Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

FIQH MAWARIS
Muhadir:
Muhadir: Ali Muhadaini, M.H.

Disusun oleh:
Ardhia Pramesti (104210006)
Branti Iftitah (104210023)
Sri Rezeki (104210032)

PROGRAM STUDI FIQH WA USHULUHU


MAHAD ALY AL-TARMASI
PERGURUAN ISLAM PONDOK TREMAS
TAHUN AJARAN 2023-2024M/1444-1445H

i
KATA PENGANTAR

Segala Puji kehadirat Allah Swt. yang telah memberikan rahmat, hidayah
serta inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
sesuai pada waktu yang ditentukan.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita nabi
agung Muhammad Saw. Yang telah membawa syariat-syariat islam yang
dengannya kita bisa menjalani kehidupan ini dengan nyaman, aman, dan tentram.
Dan semoga rahmat takdzim serta keselamatan senantiasa tercurah kepada
keluarga, sahabat, dan umat beliau hingga akhir zaman.
Beribu-ribu terima kasih dan penghargaan yang luar biasa kami hanturkan dengan
ucapan jazakumullah ahsanal jaza’, terkhusus untuk murobbi, muhadir pengampu,
orang tua, saudara, dan teman-teman yang selalu memotivasi kami bahwa kami
dapat menyelesaikan tugas ini dan dapat memberikan manfaat melalui penulisan
makalah ini.
Semoga seluruh perbuatan dan tindakan kita dalam penyelesaikan tugas
perkuliahan Fiqh Mawaris bernilai ibadah dan diterima oleh-Nya. Dan kami
menyadari bahwa tak ada barang satu pun di dunia ini yang sempurna, kecuali
Allah SWT.Oleh karena itu,kami tunggu kritik saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini.

Tremas,7 Juni 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
BAB I....................................................................................................................................................2

PENDAHULUAN............................................................................................................................2

A. Latar Belakang....................................................................................................................2

B. Rumusan Masalah...............................................................................................................2

C. Tujuan Pembahasan............................................................................................................2

BAB II..................................................................................................................................................3

PEMBAHASAN...............................................................................................................................3

A. Definisi Fiqih Mawaris.........................................................................................................3

B. Dasar Hukum Ilmu Mawaris...............................................................................................3

A. Tujuan Mempelajari Fiqih Mawaris..................................................................................7

B. Waris Pra Islam...................................................................................................................9

BAB III...............................................................................................................................................13

PENUTUP......................................................................................................................................13

A. Kesimpulan.........................................................................................................................13

B. Saran...................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagian aturan syariat Islam, siapapun yang wafat dari kalangan ummat
islam dan mempunyai tirkah atau harta peninggalan, maka harta tersebut harus
diwariskan. Hal itu sudah menjadi ketentuan dalam syari’at islam yang di atur ketat
dalam hukum warits, sehingga dalam masalah hukum warits ini pelakunya harus
mengikuti ketentuan-ketentuan yang sudah di teteapkan baik dari sisi penerima
warisan ataupun dari sisi pembagian warisan.
Dalam syariat Islam, seseorang yang wafat dan meninggalkan harta, hartanya
harus diwariskan. Pembagian harta itu harus sesuai dengan hukum yang berlaku yaitu
hukum waris. Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan
harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli
waris dan berapa bagian masing-masing. Hukum waris mengatur siapa saja yang
berhak menjadi ahli waris yang mendapat bagian harta warisan, yang terhalang
menerima warisan, berapa bagiannya masing-masing, bagaimana ketentuan
pembagiannya, serta mengatur hak-hak yang berhubungan dengan pembagian
warisan.
Meskipun begitu, hukum waris terkadang menyisakan masalah dalam hal
pembagiannya dan tidak jarang menimbulkan kebingungan bagi ahli waris. Hal ini,
misalnya, terkait dengan persoalan-persoalan seputar sebab-sebab menerima warisan,
halangan menerima warisan, dan hak-hak sebelum pembagian warisan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu fiqh mawaris ?
2. Apa saja dalil-dalil yang membahas tentang fiqh mawaris ?
3. Apa tujuan mempelajari fiqh mawaris ?
4. Bagaimana keadaaan pembagian warisan pra Islam ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian fiqh mawaris.
2. Mengetahui dalil-dalil yang menjadi sandaran fiqh mawaris.
3. Mengetahui tujuan mempelajari fiqh mawaris.
4. Mengetahui keadaan warisan pra Islam

