.
2. Untuk mengetahui latar belakang kemunculan syi’ah.
3. Untuk mengetahui doktrin, ushuluddin dan furu’uddin.
4. Untuk mengetahui sekte yang terdapat dalam syi’ah.
5. Untuk mengetahui syi’ah dan khilafahnya.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syi’ah
Syiah dilihat dari bahasa berarti pengikut, pendukung, partai, atau kelompok, sedangkan
secara terminologi adalah sebagian kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan
keagamannya selalu merujuk pada keturunan Nabi Muhammad SAW atau orang yang disebut
sebagai ahlul bait. Mereka menolak petunjuk-petunjuk keagamaan dari para sahabat yang
bukan ahl al-bait atau para pengikutnya.
Syiah untuk pertama kalinya ditunjuk pada para pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin
pertama ahl al-bait pada masa Nabi Muhammad SAW. Para pengikut Ali yang disebut syi’ah
itu diantaranya adalah Abu dzar Al-Ghiffari, Miqad bin al-Aswad, dan Ammar bin Yasir.
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan syi’ah berkaitan dengan
masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak kekhalifahan Abu
Bakar, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan karena dalam pandangan mereka hanya Ali
bin Abi Thaliblah yang berhak menggantikan Nabi.1
Kelompok syi’ah yang minoritas menganggap bahwa peran ini harus tetap dipegang oleh
keluarga Nabi dan karenanya mendukung Ali bin Abi Thalib. Jabatan kepemimpinan Ali ini
dianggap mereka atas dasar penunjukan (ta’yin) dan wasiat (nash). Mereka yang mendukung
Ali inilah yang disebut golongan Syi’ah.2

B. Latar Belakang Kemunculan Syi’ah


Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah terdapat perbedaan pendapat di kalangan para
ahli. Menurut Abu Zahrah syiah mulai muncul ke permukaan sejarah pada masa akhir
pemerintahan Utsman bin Affan. Selanjutnya, aliran ini tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Sedangkan Watt menyatakan bahwa syi’ah muncul ketika
berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan Perang Shiffin. Dalam
peperangan ini sebagai respons atas penerimaan Ali terhadap arbitrase yang ditawarkan

1
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 89-90.
2
Amin Nurdin dan Afifi Fauzi Abbas, Sejarah Pemikiran Islam, (Jakarta: AMZAH, 2014), 176.

2
Muawiyah, pasukan Ali diceritakan terpecah menjadi dua, satu kelompok mendukung sikap
Ali disebut Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali disebut Khawarij.
Berbeda dengan pandangan di atas, kalangan Syi’ah berpendapat bahwa kemunculan
Syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti (khilafah) Nabi Muhammad SAW. Mereka
menolak kekhalifahan Abu Bakar Umar bin Khaththab dan Utsman bin ‘Affan karena dalam
pandangan mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak menggantikan Nabi. Ketokohan Ali
dalam pandangan Syi’ah sejalan dengan isyarat-isyarat yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW pada masa hidupnya. Pada awal kenabian ketika Muhammad diperintahkan
menyampaikan dakwah kepada kerabatnya, yang pertama - tama menerima adalah Ali bin Abi
Thalib. Pada saat itu Nabi mengatakan bahwa orang yang pertama - tama memenuhi ajakannya
akan menjadi penerus dan pewarisnya. Selain itu sepanjang kenabian Muhammad, Ali
merupakan orang yang menunjukkan perjuangan dan pengabdian yang luar biasa besar.
Bukti sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa Ghadir Khumm. Diceritakan
bahwa ketika kembali dari haji terakhir dalam perjalanan dari Mekah ke Madinah, di padang
pasir yang bernama Ghadir Khumm, Nabi memilih Ali sebagai penggantinya di hadapan massa
yang penuh sesak menyertai beliau. Pada peristiwa itu, Nabi tidak hanya menetapkan Ali
sebagai pemimpin umum umat (walyat-i ammali), tetapi juga menjadikan All sebagaimana
Nabi, sebagai pelindung (wali) mereka.
Berlawanan dengan harapan mereka, ketika Nabi wafat dan jasadnya masih terbaring
belum dikuburkan, anggota keluarganya dan orang sahabat sibuk dengan persiapan penguburan
dan pemakamannya. Teman-teman dan pengikut - pengikut Ali mendengar kabar adanya
kegiatan kelompok lain telah pergi ke masjid tempat umat berkumpul menghadapi hilangnya
pemimpin yang tiba – tiba. Kelompok ini kemudian menjadi mayoritas, bertindak lebih jauh
dan dengan sangat tergesa-gesa memilih kaum muslim dengan maksud menjaga kesejahteraan
umat dan memecahkan masalah mereka saat itu. Mereka melakukan hal itu tanpa berunding
dengan ahl al – bait. Keluarganya ataupun sahabat – sahabatnya yang sedang sibuk dengan
upacara pemakaman, dan sedikit pun tidak memberitahukan mereka. Dengan demikian,
kawan-kawan Ali dihadapkan pada suatu keadaan yang sudah tidak dapat berubah lagi (faith
accompli).3
Berdasarkan realitas itulah, demikian pandangan kaum syiah kemudian muncul sikap
dikalangan sebagian kaum muslim yang menentang kekhalifahan dan menolak kaum mayoritas
dalam masalah kepercayaan – kepercayaan tertentu. Mereka tetap berpendapat bahwa

3
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 113.

3
pengganti Nabi dan penguasa keagamaan yang sah adalah Ali. Mereka berkeyakinan bahwa
semua persoalan kerohanian dan agama harus merujuk kepadanya serta mengajak masyarakat
untuk mengikutinya, Inilah yang kemudian disebut sebagai Syi’ah. Akan tetapi, lebih dari itu
seperti dikatakan Nasr, sebab utama munculnya Syi’ah terletak pada kenyataan bahwa
kemungkinan ini ada dalam wahyu Islam sehingga harus diwujudkan.
Perbedaan pendapat di kalangan para ahli mengenal kalangan Syi’ah merupakan sesuatu
yang wajar. Para ahli berpegang teguh pada fakta sejarah “perpecahan” dalam Islam yang mulai
mencolok pada masa pemerintahan Utsman bin Affan dan memperoleh momentumnya yang
paling kuat pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, tepatnya setelah Perang Shiffin.
Adapun kaum Syi’ah, berdasarkan hadis-hadis yang mereka terima dan ahl al-bait,
berpendapat bahwa perpecahan itu mulal ketika Nabi Muhammad SAW wafat dan
kekhalifahan jatuh ke tangan Abu Bakar. Setelah itu, terbentuklah Syi’ah. Bagi mereka, pada
masa kepemimpinan Al-Khulafa Ar-Rasyidin, kelompok Syi’ah sudah ada. Mereka bergerak
ke permukaan mengajarkan dan menyebarkan doktrin - doktrin Syi’ah kepada masyarakat.
Tampaknya, Syi’ah sebagai salah satu faksi politik Islam yang bergerak secara terang -
terangan, muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi, Syi’ah sebagai
doktrin yang diajarkan secara diam - diam oleh ahl al-bait muncul setelah wafatnya Nabi.

