MAWARIS
GURU PEMBIMBING:
Riko S. Ag
DISUSUN OLEH:
Gledys Apriliana
2022
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur tidak lupa kita panjatkan kehadirat Allah Subhahu Wa Ta’ala yang
berkat anugerah dari-Nya saya mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “Mawaris”
ini. Sholawat serta selama kita haturkan kepada junjungan agung Nabi Besar Muhammad
Shallallahu `alaihi Wa Sallam yang telah memberikan pedoman kepada kita jalan yang
sebenar-benarnya jalan berupa ajaran agama islam yang begitu sempurna dan menjadi
rahmat bagi alam semesta.
Saya sangat bersyukur karena mampu menyelesaikan makalah ini tepat waktu sebagai
pemenuh tugas Pendidikan Agama islam yang bertemakan “ Mawaris ”. Selain itu, saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu saya untuk
merampungkan makalah ini sampai selesai.
Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat
kepada semua pihak. Dan jangan lupa kritik serta sarannya terhadap makalah ini dalam
rangka perbaikan makalah-makalah yang akan datang.
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Untuk Mengetahui pengertian Mawaris
2. Untuk mengetahui ayat Al-Quran yang mengandung Mawaris
3. Untuk mengetahui manfaat hukum Waris dalam Islam
4. Untuk mengetahui siapa yang mendapatkan hak Waris
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologis, kata mawaris berasal dari Al Mirats yang artinya berpindahnya
sesuatu milik seseorang ke orang lainnya, atau dari suatu kaum ke kaum lainnya. Sementara,
bila dilihat dari segi istilah, Al Mirats adalah proses perpindahan kepemilikan hak orang yang
sudah meninggal dunia kepada ahli warisnya. Hak di sini dapat berupa apa saja, mulai dari
harta, tanah, perhiasan, dan lain sebagainya.
Pengertian mawaris adalah ilmu yang berkaitan dengan pembagian harta warisan
berdasarkan prinsip dan syariat dalam Islam. Pada umumnya, sistem pengetahuan ini juga
disebut dengan istilah faraidh. Mempelajari ilmu mawaris hukumnya adalah fardu kifayah.
Artinya ketika sudah ada orang yang menekuni dan memahaminya, maka gugurlah kewajiban
bagi pihak lainnya. Hikmah mawaris sendiri antara lain adalah menciptakan kedamaian di
tengah keluarga yang sedang berduka. Sebab, tak jarang sebuah ikatan harus terputus hanya
karena perebutan harta warisan yang dianggap tidak adil atau kurang sesuai harapan.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mawaris adalah sistem pengetahuan,
membahas mengenai pembagian harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli
warisnya sesuai dengan prinsip dan syariat dalam agama Islam.
Artinya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta warisan ibu bapak dan kerabatnya, bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari warisan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
2
menurut bagian yang telah ditetapkan” (QS. An-Nisa [4]: 7)
Ayat-ayat lain tentang Mawaris terdapat dalam berbagai surat. Seperti dalam Q.S. an-
Nisa/4:7 sampai 12 dan ayat 176, Q.S. an-Nahl/16:75 dan Q.S. al-ahsab/33: ayat 4, sedangkan
permasalahan yang muncul banyak diterangkan oleh As-Sunnah, dan sebagian sebagai hasil
ijma’ dan ijtihad.
3. Peduli Kepada Orang Lain sebagai Cerminan Pelaksanaan Ketentuan Waris dalam
Islam.
Melaksanakan sepuluh asas dalam hukum waris Islam,yaitu; .Asas integrity/ ketulusan
(Q.S Ali ‘Imran/3: 85) Asas ta’abbudi / penghambaan diri (Q.S. An Nissa’/4: 13-14),Asas
Huququl Maliyah/Hak-Hak kebendaan (KHI pasal 175), Asas Huququn thabi’iyah /Hal-Hak
Dasar, Asas ijbari /keharusan, kewajiban, Asas bilateral, (Q.S. An-Nisaa’/4:7 dan Q.S. An-
Nisaa’/4:11-12) (Q.S. An-Nisaa’/4:176), Asas individual, (Q.S. An-Nisaa’/4:8 dan Q.S. An-
Nisaa’/4:33), Asas keadilan yang berimbang (Q.S. Al-Baqarah /2:233 dan Q.S. Ath-
Thalaaq/65:7), Asas kematian, dan Asas membagi habis harta warisan. (KHI Pasal; 192 & 193),
akan menumbuhkan kepedulian kepada orang lain sebagai cerminan pelaksanaan ketentuan
waris dalam Islam.