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Fiqih Mawaris
Fiqih mawaris adalah ilmu fiqih yang mempelajari tentang cara pembagian harta
warisan. Kata waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, yang
mempunyai makna perpindahan harta milik atau harta warisan. Kata mawarits merupakan
jamak dari mirats (irst, wirts, wiratsah, dan turats yang dimaknakan dengan mauruts) yaitu
harta peninggalan orang meninggal yang diwariskan kepada para warisnya. Orang yang
meninggalkan harta disebut muwarits, sedangkan orang yang menerimanya disebut dengan
warits. Adapun kata mawaris juga sinonim dengan kata faraidh yang merupakan jamak dari
kata faridhah yang artinya bagian-bagian yang sudah ditentukan(al-Mafrudhah), kata ini
diambil dari kata fardhu yang dalam istilah ulama fiqih mawaris ialah bagian yang telah
ditetapkan oleh syara’, seperti nisfu(1/2), rubu’(1/4) dan lain-lain. Penamaan ilmu tersebut
dengan sebutan faraidh karena dua alasan, pertama, Allah menyebutkan kata tersebut setelah
perincian bagian warisan dengan kalimat faidhatan min Allah. Kedua, Allah SWT
menjelaskan kewajiban ibadah yang lain seperti sholat, puasa, dengan sebutan globan tanpa
ada perinciannya, namun khusus ilmu faraidh dijelaskan secara terperinci termasuk bagian
dari masing-masing ahli waris.
Dari kesimpulan diatas dapat ditarik keismpulan bahwa merupakan proses
berpindahnya kepemilikan dari seseorang sebagai akibat dari kematian. Kepemilikan yang
dimaksud adalah kepemilikan terhadap harta bergerak maupun yang harta yang tidak
bergerak serta hak-hak yang belum berwujud harta dan masih dapat dipindahkan
kepemilikannya kepada generasi berikutnya yang masih hidup. Dengan kata lain, ilmu waris
adalah kaidah-kaidah fiqih untuk dapat mengetahui cara membagi harta peninggalan seeorang
yang telah meninggal kepada yang berhak menerimanya. Atau ilmu fiqih yang bertautan
dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang dapat
menyampaikan kepada pembagian pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang
wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.

B. Dasar Hukum Ilmu Mawaris


Islam menjelaskan ketentuan yang berkaitan dengan warisan dengan penjelasan
yang sangat adil dan rinci dengan menetapkan bagian masing-masing dari para ahli waris.

3
Adapun sumber-sumber hukum Islam yang berkaitan dengan waris adalah al-Qur’an, as-
Sunnah, Ijma’ para sahabat dan Ijtihad para sahabat pada sebagian kasus waris.

1. Al-Qur’an
Dari sumber hukum yang pertama yaitu al-Qur’an yang mana ada empat ayat yang
memuat tentang hukum waris secar detail:
a. Surah an-Nisa’ ayat 7
ِ ‫َان َوٱَأْل ْق َربُونَ ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ َأوْ َكثُ َر ۚ ن‬
‫يبًا‬A‫َص‬ ِ ‫ك ْٱل ٰ َولِد‬ ِ َ‫ك ْٱل ٰ َولِدَا ِن َوٱَأْل ْق َربُونَ َولِلنِّ َسٓا ِء ن‬
َ ‫صيبٌ ِّم َّما تَ َر‬ ِ ‫لِّل ِّر َجا ِل ن‬
َ ‫َصيبٌ ِّم َّما ت ََر‬
‫َّم ْفرُوضًا‬
Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan ibu-bapak
dan kerabatnya, sedikit atau pula banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Maksud dari ayat diatas adalah adanya penyamaan hak waris antara laki-laki dan
perempuan atas harta yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat mereka.
b. Surah an-Nisa’ ayat 11
‫ا‬Aَ‫ َدةً فَلَه‬A‫اح‬ِ ‫َت َو‬ ْ ‫ان‬AA‫ك ۚ َواِ ْن َك‬ َ ‫ر‬A َ Aَ‫ا ت‬A‫ا َم‬AAَ‫ق ْاثنَتَي ِْن فَلَه َُّن ثُلُث‬ َ ْ‫و‬Aَ‫ن ۚ فَا ِ ْن ُك َّن نِ َس ۤا ًء ف‬Aِ ‫ص ْي ُك ُم هّٰللا ُ فِ ْٓي اَوْ اَل ِد ُك ْم لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ ااْل ُ ْنثَيَ ْي‬
ِ ْ‫يُو‬
ٓ ٗ Aَ‫انَ ل‬AA‫ا ِ ْن َك‬A َ‫ث ۚ ف‬
‫ه‬A ُ ُ‫وهُ فَاِل ُ ِّم ِه الثُّل‬Aٰ Aَ‫ك اِ ْن َكانَ لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَا ِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَ ٗ ٓه اَب‬ َ ‫النِّصْ فُ ۗ وَاِل َبَ َو ْي ِه لِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ِّم ْنهُ َما ال ُّس ُدسُ ِم َّما ت ََر‬
‫هّٰللا‬ ‫هّٰللا‬
َ ‫ةً ِّمنَ ِ ۗ اِ َّن‬AA‫ْض‬ َ ‫ص ْي بِهَٓا اَوْ َد ْي ٍن ۗ ٰابَ ۤاُؤ ُك ْم َواَ ْبن َۤاُؤ ُك ۚ ْم اَل تَ ْدرُوْ نَ اَيُّهُ ْم اَ ْق َربُ لَ ُك ْم نَ ْفعًا ۗ فَ ِري‬ ِ ‫اِ ْخ َوةٌ فَاِل ُ ِّم ِه ال ُّس ُدسُ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬
‫َكانَ َعلِ ْي ًما َح ِك ْي ًما‬
Artinya: Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu,
yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditingggalkan; jika anak perempuan ituseorang saja, maka ia memperoleh separuh harta,
dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam,
(pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau(dan)
sesudah dibayar utangnya, (tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat(banyak) manabagimu. Ini adalah ketetapan dari
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat diatas menjelaskan tentang warisan bagi (Furu dan Usul), yaitu anak laki-laki
dan perempuan dan seterusnya ke bawah, serta warisan ayah dan ibu dan seterusnya ke atas,
keadaan-keadaan mereka dalam warisan dan syarat-syarat mendapat warisan.
c. Surah an-Nisa’ ayat 12

4
ْ‫ص ْينَ بِهَٓا اَو‬ِ ْ‫صيَّ ٍة يُّو‬ ِ ‫ك اَ ْز َوا ُج ُك ْم اِ ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّه َُّن َولَ ٌد ۚ فَا ِ ْن َكانَ لَه َُّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكنَ ِم ۢ ْن بَ ْع ِد َو‬ َ ‫َولَ ُك ْم نِصْ فُ َما تَ َر‬
ۗ ‫ٓا اَوْ َدي ٍْن‬AAَ‫وْ نَ بِه‬A‫ص‬ ُ ْ‫يَّ ٍة تُو‬A‫ص‬ ِ ‫ ِد َو‬A‫َدي ٍْن ۗ َولَه َُّن الرُّ بُ ُع ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِا ْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَا ِ ْن َكانَ لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَه َُّن الثُّ ُمنُ ِم َّما تَ َر ْكتُ ْم ِّم ۢ ْن بَ ْع‬
‫صيَّةً ِّمنَ هّٰللا ِ ۗ َوهّٰللا ُ َعلِ ْي ٌم َحلِ ْي ۗ ٌم‬ِ ‫ض ۤا ٍّر ۚ َو‬
َ ‫ت فَلِ ُك ِّل َوا ِح ٍد ُم‬ ٌ ‫ث َك ٰللَةً اَ ِو ا ْم َراَةٌ َّولَ ٗ ٓه اَ ٌخ اَوْ اُ ْخ‬ ُ ‫َواِ ْن َكانَ َر ُج ٌل يُّوْ َر‬
Artinya: dan bagimu (suami-suami)seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka
kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau(dan) sesudah dibayar hutang-hutangnya. Para istri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat
atau(dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun
perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tapi mempunyai
seorang saudara laki-laki(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka
bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-
saudaranya seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang-hutangnya
dengan tidak memberi mudharat(kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikan itu
sebagai syarat) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun.
Pada ayat diatas Allah menjelaskan bagian warisan untuk suami-istri, dan saudara
seibu baik laki-laki maupun perempuan, keadaan-keadaan mereka dalam kewarisan serta
syarat untuk mendapatkan warisan.
d. Surah an-Nisa’ ayat 176
‫ك ۚ َوهُ َو يَ ِرثُهَا ِإن لَّ ْم يَ ُكن لَّهَا‬ َ ‫ت فَلَهَا نِصْ فُ َما ت ََر‬ ٌ ‫ْس لَهُ َولَ ٌد َولَهُ ُأ ْخ‬
َ ‫ك لَي‬ َ َ‫يَ ْستَ ْفتُونَكَ قُ ِل هَّللا ُ يُ ْفتِي ُك ْم فِي ْالكَاَل لَ ِة ۚ ِإ ِن ا ْم ُرٌؤ هَل‬
ِ ‫ن ۗ يُبَيِّنُ هَّللا ُ لَ ُك ْم َأن ت‬Aِ ‫ ظِّ اُأْلنثَيَ ْي‬A‫ ُل َح‬A‫لذ َك ِر ِم ْث‬
ۗ ‫لُّوا‬A ‫َض‬ َّ ِ‫َولَ ٌد ۚ فَِإن َكانَتَا ْاثنَتَ ْي ِن فَلَهُ َما الثُّلُثَا ِن ِم َّما تَ َركَ ۚ َوِإن َكانُوا ِإ ْخ َوةً رِّ َجااًل َونِ َسا ًء فَل‬
‫َوهَّللا ُ بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِي ٌم‬
Artinya: mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah
memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak
mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki
mempusakai(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-
saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua
orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini)kepadamu, supaya kamu tidak
sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

5
Ayat diatas menjelaskan tentang bagian warisan untuk saudara laki-laki dan
perempuan baik kandung maupun seayah, dan keadaan mereka dalam warisan, serta syarat
untuk mendapatkannya.
2. Sunnah Nabi SAW.
Terdapat banyak hadits yang menunjukkan hukum waris sebagai perinci terhadap al-
Qur’an dan penjelas makna-maknanya, serta mendeskripsikan hukum yang belum dijelaskaan
oleh al-Qur’an. Di antaranya adalah:
a. Hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas.
‫ض بَِأ ْهلِهَا فَ َما بَقِ َي فَه َُو َأِلوْ لَى‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َأ ْل ِحقُوا ْالفَ َراِئ‬
َ ِ ‫ قَا َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َما قَا َل‬ ُ ‫َح ِد‬
ٍ ‫يث ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
‫ر ُج ٍل َذ َك ٍر‬.
َ
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. Bersabda “Bagikanlah harta peninggalan
(warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi hak laki-laki yang paling
utama.” (HR.Bukhari)
Hadits ini menjelaskan tentang mekanisme pembagian warisan, dimulai dari
memberikan bagian kepada ahli waris (ashabul furud), kemudian diberikan kepada keturunan
laki-laki yang terdekat dengan pewaris sebagai penerima sisa bagian (‘asabah).
b. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’u
, َ‫صف‬ ْ ِّ‫ضى اَلنَّبِ ُّي صلى هللا عليه وسلم لِاِل ْبنَ ِة اَلن‬ َ َ‫ت – ( ق‬ ٍ ‫ َوُأ ْخ‬, ‫ت اِ ْب ٍن‬ ِ ‫ َوبِ ْن‬, ‫ت‬
ٍ ‫س ُعو ٍد رضي هللا عنه فِي بِ ْن‬
ْ ‫َوعَنْ اِ ْب ِن َم‬
ُّ ‫ َر َواهُ اَ ْلبُ َخا ِر‬ ) ‫ت‬
‫ي‬ ِ ‫ َو َما َبقِ َي فَلُِأْل ْخ‬-‫ُس – تَ ْك ِملَةَ اَلثُّلُثَ ْي ِن‬
َ ‫سد‬ ُّ ‫وَاِل ْبنَ ِة اَاِل ْب ِن اَل‬
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. Tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu
perempuan dan saudara perempuan –Nabi SAW menetapkan: untuk anak perempuan
setengah, cucu perempuan seperenam- sebagai penyempurnanya dua pertiga- dan selebihnya
adalah milik saudara perempuan. (HR. Bukhari)
Hadits diatas menjelaskan bahwa cucu perempuan dari anak laki-laki jika
bersama dengan satu orang anak perempuan penerima bagian setengah, maka mendapatkan
bagian seperenam sebagai penyempurna bagian terbesar perempuan dua pertiga. Dalam
hadits tersebut juga menjelaskan bagian saudara perempuan (kandung atau seayah) jika
bersama dengan furu’ muannats (anak perempuan, cucu perempuan, seterusnya kebawah)
mendapatkan bagian ‘asabah ma’al ghairi (penerima sisa).
3. Ijma’
Para sahabat, tabi’in, dan tabi’ tabi’in telah berijma’ atau bersepakat tentang
legalitas ilmu faraidh dan tidak ada seorangpun yang menyalahi ijma’ tersebut.
4. Ijtihad Sahabat.

6
Para Sahabat telah berijtihaddalam ilmu faraidh pada kasus-kasus tertentu.
Seperti ‘umariyatain, musyarakah, kewarisan kakek bersama saudara, kewarisan zawil
arham, khunsa’, kewarisan bayi dalam kandungan, maqud (orang hilang), dan lain
sebagainya.

A. Tujuan Mempelajari Fiqih Mawaris

Berpijak pada hadis Rasulullah, yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan An-
Nasaie, Rasulullah bersabda:
‫ك َأ ْن‬ ٌ ‫و‬AAُ‫وْ ضٌ َو ْال ِع ْل ُم َمرْ ف‬AAُ‫اس فَِإنِّي ا ْم ُرٌؤ يجدَا ِن َأ َحدًا َم ْقب‬
ُ A ‫ع َويُوْ ِش‬ َ ‫اس َوتَ َعلَّ ُموا الفَ َراِئ‬
َ َّ‫ض َو َعلِّ ُموْ هَا الن‬ َ َّ‫تَ َعلَّ ُموا القُرْ آنَ َو َعلِّ ُموْ هَا الن‬
)‫ض ِة يخبرها (رواه أحمد والترمذى والنسائي‬ َ ‫َان فِي الفَ ِري‬ ِ ‫يَ ْختَلِفَ اِ ْثن‬
"Belajarlah Alquran dan ajarkanlah ia kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan
ajarkanlah ia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, sedang ilmu itu bakal
diangkat dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi
mereka tidak akan bertemu dengan seorang yang sanggup memfatwakannya (mengabarkan)
kepada mereka (hukumnya)."

Demikian juga Rasulullah bersabda:

)‫ع ِم ْن ُأ َّمتِي (رواه ابن ماجه والدار قطنى‬


ُ َ‫اس فَِإنَّهُ نِصْ فُ ْال ِع ْل ِم َوهُ َو يُ ْن َسى َوهُ َو َأ َّو ُل َش ْي ٍء يُ ْنز‬ َ ‫تَ َعلَّ ُموا الفَ َراِئ‬
َ َّ‫ض َو َعلِّ ُموْ هَا الن‬

"Belajarlah faraidh dan ajarkanlah ia kepada manusia, karena ia itu adalah separuh ilmu,
dan ia akan dilupakan, dan ia adalah ilmu yang pertama akan tercabut dari umatku." (HR.
Ibnu Majah dan Daruquthni).1

Dari hadis tersebut dapat diketahui betapa pentingnya ilmu faraidh atau hukum waris
itu sampai ditegaskan Rasulullah bahwa ia itu separuh ilmu.

1
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut : Darul Fikri, 1983), hlm.425.

7
Para ulama menetapkan bahwa mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah,
artinya kalau dalam suatu masyarakat atau perkampungan tidak ada yang mempelajari ilmu
faraidh maka berdosalah orang-orang di kampung itu. Akan tetapi, jika ada yang
mempelajari, walau hanya satu atau dua orang saja, maka terlepaslah semuanya dari dosa.
Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar kita dapat
menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada
yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain.
Di samping itu, apabila hukum waris dipelajari dengan benar akan bermanfaat baik
bagi dirinya maupun untuk masyarakat, yang jelas akan dapat dimanfaatkan dalam kasus
penyelesaian pembagian harta waris di lingkungan keluarga, lebih lanjut dapat membantu
kasus pembagian waris di masyarakat. Tidak jarang terjadi problem keluarga karena
persoalan membagi waris, karena salah satu di antara keluarga itu tidak mengerti tentang
pembagian waris dalam agama, oleh karenanya kadangkala sampai terangkat ke sidang
pengadilan. Oleh karena itu, jika di antara anggota keluarga ada yang memahami tentang
hukum waris, kasus-kasus tersebut kiranya tidak sampai terangkat ke pengadilan. Dengan
demikian, tepatlah bila para ulama berpendapat bahwa mempelajari hukum waris adalah
fardhu kifayah.
Dalam kajian hukum Islam telah dipetakan lingkup kajian ke dalam hukum ibadah
dan hukum muamalah. Lingkup kajian hukum ibadah mencakup seluruh kewajiban manusia
sebagai hamba untuk beribadah kepada Allah SWT. Sehingga dalam bentuknya yang lebih
detil, lingkup hukum yang pertama ini mencakup segala aktivitas para hamba untuk
mendekatkan diri (al-taqarrub) kepada sang penciptanya, yaitu Allah SWT.
Yang kedua, adalah lingkup kajian hukum muamalah dalam maknanya yang umum,
yaitu aturan-aturan hukum Allah SWT, yang ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia
dalam urusan keduniaan atau urusan yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial
kemasyarakatan, atau semua aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia
yang lainnya guna memperoleh keseimbangan di dunia danakhirat, terutama berkaitan
dengan pemenuhan kebutuhanhidupnya.
Secara lebih spesifik Wahbah al-Zuhaili menempatkan perihal pembagian warisan ke
dalam kajian al-Ahwal al-Shahsiyah yang membahas tentang ketentuan-ketentuan hukum
Islam mengenai ikatan kekeluargaan mulai sejak terbentuknya sampai kepada berbagai akibat
dari terbentuknya keluarga tersebut. Ketentuan tersebut antara lain mengenai pembagian
harta waris dan hubungannya dengan sistem kekerabatan secara umum.2 Hukum keluarga
2
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami, Juz. 1, hal 19.
8
atau al-Ahwal al-Shahsiyah mempunyai ciri utama mengatur ikatan kekerabatan yang
berdasarkan pada prinsip kekeluargaan. Hukum keluarga dapat dimaknai sebagai aturan
mengenai hubungan manusia dengan sesama baik dalam lingkup yang lebih kecil, seperti
dalam keluarga dan rumah tangga. Ditandai dengan adanya aturan pernikahan, perceraian,
dan masalah kewarisan. Maupun dalam konteks yang lebih besar seperti hubungan antar
warga negara.3
Hukum waris Islam termasuk salah satu hukum shariah yang sangat penting, sangat
tinggi kedudukannya di sisi Allah SWT. Karena pentingnya itu, Allah menurunkan langsung
untuk mengatur secara terperinci bagian masing-masing yang harus diterimakan, serta siapa-
siapa yang berhak menerima bagiannya. Oleh karena urgensitasnya tersebut kemudian Nabi
Muhammad SAW sangat memberikan perhatian besar terhadap keberlangsungan ilmu ini
dengan menganjurkan agar dipelajari dan diajarkan kepada yang lain.

B. Waris Pra Islam

Masa pra-Islam dikenal juga dengan masa jahiliah, yaitu masa di mana bangsa Arab
selalu melakukan peperangan dan bertindak tidak adil. Pada masa itu, kehidupan orang Arab
ber gantung pada hasil perniagaan, jarahan, dan hasil rampasan perang dari bangsa-bangsa
yang mereka taklukkan. Ketika itu, kekayaan berada di tangan laki-laki dewasa yang mampu
dan memiliki kekuatan serta kekuasaan. Hal itu juga berlaku terhadap pembagian harta
warisan. Maka, menjadi wajar jika harta warisan diberikan kepada laki-laki dewasa, bukan
kepada perempuan dan anak-anak. Pada masa jahilyah, pembagian harta warisan dilakukan
dengan berpijak pada dua sistem, yaitu sistem keturunan dan sistem sebab 4. Salah satu yang
menjadi Tradisi jahiliyah dalam pembagian harta warisan adalah bersifat patrilinear, di mana
kaum perempuan dan anak-anak yang belum dewasa mereka terjegah untuk mendapatkan
harta warisan, sekalipun mereka merupakan ahli waris dari yang telah meninggal 5. Dengan
itu sudah menjadi indikasi kuat bahwa pra-Islam keadaan bangsa Arab dalam masalah
waritrsan mereka telah menjadikan kaum wanita tidak artinya.

3
Moh. Djafar, Kewarisan, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ajaran,ed. Taufik Abdullah, et
al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 105.)
4
Muhammad Suhaili Sufyan, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka Media Perintis,
2012), hal. 7.
5
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 32
9
Hal itu terjadi karena arab jahiliyah pada saat itu berdalih bahwa kaum wanita tidak
mempunyai kekuatan untuk di ikut sertakan dalam berperang membela kaum dan sukunya.
Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, “Bagaimana mungkin kami memberikan
warisan (harta peninggalan kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah menunggangi
kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh.” 6
Bahkan Mereka melarang keras dan megharamkan kaum wanita menerima harta warisan
sebagaimana mereka mengharamkannya kepada anak-anak kecil7. Tidak sampai di situ, di
antara mereka mengira bahwa kaum wanita yang ditinggal mati suaminya mereka termasuk
harta yang dapat diwariskan dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya. Di masa jahiliyah
(pra-islam), pembagian warisan dilakukan jika terdapat hubungan kekeluargaan/kerabat. Di
antara mereka juga ada yang beranggapan bahwa harta warisan bisa diberikan terhadap
mereka yang telah melakukan perjanjian prasetia,8 dan bias juga di berikan pada tabanni
(anak-anak yang diadopsi /pengangkatan anak). Dari penjelasan di atas Dapat di tarik
pemahaman bahwa, seseorang bisa mendapatkan harta warisan apabila9:
a. Ditemukan Pertalian Kekeluargaan/kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang
mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran. Hubungan kekerabatan yang melatar belakangi
seorang dapat menerima warisan adalah jika merupakan laki laki yang mempunyai kekuatan
dalam melakukan pembelaan, perlindungan untuk memelihara qabalah (persukuan) atau
setidaknya yang di lindungi adalah keluarga mereka sendiri. Aturan ketat tersebut memberi
dampak pada anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan terjegah untuk
mendapatkan warisan. Dua klompok ini terjegah untuk mendapatkan warisan hanya karena
dinilai tidak mampu ikut serta terjun dalam medan perang dan berjuang bersama mereka yang
kuat dan lebih dari itu mereka di pandang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.
karenanya, para ahli waris jahiliah dari golongan kerabat semuanya terdiri atas: (a) anak laki-
laki, (b) saudara laki-laki, (c) paman, (d) anak-anak yang semuanya harus dewasa, dan (e)
anak laki-laki paman. Jika pewaris tidak mempunyai anak laki-laki dewasa, maka tirkahnya
(harta peninggalannya) berhak di gterima oleh saudara laki-lakinya dengan catatan saudara
tersebut juga sanggup berperang membela suku. ada hal lain yang di nilai jangkal dan
mengherankan ialah bahwa seorang istri juga menjadi pusaka yang juga boleh di wariskan

6
Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M
Basmalah, (Gema Insani Press, 1995), hlm. x.
7
Ibid
8
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. (Semarang: Toha Putra, 1972), hlm. 3.
9
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris....., hlm. 3
10
yang diwariskan, dengan catatan istri tersebut bukan ibu kandung yang mewarisi. Mereka
juga memberi warisan kepada anak yang lahir di luar pernikahan10.
b. Sudah di gelarnya Janji Ikatan Prasetia
Definisi Janji prasetia adalah dorongan dan dukungan yang di dasari oleh kemauan
bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan sesama. Dengan itu kaum wanita
dan anak laki-laki terkesan disingkirkan sebab tidak mungkin terealisasi apabila pihakpihak
yang berjanji adalah anak-anak yang belum dewasa, apalagi kaum wanita.
Adapun isi janji prasetia tersebut adalah: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku
pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu damaiku
damaimu, kamu mewarisi hartamu aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena
aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti
nyawaku, aku pun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”11. Akhir dari
janji ikatan prasetia itu adalah apabila salah satu pihak meninggal dunia, maka pihak lain
yang masih hidup berhak mendaptkan harta peninggalan partner-nya sebanyak 1/6 bagian
harta peninggalannya. Adapun sisa harta setelah dikurangi 1/6 dibagikan kepada ahli
warisnya12.
c. tabanni (Pengangkatan Anak)
Sebelumnya sudah di jelaskan bahwa pewarisan atas dasar kekarabatan, pewarisan atas
nama ikatan janji prasetia, dan pewarisan atas nama tabanni (pengangkatan anak), itu
semuanya bias (yang mempunyai kekuatan cukup).
Adapun tendensi mereka untuk mengadakan janji prasetia dan pengangkatan anak
adalah adanya dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan
mereka serta memelihara dan mengembangkan harta kekayaan mereka. Hal itu tidak akan
terealisasikan jika masih anak-anak atau perempuan.13
Sebelum diangkat menjadi Rasul, Nabi Muhammad saw mengangkat Zaid Ibn Haritsah
menjadi anak angkatnya dan dikatakanlah Zaid bin Muhammad. Beliau mengangkat Zaid ini
sebagai anaknya, sesudah Zaid dimerdekakan. Abu Hutz aifah Ibn ‘Utbah mengangkat Salim
menjadi anaknya dan dikatakanlah: Salim ibn Abu Huzaifah.14 Keadaan ini berlaku hingga
turun surat alAhzab dibawah ini yang artinya: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan
Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,
10

Hukum Adat dan Hukum Islam, (Darussalam: Bulan Bintang, 1978), hlm. 28
11
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981), hlm.14
12
Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam, hlm. 34
13
Ibid, hlm 4
14
Teuku M.Hasbi ash-shiddieqy, fiqih mawaris, (semarang: Pustaka Risky Putra, 2011), hlm 11

11
jika kamu tidak me ngetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai)
saudara saudaramu seagama dan maulamaulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa
yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.15 Ayat ini menegaskan bahwa, Nabi
Muhammad saw bukanlah ayah dari seorang anak angkat (Zaid) dan anak-anak angkat
tidaklah dapat dianggap sebagai anak sendiri, serta anak-anak angkat itu haruslah
dibangsakan kepada ayah mereka sendiri.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

15
Q.S al- Ahzab (33):5.

12
Fiqih mawaris adalah ilmu fiqih yang mempelajari tentang cara pembagian harta
warisan. Kata waris adalah bentuk isim fa’il dari kata waritsa, yaritsu, irtsan, yang
mempunyai makna perpindahan harta milik atau harta warisan.
Adapun tujuan mempelajari ilmu faraidh atau hukum waris ialah agar kita dapat
menyelesaikan masalah harta peninggalan sesuai dengan ketentuan agama, jangan sampai ada
yang dirugikan dan termakan bagiannya oleh ahli waris yang lain.
B. Saran
Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran
dan kritik yang membangun sangat kami harapkan guna memperbaiki makalah ini. Apabila
terdapat banyak kesalahan kami memohon yang sebesar-besarnya.

13
DAFTAR PUSTAKA
Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, (Beirut : Darul Fikri, 1983).
al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami`

Djafar Moh., Kewarisan, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ajaran,ed. Taufik Abdullah, et
al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 105.)
Suhaili Sufyan Muhammad, Fiqh Mawaris Praktis, (Bandung: Cita Pusaka Media Perintis,
2012).
Muhibbudin Moh.,dkk, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).

Muhammad Ali al-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, terj. A.M


Basmalah, (Gema Insani Press, 1995).

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, terj. (Semarang: Toha Putra, 1972).

Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris.

Ismuha, Penggantian Tempat Dalam Hukum Waris Menurut KUH Perdata,


Hukum Adat dan Hukum Islam, (Darussalam: Bulan Bintang, 1978).

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif, 1981).

Moh. Muhibbudin,dkk, Hukum Kewarisan Islam,.

Teuku M.Hasbi ash-shiddieqy, fiqih mawaris, (semarang: Pustaka Risky Putra, 2011)

Q.S al- Ahzab (33):5.

14

Anda mungkin juga menyukai