C. Doktrin, Ushuluddin dan Furu’uddin


1. Doktrin - doktrin Syi’ah Itsna ‘Asyariah
Didalam sekte Syi’ah Itsna ‘Asyariah dikenal konsep Usul Ad-Din. Konsep ini menjadi
akar atau fondasi pragmatisme agama. Konsep Usuluddin mempunyai lima akar, yaitu sebagai
berikut4:
a) Tauhid (the devine unity)
Tuhan adalah Esa, baik esensi maupun eksistensi-Nya. Keesaan Tuhan adalah
mutlak. Ia bereksistensi dengan sendiri-Nya.Tuhan adalah qadim. Maksudnya, Tuhan
bereksistensi sebelum ada ruang dan waktu. Ruang dan waktu diciptakan oleh Tuhan.
Tuhan Maha tahu, Maha mendengar, selalu hidup, mengerti semua bahasa, selalu benar,
dan bebas berkehendak. Keesaan Tuhan tidak murakkab (tersusun). Tuhan tidak
membutuhkan sesuatu. Ia berdiri sendiri, tidak dibatasi oleh ciptaan-Nya. Tuhan tidak
dapat dilihat dengan mata biasa
b) Keadilan (the devine justice)

4
Ibid., hlm. 116

4
Tuhan menciptakan kebaikan di alam semesta merupakan keadilan. Ia tidak pernah
menghiasi ciptaan-Nya dengan ketidakadilan. Karena ketidakadilan dan kezaliman
terhadap yang lain merupakan tanda kebodohan dan ketidakmampuan, sementara Tuhan
adalah Mahatahu dan Mahakuasa. Segala macam keburukan dan ketidakmampuan
adalah jauh dari keabsolutan dan kehendak Tuhan.
c) Nubuwwah (appostleship)
Setiap makhluk di samping telah diberi insting, secara alami juga masih
membutuhkan petunjuk, baik petunjuk dari Tuhan maupun dari manusia. Rasul
merupakan petunjuk hakiki utusan Tuhan yang secara transenden diutus memberikan
acuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk di alam semesta. Dalam
keyakinan Syi’ah ltsna ‘Asyariah Tuhan telah mengutus 124.000 Rasul untuk
memberikan petunjuk kepada manusia.
d) Ma’ad (the last day)
Ma’ad adalah hari akhir (kiamat) untuk menghadapi pengadilan Tuhan di akhirat,
setiap muslim harus yakin keberadaan kiamat dan kehidupan suci setelah dinyatakan
bersih dan lurus dalam pengadilan Tuhan. Mati adalah periode transit dari kehidupan
dunia menuju kehidupan akhirat.
e) Imamah (the devine guidance)
Imamah adalah institusi yang diinagurasikan Tuhan untuk memberikan petunjuk
manusia yang dipilih dari keturunan Ibrahim dan didelegasikan kepada keturunan
Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir. Selanjutnya, dalam sisi yang bersifat
mahdhah, Syi’ah ltsna ‘Asyariah berpijak pada delapan cabang agama yang disebut
dengan furu’ ad-din. Delapan cabang tersebut terdiri atas shalat, puasa, haji, zakat,
khumus atau pajak sebesar seperlima dari penghasilan, jihad, aI-amr bi aI-ma’ruf, dan
an-nahyu ‘an al-munkar.
2. Doktrin Imamah dalam Pandangan Syi’ah Sabi’ah
Para pengikut Syi’ah Sab’iah percaya bahwa Islam dibangun oleh tujuh pilar, seperti
dijelaskan dalam Al - Qadhi An-Nu’man dalam Da’aim Al-Islam. Tujuh pilar tersebut adalah:5
a. iman,
b. taharah,
c. shalat,

5
Ibid., hlm. 119

5
d. zakat,
e. saum,
f. menunaikan haji,
g. jihad.
Berkaitan dengan pilar (rukun) pertama, yaitu iman, Qadhi An-Nu’man (974 M)
memerincinya sebagai berikut: iman kepada Allah, tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan Allah; iman kepada surga; iman kepada neraka; iman kepada hari kebangkitan; iman
kepada hari pengadilan; iman kepada para nabi dan rasul; imam kepada imam, percaya,
mengetahui, dan membenarkan imam zaman.
Imam adalah penunjukan melalui wasiat. Syarat-syarat seorang imam dalam pandangan
Syi’ah Sab’iah adalah sebagai berikut:
a. Imam harus dari keturunan Ali melalui perkawinannya dengan Fatimah yang kemudian
dikenal dengan Ahlul Bait.
b. Berbeda dengan aliran Kaisaniah, pengikut Mukhtar Ats-Tsaqafi, mempropagandakan
bahwa keimaman harus dan keturunan Ali melalui pernikahannya dengan seorang wanita
dan Bani Hanifah dan mempunyai anak yang bernama Muhammad bin Al-Hanafiyah.
c. Imam harus berdasarkan penunjukan atau nash. Syi’ah Sab’iah meyakini bahwa setelah
Nabi wafat,’Ali menjadi imam berdasarkan penunjukan khusus yang dilakukan Nabi
sebelum wafat. Suksesi keimaman menurut doktrin dan tradisi Syi’ah harus berdasarkan
nash oleh imam terdahulu.
d. Keimaman jatuh pada anak tertua. Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam
memperoleh keimaman dengan jalan wiratsah (heredity) dan seharusnya merupakan
anak paling tua. Jadi, ayahnya yang menjadi imam menunjuk anaknya yang paling tua.
e. Imam harus maksum (immunity from sin a error).41 Sebagaimana sekte Syi’ah Iainnya,
Syi’ah Sab’iah menggariskan bahwa seorang imam harus terjaga dan salah satu dosa.
Bahkan lebih dan itu, Syi’ah Sab’iah berpendapat bahwa jika imam melakukan perbuatan
salah, perbuatan itu tidak salah.
3. Doktrin imamah menurut Syi’ah Zaidiah
lmamah sebagaimana telah disebutkan merupakan doktrin fundamental dalam Syi’ah
secara umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syi’ah lain, Syi’ah Zaidiah
rnengembangkan doktrin imamah yang tipikal.6 Kaum Zaidiah menolak pandangan yang
menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. telah

6
Ibid., hlm. 123

6
ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, tetapi hanya dtentukan sifat-sifatnya. Ini jelas
berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad SAW telah menunjuk
Ali sebagai orang yang pantas sebagai imam setelah Nabi wafat karena sifat-sifat itu tidak
dirniliki oleh orang lain, selain Ali. Sifat-sifat itu adalah keturunan Bani Hasyim, wara (saleh,
menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan membaur dengan rakyat untuk
mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam.
Selanjutnya, menurut Zaidiah, seorang imam harus memiliki ciri- ciri berikut. Pertama,
merupakan keturunan ahl al-bait, baik yang bergaris Hasan maupun Husein. Hal ini
mengimplikasikan penolakan mereka atas sistem pewarisan dan nash kepemimpinan. Kedua,
memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau
menyerang. Atas dasar ini mereka menolak Mahdiisme yang merupakan salah satu ciri sekte
Syi’ah lainnya, baik yang gaib maupun yang masih di bawah umur. Bagi mereka, pemimpin
yang menegakkan kebenaran dari keadilan adalah Mahdi. Ketiga, kecenderungan
intelektualisme yang dibuktikan dengan ide dan karya dalam bidang keagamaan. Keempat,
mereka menolak kemaksuman imam. Dalam kaitan ini, mereka mengembangkan doktrin
imamat al - mafdul. Artinya, seseorang dapat dipilih menjadi imam meskipun mafdhul (bukan
yang terbaik), sementara pada saat yang sama ada yang afdhal.7
4. Doktrin - doktrin Syi’ah Ghulat
Menurut Syahrastani ada empat doktrin yang membuat mereka ekstrem, yaitu tanasukh,
bada’, raj’ah, dan tasbih. Moojan Momen menambahkannya dengan hulul dan ghayba.
Tanasukh adalah keluarnya roh dari satu jasad dan mengambil tempat pada jasad yang lain.
Paham ini diambil dari falsafah Hindu. Penganut agama Hindu berkeyakinan bahwa roh disiksa
dengan cara berpindah ke tubuh hewan yang lebih rendah dan diberi pahala dengan cara
berpindah dari satu kehidupan pada kehidupan yang lebih tinggi. Syi’ah Ghulat menerapkan
paham ini dalam konsep imamahnya, sehingga ada yang menyatakan seperti Abdullah bin
Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bahwa roh Allah berpindah kepada Adam kemudian
kepada imam-imam secara turun-temurun.
Bada’ adalah keyakinan bahwa Allah mengubah kehendak-Nya sejalan dengan
perubahan ilmu-Nya, serta dapat memerintahkan perbuatan kemudian memerintahkan yang
sebaliknya.

7
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-syiah-zaidiyah_7.html, diakses pada tanggal 19
Februari 2017 pukul 22:00 WIB.

7
Raj’ah ada hubungannya dengan mahdiyah. Syi’ah Ghulat memercayai bahwa Imam
Mahdi Al-Muntazhar akan datang ke bumi. Paham raj’ah dan mahdiyah merupakan ajaran
seluruh Syi’ah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang siapa yang akan kembali.
Sebagian menyatakan bahwa yang akan kembali adalah Ali, sedangkan sebagian lainnya
menyatakan Ja’far Ash-Shadiq, Muhammad bin Al-Hanafiah, bahkan ada yang mengatakan
Mukhtar Ats-Tsaqafi.
Tasbih artinya menyerupakan, mempersamakan. Syi’ah Ghulat menyerupakan salah
seorang imam mereka dengan Tuhan atau menyerupakan Tuhan dengan makhluk. Tasbih
diambil dari paham hululiyah dan tanasukh dengan khalik.
Hulul artinya Tuhan berada di setiap tempat, berbicara dengan semua bahasa dan ada
pada setiap individu manusia. Hulul bagi Syi’ah Ghulat berarti Tuhan menjelma dalam diri
imam sehingga imam harus disembah.
Ghayba (occultation) artinya menghilangnya lmam Mahdi. Ghayba merupakan
kepercayaan Syi’ah bahwa Imam Mahdi ada di dalam negeri ini dan tidak dapat dilihat oleh
mata biasa. Konsep ghayba pertama kali diperkenalkan oleh Mukhtar Ats-Tsaqafi tahun 66
H/686 M di Kufah ketika mempropagandakan Muhammad bin Hanafiah sebagai Imam Mahdi.

D. Sekte dalam Syi’ah


Dalam Eksiklopedi Islam indonesia, ditulis bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah
terletak pada doktrin imamah. Selanjutnya, meskipun mernpunyai landasan keimanan yang
sama, Syi’ah tidak bisa mempertahankan kesatuannya. Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini
akhirnya terpecah menjadi beberapa sekte. Perpecahan yang terjadi di kalangan Syi’ah,
terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah. Di antara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna
Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan Ghullat.8
1. Syi’ah Itsna Asy’ariyah (Syi’ah dua belas/Syi’ah Imamiyah)
Dinamakan Syi’ah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya adalah
persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik, yakni Ali berhak menjadi khalifah
bukan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan akhlaknya, tetapi juga karena ia telah
ditunjuk nash dan pantas menjadi khalifah pewaris kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW. Syi’ah ltsna ‘Asyariah sepakat bahwa Ali adalah penerima wasiat Nabi
Muhammad SAW seperti yang ditunjukkan nash. Al - ausiya (penerima wasiat) setelah
Ali bin Abi Thalib adalah keturunan dan garis Fatimah yaitu Hasan bin Ali dan Husen

8
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit., hlm. 93.