3
2.4 Syarat-syarat Kewarisan
Layaknya permasalahan-permasalahan lainnya, kewarisan juga terdapat syarat-syarat yang
harus dipenuhi. Dilansir dari NU Online terdapat beberapa syarat diantaranya sebagai berikut:
Syarat pertama adalah orang yang punya harta dan akan diwariskan harus sudah meninggal
dunia. Misalnya ada orang tua sedang dalam keadaan koma, maka harta benda miliknya belum
menjadi hak ahli waris. Karena pada dasarnya adanya warisan itu karena adanya kematian.
Menyambung dengan point pertama, jika yang mewariskan sudah meninggal dunia maka harta
akan diwariskan kepada ahli waris yang masih hidup.
Pembagian harta waris dinyatakan sah jika antara mayit dengan ahli waris terdapat
hubungan baik itu pernikahan, kekerabatan, dan memerdekakan budak. Pada artikel
sebelumnya tentang pembagian ahli waris sudah kita jelaskan skema, rukun dan jumlah
pembagian untuk ahli waris.
Dalam hal ini, ahli waris memang harus membuktikan mempunyai hubungan dengan mayit
atau pewaris. Tidak bisa hanya dengan omongan saja. Melainkan memang ada bukti yang
menguatkan bahwa dia merupakan ahli waris yang sah sesuai dengan ketentuan dalam islam.
Sebab-Sebab Mendapatkan Hak Waris Dalam hukum Islam, sebab-sebab untuk dapat
menerima warisan ada tiga, yaitu: Hubungan kekerabatan (al-qarabah), Hubungan perkawinan
atau semenda (al-musaharah), Hubungan karena sebab memerdekakan budak atau hamba
sahaya (al-wala')11. Namun untuk sebab karena memerdekakan budak sudah tidak berlaku Iagi
untuk sekarang, karena praktik perbudakan ini hanya ada pada masa Rasulullah SAW.
4
1. Hubungan Kekerabatan (al-qarabah).
Di antara sebab beralihnya harta seseorang yang telah mati kepada yang masih hidup adalah
adanya hubungan kekerabatan antara keduanya. Adapun hubungan kekerabatan ditentukan
oleh adanya hubungan darah yang ditentukan pada saat adanya kelahiran.
Jika seorang anak lahir dari seorang ibu, maka ibu mempunyai hubungan kerabat dengan
anak yang dilahirkan. Hal ini tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun karena setiap anak yang
lahir dari rahim ibunya sehingga berlaku hubungan kekerabatan secara alamiah antara seorang
anak dengan seorang ibu yang melahirkannya. Sebaliknya, bila diketahui hubungan antara ibu
dengan anaknya maka dicari pula hubungan dengan laki-laki yang menyebabkan si ibu
melahirkan. Jika dapat dibuktikan secara hukum melalui perkawinan yang sah penyebab si ibu
melahirkan, maka hubungan kekerabatan berlaku pula antara si anak yang lahir dengan si ayah
yang menyebabkan kelahirannya.
Hubungan kekerabatan antara anak dengan ayah ditentukan Oleh adanya akad nikah yang
sah antara ibu dengan ayah (penyebab si ibu hamil dan melahirkan). Dengan mengetahui
hubungan kekerabatan antara ibu dengan anaknya dan hubungan kekerabatan antara anak
dengan ayahnya, dapat pula diketahui hubungan kekerabatan ke atas, yaitu kepada ayah atau
ibu dan seterusnya, ke bawah, kepada anak dan seterusnya, dan hubungan kekerabatan ke
samping, kepada saudara beserta keturunannya. Dari hubungan kekerabatan yang demikian,
dapat juga diketahui struktur kekerabatan yang tergolong ahli waris bila seorang meninggal
dunia dan meninggalkan harta warisan
Hubungan atau pernikahan dijadikan sebagai penyebab hak adanya perkawinan, hal ini
dipetik dan Qur'an surah An-Nisa' (4) : 12, yang intinya menjelaskan tentang hak saling
mewarisi antara orang yang terlibat dalam tali pernikahan yaitu suami istri. Syarat suami-istri
saling mewarisi di samping keduanya telah melakukan akad nikah secara sah menurut syariat.
Juga antara suami-istri yang berakad nikah itu belum terjadi perceraian ketika salah seorang
dari keduanya meninggal dunia.
5
sahaya, atau melalui perjanjian tolong menolong. Untuk yang terahir ini agaknya jarang
dilakukan malahan tidak sama sekali. Adapun al-wala' yang pertama disebut dengan wala ' al-
ataqah atau ushubah sababiyah, dan yang kedua disebut dengan wala' al-muwalah, yaitu wala'
yang timbul akibat kesediaan orang untuk tolong menolong dengan yang lain melalui suatu
perjanjian perwalian.
Adapun bagian orang yang memerdekakan budak atau hamba sahaya adalah 1/6 dari harta
peninggalan. Jika kemudian ada pertanyaan apakah sekarang masih ada hamba sahaya, maka
jawabannya adalah bahwa hapusnya perbudakan merupakan salah satu keberhasilan misi
Islam. Karena memang imbalan warisan kepada almufiq atau al-mu 'ttqah salah satu tujuannya
adalah untuk memberikan motivasi kepada siapa saja yang mampu, agar membantu dan
mengembalikan hak-hak hamba menjadi orang yang merdeka.
1. Ahli waris yang membunuh pewaris, tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarga
yang dibunuhnya.
2. Ahli waris yang murtad tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang
beragama Islam, demikian pula sebaliknya.
3. Orang kafir tidak berhak menerima warisan dari keluarga yang beragama Islam.
6
b. Seperempat (1/4)
Ahli waris yang berhak mendapatkan seperempat dari harta pewaris hanyalah dua orang, yaitu
suami dan istri.
c. Seperdelapan(1/8)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian warisan seperdelapan adalah istri. Istri yang
mendapatkan waris dari peninggalan suaminya baik itu memiliki anak atau cucu dari rahimnya
atau rahim istri yang yang lain.
d. Duapertiga(2/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan dua pertiga warisan terdiri dari empat perempuan. Ahli
waris ini, antara lain anak perempuan kandung, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
perempuan kandung, dan saudara perempuan sebapak.
e. Sepertiga(1/3)
Ahli waris yang berhak mendapatkan sepertiga warisan hanya dua, yaitu ibu dan dua saudara
baik laki-laki atau perempuan dari satu ibu.
f. Seperenam(1/6)
Ahli waris yang berhak mendapatkan bagian seperenam warisan ada 7 orang, yakni bapak,
kakek, ibu, cucu perempuan, keturunan anak laki-laki, saudara perempuan sebapak, nenek, dan
saudara laki-laki dan perempuan satu ibu.
7
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Mengenai kedudukan ahli waris menurut Hukum Waris Islam, Al-Qur’an telah
memberikan garis-garis pokoknya mengenai siapa saja yang dapat menjadi ahli waris beserta
bagiannya masing-masing. Dan harta peninggalan pewaris adalah apapun yang ditinggalkan
pewaris baik dalam bentuk harta maupun hakhaknya seperti hutang pewaris, dan ada pula
sebagian ulama yang menyatakan bahwa harta peninggalan pewaris adalah sisa setelah
dikurangi segala biaya-biaya berkenaan dengan pengurusan dan penguburan jenazah, serta
hutang-hutang pewaris.
3.2 Saran
Perlu adanya suatu undang-undang tersendiri mengenai Hukum Kewarisan Islam yang
mengatur dengan lebih jelas, tegas, dan terperinci yang didasarkan pada Al Qur’an, hadits
Rasulullah saw, dan juga ijma para ulama untuk dijadikan pegangan atau landasan hukum bagi
mereka yang beragama Islam ketika dihadapkan pada berbagai macam permasalahan mengenai
pembagian harta warisan tersebut.