Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

HAK WARIS DAN WASIAT

Makalah ini diajukan sebagai tugas mata kuliah Fiqih

Dosen Pengampu : Hardiano M. Ag.

Disusun Oleh :

Sanjai Saputra 2324004

Rahma Juwita 2324005

Nivtha Sabina 2324029

Sulis Nur Kholifah 2324031

PRODI PSIKOLOGI ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SYAIKH ABDURRAHMAN SIDDIK

BANGKA BELITUNG

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan kekuatan
dan keteguhan hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini tersusun hingga selesai. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang menjadi tauladan para umat
manusia yang merindukan keindahan Syurga.

Menulis makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih dengan
mengusung judul Hak Warisan dan Wasiat Yang diberikan Ustadz Hardiono M. Ag. Dalam
penyelesaian makalah ini, banyak mengalami kesulitan, terutama disebabkan kurangnya ilmu
pengetahuan. Namun, berkat kerja keras dan tekad yang kuat serta berdo’a dan kesungguhan
dalam menyelesaikan makalah ini, akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.

Kami menyadari, sebagai seorang pelajar yang pengetahuannya tidak seberapa yang
masih perlu belajar dalam penulisan makalah, bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Petaling, 12 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................iii

BAB I: PENDAHULUAN....................................................................................................1

A. Latar Belakang................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...........................................................................................................3

C. Tujuan Penulis.................................................................................................................3

BAB II: PEMBAHASAN....................................................................................................4

A. Pengertian Warisan.........................................................................................................4

B. Pengertian Wasiat............................................................................................................5

C. Orang Mendapatkan Warisan dan Orang Tidak Mendapatkan Warisan................7

D. Orang Mendapatkan Wasiat dan Orang yang Mendapatkan Wasiat.......................9

E. Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Al-Qur’an.................................................13

BAB III : PENUTUP.........................................................................................................15

A. Kesimpulan....................................................................................................................15

B. Saran..............................................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak waris dan wasiat dalam Islam memiliki dasar-dasar yang tertuang dalam Al-
Qur'an dan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Berikut ini adalah beberapa latar belakang
penting tentang kedua konsep tersebut:

Konsep hak waris dalam Islam berakar pada prinsip kesetaraan dan keadilan. Al-
Qur'an menyediakan pedoman yang jelas mengenai pembagian warisan untuk memastikan
bahwa hak-hak individu dihormati dan dipenuhi. Prinsip utama dalam pembagian waris
adalah memberikan bagian yang adil kepada setiap ahli waris berdasarkan hubungan mereka
dengan pewaris dan tanggung jawab sosial yang mereka emban.

Al-Qur'an secara khusus mengatur pembagian warisan dalam Surah An-Nisa (4:11-
12) dan Surah An-Nisa (4:176). Ayat-ayat ini memberikan petunjuk tentang bagaimana
warisan harus dibagi antara anak-anak, orang tua, suami/istri, dan kerabat lainnya. Prinsip
yang mendasari pembagian waris dalam Islam adalah keadilan, kesetaraan, dan
mempertimbangkan peran dan tanggung jawab sosial masing-masing ahli waris.

Wasiat adalah instruksi tertulis dari seseorang mengenai bagaimana harta mereka
harus dibagi setelah meninggal dunia. Dalam Islam, wasiat diizinkan dengan beberapa
batasan. Pewaris memiliki hak untuk membuat wasiat selama wasiat tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam mengenai pembagian waris. Wasiat tidak boleh
mengurangi hak-hak ahli waris yang telah ditetapkan oleh Al-Qur'an.

Tujuan hak waris dalam Islam adalah untuk menjaga keadilan, mencegah
ketidakadilan, dan memenuhi hak-hak individu dalam pembagian harta warisan. Pembagian
ini juga bertujuan untuk menjaga stabilitas keluarga dan masyarakat, serta memastikan
perlindungan dan pemenuhan kebutuhan ahli waris. Sementara itu, wasiat memberikan
kesempatan kepada pewaris untuk memberikan instruksi khusus mengenai pembagian harta
mereka yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.1

1
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), hlm. 9.

1
Pemahaman dan penerapan hak waris dan wasiat dalam Islam sering kali melibatkan
interpretasi dan pendapat para ulama dan ahli hukum Islam. Prinsip-prinsip tersebut dipelajari
dan diterapkan dengan hati-hati untuk memastikan keadilan dan kepatuhan terhadap ajaran
Islam serta kebutuhan sosial masyarakat.

2
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Warisan ?

2. Apa Pengertian Wasiat?

3. Siapa Orang yang Mendapatkan Warisan dan Orang yang Tidak Mendapatkan
Warisan?

4. Siapa Orang yang Mendapatkan Wasiat dan Orang yang Tidak Mendapatkan
Wasiat?

5. Bagaimana Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Al-Qur’an?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui Pengertian Warisan ?

2. Mengetahui Pengertian Wasiat?

3. Mengetahui Orang yang Mendapatkan Warisan dan Orang yang Tidak


Mendapatkan Warisan?

4. Mengetahui Orang yang Mendapatkan Wasiat dan Orang yang Tidak Mendapatkan
Wasiat?

5. Mengetahui Pembagian Harta Warisan Berdasarkan Al-Qur’an?

3
BAB II
PEMBAHASA
N

A. Pengertian Warisan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang berhak
menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Di dalam bahasa Arab kata waris
berasal dari kata ‫ورثا‬-‫يرث‬-‫ ورث‬yang artinya adalah Waris. Contoh, ‫ ورث اباه‬yang artinya
Mewaris harta (ayahnya).2
Waris menurut hukum Islam adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.3 dan juga berbagai aturan tentang perpidahan hak milik, hak milik yang dimaksud
adalah berupa harta, seorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Dalam istilah
lain waris disebut juga dengan fara’id yang artinya bagian tertentu yang dibagi menurut
agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya dan yang telah di tetapkan bagian-
bagiannya.4 Adapun beberapa istilah tentang waris yaitu :
1. Waris adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima warisan. Ada
ahli waris yang sesungguhnya yang memiiki hubungan kekerabatan yang dekat akan
tetapi tidak berhak menerima warisan. Dalam fiqih mawaris, ahli waris semacam ini
disebut ini disebut Zawil alarham. Hak-hak Waris bisa ditimbulkan karena hubungan
darah, karena hubungan perkawinan, dan karena akibat memerdekakan hamba.5
2. Mawarrits, ialah orang yang diwarisi harta benda peninggalan. Yaitu orang yang
meninggal baik itu meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud), dan tidak tahu kabar
beritanya setelah melalui pencaharian dan persaksian, atau tenggang waktu tertentu
hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan meninggal dunia melalui keputusan hakim.
3. Waratsah, ialah harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini berbeda dengan
harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa dibagi-bagi, karena menjadi
milik kolektif semua ahli waris.

2
Munawwir ahmad warson, Kamus Al Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progressif , 1997,)hlm. 1634.
3
Effendi Perangin, Hukum Waris,(Jakarta:Rajawali Pers ,2008), hlm.3.
4
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung :Pustaka setia, 2012), hlm. 13.

4
5
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada,2005), hlm.4

5
4. Al-Irts, ialah harta warisan yang siap dibagi kepada ahli waris sesudah diambil untuk
keperluan pemeliharaan zenazah (tajhiz al-janazah), pelunasan utang, serta
pelaksanaan wasiat.
5. Tirkah, ialah semua harta peninggalan orang yang meninggal dunia sebelum diambil
yang dilakukan oleh orang yang meninggal ketika masih hidup.
Allah SWT. Membahas terkait waris banyak ayat Al-Qur’an diantaranya dalam surah
Al- Anfal ayat 75 yang berbunyi :
˜ٰ
‫ض ُه ۡم اَ ۡو ٰلى‬ ‫ل ۡ ۡ وُاولُوا ا ۡۡل حا ِم‬ ۡ َ ‫وجاهُد‬ ُ ‫والَّ ِذ ن ا َ ب و‬
‫ِب َب ۡعض‬ ‫ۡر َب ۡع‬ ‫ۡوا ع م ٮك ُاو ن م‬ ‫ۡي َمُن ۡوا ۡعُد م ها ر‬
ؕ ‫ك‬ ‫ۡوا‬ ۢۡ
‫ۡن‬
‫م ك‬ ‫م‬ ‫ج‬
‫ع ِل ۡي ˚م‬ ‫شى‬ ‫ى ك ٰتب ّؕل ن لّ َال‬
‫ِب ’ ٍ ء‬ ‫ِال‬
‫ل‬
‫ك‬
Artinya : “Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan
berjihad bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.”
Maksud tafsir dari surah tersebut ialah, dan orang-orang yang beriman setelah
kaum muslim awal yang berhijrah itu, yang kemudian akhirnya mereka berhijrah
sesudah melewati waktu yang cukup lama dan berjihad bersamamu, maka mereka
termasuk golonganmu, yaitu memiliki kedudukan yang sama menyangkut hak dan
kewajiban. Apalagi di antara kaum muslim itu ada orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat, maka adanya hubungan kekerabatan itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya daripada yang bukan kerabat, menurut Kitab Allah, dalam hal
perlindungan, kasih sayang, pertolongan, dan warisan. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.
B. Pengertian Wasiat
Kata wasiat ( ‫ ) الوصية‬berasal dari kata “washshaitu (‫) وصيت‬, asy-syaia ( ‫) الشيئ‬, ushiiyah (
‫) أصيه‬, artinya: aushaltu (‫( )أوصلت‬aku menyampaikan sesuatu)”.yang juga berarti pesanan, jadi
berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan yang seakar dengan itu
mempunyai beberapa arti di antaranya berarti menetapkan, sebagaimana dalam surat al-An'am
: 144 )‫)هلال وصاكم إذ شهداء كنتم أم‬, memerintahkan sebagaimana dalam surat Luqman: 14, ( ‫ووص‬
6
‫ان‬‰‰‫ه اإلنس‬‰ ‰ ‫)ينا بولدي‬ dan Maryam: 31 )‫انى‬‰‰‫الة وأوص‬‰‰‫ بالص‬, mensyari'atkan (menetapkan)
sebagaimana dalam surat An-Nisa' ayat 12 (‫)هلال من وصية‬. Adapun pengartiannya menurut istilah
Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan
oleh seseorang yang merasa akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.

7
َ‫وٱ ۡۡلَ ۡ ق ن بٱۡ ل م ۡع ح علَى ٱۡ ل ُمت‬ ‫ن تَ خ ۡي ًرا صَي لۡ ل ٰ َو‬ ‫َ حدَ ُك ُم‬ ‫ك ِتب ع ۡ ذَا‬
َ ِ
‫قِ ين‬ ‫َر ِبي ُرو ِف ًقّا‬ ‫ٱۡ ل َو ة ِلدَ ۡين‬ ‫َرك ت‬ ‫ر ٱ ۡ ل َ م ۡو‬ ‫َل م ح‬
َ‫أ‬ ‫ۡي ك‬
‫ض‬
٠٨١

Terjemah :

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda)


maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum
kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertaqwa.” (QS Al-Baqarah : 180)

Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran seorang muslim yang sudah merasa
ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian (hibah) dari
hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apabila ia meninggalkan harta yang banyak.

Dikaitkan dengan perbuatan hukum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna transaksi
pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta atau
pembebanan atau pengurangan utang ataupun pembarian manfaat dari milik pemberi wasiat
kepada yang menerima wasiat.

Pengertian yang diberikan oleh ahli hukum wasiat ialah "memberikan hak secara suka
rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau
bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu adalah
pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang , ataupun manfaat
untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.”

Menurut para fuqaha, wasiat adalah pemberian hak milik secara sukarela yang
dilaksanakan setelah pemberinya meninggal dunia6. Pemberian hak milik ini bisa berupa
barang, piutang atau manfaat.

Istilah-istilah wasiat dalam bahasa Arab :


1. Al-washi (‫ )الواصي‬atau al-mushi (‫ = )الموصي‬pemberi wasiat/pewasiat
2. Al-Musho bihi (‫ = )به الموصى‬perkara/benda yang dijadikan wasiat.
3. Al-Musho lahu (‫ = )له الموصى‬penerima wasiat (orang atau sesuatu)

8
6
Hasan, M. Ali.Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003).
hlm 91.

9
4. Al-mushu ilaih (‫ = )إليه الموصى‬orang yang menerima amanah menyampaikan wasiat.
5. Wasiat (‫ = )الوصية‬perilaku/transaksi wasiat.

Wasiat juga tidak hanya dikenal dalam system ekonomi Islam saja melainkan system
hukum barat misalnya testamen yakni suatu pernyataan yang dikehendaki kepada seseorang
yang akan dilakukan setelah wafat.Wasiat atau Testamen ialah suatu pernyataan dari
seseorang tentang apa yang ia kehendaki setelahnya ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu
pernyataan kemauan terakhir itu adalah keluar dari satu pihak saja (eenzidig) dan setiap waktu
dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Penarikan kembali itu (herroepen), boleh
secara tegas (uitdrukkelijk) atau secara diam-diam (stiilzwijgend).
Menurut Abd Al-Rahim dalam bukunya Al-Muhabadat Fil Al-Miras Al-Muqaram
mendefenisikan wasiat adalah tindakan seseorang memberikan hak kepada orang lain untuk
memiliki sesuatu baik berupa benda atau manfaat secara suka rela atau tidak mengharapkan
imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan setelah peristiwa kematian orang yang berwasiat
kematian orang yang berwasiat.
C. Orang yang Mendapatkan Warisan dan Orang yang tidak Mendapatkan Warisan
Ada beberapa sebab dalam kewarisan dalam islam terkait hak seseorang mendapatkan
warisan yaitu hubungan kekerabatan dan hubungan perkawinan, Kedua bentuk hubungan itu
adalah sebagai berikut.
1. Hubungan Kekerabatan.
Hubungan kekerabatan atau biasa disebut hubungan nasab ditentukan oleh
adanya hubungan darah, dan adanya hubungan darah dapat diketahui pada saat adanya
kelahiran, seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan anak yang dilahirkannya
dan si anak mempunyai hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya. Hubungan
kekerabatan antara anak dengan ayahnya ditentukan oleh adanya akad nikah yang sah
antara ibunya dengan ayahnya, dengan mengetahui hubungan kekerabatan antara ibu
dengan anaknya dan anak dengan ayahnya, dapat pula diketahui hungan kekerabatan
ke atas yaitu kepada ayah atau ibu dan seterusnya, kebawah, kepada anak beserta
keturunanya. Dari hubungan kerabat yang demikian, dapat juga diketahui struktur
kekerabatan yang tergolong ahli waris bilamana seorang meninggal dunia dan
meninggalkan harta warisan. Hubungan kerabata tersebut, bila dianalisis
pengelompokannya menurut Hazairin yang mengelompokannya kedalam tiga
kelompok ahli waris, yaitu dzawul faraid, dzawul qarabat dan mawali. Yang
dimaksud mawali ialah ahli waris pengganti, atau dapat juga diartikan sebagai orang-
orang yang menjadi ahli waris dikarenakan tidak lagi penghubung
1
antara mereka dengan pewaris. Demikian pendapat ahlus sunna yang
mengelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu dzawul faraid, ashabah, dan dzawul
arham.
2. Hubungan Perkawinan.
Kaitan hubungan perkawinan dengan hukum kewarisan Islam, berarti
hubungan perkawinan yang sah menurut Islam. Apabila seorang suami
meninggalkan harta warisan dan janda, maka istri yang dinggalkan itu termasuk ahli
warisnya demikian pula sebaliknya.
3. Al-Wala’ (Memerdekakan Hamba Sahaya atau Budak).
Al-Wala adalah hubungan kewarisan akibat seseorang memerdekakan hamba
sahaya, atau melelui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terakhir ini, agaknya
jarang dilakukan jika malah tidak ada sama sekali. Adapun al-wala’ yang pertama
disebut dengan wala’ al-ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut
dengan wala’ al-mualah, yaitu wala’ yang timbul akibat kesedihan seseorang untuk
tolong menolong dengan yang lain melalui suatu perjanjian perwalian. Orang yang
memerdekakan hamba sahaya, jika laki-laki disebut dengan al-mu’tiq dan jika
perempuan al-mu’tiqah. Wali penolong disebut maula’ dan orang yang ditolong yang
disebut dengan mawali. Adapun bagian orang yang memerdekakan hamba sahaya
adalah 1/6 dari harta peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang
masih ada hamba sahaya, maka jawabanya adalah bahwa hapusnya perbudakan
merupakan salah satu keberhasilan misi Islam. Karena memang imbalan warisan
kepada al-mu’tiq dan atau al-mu’tiqah salah satu tujuanya adalah untuk memberikan
motifasi kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan mengembalikan hak-
hak hamba sahaya menjadi orang yang merdeka.
Adapun yang dimaksud sebab tidak mendapatkan hak kewarisan adalah hal-
hal yang menggugurkan hak ahli waris untuk mendapatkan harta warisan dari
pewaris. Ada beberapa sebab yang mengakibatkan ahli waris kehilangan haknya
yaitu:
1. Perbudakan
Seorang yang berstatus sebagai budak tidaklah mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak
menjadi milik tuannya juga.7
2. Perbedaan Agama

1
7
Muhammad Muslih, Fiqih, (Bogor : Yudhistira, 2007) .hlm. 126.

1
Adapun yang dimaksud perbedaan agama ialah keyakinan yang dianut antara
ahli waris dan muaris (orang yang mewarisi) ini menjadi penyebab hilangnya hak
kewarisan sebagaimana ditegaskan dalam hadis Rasulullah dari Usama bin Zaid,
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmizi dan Ibn Majah. Yang
telah disebutkan bahwa seorang muslim tidak bisa menerima warisan dari yang bukan
muslim.8 Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa hubungan antara kerabat yang
berbeda agama dalam kehidupan sehari-hari hanya nenyangkut hubungan sosial saja.
3. Pembunuhan
Pembunuhan menghalangi seseorang untuk mendapatkan warisan dari pewaris
yang dibunuhnya. Ini berdasarkan hadis Rosulullah dari Abu Hurairah yang di
riwayatkan oleh Ibn Majah, bahwa seseorang yang membunuh pewarisannya tidak
berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya. Dari hadis tersebut
menegaskan bahwa pembunuhan menggugurkan hak kewarisan.
4. Berlainan Negara
Yang dimaksud dengan negara dalam hal ini ialah ibarat suatu daerah yang
ditempat tinggali oleh muarris dan ahli waris, baik daerah itu berbentuk kesultanan,
kerajaan, maupun republik.
5. Murtad
Adapun yang dimaksud Murtad ialah orang yang keluar dari agama Islam, dan
tidak dapat menerima harta pusaka dari keluarganya yang muslim. Begitu pula
sebaliknya.9
D. Orang yang Mendapatkan Wasiat dan Orang yang tidak Mendapatkan Wasiat
Pada dasarnya, ulama fiqh menetapkan syarat bahwa wasiat ditujukan untuk
kepentingan umum, seperti lembaga-lembaga keagamaan dan kemasyaratan atau untuk
pribadi tertentu. Dalam kaitan ini, para ulama fiqh menetapkan syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh lembaga atau pribadi penerima wasiat tersebut adalah
1. Benar-benar ada
2. Identitasnya jelas atau diketahui.
Dalam hal ini, keberadaan penerima wasiat harus jelas, maksudnya
penerima wasiat harus sudah ada atau masih hidup secara nyata atau
diperkirakan sudah/masih hidup ketika wasiat diikrarkan. Termasuk dalam

8
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2007). hlm.112.
9
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Kewarisan Menurut AlQur’an Dan Sunnah ( Jakarta: Cv
Diponegoro, 2004. hlm.64.

1
konteks ini adalah badan hukum, apabila berada dalam posisi sebagai
penerima wasiat. Dengan demikian, wasiat kepada orang yang tidak ada, maka
hukumnya tidak sah karena wasiat wasiat merupakan aqad kepemilikan. Oleh
karena itu, penerima wasiat harus jelas keberadaannya dan jelas pula
identitasnya.
Berkenaan dengan hal ini, para ulama sepakat membolehkan wasiat
kepada bayi yang masih berada dalam kandungan. Namun, masing-masingnya
menetapkan kriteria tersendiri yang harus dipenuhi, sehingga wasiat tersebut
dianggap sah. Menurut ulama dari kalangan Hanafiyah, usia bayi dalam
kandungan tersebut minimal 6 bulan ketika wasiat tersebut diikrarkan. Namun,
ada juga yang berpendapat bahwa usia minimal 6 bulan tersebut dihitung dari
waktu meninggalnya pemberi wasiat.10
Sedangkan ulama dari kalangan Malikiyah hanya menekankan
penerima wasiat harus sudah ada ketika wasiat dikrarkan atau keberadaannya
masih ditunggu, seperti bayi dalam kandungan. Dalam hal ini, terlihat ulama
Malikiyah tidak memberikan batasan tertentu, tetapi hanya menyebutkan
bahwa kondisi bayi tersebut jelas akan ada atau lahir.
3. Orang atau lembaga yang cakap menerima hak atau milik
Senada dengan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh ‫(الموصي‬orang
yang berwasiat) yaitu harus cakap dalam bertindak hukum, maka demikian
juga dengan syarat ‫( له الموصى‬penerima wasiat). Hal ini dapat dipahami, karena
keberadaan wasiat bagi ‫ له الموصى‬sangat terkait dengan kemampuan men-
tasarruf-kan harta yangtelah diwasiatkan.
4. Kafir Dzimmy
Para fuqoha kaum muslimin dari kalangan Hanafiah dan Hanabilah
serta kebanyakan Syafi'iyah telah sepakat tentang sahnya wasiat dari seorang
muslim kepada kafir dzimmy atau dari kafir dzimmy kepada seorang muslim
dengan syarat wasiat syar'iyyah. Mereka berhujjah dengan firman Allah:
َ‫ّلال‬ ‫ۡ ل ْن ُ ّلالُ عن الَ ن لَ ْم ُيَقا ْ م ِفى ال ولَ ِ ْ ْ ’ د َيا ْ ن َت َب ْ وت ْ ِه ْْۗم‬
‫ِتلُ ْو ِد’ ْين ك ْم ي ر و م م ِر ر ْو ك ْم م ْقس وا ِان َل‬ ‫ِذ ْي‬ ‫ٰهٮ م‬
‫ْي‬ ‫ط‬ ‫ا‬ ‫ن‬
‫ه‬ ‫خ جك‬ ‫ك‬
‫ا ْ ل ُم ط ْين‬
‫ْقس ب‬

1
‫ُي ِح‬
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)

10
Wahbah al Zuhailiy, al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh, Damaskus : Dar al Fikr, 2002, Juz 10, h. 7464

1
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang Berlaku adil. (Al-Mumtahanah: 08)
Karena kekufuran tidak menghapuskan hak memiliki sebagaimana
boleh pula seorang kafir berjual beli dan hibah, demikian pula wasiatnya.
Sebagian ulama Syafi'iyah berpendapat bahwa hanya sah kepada sorang
dzimmy bila ditentukan orangnya seperti kalau dia mengatakan: "Saya
berwasiat untuk si Fulan." Tapi kalau dia mengatakan: "Saya berwasiat untuk
Yahudi atau Nashara", maka tidaklah sah karena dia telah menjadikan
kekafiran sebagai pembawa wasiat.
Adapun Malikiyah maka mereka menyetujui orang-orang yang
menyatakan sahnya wasiat seorang dzimmy kepada orang muslim. Adapun
wasiat seorang muslim kepada seorang dzimmy maka Ibnul Qosim dan
Asyhab berpendapat boleh apabila dalam rangka silaturahim karena termasuk
kerabat kalau bukan maka hukumnya makruh karena tidak akan berwasiat
kepada orang kafir dengan membiarkan orang muslim kecuali seorang muslim
yang sakit imannya.11
Orang- orang yang tidak boleh menerima wasiat antara lain:
1. Ahli waris pemberi wasiat
Dalam pelaksanaan wasiat, fuqaha juga memberikan syarat bahwa
orang yang menerima wasiat bukanlah salah seorang yang berhak
mendapatkan warisan dari orang yang berwasiat, kecuali apabila ahli waris
lainnya membolehkan. Hal ini didasarkan pada hadits dari Abu Umamah
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
‫ِ مع رس ْول هلال صلى هلال عليه‬ : ‫عن ابي امامة الباهلى رضى هلال عنه قال‬
‫ت‬
‫س‬
‫ث (رواه احمد‬ ‫كل ح حَق َ ال صَي َ وا‬ ‫ ِإن ّ ْ د عط‬: ‫وسلم يقول‬
‫واۡلربعة‬ ‫ل َأ ى‬
‫ذي ٍق ه و ة ِر ل‬
‫ل‬
َ‫ا‬
‫ديث‬‰ ‫وقواه ابن خزيمة وابن الجارود ورواه الدارقطني ۡا ل النسائ وحسنه احمد والترمذي من ح‬
‫ابن عباس وزاد في اخره ۡا ل ان يشاء الورثة واسناده حسن‬
“Dari Umamah Al Bahili r.a. beliau berkata: Saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT memberikan hak

1
kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
diriwayatkan oleh Ahmad dan al arba’ah selain an nasa’iy (jadi hanya abu

11
Kementrian Wakaf dan urusan Agama Kuwait. Al-Maushu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah. Cetakan
Kedua, 1983.hlm 312

1
daud, at tirmidzi dan ibnu majah)dan dinilai hasan oleh ahmad dan at
tirmidzi, penilaian ini diperkuat oleh ibnu khuzaimah, dan ibnu jarud.juga
diriwayatkan oleh ad daruquthni dari ibnu abbas r.a. dan beliau
menambahkan pada akhir matannya kalimat: kecuali para ahli waris
menghendakinya(menyetujuinya). Dan sanadnya bagus.”12
Menurut para ahli fiqh, larangan berwasiat kepada ahli waris yang
telah ditentukan bagian kewarisannya ditujukan agar tidak ada kesan bahwa
wasiat menunjukkan perbedaan kasih sayang antara sesama ahli waris yang
dapat menimbulkan perselisihan keluarga.
Fuqaha’ syiah ja’fariyah menyatakan bahwa wasiat kepada ahli
waris yang menerima warisan adalah boleh, kendatipun ahli waris lainnya
tidak menyetujuinya. Dasarnya petunjuk umum (dalalah al-‘am) Qs. Al-
baqarah: 180.
Pendapat yang membolehkan wasiat kepada ahli waris dengan
syarat apabila ahli waris lain menyetujui adalah madzhab syafi’iyah,
hanafiyah dan malikiyah. Dasarnya:
‫ وزاد في اخره "ا آل‬,‫ورواه الدارقطني من حديث ا بن عـبا س رضي هلال عنهما‬
‫ان يشا ء الورثة" واسناده حسن‬
“Daruquthni meriwayatkan dari hadist Ibnu Abbas R.A dengan
tambahan di akhir hadist “kecuali Ahli Waris menyetujui” dan sanadnya
hasan”
2. Penerima Wasiat bukan Kafir Harbi
Syarat di atas merupakan pendapat ulama dari kalangan Malikiyah,
sedangkan ulama Hanafiyah menambahkan bahwa penerima wasiat
bukanlah kafir harbi yang berada di Dar al Harbi. Menurut ulama
Syafi`iyah, penerima wasiat tidak mewasiatkan untuk berdamai dengan ahl
al harbiy.
3. Orang yang membunuh pewasiat
Berkenaan dengan hal ini, ulama dari kalangan Mazhab Hanafi
mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan dalam
pengertian ini adalah pembunuhan secara langsung, baik secara sengaja

12
Aḥmad ibn ʻAlī Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī. Bulughul Maram Min Adilatil Ahkam. Surabaya: Darul Ilmi,
tt. Hlm. 199

1
ataupun tidak. Namun, apabila pembunuhan tersebut terjadi tidak secara
langsung, maka hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan
wasiat. Hal ini sesuai dengan kaidah yang berbunyi :
"Siapa saja yang ingin segera mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka ia dihukum dengan tidak akan mendapatkan barang
tersebut."
4. Orang yang fasik
Wasiat tidak ditujukan untuk sesuatu yang merugikan umat Islam
atau untuk maksiat seperti berwasiat kepada orang fasik untuk
menyebarluaskan kefasikannya atau berwasiat untuk mendirikan tempat
yang digunakan untuk melakukan maksiat. Wasiat seperti ini menurut
ulama Hanafiyah dianggap batal.
E. Pembagian Harta Warisan berdasarkan Al-Qur’an
Dalam Al-quran sangat jelas di cantumkan berapa pembagian harta waris yang harus
di terima oleh setiap ahli waris dan siapa saja yang berhak menerima nya,sebagaimana di
dalam fIrman Allah SWT dalam Alquran surat An-Nisa ayat 11 yaitu :
‫كان‬
ِ ‫تَ ك‬ ‫ن ۚ ِ سٓاْ ْ وق ٱثْ نَ ت ُ ن‬ ‫مث ح ’ظ ٱ‬ ‫صيك ِ ى أ ك لذَّ َك‬ ‫ُيو‬
‫ت‬
‫إن‬ ‫َر‬ ‫ْين ه ُث لَُث ا‬ ‫َفِإ ن ن ًۭ ًء‬ ‫ْۡلُ نثَ َي ْي‬ ‫ل‬ ‫ُم ٱ ف ْولَ ٰـ ِد ْم ِر‬
‫و‬ ‫ما‬ ‫ل‬ ‫كن‬ ‫ّ ُلل‬
‫كن لَّ وَل و َو‬ ۢۡ
َ‫م َّما تَ ك كان هُۥ ًۭ د˚ ۚ فَِإن ل‬ ‫ٍد ْ ن ُه س‬ ‫َ وحَد ًًۭة َ ها صف ۚ و َِۡل َب‬
‫ۥُه ًۭد˚ ِرثَ ْٓۥه‬ ‫ْم يَ وَل‬ ‫َر س ِإن‬ ‫َو ْي ِه ’ل َوح َما ٱل د‬ ’‫ٱل ِن‬
‫لك‬
‫’م‬ ‫ل‬
‫س ۚ م ِ د صَّي ٍۡۢ ة صى هٓا ْ أ ن ءا ْ وأَ ْب ك‬ ‫ِ ِل س‬ ًۭ ِ ‫َل‬ ۚ ‫َأ َب َوُاه َف ُِِل ِ’ م ث‬
َ ۢۡ
‫ٓ ْ ْم ۡل‬ ‫ؤ‬ ُ ْ ٓ
‫ا‬ ‫ب‬ َ ‫ُيو‬ ‫ن َب و‬ ‫ِه ٱلث ل إِ ن كان إ ة˚ ِ’ م ِه د‬
‫نَ ا ُؤ‬ ‫م‬ ‫ْو د َ ْ ي‬
‫ع‬ ‫ٱل‬ ‫ۥُه خ‬
‫ك‬ ‫َو‬
‫ً ح ِكي ًۭ ًما‬ ‫ن كان‬ ‫َت ْد ن أَ ي ُه ْم أ ْ ْ ف ًًۭعا ۚ ض ’م ّ ِلل‬
‫ما‬ ‫ّٱ َلل‬ ‫َف ِري ًًۭة ن ٱ ِإ‬ ‫ْق َرب م‬ ‫ُرو‬
‫ع‬
‫ِلي‬ ‫ك‬
Artinya : Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu
: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan

1
untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak
dan ia diwarisi oleh ibu- bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksan Bagian laki-
laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan,
seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah.

2
Ayat ini menjelaskan tentang pembagian warisan dalam Islam. Pembagian warisan
tersebut didasarkan pada ketetapan Allah dan prinsip kesetaraan dalam memberikan hak-hak
kepada ahli waris.
Dalam ayat tersebut, Allah menetapkan bahwa bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan. Ini berarti jika ada seorang anak laki-laki dan dua
anak perempuan, anak laki-laki akan mendapatkan dua bagian, sementara setiap anak
perempuan akan mendapatkan satu bagian.
Namun, jika semua anak yang ditinggalkan adalah perempuan dan lebih dari dua,
maka mereka akan mendapatkan dua pertiga dari harta warisan yang ditinggalkan. Jika hanya
ada satu anak perempuan, maka ia akan mendapatkan separuh dari harta warisan.
Selain itu, ayat tersebut juga menjelaskan bahwa kedua orang tua yang masih hidup
akan mendapatkan seperenam dari harta warisan, jika ada anak-anak yang ditinggalkan. Jika
orang yang meninggal tidak memiliki anak tetapi memiliki orang tua yang masih hidup, maka
ibu mendapatkan sepertiga dari harta warisan. Jika yang meninggal memiliki beberapa saudara,
maka ibu mendapatkan seperenam dari harta warisan.
Pembagian warisan tersebut diberlakukan setelah memenuhi wasiat yang dibuat oleh
pewaris atau setelah membayar hutang yang ada. Ayat ini menegaskan bahwa Allah
mengetahui dengan baik manfaat dan kebutuhan yang berbeda antara orang tua dan anak-
anak, dan menetapkan ketentuan yang adil dalam pembagian warisan.
Bagian laki-laki yang dua kali lipat dari bagian perempuan didasarkan pada
pertimbangan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab ekonomi yang lebih berat, seperti
membayar maskawin dan memberikan nafkah kepada keluarga. Prinsip ini mencerminkan
keadilan dalam pembagian warisan berdasarkan peran dan tanggung jawab yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam.

2
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata waris berarti Orang yang
berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Di dalam bahasa Arab
kata waris berasal dari kata ‫ورثا‬-‫يرث‬-‫ ورث‬yang artinya adalah Waris. Contoh, ‫ورث اباه‬
yang artinya Mewaris harta (ayahnya)

Kata wasiat ( ‫ ) الوصية‬berasal dari kata “washshaitu (‫) وصيت‬, asy-syaia ( ‫الشيئ‬
), ushiiyah (‫يه‬‰‫) أص‬, artinya: aushaltu (‫لت‬‰ ‫( )أوص‬aku menyampaikan sesuatu)”.yang juga
berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan. Dalam Al-Qur'an kata wasiat dan
yang seakar dengan itu mempunyai beberapa arti di antaranya berarti menetapkan

B. Saran
Demikianlah pembahasan pada makalah ini yang dapat penyusun paparkan.
Besar harapan penyusun makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para
pembaca. Penyusun menyadari dalam penyusunan makalah ini masih terdapat
beberapa kekurangan dan kesalahan. Atas segala keterbatasan yang ada, penyusun
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Penyusun berharap kritik dan
saran yang bersifat membangun dari rekan-rekan semua dan pembaca, agar dapat
menjadikan pelajaran untuk pembuatan makalah selanjutnya.

2
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofiq. ( 2005 ) . Fiqh Mawaris. (Jakarta Utara: PT Raja Grafindo Persada.
Beni Ahmad Saebani. ( 2012 ). Fiqih Mawaris. Bandung :Pustaka setia.
Effendi Perangin. ( 2008 ), Hukum Waris. Jakarta:Rajawali Pers.
Hasan, M. Ali. ( 2003 ). Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Muhammad Ali As-Shabuni. ( 2004 ) . Hukum Kewarisan Menurut AlQur’an Dan Sunnah.
Jakarta: Cv Diponegoro.
Muhammad Muslih. ( 2007 ) . Fiqih. Bogor : Yudhistira.
Munawwir ahmad warson. ( 1997 ) . Kamus Al Munawwir, Surabaya:Pustaka Progressif.
Wahbah al Zuhailiy. ( 2002 ) . al Fiqh al Islamiy wa Adillatuh, Damaskus : Dar al Fikr.
Zainuddin Ali. ( 2004 ). Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai