Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MAWARIS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Fiqh Ibadah, Muamalah, Mawaris

Dosen Pengampu :

Drs. Nurul Hidayat, M.ag.

Disusun oleh Kelompok 10 :

1. Mu’izzatul Awaliyah (126201212204)


2. Alfi Khoirun Nadia (126201212212)
3. Kharisma Hana Syajida R. (126201212214)
4. Rohmat Setiawan Saputra (126201213224)
5. Indra Jaya Wardana (126201213302)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH

TULUNGAGUNG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat dan karunian-Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Mawaris” dengan tepat
waktu. Serta semoga sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan
kita, Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di yaummul kiyamah.

Pada kesempatan ini tak lupa kami sampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor UIN Sayyid Ali


Rahmatullah Tulungagung.
2. Bapak Drs. Nurul Hidayat, M.Ag., selaku Dosen pengampu mata
kuliah Fiqh Ibadah, Muamalah, Mawarisyang telah membimbing dan
mengarahkan kami dalam proses pembelajaran mata kuliah ini.
3. Teman-teman satu kelompok yang telah meluangkan waktunya untuk
menyelesaikan makalah ini

Kami sadar, penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, dan ini
merupakan langkah yang baik dari studi yang sesungguhnya, karena kesalahan
dalam proses pembeljaran maklum namanya. Oleh karena itu, keterbatasan waktu
dan kemampuan kami, maka kritik dan saran yang membangun sennatiasa kami
harapkan demi kebaikan dalam proses pembelajaran berikutnya. Semoga makalah
yang kami tulis dapat berguna bagi kita semua meskipun banyak kekurangan di
dalamnya.

Tulungagung, 7 November 2022

Tertanda,

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i

DAFTAR ISI...................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................1
C. Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3

A. Pengertian Mawaris..............................................................................3
B. Dasar Hukum Mawaris.........................................................................4
C. Rukun Mawaris.....................................................................................8
D. Syarat Mawaris.....................................................................................9

BAB III PENUTUP.........................................................................................11

A. Kesimpulan...........................................................................................11
B. Saran.....................................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses perjalanan kehidupan manusia adalah lahir, hidup dan mati. Semua
tahap itu membawa pengaruh dan akibat hukum kepada lingkungannya,
terutama dengan orang yang dekat dengannya. Baik dekat dalam arti nasab
atau keturunan atau kerabat maupun dalam arti lingkungan.

Kelahiran membawa akibat timbulnya hak dan kewajiban bagi dirinya dan
orang lain serta timbulnya hubungan hukum antara dia dengan orang tua,
kerabat serta masyarakat dan lingkungan sekitarnya.Demikian juga dengan
kematian seseorang membawa pengaruh dan akibat hukum kepada diri,
keluarga, masyarakat dan lingkungan sekitarnya, selain itu,kematian tersebut
menimbulkan kewajiban orang lain bagi dirinya (si mayit) yangberhubungan
dengan pengurusan jenazahnya. Dengan kematian timbul pula akibat hukum
lain secara otomatis, yaitu adanya hubungan ilmu hukum yang menyangkut
hak para keluarganya (ahli waris) terhadap seluruh harta peninggalannya.

Adanya kematian seseorang mengakibatkan timbulnya cabang ilmu


hukumyang menyangkut bagaimana cara penyelesaian harta peninggalan
kepadakeluarganya yang dikenal dengan nama Hukum Waris. Dalam syari’at
Islam ilmutersebut dikenal dengan nama Ilmu Mawaris, Fiqih Mawaris, atau
Faraidh

B. Rumusan masalah
1. Bagaimana pengertian dari mawaris?
2. Bagaimana hukum, rukun, syarat dalam mawaris?

1
C. Tujuan
1. Berdasarkan rumusan di atas yang sudah di sebutkan diatas, maka kami
menyertakan tujuan

Antara lain:

1. Untuk mengetahui pengertian mawaris.

2. Untuk mengetahui bagaimana seorang muslim dalam hukum mawaris.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mawaris
Hukum waris Islam dalam bahasa arab disebut Al-mirats, yaitu
bentuk masdar dari kata warisa-yarisu-mirasan. Maknanya menurut bahasa
ialah berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Secara
terminologi, miras (waris) berarti warisan harta kekayaan yang dibagi dari
orang yang sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya.1 Ilmu waris
adalah suatu ilmu yang mengajarkan pembagian harta peninggalan dari
orang yang meninggal kepada keluarganya yang ditinggalkan.
Sedangkan faraidh yang berarti penentuan, adalah penentuan
pemberian harta peninggalan menurut agama Islam kepada semua orang
yang berhak menerimanya, ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu
mawaris atau lebih dikenal dengan istilah faraidh. 2 Kata faraidh
merupakan bentuk jamak dari faridah, yang diartikan oleh para ulama
semakna dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang telah ditentukan
kadarnya. Ilmu faraidh mempelajari tentang ketentuan-ketentuan bagian
ahli waris yang diatur secara rinci di dalam Al-Qur’an tentang siapa orang-
orang yang termasuk ahli waris, siapa yang tidak, berapa bagian-bagiannya
dan bagaimana cara menghitungnya.
Kajian masalah-masalah waris didalam hukum Islam, merupakan
salah satu materi pembahasan ilmu fiqih yang terpenting. Karena itulah
para ahli fiqih telah mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan
warisan, dan menulis karya-karya mengenai masalah-masalah waris ini,
dan menjadikannya suatu ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya
ilmu fiqih mawaris dalam istilah lain dinamakan juga ilmu faraidh. Secara
singkat ilmu faraidh dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
1
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, Cet. Ke-2, 2008), hal. 205
2
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, (Bandung: Pustaka Setia,2003), hal. 13

3
mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.3
Para ulama ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu
faraidh atau fiqih mawaris. Walaupun definisi-definisinya secara redaksi
berbeda, namun mempunyai pengertian yang sama.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 171 ayat a, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang
pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,
menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa
bagiannya masing-masing.4
Dari definisi-definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu
faraidh atau Fiqh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal
pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meningal dunia kepada
yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang
yang berhak menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing
ahli waris, maupun cara penyelesaian pembagian harta peninggalan itu.5
B. Dasar Hukum Mawaris
Dasar dan sumber utama dari hukum Islam sebagai hukum agama
(Islam) adalah nash atau teks yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah
Nabi, ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang secara langsung
mengatur kewarisan tersebut antara lain sebagai berikut:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an
QS. An-Nisa’ ayat 7
‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
َ ُ‫يب ِّم َّما تَ َركَ لْ َ ٰودِل َ ِان َو َأْل ْق َرب‬
‫ون ِم َّما قَ َّل‬ َ ُ‫يب ِّم َّما تَ َركَ لْ َ ٰودِل َ ِان َو َأْل ْق َرب‬
ٌ ‫ون َو ِلل ِن ّ َسٓا ِء ن َِص‬ ٌ ‫ِل ّ ّ ِلر َجالِ ن َِص‬
‫ِمنْ ُه َأ ْو َكرُث َ ۚ ن َِصي ًبا َّم ْف ُروضً ا‬
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan
ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula)

3
Amin Husein Nasutin, Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan
Kompilasi Hukum Islam), (Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa, 2012), hal. 50
4
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Edisi Pertama (Jakarta: Penerbit
Akademika Pressindo, 2010), hal. 155.
5
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris atau Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Gaya Media pratama, 2008), hal. 15

4
dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau
banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”.
Ketentuan dalam ayat diatas merupakan merupakan landasan
utama yang menunjukkan, bahwa dalam Islam baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama mempunyai hak waris, dan sekaligus merupakan
pengakuan Islam, bahwa perempuan merupakan subjek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban. Tidak demikian halnya pada masa
jahiliyah, dimana wanita dipandang sebagai objek bagaikan benda biasa
yang dapat diwariskan.6
Sebagai pertanda yang lebih nyata, bahwa Islam mengakui
wanita sebagai subjek hukum, dalam keadaan tertentu mempunyai hak
waris, sedikit ataupun banyak yang telah dijelaskan dalam beberapa
ayat Al-Qur’an. Diantara nya terdapat dalam Surah An-Nisa’ ayat 11:
َ‫وصيمُك ُ ٱهَّلل ُ ىِف ٓ َأ ْولَٰ ِدمُك ْ ۖ ِل َّذل َك ِر ِمثْ ُل َحظِّ ٱُأْلنثَيَنْي ِ ۚ فَ ن ُك َّن ِن َسٓا ًء فَ ْو َق ٱثْنَتَنْي ِ فَلَه َُّن ثُلُثَا َماتَ َرك‬ ِ ُ‫ي‬
‫ِإ‬
ۚ ٌ ‫ۖ َو ن اَك ن َْت َ ٰو ِحدَ ًة فَلَهَا ٱل ِنّ ْص ُف ۚ َوَأِلب َ َويْ ِه ِللُك ِّ َ ٰو ِح ٍد ِّمهْن ُ َما ٱ ُّلسدُ ُس ِم َّما تَ َركَ ن اَك َن هَل ُۥ َودَل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
ِ‫فَ ن ل َّ ْم يَ ُكن هَّل ُۥ َودَل ٌ َو َو ِرثَ ُه ٓۥ َأب َ َوا ُه فَُأِل ِّم ِه ٱلثُّلُ ُث ۚ فَ ن اَك َن هَل ُ ٓۥ خ َْو ٌة فَُأِل ِّم ِه ٱ ُّلسدُ ُس ۚ ِم ۢن ب َ ْعد‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ٱ‬
‫ون َأهُّي ُ ْم َأ ْق َر ُب لَمُك ْ ن َ ْف ًعا ۚ فَ ِريضَ ًة ِّم َن هَّلل ِ ۗ َّن‬َ ‫َو ِصيَّ ٍة يُوىِص هِب َٓا َأ ْو َد ْي ٍن ۗ َءابَٓاُؤ مُك ْ َوَأبْنَٓاُؤ مُك ْ اَل تَدْ ُر‬
‫ِإ‬
‫ٱهَّلل َ اَك َن عَ ِلميًا َح ِكميًا‬
Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang
(pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak
laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak
itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak
perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta
yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing
seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal)
mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan

6
Mohammad Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam (Sebagai Pembaharuan
Hukum Positif di Indonesia), (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 12

5
dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara,
maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di
atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah
dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu
tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahabijaksana”.
Firman-Nya, bagian “Seorang anak lelaki sama dengan bagian
dua orang anak perempuan”. Maksudnya ketika ada anak laki-laki dan
anak wanita. Tapi jika yang ada hanya anak laki-laki, maka dia
mendapatkan semua warisan, jika yang ada hanya anak perempuan,
maka dia mendapatkan separuhnya. Jika ada dua anak perempuan maka
mereka mendapat dua pertiga bagian.7
2. Hadist
Hadits nabi Muhammad yang secara langsung mengatur tentang
kewarisan adalah sebagai berikut:
a. Hadist nabi dari Abdullah Ibnu Abbas R.A yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhori dan Imam Muslim:
‫ قَا َل َر ُس ْو ُل اهّٰلل ُ َصىَل اهّٰلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َألْ ِح ُق ْوا ال َف َراِئ َض‬:‫اهّٰلل ُ َعهْن ُ َما قَا َل‬ َ ‫َع ْن ِا ْب ِن َع َب ِاس َريِض‬
)‫َر ُج ٍل َذ َك ٍر (رواه البخارى و مسمل‬ ‫ فَ َما ب َ ِق َي َأِل ْوىَل‬،‫ِبَأ ْه ِلهَا‬
“Diriwayatkan dari ibnu abbas R.A ia berkata bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Berikanlah warisan kepada orang yang berhak, jika
masih tersisa maka harta itu untuk keluarga laki-laki terdekat” (HR.
Bukhari-Muslim).8
b. Hadist nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Abu
Daud

7
As-Sayyid Muhammad Shiddiq Khan, Al-Qur’an dan As-Sunnah Bicara Wanita, (Jakarta: Darul
Falah: 2001), hal. 50
8
Shafiyyurahman Al-Mubarakfury, Syarah Bulugul Marom, Terjemah Ahmad Syekhu, (Banten:
Raja Publishing, 2012), hal. 738

6
)‫َأ ْق ِس ِم الْ َما َل بَنْي َ َأ ْهلِ ال َف َراِئ َض عَىَل ِك َت ِاب اهّٰلل ِ ( مسمل و ابو داود‬
“Bagikanlah harta warisan diantara ahli menurut kitab Allah” (HR
Muslim & Abu Daud).9
3. Ijma' dan Ijtihad
Meskipun Al-Qur’an dan Hadits sudah memberikan ketentuan
terperinci mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal
masih diperlukan adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak
ditentukan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Ijma’ dan Ijtihad para
sahabat, imam madzhab dan mujtahid kenamaan mempunyai peranan
yang tidak sedikit sumbangsihnya terhadap pemecahan-pemecahan
masalah Faraidh atau waris yang belum dijelaskan dalam nas-nas Al-
Quran mupun Hadits.
Masalah-masalah yang berhubungan dengan faraidh atau waris
diputuskan melalui kesepakatan ijma' dan ijtihad mereka, contohnya
seperti:10
a. Status saudara-saudara yang mewarisi bersama dengan kakek. Di
dalam Al-Quran itu tidak dijelaskan. Yang dijelaskan ialah status
saudara-saudara bersama ayah atau bersama anak laki-laki yang
dalam kedua keadaan ini mereka tidak dapat apa-apa lantaran
terhijab. Kecuali dalam masalah kalalah mereka mendapat bagian.
b. Status cucu-cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal daripada
kakek yang bakal diwarisi bersama-sama dengan saudara-saudara
ayah. Menurut ketentuan, mereka tidak mendapat apa-apa lantaran
dihijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut kitab Undang-undang
Hukum Wasiat Mesir yang mengistinbatkan dari ijtihad para ulama
mutaqaddimin, mereka diberi bagian berdasarkan wasiat wajibah.11
C. Rukun Mawaris

9
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Darul Kutub Alamiah, 1992), Juz III, hal. 23.
10
Hikmatullah, Fiqih Mawaris Panduan Kewarisan Islam, (Serang: Fakultas Syariah Universitas
Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2018), hal. 13
11
Dr. Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014),
hal. 15

7
Adapun rukun yang harus ada dalam ilmu mawaris ada 3 hal
utama, yaitu:
1. Al-Muwaris (pewaris).
Orang yang memiliki harta warisan yang telah meninggal dunia
dan mewariskannya kepada ahli warisnya. Syaratnya adalah al-
muwaris benar-benar telah dinyatakan meninggal baik secara hukum
maupun medis.
2. Al-Waris (Ahli Waris)
Al waris atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan
memiliki hubungan nasab atau kekerabatan yang merupakan hubungan
darah, hubungan akibat perkawinan, atau akibat memerdekakan budak
atau hamba sahayanya. Syarat, ahli waris adalah ia dalam keadaan
hidup pada saat al-muwaris Atau orang yang memiliki harta waris
meninggal dunia. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih
berada dalam kandungan meskipun ia masih menyerupai janin dan ia
terkait nasab dengan al mawaris. Baik pria dan wanita memiliki hak
untuk memperoleh harta warisan.
3. Tirkah
Tirkah adalah harta atau hak yang berpindah dari al muwaris
atau pewaris kepada ahli warisnya. Harta tersebut dapat dikatakan
tirkah apabila harta peninggalan almuwaris yang  telah dikurangi biaya
perawatan, pengurusan jenazah, hutang dan wasiat yang sesuai syariat
agama islam untuk selanjutnya diberikan kepada ahli waris .Dari
pengertian tersebut maka dapat diketahui perbedaan harta peninggalan
dengan harta warisan. Harta peninggalan adalah semua materi yang
ditinggalkan oleh pewaris yang telah meninggal dunia secara
keseluruhan sedangkan harta waris atau tirkah adalah harta
peninggalan yang sesuai syara berhak diberikan kepada ahli waris
setelah dikurangi hak orang lain di dalamnya.12
D. Syarat Mawaris

12
https://dalamislam.com/dasar-islam/mawaris-dalam-islam

8
Syarat Seorang Muslim Berhak Mendapatkan Warisan
Sebagaimana dilansir dari laman NU Online, terdapat beberapa syarat dan
rukun harus dipenuhi. Ketiadaan salah satu syarat dan rukun menjadikan
harta warisan tidak boleh dibagikan kepada ahli waris. Empat syarat yang
harus dipenuhi sebagai berikut:
1. Matinya Orang yang Mewariskan Kematian orang yang
mewariskan harus bisa dibuktikan, baik dengan pemeriksaan teliti,
terdapat saksi, hingga diberitakan sudah meninggal dari pihak yang dapat
dipercaya. Bagi orang yang sedang sakit parah atau koma berkepanjangan,
maka hartanya belum bisa diwariskan. Bagaimanapun juga harta warisan
menjadi sah jika pewaris sudah benar-benar meninggal. Untuk kasus orang
hilang yang kabarnya tidak bisa diketahui, kematian dapat dinyatakan
melalui putusan hakim sehingga harta warisan dapat dibagi kepada ahli
warisnya.
2. Hidupnya Orang yang Mewarisi Jika pewaris sudah dipastikan
meninggal, maka ahli waris yang akan menerima hartanya harus dalam
keadaan hidup, kendati dalam keadaan sekarat, meskipun tak lama
kemudian menyusul meninggal.
3. Terdapat Hubungan Ahli Waris dengan Si Mayit Syarat lain
yang mesti dipenuhi adalah adanya hubungan antara ahli waris dengan
pewaris, baik melalui kekerabatan nasab, hubungan pernikahan, atau
pemerdekaan budak (wala'). Namun, kendati memiliki hubungan tertentu
yang menjadikan ahli waris dapat menerima pusaka, terdapat penghalang
yang membatalkan warisan. Misalnya jika ahli waris membunuh
pewarisnya maka ia diharamkan memperoleh warisan sebagaimana sabda
Nabi Muhammad, "Pembunuh tidak berhak mendapat apa-apa. Jika tidak
ada pewaris yang lain, maka pewarisnya orang terdekat darinya, dan
pembunuh tidak dapat mewarisi apa pun." (HR. Abu Daud)
4. Satu Alasan yang Menetapkan Seseorang Bisa Mendapatkan
Warisan Secara Rinci Syarat terakhir ini ditetapkan oleh hakim untuk
menunjukkan bahwa seseorang adalah ahli waris yang berhak menerima

9
warisan dari pewaris atau tidak. Pernyataan saksi saja tidak cukup, kecuali
terdapat alasan pewarisan yang masuk akal. 13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

13
https://tirto.id/syarat-dan-rukun-waris-dalam-islam-yang-wajib-dipenuhi-eywm

10
Dengan penjelasan-penjelasan mengenai hukum waris di atas, maka dapat di
simpukan bahwa :Waris adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang
meninggal dunia kepada ahli waris yang masih hidup.

Adapun pengertian hukum kewarisan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)


adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagiannya (Pasal 171 huruf a KHI).

Ahli waris adalah orang-orang mendapatkan hak memperoleh harta


peninggalan orang yang telah meninggal yang masih mempunyai hubungan darah.
Bagian-bagian yang di peroleh ahli waris telah di tetapkan dalam Al-Qur’an,
sehingga tidak ada kata tidak adil karena Al-Qur’an adalah Firman Allah SWT.
Yang di jamin kebenarannya. Sebelum di lakukan pembagian harta waris terdapat
beberapa hak yang harus di dahulukan. Ha-hak tersebut adalah :Hak yang
bersangkutang dengan harta itu, seperti zakat dan sewanya.Biaya untuk mengururs
mayat, seperti harga kafan, upah menggali tanah kubur, dan sebagainya. Sesudah
hak yang pertama tadi di selesaikan, sisanya barulah di pergunakan untuk biaya
mengurus mayat.

Hutang yang di tinggalkan oleh si mayat. Wasiat si mayat. Namun banyaknya


tidak lebih dari sepertiga dari harta penginggalan si mayat. Wasiat adalah pesan
tentang suatu kebaikan yang akan di jalankan sesudah seseorang meninggal dunia
dan hukum wasiat adalah sunnah.

SARAN

Rasululloh SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh rodliallohu


‘anhu, yaitu :

11
“Diriwatkan dari Abu Hurairoh rodliallohu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda “pelajarilah oleh kalian ilmu faro’id, karena sesungguhnya ilmu faro’id
itu sebagian dari agama kalian dan setengah dari seluruh ilmu. Dan sesungguhnya
ilmu faro’id itu ilmu yang mula-mula akan di cabut dari umatku”.”

Dari hadist tersebut dapat di peroleh kesimpulan bahawa ilmu faraid atau yang
biasa di kenal dengan ilmu pembagian harata waris ini sangat penting untuk di
pelajari. Oleh karena itu pengenalan dan pemahaman ilmu faraid harus lebih di
tingkatkan lagi.

Mempelajari ilmu ini juga untuk mengetahui dengan jelas orang-orang yang
berhak menerima warisan sehingga terhindar dari perselisihan dan perebutan harta
penginggalan yang meninggal.

Mengajarkan ilmu faraid(ilmu pembagian harta waris) memang tidak mudah,


metode pengajaran yang kreatif dan inovatif sangat di perlukan kerena tidak dapat
di pungkiri bahwa ilmu faraidh sudah mulai tidak di gunakan lagi, padahal ilmu
faraidh telah di jelaskan d Al-Qur’an yang di jamin kebenarannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Cet II).
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

12
Beni Ahmad Saebani. 2013. Fiqih Mawaris. Bandung: Pustaka Setia.

Amin Husein Nasutin. 2012. Hukum Kewarisan (Suatu Analisis Komparatif


Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam). Jakarta: PT Raja
Grafindo.

Abdurrahman. 2010. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. (Edisi I). Jakarta:


Penerbit Akademika Pressindo.

Suparman Usman, Yusuf Somawinata. 2008. Fiqih Mawaris atau Hukum


Kewarisan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Mohammad Muhibirin, Abdul Wahid. 2009. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:


Sinar Grafika).

As-Sayyid Muhammad Shiddiq Khan. 2001. Al-Quran dan As-Sunnah Bicara


Wanita. Jakarta: Falah.

Shafiyyurahman Al-Mubarakfury. 2012. Syarah Bulugul Marom. Banten: Raja


Publishing.

Imam Muslim. 1992. Shahih Muslim. Beirut: Darul Kutub Alamiah.

Hikmatullah. 2018. Fiqih Mawaris Panduan Kewarisan Islam. Serang: Fakultas


Syariah Universitas islam negeri Sultan Maulana hasanuddin Banten.

Dr. Mardani. 2014. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raya


Grafindo Persada.

https://tirto.id/syarat-dan-rukun-waris-dalam-islam-yang-wajib-dipenuhi-eywm

https://dalamislam.com/dasar-islam/mawaris-dalam-islam

13

Anda mungkin juga menyukai