Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

ILMU HADIST DIRAYAH

(Disusun dalam rangka memenuhi tugas pada mata kuliah BTQ)


Dosen pengampu : Sumantri, M.pd.

DISUSUN OLEH

MUHAMAD ALI AKBAR : 2223.014


ANDRIANSYAH : 2223.001

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


TARBIYAH
STAI DAARUSSALAAM
SUKABUMI
2022

1
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas
rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyampaikan tugas makalah
Sejarah Peradaban Islam ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak
lupa pula, Shalawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada junjungan
kita semua Nabi Muhammad SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya.
Makalah yang kami susun ini menjelaskan materi Pola Pendidikan Islam Pada
Masa Rasulullah SAW. Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas BTQ yang
diberikan oleh dosen. Banyak pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah ini. Oleh karena itu, kami ucapkan banyak terima kasih.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca sekalian.
Harapan dari penulis semoga makalah ini bermanfaat dan dapat membantu
mahasiswa dalam menempuh mata kuliah BTQ serta dapat mengembangkannya
dengan sebenarbenarnya.

Sukabumi, November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………...…… i

KATA PENGANTAR..………………………………………... ii

DAFTAR ISI ………………………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………..…..11


1.1 Latar Belakang.…………………………………………1 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………..11
1.3 Tujuan Penulisan ……………………............................11
BAB II PEMBAHASAN………………..………………............52
2.1 Defenisi Ilmu Hadist Dirayah…………………………….
5
7 7
2.2 Model Pengembangan Hadits Dirayah ..............................
2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah ................ 1516
2.4 Faedah Penerapan Ilmul Hadits Dirayah .......................
1717
17
2.5 Kepentingan IImu Hadist Dirayah ……..………....…..14

BAB III PENUTUP ……………………………………………..1916


3.1 Kesimpulan ……………..……………………...……16
19
20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. Sumber dari
pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu Aqli dan Naqli. Sumber naqli ini merupakan pilar
sebagian besar ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh manusia baik dalam agamanya secara
khusus, maupun masalah dunia pada umumnya. Dan sumber yang sangat otentif bagi ummat Islam
dalam hal ini adalah Al-Quran dan Hadits.
Allah telah memberikan pada ummat kita para pendahulu yang selalu menjaga hadis
Nabi. Mereka adalah orang-orang yang jujur, amanah, dan memegang janji. Sebagian dari mereka
mencurahkan perhatiannya terhadap Al-Qur’an dan ilmunya, yaitu para Mufassir. Dan sebagian
lagi memprioritaskan perhatiaanya untuk menjaga hadis Nabi dan ilmunya, mereka adalah para
ahli hadis.

1.2 Rumusan Masalah


Untuk lebih jelas disini akan dipaparkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah yaitu :

1. Apa defenisi ilmu hadits Dirayah ?

2. Bagaimana model pengembangan hadits dirayah?

3. Bagaimana sejarah perkembangan ilmu hadits dirayah?

4. Apa faedah dari penerapan ilmu dirayah?

5. Apa pentingan dari mempelajari ilmu hadits dirayah?


1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan defenisi dari ilmu hadits dirayah

2. Menjelaskan bagaimana model pengembangan haditr dirayah

3. Menjelaskan sejarah perkembangan ilmu hadits dirayah

4. Menjelaskan faedah penerapan ilmu dirayah

5. Menjelaskan kepentingan dari ilmu hadits dirayah

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Ilmu Hadits Dirayah

Ilmu secara bahasa berarti memahami sesuatu, ilmu disini berarti


memahami sesuatu secara keseluruhan sedangkan ma'rifat adalah
memahami secara bagian-bagiannya. Hadits. Secara bahasa berarti baru,
sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik ucapan, perbuatan, ketetapan dan sifat
pribadinya dan juga disandarkan kepada para sahabat dan tabi'in.Hadits
yang disandarkan kepada sahabat namanya hadits mauquf sedangkan hadits
yang disandarkan kepada tabi'in namanya hadits maqthuu'.
Jadi ilmu hadits disini berarti ilmu yang mempelajari tentang
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Dan para ahli
hadits membagi pembahasan ilmu hadits ini kepada dua cabang yaitu ilmu
hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah. Ilmu Hadis Dirayah yaitu Ilmu yang
mempelajari kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara
menerima dan menyampaikan hadis, sifat rawi, dan lain-lain. Ilmu hadist
dirayah bertujuan untuk mengetahui hukum keadaan para perawi dan jenis
yang diriwayatkan. Tujuan ilmu ini untuk mengetahui dan menetapkan
hadist-hadist itu maqbul (diterima) atau mardud (ditolak).
Mengenai pengertian Ilmu Hadis Dirayah, para ulama hadis
memberikan definisi yang bervariasi, namun jika dicermati berbagai definisi
yang mereka kemukakan, maka akan ditemukan persamaan antara satu
dengan lainnya, terutama dari segi sasaran dan pokok bahasannya. Di sini
akan penulis kemukakan dua di antaranya:

Ibn al-Akfani memberikan definisi Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut:

5
ُ ‫ ِع ْل ٌم ي ْعَُ َر‬: ‫َاص باِل ِد َِِّ َرايَ ِة‬
ُ‫ف ِم ْنهُ َح ِق ْيقَة‬ ِ ‫َو ِع ْل ُم ال َحََ ِد ْي‬
ُّ ‫ث الخ‬
‫ع َها َوأ ْحََ كَا ُم َها َو َحا ُل‬
ُ ‫أنََ َوا‬ ُ ‫ش ُر ْو‬
ْ ‫ط َها َو‬ ُ ‫ال ِّ ِِر َوايَ ِة َو‬
ِ ‫َاف ْال َم ْر ِويَا‬
‫ت َو َمايتَ َعََ لَّ ُق ِبـهَ ا‬ ُ ‫أصََ ن‬ ُ ‫ش ُر ْو‬
ْ ‫ط ُه ْم َو‬ ُ ‫الر َوا ِة َو‬
ُّ
“Dan ilmu hadis yang khusus tentang dirayah adalah ilmu yang bertujuan
untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan
hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang
diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.

Dari definisi ini dapat dijelaskan beberapa hal, yaitu:

Hakikat Riwayat, yaitu kegiatan periwayatan hadis dan penyandarannya


kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat tahdis, yaitu perkataan
seorang perawi, “haddasana fulan” (telah menceritakan kepada kami si
Fulan), atau ikhbar, seperti perkataan: “akhbarana fulan” (telah
mengabarkan kepada kami si Fulan).

Syarat-Syarat Riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa


yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam
penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadis), seperti sama’ (perawi
mendengar langsung bacaan hadis dari seorang guru), qira’ah (murid
membacakan catatan hadis dari gurunya dihadapan guru tersebut), ijazah
(member izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu hadis dari
seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya), munawalah (menyerahkan
suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan), kitabah
(menuliskan hadis untuk seseorang), I’lam (member tahu seseorang bahwah
hadis-hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat (mewasiatkan kepada
seseorang koleksi hadis yang dimilikinya), dan wajadah (mendapatkan
koleksi tertentu tentang hadis dari seorang guru). Macam-macam Riwayat,
yaitu seperti periwayatan muttsahil (periwayatan yang bersambung mulai

6
dari perawi pertama sampai kepada perawi terakhir, ataumunqathi’
(periwayatan yang terputus, baik di awal, di tengah, atau di akhir, dan
lainnya Hukum Riwayat, yakni al-qabul (diterimannya suatu riwayat karena
telah memenuhi persyaratan tertentu, dan al-radd (ditolak, karena adanya
persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi. Keadaan para Perawi, maksudnya
adalah keadaan mereka dari segi keadilan mereka (al-‘adalah) dan ketidak
adilan mereka (al-jarh).
Syarat-syarat Mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang perawi ketika menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan
syarat ketika menyampaikan riwayat (syarat pada al-add’).
Jenis yang diriwayatkan (ashnaf al-marwiyyat), adalah penulisan hadis di
dalam kitab al-musnad, al-mu’jam, atau al-ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis
kitab yang menghimpun hadis-hadis Nabi SAW.

2.2 Model Pengembangan Hadits Dirayah

Pokok pembahasan ilmu dirayah itu dua, yaitu (1) rijal al-sanad dan
(2) jarah-ta’dil.Dari pembahasan dua ulasan itu muncul penilaian, bahwa
suatu matan hadits dinilai shahih,atau hasan atau dla’if. Kata penilaian
seperti itu biasa disebut Mushthalah al-Hadits.
Rijal al-Sanad sering disebut riwayat perawi al-hadits, yaitu
untaian informasi tentang sosok perawi yang menceritakan matan hadits
dari satu rawi kepada rawi yang lain, sampai pada penghimpun hadits.
Informasi itu menceritakan setiap rawi, dari segi kapan dia lahir dan
wafatnya, siapa guru-gurunya, kapan tahun belajarnya, siapa murid-murid
yang berguru kepadanya, dari daerah mana dia, kedatangan dia ke seorang
guru kapan, dalam keadaan sehat, atau campur aduk kata-katanya
(ikhtilath), atau dalam periwatan hadits terdapat illat(cacad) bagi perawi,
atau bagi matan hadits, dan begitulah seterusnya.
Dari satu segi, persyaratan perawi hadits adalah muslim, aqilbaligh,
kesatria (’adalah) dan kuat ingatan (dlabith), baik dlabith imgatan atau dlabit

