Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FIQH MAWARIS
Tugas ini disusun untuk memenuhi Tugas Fiqh Mawaris

Dosen Pengampu:
H. Ali Ambar, Lc.,M.Pd.I

Disusun Oleh :

Yudy Setiawan
202105099

JURUSAN SYARIAH & EKONOMI ISLAM

PRODI HUKUM EKONOMI ISLAM

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) SYARIAH

TAHUN AJARAN 2022/2023

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... iv

A. Latar Belakang ............................................................................................ iv

B. Rumusan Masalah ....................................................................................... iv

C. Batasan Masalah........................................................................................... v

D. Tujuan .......................................................................................................... v

E. Manfaat ........................................................................................................ v

BAB II. PEMBAHASAN ....................................................................................... 1

A. Pengertian fiqh ............................................................................................. 1

B. Pengertian mawaris ...................................................................................... 1

C. Pengerian fiqh mawaris ................................................................................ 2

a. Pengertian ................................................................................................. 2

b. Beberapa istilah dalam Fiqh Mawaris ...................................................... 2

D. Sumber-sumber hukum waris ...................................................................... 3

a. Al-Qur‟an ................................................................................................. 3

b. Hadits........................................................................................................ 3

c. „Ijma dan Ijtihad. ...................................................................................... 4

E. Hadits-hadits yang Membahas Masalah Waris ............................................ 4

.1 Hadits No. 949 (bagian kakek) ................................................................ 4

.2 Hadits No. 950 (bagian nenek) ................................................................. 6

.3 Hadits No.951 (saudara lelaki ibu dari golongan penguasa) .................... 6

4. Hadits No. 952 (bagian saudara lelaki ibu) .............................................. 7

.5 Hadits No. 953 (bagian pembunuh) ......................................................... 8

ii
BAB III. PENUTUPAN ......................................................................................... iv

Kesimpulan .............................................................................................. iv

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. v

iii
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama samawi yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad saw. untuk seluruh umat manusia di segala zaman dan tempat. Islam
mengatur segala hukum yang diperuntukkan untuk penganutnya secara rinci dan
jelas sehingga manusia tidak menyimpang dari aturan yang dikehendaki Allah
SWT. Diantara aturan yang telah rinci dijelaskan adalah peraturan tentang
bagaimana cara pembagian harta peninggalan, siapa yang berhak dan tidak berhak
mendapatkan harta tersebut. Aturan tersebut telah dijelaskan di dalam Al-Qur‟an
dan Sunnah atau hadits Rasulullah saw. Adanya aturan tersebut dimaksudkan agar
manusia khususnya umat Islam memiliki acuan dalam pembagian harta
peninggalan.

Di dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan bagaimana hadits-hadits


yang membahas masalah-masalah waris pada zaman Rasulullah saw dan para
sahabat. Ada yang landasan dalam pembagian harta waris bermanfaat bagi umat
Islam yaitu mencegah kembalinya tradisi pembagian harta waris pada zaman
jahiliyyah.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dapat diperoleh rumusan masalah
berikut ini:

1. Apakah pengertan fiqh?


2. Apakah pengertian mawaris?
3. Apakah pengertian fiqh mawaris?
4. Apa saja sumber-sumber hukum fiqh mawaris?
5. Bagaimana hadits-hadits yang membahas masalah mawaris?

iv
C. Batasan Masalah
Agar penulisan makalah ini lebih terarah dan tidak menyimpang dari
tujuan awal, maka penulis memberikan batasan-batasan masalah sebagai
berikut :

1. Penulis hanya akan membahas pengertian fiqh, mawaaris dan fiqh


mawaris serta hadits-hadits tertentu yang mengkaji masalah mawaris.
2. Pada makalah ini penulis menggunakan metode studi pustaka, dimana
refensi yang yang digunakan hanya yang berhubungan dengan hadits-
hadits yang membahas masalah waris.

D. Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan:

1. Memenuhi tugas mata kuliah Fiqh Mawaris.


2. Menambah referensi makalah tentang Hadits-hadits yang membahas
masalah mawaris.
3. Mengetahui dan memahami secara keseluruhan bagaimana masalah-
masalah tentang waris yang penyelesaianya dijelaskan di dalam hadits
tersebut.

E. Manfaat
Melihat dari rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari makalah ini
adalah:

1. Mengetahui apa makna fiqh.


2. Mengetahui makna mawaris.
3. Mengetahui pengertian fiqh mawaris
4. Mengetahui apa saja sumber-sumber fiqh mawaris.
5. Memahami masalah-masalah dalam fiqh mawaris dan
penyelesaiannya.

v
BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqh
Fiqh menurut pengertian kebanyakan fuqaha adalah : “segala hukum
syara‟ yang diambil dari kitab Allah SWT. Dan sunnah Rasul saw. dengan jalan
ijtihad dan istinbath berdasarkan hasil penelitian yang mendalam.”

Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy menerangkan dalam bukunya bahwa


hukum-hukum yang mudah diketahui, semisal hukum shalat lima, shiyam (puasa)
bulan Ramadhan, haji dan sebagainya, menurut ta‟rif diatas ini, tidakdimasukkan
ke dalam pembahasan fiqh, walaupun dibicarakan di dalam kitab-kitab fiqh.1

Akan tetapi dapat dimasukkan ke dalam hukum-hukum fiqh segala rupa


hukum yang mudah diketahui itu, kalau menuruti ta‟rif yang diberikan oleh Syekh
Muhammad Abdus Salam Al Qabbany, seorang ulama Azhar yang bermadzhab
salafy, yaitu :

“Fiqh itu ialah suatu ilmu yang menerangkan segala hukum yang dipetik dari
dalil-dalil yang tafshily.” (Ayat, Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas).

B. Pengertian Mawaris
Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari kata miras yang berarti harta
peninggalan orang yang meninggal yang akan dibagikan kepada ahli warinya.2
Kata miras lebih sering dikenal dengan sebutan warisan.

Ilmu yang mempelajari warisan disebut ilmu mawaris atau lebih dikenal
dengan istilah faraid. Kata faraid merupaka bentuk jamak dari faraidah, yang
diartikan oleh para ulama Faradiyun dengan kata mafrudah, yaitu bagian yang
telah ditentukan kadarnya.

1
Muh. Hasby Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, (Semarang: PT PUSTAKA RIZKI PUTRA,
2001), hlm. 1
2
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 11.

1
C. Pengerian Fiqh Mawaris

a. Pengertian
Menurut Drs Ahmad Rofiq, fiqh mawaris merupakan ilmu fiqh
yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima
warisan, siapa-siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian
tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara perhitungannya.3 Fiqh
mawaris juga disebut ilmu faraid, yang merupakan bentuk jamak dari kata
faridah artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara
rinci di dalam al-Qur‟an.4

Al-Qur‟an banyak menggunakan kata kerja warasa seperti QS. An


Naml; 16 artinya: Dan Sulaiman mewarisi Daud, artinya Nabi sulaiman
menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud as. serta mewarisi
pengetahuannya. QS. Al-Zumar: 74 “... dan telah memberi kepada kami
tempat ini. QS. Maryam; 6 “ ... yang akan mewarisi aku dan mewarisi
sebagian keluarga Ya‟qub”.

Dalam istilah sehari-hari, fiqh mawaris disebut dengan hukum


waisan yang sebenarnya merupakan terjemahan bebas dari kata fiqh
mawaris.bedanya, fiqh mawaris menunjuk identitas hukum waris Islam,
sementara hukum warisan mempunyai konotasi umum, biasa mencakup
hukum waris adat atau hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata.5

b. Beberapa Istilah dalam Fiqh Mawaris


- Waris, adalah orang yang termasuk ahli waris yang berhak menerima
warisan. Ada ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya tetapi tidak
berhak menerima warisan. Dalam fiqh mawaris, ahli waris semacam ini

3
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1992), hlm. 5.
4
Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 1.
5
Ibid. hlm. 2.

2
disebut zawi al-arham. Waris bisa timbul karena hubungan darah,
perkawinan, dan karena akibat memerdekakan hamba.
- Muwarris. Artinya orang yang diwarisi harta peninggalannya, yaitu orang
yang meninggal secara hakiki, secara taqdiry (perkiraan), atau melalui
keputusan hakim. Seperti orang yang hilang (al-mafqud) dan tidak
diketahu kabar berita dan domisilinya. Setelah melalui persaksian atau
tenggang waktu tertentu hakim memutuskan bahwa ia dinyatakan
meninggal dunia.
- Al-Irs. Artinya harta warisan yang siap dibagikan oleh ahli waris sesudah
diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah (tajhiz al-janazah),
pelunasan hutang, serta pelaksanaan wasiat.
- Warasah. Yaitu harta warisan yang telah diterima oleh ahli waris. Ini
berbeda dengan harta pusaka yang di beberapa daerah tertentu tidak bisa
dibagi, karena menjadi milik kolektif semua ahli waris.
- Tirkah. Yaitu semua harta peniggalan orang yang meninggal dunia
sebelum diambil untuk kepentingan pemeliharaan jenazah, pembayaran
hutang, dan pelaksanaan wasiat.
-

D. Sumber-sumber Hukum Waris

a. Al-Qur‟an
Al-Qur‟an mnenjelaskan ketentuan-ketentuan waris ini dengan
jelas sekali. Yaitu tercantum dalam surat An-Nisa‟ ayat; 7, 11, 12, 176 dan
surat-surat lain.

b. Hadits

Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:

)‫ فها تقٍ فهو الولً رجل ﺫكر (هتفق علَه‬,‫ الحقوا الفرائض تأهلها‬: ‫قال ال ًّتٍّ صلً هللا علَه و سلّم‬

“Nabi Muhammad saw. bersabda: “Berikanlah harta pusaka kepada


orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya, untuk orang laki-laki
yang lebih utama.” (HR. Mutafaqun „alaih)

3
c. „Ijma dan Ijtihad.
„Ijma dan ijtihad para sahabt, imam-imam madzhab dan mujtahid-
mujtahid kenamaan mempunyai peranan yang tidak kecil sumbangannya
terhadap pemecahan-pemecahan masalah mawaris yang belum dijelasakan
oleh nash-nash yang sharih. Misalnya:

a. Status saudara-saudara yang mwarisi bersama-sama dengan kakek. Di


dalam Al-Qur‟an hal itu tidak dijelaskan. Yang dijelaskan ialah status
saudara-saudara bersama-sama dengan ayah atau bersama-sama
dengan anak laki-laki yang dalam kedua keadaan ini mereka tidak
mendapat apa-apa lantaran terhijab. Kecuali dalam masalah kalalah
mereka mendapat bagian.6
Menurut pendapat kebanyakan sahabat dan imam-imam madzhab
yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut dapat
mendapat warisan secara muqasamah dengan kakek.
b. Status cucu-cucu dan ayahnya lebih dahulu mati dari pda kakek yang
bakal diwarisi dan mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara
ayahnya. Menurut ketentuan mereka tidak mendapta apa-apa lantaran
terhijab oleh saudara ayahnya, tetapi menurut Kitab Undang-Undang
Mesir yang mengistimbanthkan dari para ulama mutaqaddimin,
mereka diberi bagian berdasarkan atas wasiat wajibah.

E. Hadits-hadits yang Membahas Masalah Waris


Berikut ini adaah hadits-hadits tentang waris yang penulis kutip dari kitab
Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar al-Asqalani:

1. Hadits No. 949 (bagian kakek)


ًٍ‫ ﺇيﱠ اتي ات‬- : ‫ فقاﻞ‬- ‫ صلً هللا علَه ىﺴلن‬- ٍ‫ ﺠاع رﺠﻞ ﺇلً الًث‬: ‫ وعى عهراي تي ﺤﺼَى قاﻞ‬- 949
.‫ "لﻚ ﺴﺪﺲ ﺁﺧر" فلهﱠا ولﱠً ﺪعاﻩ‬: ‫ فقاﻞ‬,‫ "لﻚ الﺴﺩﺲ" فلهﱠا ىلﱠً ﺩعاﻩ‬- : ‫ فها لٍ هي هَﺮاﺛه ؟ فقاﻞ‬, ‫هاﺖ‬
. ‫ وﺼحﱠﺤه التﱠروﺫٌﱡ‬, ‫ىاﻷرثﻌح‬,‫ رىاﻩ ﺃﺤوﺪ‬- ‫ "ﺇيﱠ الﺴﺪﺲ اِﺨر ﻁﻌهح‬: ‫فقاﻞ‬

6
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm. 33.

4
7
. ‫ ﺇًﱠه لم ُﺴوﻊ وًه‬: ‫ ىقُﻞ‬, ‫ىهو وي رىاُح الﺤﺴي الثصرٌﱢ عي عوراي‬

Terjemah : Dari Imran bin Husain, ia berkata : “Telah datang seorang laki-laki
kepada Nabi saw., lalu berkata : Sesungguhnya cucu laki-laki saya telah mati.
Apa bahagian saya dari peninggalannya? Sabdanya : “Bagimu seperenam”.
Tatkala ia berpaling pergi , ia seru dia, lalu bersabda : “buatmu seperenam
lagi”. Maka tatkala ia berpaling pergi, ia panggil dia, lalu bersabda :
“seperenam lagi itu sebagai makanan”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan “empat”
dan disahihkan oleh Tirmidzi dan ia itu dari riwayat al-Hasanul Bashri dari
„Imran, tetapi ada orang berkata bahwa ia tidak dengar daripadanya.

Keterangan :

Orang yang mati itu meninggalkan dua anak perempuan. Bagian dua anak
perempuan adalah dua pertiga. Tinggal sepertiga atau dua perenam. Kakek
mendapatkan seperenam sebagai bagian tetap dan seperenam lagi sebagai
„ashabah. Bagian „Ashabah ini Rasulullaah saw namakan makanan.8

Penjelasan dari Syarah Bulughul Maram yaitu Subulus Salam menurut Qatadah :
Saya tidak mengetahui berapa harta yang dia warisi? Dan beliau mengatakan :
Bagi paling sedikit yang mewarisi oleh kakek, seperenam (1/6). Gambarang
permasalahan ini ialah bahwa seseorang yang mati meninggalkan dua anak
perempuan dan orang lelaki yang bertanya itu adalah kakeknya. Bagian untuk dua
anak perempuan itu, dua pertiga (2/3) dan sisanya sepertiga (1/3). Lalu Rasulullah
saw. menyerahkan kepada orang yang bertanya itu seperenam sebagai bagian
wajib karena sekian itulah bagian bagi kakek. Beliau tidak menyerahkan
kepadanya seperenam lagi, agar dia tidak mengira bahwa bagiannya adalah
sepertiga (1/3). Beliau tinggalkan dulu yang seperenam itu hingga kakek itu pergi.
Lalu beliau panggil kembali, seraya beliau bersabda : untuk kamu seperenam lagi
dan seperenam sisa harta peninggalan itu. setelah orang itu pergi, maka beliau
panggil dia kembali, seraya bersabda : Bahwa yang seperenam kedua itu sebagai
tambahan atas bagian yang telah ditetapkan. Adapun maksud beliau itu adalah
sebagai pemberitahuan kepada orang itu bahwa seperenam yang kedua itu adalah
7
Syarah Bulughul Rahman karya Muhammad Hamid Al-Faqy
8
A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: cv DIPONEGORO, 1967), hlm. 474.

5
tambahan dari bagian yang wajib baginya. Sebab bagian kakek itu hanya
seperenam (1/6) sebagain bagian semestinya sedang sisanya adalah bagian sebagai
ashabahnya.9

2. Hadits No. 950 (bagian nenek)


‫ ﺇﺫا لن َﻜى‬, ‫ ﺠﻌﻞ للﺠﺪﱠج الﺴﺩﺲ‬- ‫ ﺼلً هللا علَه ىﺴلﱠن‬- ‫ ﺃيﱠ الًﱠثٍﱠ‬- : ‫ عي ﺃتُه‬, ‫ ىعي اثي ثرُﺪج‬- 059
‫ ىقىﱠاﻩ اتي عﺪٌﱢ‬, ‫ ىاتي اﺠاروﺪ‬, ‫ وﺼحﱠﺤه اتي ﺨﺯَهح‬, ‫ ىالًﱠﺴاﺌٍﱡ‬, ‫ رىاﻩ ﺃثى ﺪاىﺪ‬- ‫ﺩىًها ﺃمﱞ‬

Terjemah : Dari Ibnu Buraidah, Dari Bapaknya, bahwasanya Nabi Saw. telah
beri kepada nenek seperenam jika tidak mengahalangi dia seorang ibu.
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa-i dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Jarud dan dikuatkan oleh Ibnu „Adl.10

Abu Bakar Muhammad menjelaskan dalam Syarah Subulus Salam bahwa


dalam hadits tersebut terdapat nama Abdullah Al „Itki yang masih diperselisihkan
tentang dirinya, tetapi dia dinilai orang terpercaya oleh Abu Hakim.

Hadits tersebut menjadi dalil bahwa warisan bagian nenek, seperenam


(1/6) baik dia itu ibu oleh ibu maupun ibu oleh ayah.

Dan seperenam itu dibagi sama oleh dua orang nenek atau lebih, apabila
mereka sama derajatnya (jauh dekat hubungannya dengan si mayit). Jika berbeda
maka gugurlah nenek yang paling jauh dari kedua belah pihak (pihak ayah atau
ibu) karena ada yang paling dekat dengan si mayit. Tidak ada yang dapat
menggugurkan mereka para nenek itu kecuali ibu dan ayah si mayit. Masing-
masing dari keduanya (ibu dan ayah) mengugurkan bagian nenek dari pihaknya.
(Maksudnya, bahwa nenek tidak mendapat bagian jika ada ibu si mayit dan kakek
tidak mendapat bagian jika ada ayah si mayit.11

3. Hadits No.951 (saudara lelaki ibu dari golongan penguasa)


- - ‫ ﺼلً هللا علَه ىﺴلﱠن‬- ‫ قاﻞ رﺴىﻞ هللا‬: ‫ قاﻞ‬- ‫ رﺿٍ هللا عًه‬- ‫ وعي الهقﺪان تي هﻌﺪٌ ﻜرة‬- 059
.‫ والحاكم‬, ‫ و صحّحه اتى ح ّتاى‬, ‫ ىاﻷرثﻌج ﺴىي الﺘرهﺫٌﱢ‬, ‫ ﺃﺧرﺠه ﺃﺤوﺪ‬- ‫الﺨاﻞ ىارﺙ وى ال ىارﺙ له‬

9
Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam III, (Surabaya:Al-Ikhlas, 1995), hlm. 360.
10
A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: cv DIPONEGORO, 1967), hlm. 474.
11
Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam III, (Surabaya:Al-Ikhlas, 1995), hlm. 361.

6
Terjemah : Dari Miqdam bin Ma‟dikarib, Ia berkata : “telah bersabda
Rasulullaah saw. : “Paman (saudara laki-laki ibu) itu warits bagi orang yang
tidak ada warits baginya.”

Dikeluarkan oleh Ahmad dan “empat” kecuali Tirmidzi dan dihasankan


oleh Abu Zar‟ah Ar-Razi dan disahihkan oleh Hakim dan Ibnu Hibban.

Dalam hadits tersebut terdapat dalil pewarisan saudara lelaki ibu apabila
tidak ada ashabah yang mewarisi si mayit, apabila tidak ada orang yang
mempunyai bagian, karena saudara laki-laki ibu adalah termasuk dzawil arham
(orang yang menunggu belas kasih dari orang yang mendapat warisan, karena dia
tidak mempunyai bagian warisan tetap).12

4. Hadits No. 952 (bagian saudara lelaki ibu)


‫ ﺃىّ رسول‬: - ‫ كتب هﻌٍ عهر ﺇلً ﺃتٍ عتَﺩج – رﺿٍ هللا عًهم‬: ‫ – و عى ﺃتٍ اهاهه تى سهل قال‬059
, ‫ والﺧال وارﺙ هى ال وارﺙ له – رواﻩ ﺃحهﺩ‬, ‫ "هللا و رسوله هولً له‬: ‫هللا – صلً هللا علَه وسلّم – قال‬
.‫ وصحّحه اتى حتّاى‬, ٌّ‫ وحسًّه ال ّترهﺫ‬, ‫اﻷرتﻌح سوي ﺃتٍ ﺩاوﺩ‬

Terjemah : Dari Abi Umamah bin Sahl, ia berkata : “Umar telah menulis kepada
Abi „Ubaidah, bahwasanya Rasulullah saw. telah bersabda : “Allah dan
Rasulnya Maula bagi orang yang tidak ada maula baginya : dan paman itu
warits bagi orang yang tidak mempunyai ahli warits”.13 Diriwayatkan oleh
Ahmad dan “empat” kecuali Abu Dawud, dan dihasankan oleh Tirmidzi, dan
disahihkan oleh Ibnu Hibban.

Hadits tersebut membantah pendapat orang yang mengatakan bahwa yang


dimaksudkan dengan saudara lelaki ibu dalam hadits tersebut adalah penguasa.
Seandainya betul yang dimaksudkan adalah penguasa, sungguh beliau bersabda :
“Sayalah pewaris orang yang tidak mempunyai ahli waris”. Abu Daud
meriwayatkan Hadits yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban (sabdanya) : “Saya
menjadi pewaris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris, saya mengerti
tentang dia dan saya yang mwarisinya”.14

12
Ibid. Hlm. 362
13
A. Hasan, Tarjamah Bulughul Maram, (Bandung: cv DIPONEGORO, 1967), hlm. 475.
14
Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulus Salam III, (Surabaya:Al-Ikhlas, 1995), hlm. 364.

7
Cara mengkompromikan antara hadits tersebut dengan hadits dari Miqdam
dan Hadits dari Abu Umamah yang sama-sama menunjukkan penetapan bagian
waris bagi saudara lelaki ibu sekiranya tidak ahli waris bagi si mayit, bahwa
maksud Rasulullah saw. ialah menjadi ahli waris bagi orang yang tidak memiliki
ahli waris tetap dari semua pihak seperti ashabah, orang-orang yang mempunyai
bagian tetap dan bagi orang yang tidak meninggalkan saudara lelaki ibu. Dan
yang dimaksudkan dengan pewarisan Nabi saw. terhadap orang yang tidak
mempunyai ahli waris itu, ialah bahwa harta peninggalan si mayit menjadi milik
negara untuk kemasalahan umat Islam. Sesungguhnya harta peninggalan si mayit
tidak boleh menjadi kekayaan Baitul Mal kecuali apabila tidak ada semua ahli
waris tersebut termasuk tidak ada saudara lelaki ibu dan lainnya.15

5. Hadits No. 953 (bagian bayi yang baru lahir)


‫ ﺇﺫا استه ّل الهولوﺩ‬- : ‫ قال‬- ‫ – و عى جاتر – رﺿٍ هللا عًه – عى الًتٍّ – صلً هللا علَه و سلّم‬059
.‫ و صحّحه اتى حتاى‬, ‫ورّﺙ – رواﻩ ﺃتو ﺩاوﺩ‬

Terjemah : Dari Jabir r.a. dari Rasulullaah saw. Beliau bersabda : “Jika anak
bersuara (hhidup ketika lahirnya) maka dia mendapat waris”. Diriwayatkan oleh
Abu Daud dan dinilai Shahih oleh Ibnu Hibban.

Istihlal (bersuara atau hidup) itu tentang penafsirannya diriwayatkan


sebuah hadits yang bersambung sanad hingga Rasulullaah saw. Tetapi dla‟if
bahwa beliau bersabda : “Bersuara itu adalah bersin”. Diriwayatkan oleh Al
Bazzar, kata Ibnu Atsir, bersuaranya bayi itu ketika dia menangis sewaktu
lahirnya itu. Istilah bersuara itu adalah kata sindiran tentang kelahirannya dalam
keadaan hidup. Dan sekalipun bersuara tetapi terdapat tanda-tanda hidup dari anak
itu.

Hadits tersebut menjadi dalil bahwa apabila bersuara atau hidup bayi itu
sewaktu dilahirkan, maka bagi bayi itu berlaku hukum yang lainnya, termasuk
perihal mewarisi si mayit. Dikiaskan padanya semua hukum yang lain seperti
memandikan jenazahnya, mengafaninya dan menshalatinya., serta wajib qishas
atau diyat bagi orang yang membunuh bayi itu. Mereka berselisih pendapat

15
Ibid. Hlm. 365.

8
tentang masalah : apakah cukup dalam pemberitaan tentang bersuaranya itu
seorang perempuan yang adil atau harus terdiri dari dua perempuan yang adil atau
empat perempuan yang adil. Pendapat pertama, yaitu cukup seorang perempuan
yang adil itu menurut pendapat ulama Al Hadawiyyah (Syai‟ah). Menurut
pendapat kedua ; cukup dua perempuan yang adil adalah pendapat Al Hadi;
sedang yang ketiga, yaitu harus empat orang perempuan yang adil , adalah
menurut pendapat syafi‟i. perbedaan pendapat ini berkembang dalam setiap hal
yang bertalian dengan aurat para wanita. Mafhum hadits tersebut memberikan
pengertian bahwa jika bayi itu tidak bersuara sewaktu lahirnya, lalu tidak
dianggap hidup, maka baginya tidak berlaku suatu hukum yang telah disebutkan
diatas.16

16
Ibid. Hlm. 366.

9
BAB III. PENUTUPAN

 Kesimpulan
Fiqh mawaris merupakan ilmu fiqh yang mempelajari tentang
siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang
tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan
bagaimana cara perhitungannya. Fiqh mawaris juga disebut ilmu faraid,
yang merupakan bentuk jamak dari kata faridah artinya ketentuan-
ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-Qur‟an.

Terdapat beberapa sumber hukum mawaris yaitu dintaranya al-


Qur‟an, Hadits, „Ijma dan Qiyas. Hadits-hadits menerangkan masalah-
masalah berkaitan tentang waris yang tidak dijelaskan di dalam al-Qur‟an.
Diantaranya menerangkan bagian seorang kakek yang ditinggalkan
cucunya yang memiliki dua orang anak perempuan, maka bagiannya
adalah seperenam dari hanrta yang ditinggalkan cucunya tersebut. Selain
itu dijelaskan juga bagian nenek yang ditinggal cucunya yang sudah tidak
mempunyai ibu, bagian saudara lelaki ibu dan seorang pembunuh yang
sengaja ataupun tidak sengaja maka dia tidak memiliki hak untuk orang
yang telah dibunuhnya.

iv
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad, Abubakar. 1995. Terjemahan Subulus Salam III. Surabaya Al-

Ikhlas.

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1997. Pengantar Hukum Islam. Semarang :

PT. PUSTAKA RISKI PUTRA.

Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 2001. Pengantar Hukum Islam. Semarang :

PT. PUSTAKA RISKI PUTRA.

A. Hassan. 1967. Tarjamah Bulughul Maram. Bandung : c.v. DIPONEGORO

Rahman, Fatchur. 1981. Ilmu Waris. Bandung : Al-Ma‟arif.

Rofiq, Ahmad. 1993. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Rofiq, Ahmad. 1992. Fiqh Mawaris. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada.

Uman, Dian K. 1999. Fiqh Mawaris. Bandung : PUSTAKA SETIA.

Kitab Syarah Bulughul Maram (Muhammad Hamid Al-Faqy).

Anda mungkin juga menyukai