Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH IBADAH DAN MUAMALAH

”FARAIDH”
Dibuat Untuk Memenuhi Persyaratan Pembelajaran pada Mata Kuliah Ibadah Dan
Muamalah

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 3

ARIS SYAHBANDI (211010121)


ARJUN FACHREZY RANGKUTI (211010129)
ARJUNA BAGAS DIRGANTARA (211010151)
LIA HARYYANA (211010322)
M ADITYA KURNIA PUTRA (211010195)
NURFITRI RAMADHANI (211010384)
PAYUNGI ADILA HAQQI (211010432)
PUTRI AZIZAH (211010166)

FAKULTAS ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM RIAU
2021

Jl. Kaharuddin Nasution 113 Pekanbaru Riau Indonesia


28284 Ph: +62.761.674.674 Fax.: +62.761.674.834
Email : info@uir.ac.id

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah Ibadah dan Muamalah sesuai dengan
waktu yang telah diberikan, dalam penyusunan makalah ini, ada kemungkinan masih jauh
dari kesempurnaan. Namun demikian, penyusun telah berusaha semaksimal mungkin agar
hasil dari tulisan ini tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada.

Atas dukungan dari berbagai pihak, akhirnya penyusun bisa menyelesaikan makalah
ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penyusun mengucapkan terima kasih kepada Dosen
yang mengajar mata kuliah Bahasa Indonesia yang memberikan pengajaran dan arahan
dalam penyusunan makalah ini, dan tidak lupa kepada teman-teman semua yang telah ikut
berpartisipasi dalam membantu penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena tak ada
gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Sehingga, hal ini dapat mendatangkan manfaat untuk kita
semua.

Pekanbaru, 27 Desember 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Contents

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................2

DAFTAR ISI......................................................................................................................................3

BAB I.................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.............................................................................................................................4

A. Latar belakang........................................................................................................................4

B. Rumusan masalah..................................................................................................................4

C. Tujuan....................................................................................................................................4

BAB II...............................................................................................................................................6

PEMBAHASAN................................................................................................................................6

A. Pengertian Faraidh.................................................................................................................6

B. Ahli waris, ashabah.................................................................................................................6

C. Pembagian warisan dan hijab.................................................................................................8

D. Pengertian wasiat.................................................................................................................14

E. Syarat wasiat........................................................................................................................14

F. Rukun wasiat........................................................................................................................16

3
G. Hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat.................................................................17

H. Nilai-nilai Filosofi dalam kewarisan......................................................................................17

BAB III............................................................................................................................................19

PENUTUP.......................................................................................................................................19

A. KESIMPULAN........................................................................................................................19

B. SARAN..................................................................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................20

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Fara’idh (‫ )فرائض‬adalah jama dari faridhah (‫ )فريضة‬yaitu yang difardhukan.


Fardhu menurut arti bahasa adalah “kepastian” atau taqdir (ketentuan), sedangkan
menurut syara’ dalam hubungan dengan waris adalah bagian yang telah ditentukan
untuk ahli waris. Kemudian kata ini menjadi istilah baku untuk waris (‫)وراثة‬,
yaitu harta peninggalan atau harta pusaka dari seseorang yang meninggal dunia,
yang akan dibagikan kepada ahli waris menurut bagian tertentu.
Islam menganjurkan, supaya pemeluk-pemeluknya mempelajari segala
macam ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan duniawi dan ukhrawi. Dari
sekian banyak ilmu, yang tidak kurang pentingnya untuk dipelajari adalah ilmu
faraidh (pembagian harta warisan). Rasulullah bersabda :

“Pelajarilah ilmu faraidh (pembagian harta warisan) dan ajarkan kepada


manusia. Sesungguhnya aku seorang manusia yang bakal dicabutnya waktu dan
ilmu itupun akan turut tercabut pula.Bakal lahirlah nanti fitnah-fitnah, sehingga
terjadilah perselisihan antara dua orang mengenai warisan, maka tidak
didapatinya orang yang akan memberikan putusan (mengenai perselisihan yang
terjadi) di antara keduanya” (H.R. Hakim ) 

B. Rumusan masalah

1. Apa pengertian Faraidh?


2. Apa yang dimaksud dengan Ahli waris, ashabah ?
3. Bagaimana Pembagian warisan dan hijab?

5
4. Apa Pengertian wasiat?
5. Apa Syarat wasiat?
6. Bagaimana Rukun wasiat?
7. Apa Hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat.?
8. Apa Nilai-nilai Filosofi dalam kewarisan?

C. Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar pembaca mengetahui bagaimana
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ilmu mewaris, yaitu pengertian faraidh, rukun
waris dan sebab-sebab memperoleh warisan, syarat-syarat pewarisan, penghalang
mendapat warisan, dan juga permasalahan ahli waris beserta klasifikasinya.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Faraidh

Ilmu Faraid adalah ilmu yang diketahui dengannya siapa yang berhak mendapat
waris, siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.

Menurut Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, definisi ilmu al-faraidh yang paling
tepat adalah apa yang disebutkan Ad-Dardir dalam Asy-Syarhul Kabir (juz 4, hal. 406),
bahwa ilmu al-faraidh adalah: “Ilmu yang dengannya dapat diketahui siapa yang berhak
mewarisi dengan (rincian) jatah warisnya masing-masing dan diketahui pula siapa yang
tidak berhak mewarisi.” Pokok bahasan ilmu al-faraidh adalah pembagian harta waris
yang ditinggalkan si mayit kepada ahli warisnya, sesuai bimbingan Allah dan Rasul-
Nya.

Demikian pula mendudukkan siapa yang berhak mendapatkan harta waris dan siapa
yang tidak berhak mendapatkannya dari keluarga si mayit, serta memproses
penghitungannya agar dapat diketahui jatah/bagian dari masing-masing ahli waris
tersebut.

B. Ahli waris, ashabah

Ashabah adalah bentuk jamak dari kata ”ashib” yang berarti mengikat dan
menguatkan hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang bagiannya tidak
ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta, setelah harta tersebut
dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.

Ada tiga kemungkinan seseorang menjadi ahli waris ashabah, yaitu sebagai berikut:
Pertama, mendapat seluruh harta waris saat ahli waris dzawil furudh tidak ada.

Kedua, mendapat sisa harta waris bersama ahli waris dzawil furudh saat ahli waris
dzawil tersebut ada.

7
Ketiga, tidak mendapatkan sisa harta warisan karena telah habis dibagikan kepada ahli
waris dzawil furud

Mengutip buku Fiqih Keluarga: Antara Konsep dan Realitas oleh Abdul Wasik, ada
tiga macam ahli waris ashabah yang dikenal dalam Islam, yaitu ashabah binafsihi,
ashabah bilghair, dan ashabah ma'alghair. Berikut penjelasan lengkapnya:

1. Ashabah Binafsihi

Ashabah binafsihi yaitu ahli waris yang menerima sisa harta warisan dengan
sendirinya, tanpa disebabkan orang lain. Ahli waris yang masuk dalam kategori ini
yaitu:

1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki
3. Ayah
4. Kakek
5. Saudara kandung laki-laki
6. Saudara seayah laki-laki
7. Anak laki-laki saudara laki-laki kandung
8. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9. Paman kandung
10. Paman seayah
11. Anak laki-laki paman kandung
12. Anak laki-laki paman seayah
13. Laki-laki yang memerdekakan budak

Apabila semua ashabah ada, maka tidak semuanya mendapat bagian. Akan tetapi,
harus didahulukan orang-orang yang lebih dekat pertaliannya dengan pewaris. Jadi,
penentuannya diatur berdasarkan nomor urut di atas.

Jika ahli waris yang ditinggalkan terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan,
maka mereka mengambil semua harta ataupun semua sisa. Cara pembagiannya ialah,
untuk anak laki-laki mendapat dua kali lipat dari bagian anak perempuan.

2. Ashabah Bilghair

Mengutip buku Fikih untuk MA Kelas XI Kurikulum 2013, ashabah bilghair yaitu
anak perempuan, cucu perempuan, saudara perempuan seayah, yang menjadi ashabah

8
jika bersama saudara laki-laki mereka. Berikut keterangan lebih lanjut tentang beberapa
perempuan yang menjadi ashabah bilghair:

1. Anak laki-laki dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi ashabah.


2. Cucu laki-laki dari anak laki-laki, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan
menjadi ashabah.
3. Saudara laki-laki sekandung, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan
menjadi ashabah.
4. Saudara laki-laki sebapak, juga dapat menarik saudaranya yang perempuan menjadi
ashabah
5. Ketentuan pembagian harta warisnya sama dengan ashabah binafsihi yaitu bagian
pihak laki-laki dua kali lipat dari bagian pihak perempuan.

3. Ashabah Ma’alghair

Ashabah ini disebut juga ashabah bersama orang lain, yaitu ahli waris perempuan yang
menjadi ashabah dengan adanya ahli waris perempuan lain. Mereka adalah :

1. Saudara perempuan sekandung menjadi ashabah bersama dengan anak


perempuan (seorang atau lebih) atau cucu perempuan dari anak laki-laki.
2. Saudara perempuan seayah menjadi ashabah jika bersama anak perempuan atau
cucu perempuan (seorang atau lebih) dari anak laki-laki.

C. Pembagian warisan dan hijab

A. Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan

Setelah seseorang dinyatakan meninggal dunia, maka muncullah beberapa


kewajiban bagi para ahli waris terhadap pewaris untuk menunaikannya sebelum harta
warisan pewaris tersebut dibagiakan kepada ahli warisnya. Kewajiban kewajiban
tersebuat adalah sebagai berikut.

 Biaya penyelenggaraan jenazah

diambil dari harta peninggalan, dengan letentuan tidak berlebih - lebihan dan dalam
batas yang dibenarkan dalam agama islam. Hal - hal yang tidak dituntunkan dalam
ajaran agama Islam tidak usah dilakukan, apabila dilakukan juga karena desakan tradisi
misalnya, tidak dibiayai dengan harta peninggalan. Misalnya makan minum yang

9
disajikan sebelum atau sesudah pemakaman tidak diajarkan Islam. Oleh karenanya
menyelennggarakan hal itu kecuali tidak diajarkan, andai kata diselenggarakan juga,
biaya tidak dapat dibebankan kepadan harta peninngggalan.

Demikian pula mengadaan upacara- upacara selamatan tiga har1, tujuh hari, dan
empat puluh hari setelah kematian tidak diajarkan Islam. Oleh karenanya apabila hal -
hal semacam ini diadakan juga karena desakan adat istiadat, biayanya tidak dapat
diambil dari harta peninggalan.

 Kewajiban membayar zakat

Kewajiban zakat haruslah ditunaikan kalau memang harta - harta tersebut sudah
memenuhi syarat - syarat untuk dikeluarkan zakatnya berdasarkan ketentuan - ketentuan
zakat. Sehingga andalkata harta itu sudah memenuhi nishab tetapi pada saat itu a
meninggal belum mencapai haul (1 tahun, untuk harta dagangan, emas dan sebagainya),
maka tentu saja zakat untuk harta – harta tersebut tidak wajib dikeluarkan.

 Melunasi hutang - hutangnya

Setelah diambil untuk biaya - biaya penyelenggaraan jenazah, dari harta


peninggalan diambil lagi untuk melunasi utang - utang pewaris. Apabila jumlah utang
ternyata lebih besar dari pada jumlah harta peninggalan, pembayarannya dicukupkan
dengan harta peninggalan yang ada. Apabila dalam hal yang akhir ini pihak pihak
kreditur lebih dari satu orang, maka kepada masing - masing kreditur haya dibayarkan
sesuai dengan besar kecil utangnya. Ahli waris tidak dibebani kewajiban untuk
kekurangannya dari harta mereka sendiri. Apabila ahli waris menyanggupi untuk
menutup kekurangannya., hal itu dipandang sebagai kebaikan ahli waris, bukan
merupakan kewajiban hukum. Melaksanakan wasiatnya Wasiat yaitu pemberian hak
kepada seorang atau badan untuk memiliki atau memantaatkan sesuatu, yang pemberian
hak tersebut ditangguhkan setelah pemilik hak meninggal dunia, dan tapa disertai
imbalan - imbalan atau penggantian berupa apa pun dari pihak yang menerima hak itu.
Karena wasiat adalah merupakan keinginan terakhir dari yang meninggal dunia maka
pelaksanaannya harus didahulukan dari pada hak ahli waris.

 Pembagian waris

Setelah keempat pengeluaran diatas dilaksanakan dan harta peninggalan pewaris


masih tersisa, maka sisanya itulah yang menjadi haknya para ahli waris.

10
B. Ahli Waris Dan Bagiannya

Adapun ahli waris dari seorang pewaris yang telah meninggal dunia adalah sebagai
berikut:

1. Pihak laki-laki:+

• Anak laki-laki.

• Anak laki-laki dari anak laki-laki (cucu) dari pihak anak laki-laki, dan terus
kebawah, asal pertaliannya masih terus laki-laki.

• Bapak.

• Kakek dari pihak bapak, dan terus katas pertalian yang belum putus dari pihak
bapak.

• Saudara laki-laki seibu sebapak.

• Saudara laki-laki sebapak.

• Saudara laki-laki seibu.

• Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.

• Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak.

• Saudara laki-laki bapak (paman) dari pihak bapak yang seibu sebapak.

• Saudara laki-laki bapak yang sebapak.

• Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak

• Anak laki-laki saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak.

• Suami

• Anak laki-laki yang memerdekakannya (mayat)

Jika ke-15 orang diatas itu mash ada, maka yang mendapat harta waris

11
dari mereka itu ada 3 orang saja, yaitu: Bapak, anak laki-laki, dan suami.

2. Pihak perempuan:"

Anak perempuan.

• Anak perempuan dari anak laki-laki dan seterusnya kebawah, asal pertaliannya
dengan yang meninggal itu mash terus laki-laki.

• Ibu dari bapak

• Ibu dari ibu terus keatas pihak ibu sebelum anak laki-laki. Saudara perempuan
yang serbu sebap

• Saudara perempuan yang sebapak

• Saudara perempuan yang seibu

• Istri

• Perempuan yang memerdekakan si mayit.

Jika ke-10 orang yang diatas itu masih ada, maka yang dapat mewarisi dari mereka
itu hanya 5 orang saja, yaitu: istri, anak perempuan, anak perempuan dari anak laki-laki,
ibu, saudara perempuan yang seibu sebapak Sekiranya 25 orang tersebut diatas, baik
dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan itu masih ada, maka yang pasti
mendapat harta waris hanya salah seorang dari dua suami istri, ibu dan bapak, anak
laki-laki dan anak Jumlah Bagian Ahli Waris (Furudu>/ Muqadarah)

1. Yang mendapat bagian setengah

•Anak perempuan, apabila a hanya sendiri, tidak bersama saudaranya.

b. Anak perempuan dari anak laki-laki, a apabila tidak ada perempuan. Saudara
perempuan yang seibu sebapak atau sebapak saja, apabila saudara perempuan seibu
sebapak tidak ada dan ia hanya sendiri saja.

d. Suami, apabila istrinya yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak dan tidak
adapula anak dari anak laki-laki, baik laki maupun perempuan

12
2. Yang mendapat bagian seperempat

a. Suami, apabila istrinya meninggal dunia itu meninggalkan anak, baik anak
laki-laki maupun perempuan, atau meninggalkan anakdari anak lakilaki atau
perempuan.
b. Istri, baik hanya satu orang atau berbilang, jika suami tidak meninggalkan
anak (baik anak laki-laki maupun perempuan) dan tidak pula anak dari anak
laki-laki (baik laki-laki maupun perempuan). Maka apabila istri itu
berbilang, seperti empat itu dibagi rata antara mereka.

3. Yang mendapat bagian seperdelapan

Y aitu istri, baik satu atau berbilang. Mendapat pusaka dari suaminya seperdelapan
dari harta apabila suaminya yang meninggal dunia itu meninggalkan anak. baik anak
laki-laki maupun perempuan, atau anak dari anak laki-laki, baik laki-laki maupun
perempuan.

4. Yang mendapatkan bagian dua pertiga

a. Dua orang anak perempuan atau lebih, dengan syarat apabila tidak ada anak
laki-laki. Berarti apabila anak perempuan berbilang, sedangkan anak laki-
laki tidak ada, maka mereka mendapatkan dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan ole bapak mereka.
b. Dua orang anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki. Apabila anak
c. perempuan tidak ada, berarti anak perempuan dari anak laki-laki yang
d. berbilang itu, maka mereka mendapat pusaka dari kakek mereka sebanyak
dua pertiga dari harta dari harta.
e. Saudara perempuan yang seibu sebapak apabila berbilang (dua ataulebih).
f. Saudara perempuan yang sebapak, dua orang atau lebih.

5. Yang mendapatkan bagian sepertiga

a. Ibu, apabila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu (anakdari
anak laki-laki), dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara, baiklaki-
laki maupun perempuan, baik seibu sebapak ataupun sebapak saja,arau seiu
sa
b. Dua orang saudara atau lebih dari saudara yang seibu, baik laki-laki
maupun perempuan.

13
• Yang mendapatkan bagian seperenam

a. Ibu, apabila ia beserta anak, beserta anak dari anak laki-laki, atau beserta
dua saudara atau lebih, baik saudara laki-laki atau saudara perempuan,seibu
sebapak, sebapak saja atau seibu saja.
b. Bapak si mayat, apabila yang meninggal mempunyai anak atau anak dari
anak laki-laki.
c. Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari bapak), kalau ibu tidak ada.
d. Cucu perempuan dari pihak anak laki-laki, (anak perempuan dari anaklaki-
laki). Mereka mendapat seperenam dari harta, baik sendiri ataupun
berbilang, apabila bersama-sama seorang anak perempuan. Tetapi
apabilaanak perempuan berbilang, maka cucu perempuan tadi tidak
mendapat pusaka.
e. Kakek (bapak dari bapak), apabila beserta anak atau anak dari anak lakilaki,
sedangkan bapak tidak ada.
f. Untuk scorang saudara yang seibu, baik laki-laki maupun perempuan.
g. Saudara perempuan yang sebapak saja, baik sendiri ataupun berbilang,

Apabila beserta saudara perempuan yang seibu sebapak. Adapun apabila saudara
seibu sebapak berbilang (dua atau lebih), maka saudara sebapak tidak mendapat pusaka
(dengan alasan berdasarkan ijma' ulama). Pembagian Harta waris menurut Islam
Menganut asas keadilan proporsional tau keadilan berimbang. Mempertimbangkan
keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan antara yang diperoleh dan
keperluan kegunaan.

Bagian laki-laki : perempuan =2 :1

Al- Our an Surat An-Nisa ayat 11,12, dan 176

Dari ketiga ayat tersebut diatas, Al-Qur an menentukan bagian bagian tertentu
kepada ahli waris, yaitu:

Setengah(1/2)

Sepertiga (1/3)

Seperempat (1/4)

Seperenam(1/6)

14
Seperdelapan (1/8) dan

dua pertiga (2/3)

Golongan-golongan ahli waris yang mendapat harta warisan berdasarkan bagian


tertentu dari harta warisan vang prosentasenya telah ditetapkan dalam Al-Qur-an disebut
Dzawil Furudh Golongan tersebut merupakan pihak pertama yang mendapat harta warisan
setelah pewaris meninggal.

Dalam pembagian harta waris terdapat sistem hijab dan mahjub.

Hijab adalah mencegah dan menghalangi orang-orang tertentu dalam menerima


seluruh harta warisan ataupun sebagian karena ada seseorang yang lain Sedangkan yang
dihalangi atau dicegah disebut mahjub

Terdapat dua macam Hijab, yaitu

 Hijab Hirman : terhijabnya seorang ahli waris dalam memperoleh seluruh


bagian karena ada ahli waris lain
 Hijab Nuqsan : hijab yang hanya mengurangi bagian dari seorang ahli waris

Selain dzawil furud dan hijab dikenal pula adanya Asabah, asabah yaitu ahli waris
yang tidak ditentukan berapa bear bagiannya, namun berhak menghabiskan semua harta
jika mewarisi seorang diri, atau semua sisa harta jika mewarisi bersama ahli waris
dzawil furudh.

D. Pengertian wasiat

Wasiat adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Sedangkan surat wasiat adalah
sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi
setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.

E. Syarat wasiat

Syarat-syarat wasiat ada 4 yaitu :


a. Pemberi wasiat
Pemberi wasiat adalah seorang yang memberi harta warisannya kepada orang yang

15
tidak mendapat bagian dari harta warisannya akibat dari halangan tertentu. Ada
beberapa krateria bagi pemberi
wasiat. Antaranya ialah :

1) Berakal, Wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang gila atau
terencat akal, orang yang pengsan dan orang yang mabuk.
Kesemua mereka dianggap orang-orang yang kehilangan akal
yang meerupakan asas kepada taklif, dengan ini orang-orang ini
tidaka layak memberi wasiat

2) Baligh, Syarat ini juga asas kepada taklif. Dengan ini, adalah tidak
sah wasiat daripada seorang kanak-kanak walaupun telah
mumaiyiz kerana ia tidak layak berwasiat.

3) Merdeka, Tidak sah wasiat daripada seorang hamba sama ada


qinna, mudabbir atau mukatib kerana hamba bukan pemilik.
Bahkan diri dan hartanya adalah milik tuannya.

4) Kemauan sendiri, wasiat tidak sah jika dilakukan oleh orang yang
dipaksa. Ini kerana wasiat bermakna menyerahkan hak milik maka
ia perlu melalui keredaan dan pilihan pemiliknya.

b. Penerima wasiat
Penerima wasiat adalah orang atau badan yang mendapat harta
warisan dari pemberi wasiat. Penerima wasiat haruslah mempunyai
krateria untuk menerima wasiat. Antaranya ialah :

1) Penerima wasiat bukan ahli waris pemberi wasiat. Perkara ini


telah ditetapkan berdasarkan hadis nabi saw yang artinya “tidak
ada wasiat bagi ahli waris” hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad,
Abu Daud, dan tirmidzi yang menurutnya hadis hasan.

2) Penerima wasiat hendaklah diketahuai dan wujud ketika wasiat


dibuat. Tidak sah mewasiatkan kepada bayi yang belum lahir atau
kepada badan yang belum ditubuhkan (masjid yang akan
dibangunkan).

3) Penerima wasiat hendaklah bukan seorang pembunuh.

4) Penerima wasiat hendaklah bukan kafir harbi (pendapat fuqaha’


madzhab Maliki), bukannya kafir harbi di dar (pendapat fuqaha’
madzhab Hanafi) dan tidak boleh mewasiatkan senjata kepada ahli
harbi (pendapat fuqaha madzhab Syafie)

16
c. Barang yang diwasiatkan
Adapun syarat-syarat bagi barang atau benda yang diwasiatkan
adalah: 44
1) Barang itu dikira sebagai harta dan ia boleh diwarisi.
2) Barang tersebut dari harta yang boleh dinilai atau mempunyai
nilai kewangan sama ada melibatkan benda atau manfaat dari
susut syarak.
3) Barang tersebut boleh dipindahmilik sekalipun tiada pada
waktu berwasiat.
4) Barang itu dimiliki oleh pemberi wasiat ketika berwasiat jika
zatnya ditentukan.
5) Barang itu bukanlah sesuatu yang maksiat seperti mewasiatkan
rumah untuk dijadikan gereja, pusat judi dan sebagainya.
6) Harta atau barang tersebut hendaklah tidak melebihi kadar 1/3
harta pewasiat

d. Lafaz wasiat (ijab dan qabul)

Ahli-ahli fiqh dari madzhab Hanafi memandang bahwa rukun wasiat


adalah memadai dengan sighah sahaja, yaitu meliputi penyerahan dan
penerimaan, sedangkan benda wasiat yang diberikan kepada penerima wasiat
terdapat dalam aqad (perjanjian) itu. Sebagian fuqaha’ yang lain termasuk
fuqaha’ madzhab Syafie berpendapat sighah merupakan rukun wasiat yang
keempat.
Adapun syarat-syarat bagi lafaz ijab dan qabul adalah :
1) Hendaklah wasiat tersebut dilafazkan dengan jelas ataupun kabur.
Lafaz yang jelas seperti : “Saya mewasiatkan untuknya seribu
ringgit” atau “serahkanlah seribu ringgit kepadanya setelah kematian
saya” atau berikan kepadanya setelah kematian saya” atau “harta itu
menjadi miliknya setelah kematian saya”. Lafaz wasiat yang jelas ini
diterima sebagai suatu wasiat yang sah dilaksanakan menurut lafaz
tersebut. Jika orang yang berkata tersebut menafikan ia berniat wasiat,
katanya itu tidak diterima. Sementara lafaz yang kabur pula perlu
disertakan dengan niat. Terdapat kemungkinan lafaz itu tidak berarti
wasiat. Maka ia perlu diikuti dengan niat. Contohnya : “buku saya ini
untuk Zaid”.
2) Hendaklah wasiat ini diterima oleh penerima wasiat jika wasiat ini
ditujukan kepada orang yang tertentu. Jikalau wasiat ini ditujukan kepada pihak yang
umum seperti fakir miskin atau ulama’, persetujuan mereka tidak diperlukan karena ini
menyukarkan.

17
3) Hendaklah persetujuan tersebut diambil setelah kematian pewasiat.
Tanpa harus memperhatikan apakah penerima wasiat setuju atau menolak wasiat
sebelum pewasiat meninggal

F. Rukun wasiat

 Orang yang mewasiatkan (mushii).


 Adanya penerima wasiat (musha lahu).
 Adanya sesuatu atau barang yang diwasiatkan.
 Adanya ijab qabul (ucapan serah terima) dengan
 adanya ijab dari mushii misalnya “Aku berwasiat untuk fulan akan sesuatu
itu.” Sedangkan qabul berasal dari pihak mushaa lahu yang sudah jelas
ditentukan.

G. Hukum melaksanakan dan meninggalkan wasiat.

Adapun hukum berwasiat ada tiga macam, yakni:

1. Menyampaikan wasiat hukumnya menjadi wajib jika orang tersebut masih


mempunyai utang atau menyimpan barang titipan atau menanggung hak orang
lain, karena dikhawatirkan jika sorang tersebut tidak berwasiat maka hak orang
lain yang masih ditanggungnya tidak ditunaikan kepada yang bersangkutan.

2. Menyampaikan wasiat hukumnya dianjurkan bagi orang yang memiliki harta


berlimpah dan ahli warisnya telah mendapat bagian harta dalam Islam yang
berkecukupan dan sesuai aturan Islam. Orang tersebut dianjurkan untuk
menyampaikan wasiat agar menyedekahkan sebagian hartanya, baik sepertiga
dari total harta atau kurang dari itu, kepada kerabat yang tidak mendapatkan
warisan atau untuk orang lain yang membutuhkan.

3. Menyampaikan wasiat dengan harta hukumnya makruh jika harta milik


seorang itu sedikit dan ahli warisnya tergolong orang yang hartanya pas-pasan.
Lebih baik mengutamakan pembagian warisan bagi ahli waris dibanding
berwasiat dengan harta. Maka dari itu banyak sahabat radhiyallahu ‘anhum,
yang meninggal dunia dalam keadaan tidak berwasiat dengan hartanya.

H. Nilai-nilai Filosofi dalam kewarisan.

18
Seperti telah disebutkan diawal bahwa ketentuan Kewarisan telah diatur
sedemikian rupa dalam Al-Qur’an. Dibandingkan dengan ayat-ayat hukum
lainnya, ayat-ayat hukum inilah yang paling tegas dan rinci isi kandungannya. Ini
tentu ada hikmah yang ingin di capai oleh Al-Qur’an tentang ketegasan hukum
dalam hal Kewarisan.

Berikut ini ada beberapa hikmah adanya pembagian waris menurut hukum
islam[3]:

1. Pembagian waris dimaksudkan untuk memelihara harta (Hifdzul Maal).


Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan Syari’ah (Maqasidus Syari’ah) itu
sendiri yaitu memelihara harta.
2. Mengentaskan kemiskinan dalam kehidupan berkeluarga.
3. Menjalin tali silaturahmi antar anggota keluarga dan memeliharanya agar
tetap utuh.
4. Merupakan suatu bentuk pengalihan amanah atau tanggung jawab dari
seseorang kepada orang lain, karena hakekatnya harta adalah amanah Alloh
SWT yang harus dipelihara dan tentunya harus dipertanggungjawabkan
kelak.
5. Adanya asas keadilan antara laki-laki dan perempuan sehingga akan
tercipta kesejahteraan sosial dalam menghindari adanya kesenjangan
maupun kecemburuan sosial.
6. Melalui sistem waris dalam lingkup keluarga.
7. Selain itu harta warisan itu bisa juga menjadi fasilitator untuk seseoranng
membersihkan dirinya maupun hartanya dari terpuruknya harta tersebut.
8. Mewujudkan kemashlahatan umat islam.
9. Dilihat dari berbagai sudut, warisan atau pusaka adalah kebenaran,
keadilan, dan kemashlahatan bagi umat manusia.
10. Ketentuan hukum waris menjamin perlindungan bagi keluarga dan tidak
merintangi kemerdekaan serta kemajuan generasi ke generasi dalam
bermasyrakat.

19
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Faraidh (pewarisan) adalah segala yang berkaitan dengan pembagian harta


peninggalan. Faraidh bentuk jamak dari kata faridhah yang bermakna sesuatu yang
diwajibkan atau sesuatu yang dipastikan. Karena pewarisan terkait erat dengan
pembagian yang dipastikan atau di tentukan. Faridhah lumrahnya bermakna
kewajiban, berubah makna menjadi bagian yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an.
Dan, fardu secara bahasa bermakna kepastian, perkraan. Allah SWT berfirman:
“maka (bayarlah) seperdua dari apa yang telah kalian tentukan” (QS. Al-Baqarah:
237)
Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah
(peninggalan) merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik
berupa uang atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan
kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan
oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal
yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai
kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-
benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-
adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan
menghindari perpecahan ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih
hidup. Pembagian tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada
beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.

B. SARAN

20
Adapun saran penulis kepada pembaca semoga makalah ini bisa memberi
pengetahuan yang mendalam kepada semua yang telah membaca makalah ini,
khususnya pengetahuan Ibadah dan Muamalah pada materi tentang Faraidh.
Semoga makalah ini bisa dimanfaatkan dan dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

DAFTAR PUSTAKA

http://etheses.uin-malang.ac.id/1679/5/06210029_Bab_2.pdf

https://id.scribd.com/document/478387044/pembagian-waris-1

http://andhikhariz.blogspot.com/2012/06/filosofi-hukum-islam-tentang-
waris.html?m=1

https://www.scribd.com/document/369639292/Makalah-Wasiat-AIK-5

21
22

Anda mungkin juga menyukai