8
bin Ali sebagaimana yang disepakati Bagi Syi’ah ltsna ‘Asyariah, Al - Ausiya yang di
utuskan setelah Husen adalah Ali Zainal Abidin, kemudian secara berturut-turut;
Muhammad Al-Baqir (w. 115 H/733 M), Abdullah Ja’far Ash-Shadiq (w. 148 H/765 M),
Musa Al - Kazhim (w. 183 H/799 M), Ali Ar - Rida (w. 183 H/799 M), Muhammad Al
- Jawwad (w. 220 H/835 M), Ali Al - Hadi (w. 254 H/874 M), Hasan Al-Askari dan
terakhir adalah Muhammad Al-Mahdi sebagai imam kedua belas. Karena pengikut sekte
Syi’ah telah berbai’at di bawah irnamah dua belas imam, mereka dikenal dengan sebutan
Syi’ah ltsna ‘Asyariah (ltsna ‘Asyariyah).
2. Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh)
Istilah Syi’ah Sab’iyah (Syi’ah Tujuh) dianalogikan dengan Syi’ah Itsna
Asy’ariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syi’ah Sab’iyah hanya
mengakui tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal Abidin, Muhammad Al-
Baqir, Ja’far Ash-Shadiq dan Ismail bin Ja’far.
3. Syi’ah Zaidiyah
Disebut Zaidiyah kerena sekte inimengakui zaid bin Ali sebagai imam kelima,
putra imam keempat, Ali Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte syi’ah lain
yang mengakui Muhammad Al-Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai imam
kelima. Dari nama Zaid bin Ali inilah, nama Zaidiyah di ambil. Syi’ah Zaidiyah
merupakan sekte syi’ah yang moderat. Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan sunni.
4. Syi’ah Ghulat
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya bertambah dan naik.
Syi’ah ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang memiliki sikap yang berlebih
lebihan atau ekstrim. Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa syi’ah ekstrim (ghulat)
adalah kelompo yan menempatkan Ali pada derajat ketuhanan, dan ada yang mengangkat
pada derajat kenabian, bahkan lebih tinggi dari pada Muhammad.9

E. Syiah dan Khilafah


Nabi muhammad SAW setelah selesai menyelesaikan tugas risalah Islam selama hamper
23 tahun, beliau wafat pada hari senin 12 Rabi’ul Awal 11 Hijriyah, bertepatan dengan 8 juni
632 M. Beliau tidak pernah berwasiat siapakah yang menjadi penggantinya (khalifah) sesudah

9
Ibid., hlm. 96-105

9
beliau wafat nantidan demikian pula tidak memberikan petunjuk pedoman-pedoman cara
pemilihan khalifah. Hal ini tentunya diserahkan pada umat, sesuai dengan keadaan dan tempat.
Memang Nabi Muhammad SAW itu menyuruh sahabat Abu Bakar menjadi imam shalat
pada waktu beliau sakit menjelang hari wafatnya. Demikian pula Nabi Muhammad SAW
pernah menyuruh sahabat Ali bin Abi Thalib untuk menjaga rumahnya ketika beliau pergi
berperang. Namun demikan, beliau tidak pernah menyebut-nyebut penggantinya.
Ketika beliau wafat, pada saat itu juga sahabat-sahabat terkemuka dari kalangan
Muhajirin dan Anshar berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah, suatu balai pertemuan untuk
bermusyawarah tentang khalifah.
Golongan Anshar menghendaki Sa’ad bin Ubadah sebagai khalifah. Usul tersebut tidak
dapat diterima oleh golongan Muhajirin, maka terjadilah perdebatan-perdebatan sehingga
hamper saja menimbulkan perpecahan. Sedangkan golongan Muhajirin mencalonkan Abu
Bakar as-Shiddiq. Sayyidina Ali sendiri waktu itu tidak hadir dibalai Saqifah Bani Sa’idah,
karena sibuk mengurus jenazah Rasulullah SAW yang belum dimakamkan. Waktu itu tidak
ada pihak yang menyebut Sayyidina Ali sebagai calon khalifah. Untuk mengakhiri perdebatan,
maka sahabat Umar bin Khattab tampil membaiat Abu Bakar as-Shiddiq sebagai khalifah
pertama.10
Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq memerintah selama 2 tahun 3 bulan 10 hari (11-13
H/632-634 M). Beliau meninggal pada 13 Hijriyah. Ketika beliau mulai sakit-sakitan,
mengusulkan Sayyidina Umar bin Khattab sebagai calon khalifah kedua. Usul tersebut
disetujui oleh para sahabat termasuk Sayyidina Ali.
Sayyidina Umar bin Khattab berkuasa selama 10 tahun 6 bulan (13-23 H/632-644 M).
Beliau meninggal pada 16 Dzul Qa’dah dibunuh oleh Abu Lu’lu, seorang sahaya dari Persia,
yang dendam melihat kerajaan Persia ditaklukan (16 H/636 M). sebelum wafat beliau telah
menunjuk sebuah panitia untuk memilih khalifah penggantinya, terdiri dari Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, Sayyidina Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash,
Abdurrahman bin ‘Auf, Thalhah bin Ubaidillah, dan Abdullah bin Umar. Sayyidina Umar
berpesan agar panitia ini nanti memilih khalifah dan jangan memilih Abdullah bin Umar
putranya sendiri.
Panitia akhirnya memilih Sayyidina Utsman bin Affan sebagai khalifah ketiga. Beliau
memerintah selama 13 tahun kurang sehari (23-35 H/644-656 M). Beliau meninggal dibunuh
para pemberontak dari negeri yang terkena hasutan Abdullah bin Saba.

10
Salihun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), 74-76.

10
Kaum Muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat Sayyidina Ali
menjadi Khalifah keempat. Akan tetapi orang-orang Syi’ah menganggap Sayyidina Ali itu
sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-khalifah sebelumnya.
Pada masa pemerintahan Sayyidina Ali ini timbul hal-hal yang mengecewakan
masyarakat sehingga terpecah belah menjadi beberapa golongan:
1. Golongan Syi’ah sendiri dan sebagian jumhur yang menyokong dan mengangkat
Sayyidina Ali sebagai khalifah.
2. Golongan yang menuntut bela kematian Sayyidina Utsman, dipelopori oleh Muawiyah
bin Abi Sufyan, Gubernur Syria yang diangkat pada masa khalifah Utsman. Muawiyah
tiidak mau mengakui khalifah Ali karena diangkat oleh kaum pemberontak dan
menuduhnya sebagai orang yang terlibat dan harus bertanggung jawab atas terbunuhnya
khalifah Utsman. Di samping itu, Muawiyah diangkat oleh pendukungnya sebagai
khalifah pengganti khalifah Utsman, berkedudukan di Syria (Damaskus). Dengan
demikian, ada dua khalifah dalam pemerintahan Islam pada waktu itu, yaitu Sayyidina
Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan.
3. Golongan yang dipimpin oleh Siti Aisyah ra. dan diikuti oleh Thalhah bin Ubaidillah dan
Zubair bin Awwam, tidak mengakui khalifah Ali, karena baiatnya secara paksa. Thalhah
dan Zubair memang membaiatnya secara terpaksa, karena pedang terhunus diatas kepala
mereka.
4. Golongan yang dipimpin oleh Abdullah bin Umar, di dukung oleh Muhammad bin
Salamah, Utsman bin Zaid, Sa’ad bin Abi Waqas, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam.
Golongan ini bersikap pasif, tidak ikut mengangkat khalifah Ali, tidak ikut
menyalahkannya dalam peristiwa pembunuhan terhadap khalifah Utsman dan juga tidak
ikut menyokong Mu’awiyah yang menyatakan diri sebagai khalifah di Syria. Mereka ini
tidak ingin terlibat masalah-masalah politik.11

11
Ibid., hlm. 76-78

11
BAB III
ANALISIS
Pada dasarnya golongan syi’ah adalah golongan pendukung kepemimpinan Ali bin Abi
Thalib. Mereka beranggapan bahwa yang berhak menjadi pengganti Rasulullah setelah wafat
adalah Ali bin Abi Thalib hal ini dilihat bahwa Ali merupakan keluarga dekat Rasulullah yang
termasuk Ahlu Bait. Serta Ali merupakan orang yang mempunyai pengabdian besar terhadap
Rasulullah, oleh karena itu syi’ah menolak kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan
Utsman bin Affan karena bukan dari Ahlu Bait. Kelompok Syi’ah ini terpecah lagi menjadi
beberapa sekte-sekte yaitu Itsna Asyariyah, Sabi’iyah, Zaidiah, dan Syi’ah Ghulat. Perpecahan
itu disebabkan karena satu masalah yaitu tentang imamah. Mereka berpendapat bahwa
pengganti Nabi yang pantas menjadi pemimpin adalah seseorang yang ma’shum (terhindar dari
dosa). Bahkan dalam sekte yang ekstrim yaitu Syi’ah Ghulat, mereka telah menuhankan Ali.
Mereka menganggap bahwa Ali lebih tinggi daripada Nabi Muhammad SAW. Semua
perbedaan tersebut seharusnya tidak dijadikan sekat dalam mengembangkan rasa
kepersaudaraan dan toleransi beragama sebagaimana sabda Nabi sendiri bahwa umat Islam itu
bagaikan satu tubuh semuanya bersaudara yang diikat oleh tali Tauhid pengakuan ketiadaan
Tuhan selain Allah Tuhan yang satu yang tidak beranak dan tidak diperanakkan dalam berbagai
bentuk penafsiran serta sifat apapun. Karenanya kecenderungan untuk menghakimi
pemahaman yang berbeda dari apa yang kita pahami apalagi sampai melekatkan label kekafiran
atasnya sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang disampaikan oleh Allah melalui nabi-
Nya. Oleh karena itu dengan belajar aliran ini kita bisa mengetahui seluk beluk dari ajaran
Syi’ah. Selain itu kita juga bisa mengambil kekurangan dan kelebihan dari aliran Syi’ah agar
kita menjadi pemuda yang cerdas dan berkulitas serta berada dijalan yang benar yaitu jalan
Allah SWT beserta Rasulnya Nabi Muhammad SAW.

12
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa syiah dilihat dari bahasa berarti
pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Mengenai kemunculan syiah dalam sejarah
terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli. Menurut Abu Zahrah syiah mulai muncul
ke permukaan sejarah pada masa akhir pemerintahan Utsman bin Affan, Watt menyatakan
bahwa syi’ah muncul ketika berlangsung peperangan antara Ali dan Muawiyah yang dikenal
dengan Perang Shiffin sedangkan kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan
syi’ah berkaitan dengan masalah penganti (Khilafah) Nabi SAW. Mereka menolak
kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khathtab, dan Usman bin Affan karena dalam pandangan
mereka hanya Ali bin Abi Thalib yang berhak mengantikan Nabi SAW. Mereka yang
mendukung Ali inilah yang disebut dengan golongan Syi’ah.
Bagi kaum syi’ah, bukti utama tentang sahnya Ali sebagai penerus Nabi adalah peristiwa
tentang Ghadir Khum. Di dalam Syiah sendiri juga terdapat banyak perbedaan antara kaum
syiah, dan hasilnya ialah timbul beberapa sekte-sekte dalam syiah yang berbeda antara
ajaranya. Di antara sekte-sekte syi’ah itu adalah Itsna Asy’ariyah, Sab’iyah, Zaidiyah, dan
Ghullat.
Kaum Muslimin yang tidak terlibat pemberontakan sepakat mengangkat Sayyidina Ali
menjadi Khalifah keempat. Akan tetapi orang-orang Syi’ah menganggap Sayyidina Ali itu
sebagai khalifah pertama, karena mereka tidak mengakui khalifah-khalifah sebelumnya.

B. Saran
kami menyarankan bagi pembaca untuk membaca referensi terkait dengan syi’ah lebih
banyak lagi agar dapat mengetahui seluk beluk dari ajaran Syi’ah itu sendiri sehingga kita tidak
menyimpang dari ajaran islam. Berbagai aqidah yang diajarkan oleh kaum syi’ah sudah
semestinya kita dapat membedakan antara ajaran Islam yang sesungguhnya sesuai dengan
firman Allah dalam Al-Qur’an dan hadits.

13
DAFTAR PUSTAKA

Nasir A, Salihun. 2010. Pemikiran Kalam (Teologi Islam). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nurdin, Amin & Afifi Fauzi Abbas. 2014. Sejarah Pemikiran Islam. Jakarta: AMZAH.
Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2011. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rozak, Abdul & Harun Nasution. 2012. Ilmu Kalam ‘Edisi Revisi’. Bandung: CV Pustaka
Setia.
http://mugnisulaeman.blogspot.co.id/2013/05/makalah-tentang-syiah-zaidiyah_7.html,
diakses pada tanggal 19 Februari 2017 pukul 22:00 WIB.

14
MAKALAH

ALIRAN MU’TAZILAH

disusun dan diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu kalam

Dosen Pengampu : Liza Wahyuninto, M.H

Disusun Oleh : Jiren Mantap Alfajri

PROGRAM STUDI GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

STIT MAKRIFATUL ILMI BENGKULU SELATAN

1445 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.

Saya berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
para pembaca. Saya yakin masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman saya. Untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manna, 1 Desember 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Asal mula penyebutan Mu’tazilah ............................................................................2


B. Latar belakang munculnya aliran Mu’tazilah ...........................................................2
C. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah ................................................................................4
D. Ajaran-ajaran pokok Aliran Mu’ tazilah ...................................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..............................................................................................................10
B. Kritik dan saran ........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................12


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terjadinya perpecahan mulai dari munculnya aliran-alirann yang menipu dan mengelabui
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang
benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk ke pemikiran
kelompok ini. Akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah
diajarkan Rasulullah dan para sahabat-sahabatnya.

Akibat dari hal itu munculah bid‟ah-bid‟ah yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka, bahkan dalam kelompok ini terdapat
halhal yang sangat berbahaya bagi islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal. Oleh karena itu
saya akan sedikit membahas tentang Pemikiran Teologi Mu‟tazilah.

B. Rumusan Masalah

1. Asal mula munculnya sebutan Mu‟tazilah


2. Latar Belakang Aliran Mu‟tazilah
3. Tokoh-tokoh aliran Mu‟tazilah
4. Ajaran-ajaran pokok Mu‟tazilah

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui asal usul sebutan Mu‟tazilah

2. Mengetahui awal mula lahirnya aliran Mu‟tazilah

3. Mengenali Tokoh-tokoh aliran Mu‟tazilah

4. Memahami Ajaran-ajaran pokok dari aliran Mu‟tazilah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Asal mula penyebutan Mu'tazilah

Sebutan Mu‟tazilah yang diberikan kepada mereka berasal dari kata i‟tazala, yang berarti
mengasingkan (memisahkan) diri. Menurut teori ini, sebutan Mu‟tazilah, yang diciptakan oleh
orang yang tidak sefaham dengan doktrin teologis mereka, diberikan atas dasar ucapan Hasan
alBashri, setelah dia menyaksikan Washil bin Atha‟ melakukan pemisahan diri dari
kelompoknya. Hasan al-Bashri diriwayatkan memberikan komentar sebagai berikut: i‟tazala
„anna (dia Washil bin Atha‟ mengasingkan atau memisahkan diri dari kita). Orang-orang yang
mengasingkan diri itulah yang kemudian disebut Mu‟tazilah, dan sejak peristiwa itu pula sebutan
Mu‟tazilah mulai dipergunakan dan dipopulerkan. Tindakan mengasingkan diri di sini bisa
bermakna ganda, memisahkan diri dalam artian dari forum (majlis) Hasan al-Bashri, atau
mengasingkan diri dari pandangan umum yang berkembang pada saat itu yakni Khawarij yang
menjustifikasi Muslim pelaku dosa besar sebagai kafir dan Murji‟ah yang tetap mengapresiasi
Muslim pelaku dosa besar sebagai tetap menjadi orang mukmin.

B. Latar belakang terbentuknya aliran mu'tazilah

Ada beberapa pendapat mengenai latar belakang munculnya aliran Mu'tazilah ini, diantaranya
sebagai berikut :

• Menurut As-Syahrastani, kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa yang terjadi antara Wasil
bin Atha‟ bersama temannya Amr Ibn Ubaid dan Hasan Basri di Basrah. Wasil selalu aktif
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh Hasan Basri di Masjid Basrah. Pada suatu hari
salah seorang yang mengikuti pengajian bertanya kepada Hasan Basri tentang kedudukan orang
yang berbuat dosa besar. Mengenai orang yang berbuat dosa besar, kaum Khawarij memandang
mereka itu kafir, sedangkan kaum Murji‟ah memandang mereka tetap mukmin. Sementara
Hasan Basri sedang berfikir, Wasil bin Atha mengemukakan pendapatnya bahwa orang yang
melakukan dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin. Setelah itu ia berdiri menjauhkan
diri dari Hasan Basri lantaran mereka tak sependapat dengannya, lalu pergi ke tempat lain.

Di sana ia membentuk pengajian sendiri dan mengulangi pendapatnya. Atas peristiwa ini, Hasan
Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i‟tazala‟anna). Kemudian mereka disebut
Mu'tazilah, artinya orang yang menjauhkan diri.
• Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah sudah ada kurang lebih 100 tahun sebelum terjadinya
perselisihan pendapat Wasil bin Atha dengan Hasan Basri di masjid Basrah. Golongan yang
disebut Mu'tazilah pada waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam
pertikaian sepeninggal khalifah Utsman bin Affan wafat. Kelompok yang bertikai yaitu Thalhah
dan Zubair di satu pihak dengan khalifah Ali bin Abi Thalib di lain pihak, juga antara Ali dengan
Mua‟wiyah. Perselisihan itu muncul karena pembunuhan atas diri khalifah Utsman bin Affan,
dan karena pro dan kontra terhadap pengangkatan Ali sebagai khalifah. Meskipun persoalan itu
bersifat politik, namun mempunyai corak agama, sebab dalam Islam persoalan hidup sosial,
ekonomi, politik, dan sebagainya bercorak agama. Golongan yang tidak ikut pertikaian itu
mengatakan, “Kebenaran tidak mesti ada pada salah satu pihak yang bertikai, melainkan kedua-
duanya bisa salah, sekurang kurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya
memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. Kalau keduanya golongan
menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (i‟tazalna).Golongan yang menjauhkan diri ini
memang dijumpai dalam buku-buku sejarah. Al-Tabari umpamanya menyebut-kan bahwa
sewaktu Qais Ibn Sa‟ad sampai di Mesir sebagai Gubernur pada zaman khalifah Ali bi Abi
Thalib, ia menjumpai pertikaian di sana, satu golongan turut padanya, dan satu golongan lagi
melarikan diri ke Kharbita (i‟tazalat ila Kharbita). Dalam suratnya yang ia kirimkan kepada
khalifah, Qais menamai mereka Mu‟tazilin. Kalau al-Tabari menyebut nama Mu‟tazilin, Abu al-
Fida menyebutnya Mu’tazilah.

C . Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah

Diantara biografi tokoh-tokoh mu„tazilah yang terkenal adalah :

1. Wasil bin Atha„ bin Atha

Adalah teolog dan filsuf muslim terkemuka pada zaman dinasti Bani Umayyah. Pada mulanya ia
belajar pada Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyah. Selanjutnya,

ia banyak menimba ilmu pengetahuan di Mekkah dan mengenal ajaran Syi„ah di Madinah. Ia
kemudian melanjutkan perjalanan ke Bashrah dan berguru pada Hasan al-Bashri. Pengikut
madzhab ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang paling utama adalah akal. Sedangkan
wahyu berfungsi mendukung kebenaran akal. Menurut mereka apabila terjadi pertentangan
antara ketetapan akal dan ketentuan wahyu maka yang diutamakan adalah ketetapan akal.
Adapaun ketentuan wahyu kemudian dita'wilkan sedemikian rupa supaya sesuai dengan
ketetapan akal, atas dasar inilah orang berpendapat bahwa timbulnya aliran Mu'tazilah
merupakan lahirnya aliran rasionalisme di dalam Islam. Dialah orang pertama yang meletakkan
kerangka dasar ajaran Muktazilah yang saat ini dikenal dengan 5 ajaran pokok tersebut.

2. Abu Huzail al-Allaf

Al-Allaf (135 – 235) H). Nama lengkapnya adalah Abdul Huzail Muhammad Abu AlHuzail Al-
Allaf. Disebut Al-Allaf karena ia tinggal di kampung penjual makanan binatang (allaf = makanan
binatang). Ia sebagai pemimpin Mu'tazilah yang kedua di Basrah. Ia banyak mempelajari filsafat
Yunani. Pengetahuannya tentang filsafat memudahkan baginya untuk menyusun dasar-dasar
ajaran Mu'tazilah secara teratur. Pengetahuannya tentang logika, membuat ia menjadi ahli debat.
Lawan-lawannya dari golongan zindiq (orang yang pura-pura masuk Islam), dari kalangan
Majusi, zoroaster, dan ateis tak mampu membantah argumentasinya. Menurut riwayat, 3000
orang masuk Islam di tangannya. Puncak kebesarannya dicapai pada masa khalifah Al-Ma‟mun,
karena khalifah ini pernah menjadi muridnya.

3. Ishaq Ibrahim Sayyar al-Nazhzham

Nama sebenarnya adalah Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham. Ia adalah murid Abul
Huzail Al-Allaf. Ia juga bergaul dengan para filosof. Pendapatnya banyak berbeda dengan aliran
Mu'tazilah lainnya. An-Nazzham memiliki ketajaman berfikir yang luar biasa, antara lain tentang
metode keraguan (method of doubt) dan metode empirika yang merupakan cikal bakal
renaissance (pembaharuan) Eropa.

4. Abu Ali al-Jubba„i

Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad ibn Abdul Wahhab Al-Jubba‟i. Sebutan alJubba‟i
diambil dari mana tempat kelahirannya, yaitu satu tempat bernama Jubba, di propinsi Chuzestan-
Iran. Al-Jubbai‟ adalah guru imam Al-Asyari, tokoh utama dalam aliran Asy`ariyah. Ketika al-
Asy'ari keluar dari barisan Mu'tazilah dan menyerang pendapatnya, ia membalas serangan Al-
Asy‟ari tersebut. Pikiran-pikirannya tentang tafsiran Al-Qur‟an banyak diambil oleh Az-
Zamakhsyari. Al-Jubba‟i dan anaknya yaitu Abu Hasyim Aljubbai mencerminkan akhir
kejayaan aliran mu'tazilah.

5. Al- Jahiz

Al-Jahiz, dalam tulisan-tulisannya dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum
alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri,
malainkan ada pengaruh hukum alam.

6. Mu„ammar bin Abbad

Mu„ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang
kepercayaan pada hukum alam sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan
hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-arad atau accidents (sesuatu yang datang
pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke
dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari
batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.

7. Bisyr al-Mu„tamir
Ajarannya yang penting menyangkut pertanggung-jawaban perbuatan manusia. Anak kecil
baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum
mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa
besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.

8. Abu Musa al-Mudrar

Abu Musa al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena
pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain. Menurut Syahristani, ia menuduh kafir semua
orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat
Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.

9. Hisyam bin Amr al-Fuwati

Hisyam bin Amr al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah
ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alasan yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya
menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan
neraka.

D. Ajaran-ajaran Pokok Aliran Mu'tazilah

Ada lima pokok ajaran (Al-Ushul Al-Khomsah) yang menjadi prinsip utama aliran Mu'tazilah.
Kelima ajaran pokok tersebut adalah :

* Pertama: At-Tauhid (Ke-Mahaesaan Allah)

Ajaran dasar yang terpenting bagi kaum Mu'tazilah adalah At-Tauhid atau KeMahaesaan Allah.
Bagi mereka, Allah baru dapat dikatakan Maha Esa jika Ia merupakan Zat yang unik, tiada ada
sesuatupun yang serupa dengan Dia. Oleh karena itu kaum Mu'tazilah menolak paham
Anthropomerphisme, yaitu paham yang menggambarkan Tuhan menyerupai makhluk-Nya.
Mereka juga menolak paham Beautific Vision, yaitu pandangan bahwa Tuhan dapat dilihat oleh
manusia. Satu-satunya sifat Tuhan yang betul betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah
sifat qadim. Paham ini mendorong kaum Mu'tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yang
mempunyai wujud sendiri di luar Dzat Tuhan. Menurut paham ini tidak berarti Tuhan tidak
diberi sifat-sifat. Tuhan bagi kaum Mu'tazilah tetap Maha Tahu, Maha Kuasa, Maha Hidup,
Maha Mendengar, Maha Melihat, dan sebagainya, tetapi itu tidak dapat dipisahkan dari Dzat
Tuhan, dengan kata lain sifat-sifat itu merupakan esensi Dzat Tuhan. Adapun yang dimaksud
kaum Mu'tazilah dengan pemisahan sifat-sifat Tuhan adalah sebagaimana pendapat golongan
lain yang memandang bahwa sifat-sifat Tuhan sebagian esensi Tuhan dan sebagian lain sebagai
perbuatan-perbuatan Tuhan. Bagi kaum Mu'tazilah paham ini mereka munculkan karena
keinginan untuk memelihara kemurnian ke-Mahaesaan tuhan.

* Kedua : Al-Adl (Keadilan)


Jika dalam ajaran pertama kaum Mu'tazilah ingin mensucikan Tuhan dari persamaan dengan
makhluk-Nya, maka ajaran kedua ini mereka ingin mensucikan perbuatan Tuhan dari
persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang berbuat adil seadiladilnya. Tuhan
tidak mungkin berbuat zalim.Dalam menafsirkan keadilan, mereka mengatakan sebagai berikut:
”Tuhan tidak menghendaki keburukan dan tidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa
mengerjakan sendiri segala perintah-Nya dan meninggalkan segala larangan-Nya dengan kodrat
(kekuasaan) yang dijadikan oleh Tuhan pada diri mereka. Ia hanya memerintahkan apa yang
dikehendaki-Nya. Ia menghendaki kebaikan-kebaikan yang ia perintahkan dan tidak campur
tangan dalam keburukan-keburukan yang dilarang. Semua perbuatan Tuhan bersifat baik. Tuhan
dalam paham kaum Mu'tazilah tidak mau berbuat buruk, bahkan menurut salah satu golongan,
Tuhan tidak bisa (la yaqdir) berbuat buruk (zhulm) karena perbuatan yang demikian hanya
dilakukan oleh orang yang bersifat tidak sempurna, sedang Tuhan bersifat Maha Sempurna.