7
catatan Sedangkan cara penyampaiannya bisa menggunakan pendengaran
teks dari guru kepada murid, murid membaca teks di depan guru, ijazah,
timbang terima teks dari guru ke murid, tulisan guru yang terkirimkan,
pengumuman guru, wasiat, dan penemuan tulisan guru oleh murid
(wijadah). Semua bisa dikembangan dengan teknologi sekarang, seperti
konsep dlabith bisa ditambah dengan catatan, atau website, atau sms dan
sebagainya.
Tingkatan perawi hadits pertama adalah shahabat Rasulullah Saw.

yaitu seseorang yang pernah bertemu Rasulullah Saw. dalam keadaan hidup,
sadar dan beriman (Islam) sampai dia wafat dalam keadaan Islam.
Jumlah sahabat Nabi susah dihitung, karena banyak yang tersebar
di beberapa negara. Sebagai gambaran, Ibn Abbas menceritakan bahwa
pada sepuluh hari sesudah Ramadlan, Rasulullah berpuasa, dan para sahabat
pun ikut puasa. Setelah perjalanan sampai di daerahKudaid, Rasulullah
berbuka puasa, kemudian meneruskan perjalanan diikuti oleh sepuluh ribu
sahabat, sampai ke daerah Shurar. Kasus itu terjadi menjelang Fathu
Makkah. Dalam tempat lain, Kitab Nur al-Yaqin menulis bahwa Rasulullah
melaksanakan Hajji Wada’ dan diikuti oleh enam puluh ribu kaum
muslimin. Wallahu a’lam.
Kitab yang meriwayatkan sahabat Nabi banyak, antara lain
Ma’rifah man Nazala min al-Shahabah Saira al-Buldan karya Ibn al-Madini
(w.234 H), Al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashhab, karya Ibn Abd al-Barr (w 473
H), Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, karya Ibn al-Atsir (w. 630 H),
Tajrid Asma al-Shahabah, karya al-Dzahabi (w.748 H), dan Al-Ishabah fi
Tamyiz al-Shahabh karya Ibn Hajar al-Asqallani (w 852 H). Kitab ini
menyajikan riwayat 9477 nama sahabat, 1268 Kuniyah shahabat, dan 1552
tarjamah sahabat perempuan. Dan dalam kitab ini pula Thabaqat alShahabah
diterangkan.
Lapisan perawi kedua adalah tabi’in. Yaitu seseorang yang
bertemu sahabat Nabi, dan mengikuti Islam sampai dia wafat. Jumlah tabi’in
susah dihitung, karena jumlahnya berlibat ganda dari jumlah sahabat

8
Nabi. Kitab-kitab yang membahas tentang tabi’in banyak, tetapi
digabungkan dengan riwayat perawi lain.
Dalam kaitan ini, Ibn Saad (w.230 H) menulis Al-Thabaqat
alKubra. Kitab ini membahas sekumpulan tokoh yang hidup dalam tahun
yang berdekatan, sebagai satu thabaqat. Kemudian disusul dengan
sekelompok perawi berikutnya, sebagi thabaqat kedua, dan begitulah
setetusnya, sampai tertata beberapathabaqat. Karya ini diikuti oleh
AlUshfuri (w. 240 H).
Teknik penulisan matan hadits, sanadnya dimulai dari penyebutan
sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan murid-muridnya, sampai guru
perawi hadits yang ditulis oleh penghimpun hadits. Semua penyajian seperti
itu biasanya ditulis oleh ulama mutaqaddimindalam kitab karangannya
masing-masing. Sedangkan penulisan ulama mutaakhirin dalam
kitabkitabnya hanya menyebutkan sahabat Nabi dan nama penghimpun
matan hadits itu saja, seperti sebutan : Rawahu al-Bukhari dari Ibn Umar
dan sebagainya. Penyajian seperti itu, baik penyajian ulama mutaqaddimin
atau ulama mutaakhrin, sudah banyak ditulis dalam Kitab Kuning, yang ada
dalam perpustakaan, atau dalam CD, dan website. Semua itu adalah
substansi ilmu hadits yang sudah baku, statis, dan tidak akan berubah.
Karena itu, semua tulisan tadi disebut Buku Kecil. Sedangkan Buku Besar
bagi pengembangan metoda penulisan (takhrij al-sanad) itu, ada dua model,
yaitu internal dan eksternal. Pengembang internal takhrij ada empat unsur.
Pertama unsur rujukan yang dipergunakan oleh perawi untuk
menceritakan hadits kepada murid, apakah memakai dalil nornatif
(keyakinan), atau dalil empirik (kondisi dan situasi), atau dalil metodologis.
Kedua, unsur kerangka berfikir yang kreatif apa, setelah perawi itu
membaca pemikiran tokoh-tokoh pendahulunya. Ketiga unsur cara kerja
bagaimana yang mengaktualisasikan periwayatan hadits kepada murid,
dengan cara penyampaian tertentu.Keempat unsur bentuk dan model-model
substasi hadits yang disampaikan oleh rawi kepada murid, memakai riwayat

9
bi al-makna (konseptual) atau tekstualis seperti bacaan Rasulullah, ketika
rawi meriwayatkan do’a, dzikir atau jawami’ al-kalim kepada muridnya.
Pengembangan eksternal takhrij juga ada empat. Pertama unsur
entitas kehidupan mencakup aspek kultur dan aspek struktur dalam sistem
sosial, termasuk pemakaian pola pikir Ahli Sunnah, Syi’ah dan lain-lain.
Kedua unsur perubahan sosial yang mempengaruhi pemikiran tokoh perawi,
seperti kehidupan hadits di Hujaz berbeda dengan kehidupan di Baghdad
dan lain-lain. Karena itu, dulu muncul format hadits riwayat bi al-makna,
dan itu dianggap sebagai format hadits. Sekarang bukan format lagi, tetapi
perlu konsep formatisasi oleh teks hadits tadi. Ketiga, unsur tradisi
intelektual di kalangan muhadditsin, seperti penulis, pengajar, atau
muballigh dan lain-lain. Keempat unsur komunitas perawi sebagai
pendukung sosialisasi pemikiran di kalangan ahli hadits, apakah mereka
komunitas ahli hadits, atau ahli rakyu, atau komunitas apa namanya. Semua
unsur yang disebutkan dalamBuku Besar itu belum banyak dilakukan oleh
ahli-ahli hadits sekarang. Atas dasar itu, pemikiran takhrij al-hadits belum
dianggap berkembang.
Jarah-ta’dil adalah unsur ilmu hadits yang penting dalam
menentukan perawi hadits, diterima atau ditolak matan haditsnya. Dengan
kata lain hadits Nabi dinilai shahih atau tidak, didasarkan pada penilaian itu.
Dari segi lain, klasifikasi tingkat tinggi-rendahnya nilai hadits pun,
ditentukan oleh unsur itu juga. Atas dasar itu, hampir semua kitab Ulum
alHadits, baik karya ulama mutaqaddimin atau mutaakhirin, selalu
membahas jarah ta’dil.
Jarah ta’dil pada dasarnya diangkat dari ayat-ayat al-Qur’an, antara
lain ayat 6 Surat al-Hujurat, dan beberapa hadits Nabi Saw. Kemudian
pemahaman terhadap ayat dan hadits itu dikongkritkan oleh ahli hadits
untuk dijadikan sebagai konsep jarah ta’dil. Kemudian konsep itu
diterapkan pada setiap orang yang akan menceritakan hadits Nabi.
Sebenarnya, pekerjaan itu sudah dilakukan oleh pengamal hadits sejak dari
zaman Rasulullah, zaman sahabat Nabi, dan ulama berikutnya. Tetapi

10
gagasan itu baru dinormatifkan sebagai ilmu hadits, pada zaman tabi’in,
seperti tersebut di atas. Jarah ta’dil adalah sebuah ilmu yang menurut sifat
dan tabiatnya adalah berkembang.
Dalam pengembangannya, jarah ta’dil merupakan produk cara
berfikir deduktif melalui kegiatan yang merujuk kepada seorang rawi,
seperti kitab itu menulis bahwa A itu jarah, dan B itu adil. Tetapi jarah ta’dil
juga merupakan produk berfikir induktif melalui kegiatan penilaian
keabsahan sebuah sanad yang ada pada kitab itu, seperti jarah atau ta’dil itu
jika X atau Y dimiliki oleh rawi-rawi yang memiliki sifat itu.
Selanjutnya jarah ta’dil juga dijadikan kerangka penilaian baik
diarahkan untuk menguji keajegan atau untuk mempertajam cakupannya. Di
sini tampak relasi antara unsur rawi dan unsur takhrij. Sedangkan jarah ta’dil
itu sendiri suatu ketika diturunkan dengan cara kerjanya unsur takhrij yang
bersifat deduktif, dan suatu ketika data rawi digeneralisasikan dengan cara
kerjanya unsur takhrij yang bersifat induktif. Dengan kata lain, takhrij untuk
memproduksi jarah ta’dil dapat dikelola dengan berfikir deduktif dan dapat
dikelola dengan berfikir induktif.
Secara rinci, fokus pengembangan jarah ta’dil tersebar berdasarkan
dua pemilahan. (1) Pemilahan matan hadits, seperti hadits akidah, hadits
hukum, hadits muamalah, hadits sosial, hadits kepribadian, dan sebagainya.
(2) Pemilahan rawi dari segi jarah atau ta’dil berdasarkan jenjang
kaidahnya, sehingga muncul pengkelompokkan ulama pemikir jarah ta’dil
menjadi ulama mutasyaddidin, ulama mutawassithin, atau ulama
mutasahilin. Semua itu berangkat dari penilaian mereka terhadap rawi,
sehingga ada rawi yang disepakati jarahnya, ada yang disepakati adilnya,
dan yang paling banyak adalah ualam yang diikhtilafkan penilaian jarah dan
ta’dilnya. Atas dasar itu, jarah-ta’dil dapat diterapkan pada konteks yang
berbeda-beda.
Berdasarkan uraian di atas, pengembangan jarah ta’dil dapat
dirumuskan menjadi tiga model. Pertama model landasan jarah-ta’dil.
Model ini merupakan landasan filofofis dan rasionalis.Semua teks hadits

11
yang disandarkan kepda Rasulullah pada dasarnya ingin dinilai sebagai
sunnah Rasulullah. Karena itu, muncul point-point yang harus dipelajari dan
harus dirumuskan, yaitu (a) Apa tujuan jarah-ta’dil.(b) Bagaimana bentuk
penilaian jarah atau ta’dil untuk seorang rawi (c) Apakah hadits itu
tergolong hadits tasyri’ atau hadits irsyad, atau jalan tengan di antara tasyri
dan irsyad (d) Teknis penerapan ilmu takhrij al-rawi.
Kedua model pandangan muhadditsin baik mutaqaddimin atau
mutaakhirin. Pandangan itu merupakan cara berfikir ulama dengan
menggunakan proses deduksi (istinbath). Dengan berfikir seperti itu
terhimpun sejumlah produk pemikiran, sebagaimana tersusun dalam
jarahta’dil karya-karya Yahya ibn Ma’in, al-Bukhari, atau al-Hakim dan
lainlain, termasuk jarah ta’dil karya al-Razi, Al-Dzahabi, atau Ibn Hajar.
Dari semua kitab itu tergambarlah, bahwa jarah ta’dil memiliki
hubungan dengan empat langkah. Yaitu (a) Pemikiran ulama tentang jarah
ta’dil. (b) Ulasan proses induksi dalam jarah tadil kepada rawi. (c) Hadits
yang ditakhrij sanadnya, apakah itu hadits tasyri’ saja atau hadits irsyad
juga. (d) Cara penerapan takhrij kepada hadits itu. Atas dasar itu, jarah ta’dil
yang ditulis dalam berbagai kitab itu disebut Buku Kecil, dan empat langkah
yang mengiringinya disebut Buku Besar.
Ketiga, model aplikasi jarah ta’dil. Model ini terdiri atas empat
langkah.(a) Sumber jarah-ta’dil yaitu penilaian seperti terdihimpun dalam
Kitab Kuning, tersebut di atas.(b) Dari kitab-kitab itu terdapat jenjang jarah
atau ta’dil menurut pemisahan ulama. (c) Jenjang kaidah jarah-ta’dil itu
merupakan produk abstraksi dari berbagai hadits, tapi di lain pihak dapat
digunakan untuk memahami hakikat hadits baik bersifat umum atau khusus.
(d) Atas dasar itu jarah ta’dil dapat diaplikasikan bagi penataan kehidupan
para muhaddits yang memiliki daya atur, daya ikat, bahkan daya paksa,
seperti hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukjhari dan Muslim mengalahkan
hadits yang diriwayatkan oleh ulama lain. Atau rawi yang ditakhrij oleh al-
Bukhari dan Muslim (ilqa dan mu’asharah) mengalahkan rawi yang
ditakhrij oleh ulama lain. Berangkat dari pemikran itu, jarah-ta’dil dapat

12
mempengaruhi pola pikir muhadditsin untuk menata suatu kasus yang ada
dalam masyarakat.
Fokus pertama yang membahas tentang landasan jarah-ta’dil bisa
didefinisikan sebagai logika induksi yang berfikir logis dan berfungsi
sebagai dalil metodologis. Fokus kedua (pemikiran ulama mazhab
jarahta’dil) didefinisikan sebagai proses induktif, yaitu dipelajari ketika
ulama itu merumuskan jarah-ta’dil. Fokus ketiga tentang aplikasi jarah-
ta’dil, dapat didefinisikan sebagai cara kerja dalam proses aplikasi bagi
penataan kehidupan manusia yang dikaitkan pada pengamalan hadits.
Kaitan Buku Kecil dengan Buku Besar merupakan suatu kontinum
yang dihubungkan oleh suatu proses yang bersifat dinamis. Ilmu Manthiq
menyebutkan pekerjaan ini dengan nama istid-lal, Ilmu Uhul Fiqh
menyebutkan dengan nama istinbath dan Ilmu Ushul al-Tafsir menyebutkan
dengan nama isti’wal. Semua penyelesaian ilmu-ilmu metoda itu memilih
kerangka pemikiran dan metoda yang dianggap tepat.
Selain itu, Ilmu Hadits Dirayah juga mengolah matan hadits, dari segi
penawaran beberapa metoda yang diperlukan oleh Ilmu Hadits Riwayah.
Model-model pengolahan itu banyak sekali, tetapi dalam tulisan ini hanya
disajikan dua model saja, yaitu matan hadits dan kebudayaan, atau
mekanisme matan hadits.
Matan hadits dan kebudayaan terdiri atas tiga masalah, yaitu (1)
bentuk-bentuk hadits Nabi meliputi hadits qudsi, hadits nabawi bukan qudsi,
jawami’ al-kalim, hadits dzikir dan do’a, hadits riwayat bi al-makna, dan
aqwal al-shahabah. Semua dikutip untuk dikembangkan, setelah ditafsirkan
oleh para ulama dalam bentuk kitab. Penafsiran ulama dalam kitab-kitab itu
disebut format hadits Gambarannya adalah sebagai berikut :
1. Matan Hadits Nabi dan kebudayaan (Format dan formatisasi oleh matan
hadits) Format hadits dinilai agama, sedangkan kehidupan masyarakat
dinilai budaya, maka penerapan hadits kepada masyarakat disebut
formatisasi. Yaitu pengolahan konsep penerapan hadits Nabi kepada

13
masyarakat, sesuai dengan maksud yang dikehendaki oleh hadits itu.
Unsur penerapan formatisasi ada lima, yaitu :
• Penyusun konsep syarah yang berinisiatip untuk mengembangkan
format hadits .
• Misi format baik verbal atau non-verbal yang memiliki nilai, norma,
gagasan, atau maksud yang dibawakan oleh format hadits.
• Alat atau wahana yang digunakan oleh penyusun konsep, untuk
menyampaikan pesan formatisasi kepada masyarakat.
• Halayak atau komentator yang menerima formatisasi dari penyusun
konsep,
• Gambaran atau tanggapan yang terjadi pada penerima format setelah
melihat formatisasi. Unsur ini tetap diperlukan untuk melihat
perkembangan formatisasi.
2. Nasikh Mansukh fi al-Hadits.

Teori nasikh-mansukh diterapkan, ketika ada dua hadits yang


isinya kelihatan berten-tangan, dan susah dijadikan istinbath sebagai dalil
hukum. Teori ini dikembangkan oleh Ilmu Ushul Fiqh ketika membahas
hadits sebagai dalil hukum. Contohnya seperti sabda Rasulullah ”Saya
melarang kamu sekalian tentang ziarah ke kuburan. Maka ziarahilah ke
kuburan, karena itu mengingatkan kamu ke akhirat.” Riwayat Malik,
Muslim, Abu Dawud, Al-Tirmizi dan al-Nasai.
Hampir semua kitab Dirayah Hadits membahas tentang
nasikhmansukh. Tokoh yang pertama kali menulis Dirayah tentag ini adalah
Qatadah ibn Di’amah (w.118 H), tetapi kitab itu tidak dicetak sampai
sekarang. Disusul oleh kitab ”Nasikh al-hadits wa mansukhuh” karya
AlAtsram (w. 261 H), disusul lagi oleh kitab ”Nasikh al-Hadits wa
Mansukhuh” karya Ibn Syahin (w. 386 H). Tetapi kitab yang banyak beredar
adalah Al-I’tibar fi al-Nasikh wa al-Mansukh min al-Atsar” karya Abu
Bakar al-Hamdzani (w. 584 H).

3. Asbab Wurud al-Hadits.

14
Teori ini membahas tentang latarbelakang datangnya sebuah hadits
yang diterima oleh seorang rawi (shahabat). Pembahasan ini sama seperti
ungkapan Ilmu Asbab al-Nuzuldalam Ulum al-Qur’an. Dalam kaitan ini,
wurud al-hadits juga banyak membahas persesuaian (munasabat) antara satu
matan hadits dengan matan hadits yang lain. Tokoh yang pertama kali
membahas tentang Asbab Wurud al-Hadits adalah Abu Hafsh al-’Ukburi
(w. 468 H). Tetapi kitab yang lebih lengkap adalah Al-Bayan wa al-Ta\rif fi
Asbab Wurud al-Hadits al-Syarif karya Ibn Hamzah al-Dimasyqi (w. 1120
H).
Nasikh-Mansukh dan Asbab Wurud al-Hadits adalah dua teori
Ilmu Hadits Dirayah yang berdekatan sasaranya, dan saling menunjang
dalam penerapan makna. Nasikh-Mansukh dalam hadits tidak dapat
diketahui tanpa melihat Wurud al-Hadits lebih dahulu. Hadits yang datang
pertama disebut mansukh, dan hadits berikutnya disebut nasikh. Dua teori
itu banyak dibahas oleh kitab-kitab Ulum al-Hadits.
Jika nasikh-mansukh dan wurud al-hadits hanya diolah dengan
pendekatan tekstualis, seperti filosofis, atau yuridis, tologis saja, maka ilmu
hadits tidak dapat berkembang. Salah satu model pengembangan masalah
ini adalah menggunakan pendekatan interdisipliner, atau ilmu komunikasi
dan ilmu sosial lainnya. Setidaknya ada dua sistem nilai yang diterapkan
pada makna hadits yang berinteraksi, baik interaksi antara hadits dengan
hadits, atau hadits dengan kasus yang melingkari. Dua sistem itu adalah
sistem internal dan sistem eksternal (maa fi al-hadits dan maa haul alhadits).
Sistem internal adalah semua sistem nilai yang dibawakan oleh
sebuah hadits, ketika ia diterapkan pada satu makna, atau pada maksud
hadits yang dituju. Nilai itu terlihat ketika hadits itu diberi interpretasi
seperti nilai akidah, hukum fiqh, akhlak, nasihat, do’a dan sebagainya.
Dalam istilah lain, sistem internal mencakup juga pola pikir, kerangka
rujukan, struktur kognitif, atau juga sikap, yang dikandung oleh matan
hadits.

15
Sedangkan sistem eksternal terdiri atas unsur-unsur yang ada
dalam lingkungan di luar isi matan hadits. Lingkungan itu, termasuk struktur
yang mendorong munculnya matan hadits, atau kejadian yang
melatarbelakangi tampilnya sebuah hadits, atau jawaban Rasulullah yang
muncul karena pertanyaan sahabat. Lebih dari itu, pemecahan sebuah hadits
yang ditulis oleh seorang perawi pun bisa diterima berdasarkan
latarbelakang munculnya pemecahan itu.

2.3 Sejarah Perkembangan Ilmu Hadits Dirayah

Para peneliti hadits memperhatikan bahwa dasar-dasar ilmu hadist dirayah


sudah terdapat sejak masa nabi SAW, seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran
(QS. Al-Hujarat: 6). Artinya: “wahai orang-orang yang beriman jika datang
kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka periksalah Ayat
diatas perintah memeriksa, meneliti, dan mengkaji berita yang dibawa seorang
fasik. Doperiksa untuk diperivikasi keobyektivitasnya dari sumber berita tersebut.
Pada mulanya memang membawa hadits tidak dipersyaratkan adanya sanad
(sandaran penyampaian berita), kerena mereka saling mempercayai kejujurannya.
Akan tetapi, setelah terjadinya konflik anteralit, yakni antara pendukung Ali dan
Muawwiyah, ummat menjadi terpecah kebeberapa sakte, mulailah terjadi
pemalsuan hadits, maka para ulama’ mempersaratkan kepada siapa saja yang
mengaku mendapat hadits harus disertai dengan sanad . sebagaimana Ibn sirin yang
dikutip dari shahih muslim: artinya,”semulah mereka tidak ditanya tentang isnad.
Akan tetapi, takkala terjadi fitnah, para ulama berkata: sebutkan kepada kami
parapara pembawa berita. Kemudian dilihat jika mereka ahli sunnah diambillah
hadist mereka dan mereka ahli bid’ah maka haditsnya ditinggalkan”.
Berdasarkan penjelasan diatas, bahwa hadits tidak diterima kecuali disertai
sanad, maka dapat disimpulkan bahwa pada sa’at itu telah timbul pembicaraan
periwayatan mana yang tercelah dan mana yang adil (ilmu jahri wata’dil), sanad
mana yang terputus (munqoti’) dan mana yang bersambung (muttasil), dan cacat

(‘illat) yang tersembunyi, sekalipun dalam tarap yang sederhana.

16
Kemudian ilmu hadits menjadi berkembang banyak, seperti ketika ahli
hadits membicarakan tentang daya ingat para periwayatan(dhabit) kuat apa tidak,
bagaimana metode menerima (tahammul) dan menyampaikan (‘ada”) hadits,
nasikh dan mansukh, kata-kata yang sulit dipahami dalam hadist (gharib Al-hadist)
dan lain-lain. Akan tetapi aktifitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan
secara lisan dari mulut kemulut. Baharu pada abad kedua hijriyah sampai abad
ketiga ilmu-ilmu hadist ini mulai ditulis dan dikodifikasikan dalam bentuk yang
sederhana, belum terpisah dari ilmu-ilmu yang lain, belum berdiri sendiri.
Misalnya: ilmu hadits yang bercampur ilmu ushul fiqh dalam kitab Arrisalah yang
ditulis oleh As-Syafi’I, atau campur dengan kitab fiqh seperti kitab Al-Umm dan
Al-ikhtilaf al-hadits karya al-syafi’I (w.204 H).

2.4 Faedah Penerapan Ilmul Hadits Dirayah

Faedah mengetahui’ ilmul hadits dirayah (‘ilmu dirayah hadits), ialah


mengetahui mana hadits yang disandarkan kepada rasul saw yang harus kita terima
(yang maqbul) dan mana yang harus ditolak (yang mardud).
Kedua ‘ilmu ini satu sam lain melengkapi. Mengingat hal yang telah
diterangkan, maka masing-masing dari ‘ilmu ini memerlukan kepada yang lain.
Bahkan sebenarnya, tiadalah berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai
‘ilmu hadits dirayah; karena dengan ‘ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui
mana yang maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan
kepada kita.
Ilmu hadits dirayah terhadap matan hadits, sama dengan kedudukan tafsir terhadap
al-quran, atau kedudukan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Pembahasan-pembahasan yang berpautan dengan ‘ilmu hadits ini, pada mula-mula
tumbuh, banyak macamnya yang diperkatakan dalam sesuatu kitab. Tetapi banyak
masing-masing macam itu mempunyai maudlu’ sendiri-sendiri, ghayah sendiri dan
manhaj sendiri. Dan semuanya itu dibicarakan sebagai suatu ‘ilmu. Tetapi setelah
berkembang usaha penyusunan kitab, barulah masing-masing ahli memperkatakan
sesuatu problema dari pembahasan-pembahasan ilmu hadits dan menjadi banyaklah

17
macamnya, yang masing-masingnya dibahas sendiri-sendiri. Namun demikian
semuanya itu dicakup oleh istilah ulumul hadits(ilmu-ilmu hadits). Sebahagian
ulama memakai istilah ’ushulul hadits ( qaidah-qaidah hadits). Bahkan ada yang
menamakan musthalul hadits. Inilah nama-nama yang telah diistilahkan para ulama
untuk ‘ilmul hadits dirayah. Dan nama-nama itu semuanya merupakan nama bagi;
sekumpulah qaidah dan masalah yang dengan qa’idah danmasalah itu, kita
mengetahui keadaan perawi-perawi dan keadaankeadaan marwi. Lantaran inilah
kita tidak buleh mencukupi dengan mempelajari lafadh hadist serta sanatnya saja
tanpa memperhatikan keadaan rawi, keadaan marwi dan pengistimbatan hukum
dari padanya
2.5 Kepentingan IImu Hadist Dirayah

Ilmu ini menerangkan mana hadits yang shahih, mana yang dla’if, mana
yang marfu’, mana yang mauquf, mana yang maqbul dan mana yang mardud. Atas
pengetahuan inilah kita bina pengistimbatan hukum. ‘Ilmu ini (‘ilmu dirayah
hadits) adalah suatu ‘ilmu yang hanya dimiliki ummat islam. Dia benar-benar suatu
‘ilmu yang bernilai tinggi yang isumbangkan ulama-ulama islam kepada
kebudayaan manusia.
‘Ilmu dirayah hadits tumbuh bersama-sama dengan tumbuh periwayatan
hadits, dia lahir sesudah rasul saw. Wafat, yaitu diketika para ulama islam memulai
usaha mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan kekota-kota islam. Maka
dengan sendirinya para ulama berusaha membuat qaida-qaidah dan
munhajminhajyang harus dijadikan pedoman dalam menerima riwayat dan
menolaknya.
Para sahabat dan tabi’in mengikuti qaidah-qaidah ilmiah dalam menerima
hadits, walaupun mereka tidak menandaskan qa’idah qa’idah yang dipegangi itu.
Kemudian ahli-ahli ilmu yang datang sesudah mereka, mengistimbatkan qaidah
qaidah dan masalah hadits dari cara yang telah ditempuh para sahabat, sebagaimana
mereka mengistimbatkan syarat-syarat riwayat, jalan-jalan singkat, qaidah qaidah
jarah dan ta’dil. ‘Ilmu riwayatil hadits dan ilmu dirayatul hadits berjalan seiring,
karena dimana ada periwayatan hadits, tentulah ada qa’idah dan minhaj yang
dipakai dalam penukilan riwayat itu.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari berbagai defenisi dari para ulama, dapat disimpulkan bahwa


ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat
riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukumhukumnya, keadaan para
perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu
yang berhubungan dengannya. Adapun Faedah mengetahui’ ilmul hadits
dirayah (‘ilmu dirayah hadits), ialah mengetahui mana hadits yang
disandarkan kepada rasul saw yang harus kita terima (yang maqbul) dan
mana yang harus ditolak (yang mardud). Kedua ‘ilmu ini satu sam lain
melengkapi. Mengingat hal yang telah diterangkan, maka masing-masing
dari ‘ilmu ini memerlukan kepada yang lain. Bahkan sebenarnya, tiadalah
berfaedah ilmu hadits riwayah apabila tidak disertai ‘ilmu hadits dirayah;
karena dengan ‘ilmu yang kedua ini, kita dapat mengetahui mana yang
maqbul dan mana yang mardud dari hadits-hadits yang disampaikan kepada
kita.

19
DAFTAR PUSTAKA

Hasby ashshiddieqy. Pokok-pokok ilmu dirayah hadits, PT bulan bintang


cetakan tujuh, Jakarta 1987
Drs. H. Mudasir. Ilmu Hadis, Pustaka setia Bandung cetakan 2 April 2005
Syekh Atiyyah Al Ajhuri. Baiquniyyah fi mustolahil Hadis, Haromaen
sunkopuroh.
Darul fikri blog. Hadits dirayah, upload September 2011

20

Anda mungkin juga menyukai