* Ketiga: Al-Wa‟ad wa al-Wa‟id (Janji dan Ancaman)

Ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran yang kedua tentang keadilan Tuhan. Kaum Mu'tazilah
yakin bahwa Tuhan pasti akan memberikan pahala dan akan menjatuhkan siksa kepada manusia
di akhirat kelak. Bagi mereka, Tuhan tidak dikatakan adil jika Ia tidak memberikan pahala
kepada orang yang berbuat baik dan tidak menghukum orang yang berbuat jahat. Keadilan
menghendaki supaya orang yang bersalah diberi hukuman berupa neraka, dan yang berbuat baik
diberi hadiah berupa surga sebagaimana dijanjikan Tuhan. Pendirian ini bertentangan dengan
kaum Murji‟ah, yang berpendapat bahwa kemaksiatan tidak mempengaruhi iman dan tak
mempunyai kaitan dengan pembalasan. Kalau pendapat ini dibenarkan, maka ancaman Tuhan
tidak akan ada artinya. Hal yang demikian mustahil bagi Tuhan. Karena itu kaum Mu'tazilah
mengingkari adanya syafa‟at (pengampunan) pada hari kiamat, karena syafa‟at menurut mereka
berlawanan dengan prinsip janji dan ancaman.

* Keempat : Al- Manzilah bainal Manzilatain (posisi di antara dua posisi)

Prinsip keempat ini juga erat kaitannya dengan prinsip keadilan Tuhan. Pembuat dosa bukanlah
kafir, karena mereka masih percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi mereka bukan pula
mukmin, karena iman mereka tidak lagi sempurna. Karena bukan mukmin, para pembuat dosa
besar tidak dapat masuk surga dan tidak masuk neraka, karena mereka bukan kafir. Yang adil
mereka ditempatkan di antara surga dan neraka. Akan tetapi, karena di akhirat tidak ada tempat
selain surga dan neraka, maka mereka harus dimasukkan ke dalam salah satu tempat ini.
Penempatan ini bagi kaum Mu'tazilah berkaitan dengan paham Mu'tazilah tentang iman. Iman
bagi mereka bukan hanya pengakuan dan ucapan, tetapi juga perbuatan. Dengan demikian
pembuat dosa besar tidak beriman, tidak pula kafir seperti disebut terdahulu. Berawal dari jalan
tengah yang diambil untuk menentukan posisi orang yang melakukan dosa besar, kemudian
berlaku juga dalam bidang lain. Berdasarkan sumber-sumber keislaman dan filsafat Yunani,
kaum Mu'tazilah lebih memperdalam pemikirannya mengenai jalan tengah tersebut, sehingga
menjadi prinsip dalam lapangan berfikir (ratio). Prinsip jalan tengah ini nampak jelas dalam
usaha mereka untuk mempertemukan agama dengan filsafat.

* Kelima: Amar Ma‟ruf Nahi Munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)

Mengenai hal ini kaum Mu'tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongangolongan umat
Islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya pada segi pelaksanaannya, apakah seruan untuk
berbuat baik dan larangan berbuat buruk itu dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.
Kaum Mu'tazilah berpendapat bahwa seruan berbuat baik dan larangan berbuat buruk sebaiknya
dilakukan dengan lemah lembut. Akan tetapi sewaktu-waktu, jika perlu dengan kekerasan.
Dalam sejarah, mereka menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran-ajaran mereka. Bagi
kaum Mu'tazilah, orang-orang yang menyalahi pendirian mereka dianggap sesat dan harus
diluruskan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Aliran Mu'tazilah muncul kira-kira pada permulaan abad pertama Hijriah di kota Basrah
(Irak).
2. Kata Mu'tazilah muncul dari peristiwa Wasil dengan Hasan Basri mengenai kedudukan
orang yang berbuat dosa besar, yang berakhir Wasil menjauhkan diri dari tempat Hasan
Basri. Menurut Pendapat Al-Mas‟udi bahwa ke-mu‟tazilahan itu mula-mula muncul
merupakan sifat dari orang yang berbuat dosa besar (jauh dari golongan mukmin dan
kafir), yang kemudian sifat atau nama itu diberikan kepada golongan yang berpendapat
demikian. Sedangkan menurut Ahmad Amin, sebutan Mu'tazilah muncul di sekitar
pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Mu‟awiyah. Golongan yang tidak ikut
bertikai mengatakan bahwa orang-orang yang bertikai telah menyeleweng dan harus
dijauhi (i‟tazalna)
3. Tokoh-tokoh aliran Mu'tazilah antara lain: Wasil bin Atha, Abu Huzail bin Huzail Al-
Allaf, Bisyir bin Al-Mu‟tamar, Ibrahim bin Sayyar bin Hani An-Nazzham, Abu Ali
Muhammad bin Ali Jubba‟i, Abu Husein Al-Khayyat, Al-Qadhi Abd al-Jabbar, dan
Jarullah Abdul Qasim Muhammad bin Umar Az-Zamakhsyari.
4. Ajaran-ajaran pokok aliran Mu'tazilah adalah: At-Tauhid (Ke-Mahaesaan Tuhan), Al-Adl
(Keadilan), Al-Wa‟d wal Wa‟id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah bain al-Manzilatain
(Posisi diantara dua posisi), dan Amar ma‟ruf Nahi Munkar (Menyuruh Berbuat Baik dan
melarang berbuat jahat.
5. Aliran Mu'tazilah dalam pendapatnya berpegang kuat pada akal pikiran (rasio). Oleh
sebab itu mereka hanya mau menerima dalil naqli yang sesuai dengan dalil-dalil akal
pikiran.
6. Aliran ini mencapai puncak kejayaannya pada masa khalifah Al-Ma‟mun dan mulai
menurun pada masa khalifah Al-Mutawakkil.

B. Saran

Demikianlah makalah yang saya buat, menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, kedepannya penulisan akan lebih fokus dan lebih detail lagi. Semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca. Untuk kritik dan saran yang bersifat membangun bisa langsung
disampaikan.

Apabila terdapat kesalahan saya mohon dimaafkan dan dimaklumi. Karena saya adalah hamba Allah yang
tak luput dari salah dan khilaf.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Hasan Basri, M.Ag, Drs. Murid Yahya, M.Pd, Yedi Priatna, M.Ag. 2006. ILMU KALAM
sejarah dan pokok pikiran aliran-alirann. Bandung: Azhia Pustaka Utama. Dr. H.
Jamaluddin, M.Us, Dr. Shabri Shaleh, M.Pd.I. 2020. ILMU KALAM khazanah
intelektual pemikiran dalam Islam. Riau: PT. Indragiri.com.

Dr. Muniron, M.Ag. 2014. ILMU KALAM sejarah, metode, ajaran dan analisis perbandingan.
Jember: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai