Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

FIKIH
“ILMU FARAIDH”

DOSEN : Dra. Hj. Andi Nirwana, M.HI

DI SUSUN OLEH :
(Kelompok 9)
1. Ishak Amir Munawir (30500118040)
2. Muhammad Amri (30500118039)
3. Nur Faizi Hasyim (30500118008)
4. Wahidin (30500118009)
5. Andi Sihab Ramadhoan (30500118033)

FAKULTAS USHULUDDIN, FILSAFAT, DAN POLITIK


JURUSAN STUDI AGAMA AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
Tahun Pelajaran : 2019 - 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmatNYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak
terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin


masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Samata, 10 Desember 2019

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ....................................................................................................... i


Kata Pengantar ...................................................................................................... ii
Daftar Isi ............................................................................................................... iii
Bab I ( PENDAHULUAN )
1.1 Latar Belakang................................................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................... 4
1.3 Tujuan............................................................................................................. 5
Bab II ( PEMBAHASAN )
2.1 Pengertian Ilmu Faraidh................................................................................. 6
2.2 Bagian-bagian Ashabul Furudh...................................................................... 8
Bab III ( PENUTUP )
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 18
3.2 Kritik dan Saran............................................................................................. 18
3.3 Daftar Pustaka................................................................................................ 19

iii
Bab I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Warisan adalah harta peninggalan seseorang yang telah meninggal kepada


seseorang yang masih hidup yang berhak menerima harta tersebut. Hukum waris
adalah sekumpulan peraturan yang mengatur hubungan hukum mengenai
kekayaan setelah wafatnya seseorang. Seseorang yang berhak menerima harta
peninggalan di sebut ahli waris. Dalam hal pembagian harta peninggalan, ahli
waris telah memiliki bagian-bagian tertentu. Seperti yang tercantum dalam Firman
Allah SWT sebagai berikut :

ََ‫اء نَ ِصيبَ ِم َّما تَ َرك‬ َ ِِّ‫َان َواأل ْق َربُونََ َو ِللن‬


َِ ‫س‬ َِ ‫لرجَا َِل نَ ِصيبَ ِم َّما ت َ َركََ ا ْل َوا ِلد‬
ِّ ِ ‫ِل‬

‫َان َواأل ْق َربُونََ ِم َّما قَ ََّل ِم ْن َهُ أَ َْو َكث ُ ََر نَ ِصيبًا َم ْف ُروضًا‬
َِ ‫ا ْل َوا ِلد‬

Artinya :

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-
bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah
ditetapkan”

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari Ilmu Faraidh ?


2. Bagaimana cara membedakan bagian-bagian Ashabul Furud ?

4
1.3 Tujuan

1. Agar dapat mengetahui pengertian dari Ilmu Faraidh.


2. Agar dapat mengetahui perbedaan dari bagian-bagian Ashabul Furud.

5
Bab II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Ilmu Faraidh

a. Pengertian Ilmu faraid secara bahasa:

Kata “faraidh” diambil dari kata “‫( ”الفرض‬alfardhu), yang mempunyai arti sebagai
berikut:

1. “al-hazzu” yang artinya ikatan.


2. “al-qath’u” yang artinya memotong.
3. “at-taqdiir” yang artinya ukuran/kadar.
4. “at-tabyiin” yang artinya penjelasan.
5. “al-ihlaal” yang artinya menghalalkan.

b. Pengertian Ilmu Faraidh secara istilah:

Sebagian ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya:

1. Ilmu Faraidh adalah ilmu yang membahas tentang cara pembagian harta
warisan orang yang meninggal kepada ahli warisnya.
2. Ilmu Faraidh adalah ilmu yang membahas tentang orang yang berhak
mendapat harta warisan dan orang yang tidak berhak mendapatkan harta
warisan, dan kadar bahagian yang didapat ahli waris itu.

c. Syarat dan Hukum Waris

Terdapat tiga syarat warisan yang telah disepakati oleh para ulama, tiga syarat
tersebut adalah:

1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara haqiqy, hukmy (misalnya


dianggap telah meninggal) maupun secara taqdiri.

6
2. Adanya ahli waris yang hidup secara haqiqy pada waktu pewaris
meninggal dunia.

3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti baik bagian masing-masing.

Adapun rukun waris dalam hukum kewarisan Islam, diketahui ada tiga macam,
yaitu :

1. Muwaris, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang
mewariskan hartanya. Syaratnya adalah muwaris benar-benar telah
meninggal dunia. Kematian seorang muwaris itu, menurut ulama
dibedakan menjadi 3 macam :

a) Mati Haqiqy (mati sejati).

Mati haqiqy (mati sejati) adalah matinya muwaris yang diyakini tanpa
membutuhkan putusan hakim dikarenakan kematian tersebut disaksikan oleh
orang banyak dengan panca indera dan dapat dibuktikan dengan alat bukti yang
jelas dan nyata.

b) Mati Hukmy ( mati menurut putusan hakim atau yuridis)

Mati hukmy (mati menurut putusan hakim atau yuridis) adalah suatu kematian
yang dinyatakan atas dasar putusan hakim karena adanya beberapa pertimbangan.
Maka dengan putusan hakim secara yuridis muwaris dinyatakan sudah meninggal
meskipun terdapat kemungkinan muwaris masih hidup. Menurut pendapat
Malikiyyah dan Hambaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu berlangsung
selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulama mazhab
lain, terserah kepada ijtihad hakim dalam melakukan pertimbangan dari berbagai
macam segi kemungkinannya.

c) Mati Taqdiry (mati menurut dugaan).

Mati taqdiry (mati menurut dugaan) adalah sebuah kematian (muwaris)


berdasarkan dugaan keras, misalnya dugaan seorang ibu hamil yang dipukul
perutnya atau dipaksa minum racun. Ketika bayinya lahir dalam keadaan mati,

7
maka dengan dugaan keras kematian itu diakibatkan oleh pemukulan terhadap
ibunya.

2. Waris (ahli waris), yaitu orang yang dinyatakan mempunyai hubungan


kekerabatan baik hubungan darah (nasab), hubungan sebab semenda atau
perkawinan, atau karena memerdekakan hamba sahaya. Syaratnya adalah
pada saat meninggalnya muwaris, ahli waris diketahui benarbenar dalam
keadaan hidup. Termasuk dalam hal ini adalah bayi yang masih dalam
kandungan (al-haml). Terdapat juga syarat lain yang harus dipenuhi, yaitu:
antara muwaris dan ahli waris tidak ada halangan saling mewarisi.

3. Maurus atau al-Miras, yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi


biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, dan pelaksanaan wasiat.

2.2 Bagian-bagian dari Ashabul Furudh

a. Landasan Hukum

Yang termasuk ashabul furudh ada sebelas orang. Mereka adalah : suami, istri
satu orang atau lebih, ibu, ayah, kakek, nenek satu orang atau lebih, anak
perempuan, putri anak laki-laki (cucu wanita dari anak laki), saudari kandung,
saudari satu ayah, saudara satu ibu baik laki maupun wanita.

Ketentuan mengenai bagian dari masing-masing ashabul furudh telah diatur


dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11 dan 12 yang artinya :

11. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-


anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang
anak perempuan[272]; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua[273],
maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua
orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya

8
mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang
tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang
lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

12. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para
isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak
mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau
seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua
jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi
wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak
memberi mudharat (kepada ahli waris)[274]. (Allah menetapkan yang demikian itu
sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Penyantun.

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: ‘Allah memberi


fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seseorang meninggal dunia, dan ia
tidak mempunyai anak dan saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang
perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang
lelaki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak;
tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu
terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara

9
lelaki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum
ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat, dan Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.” (An-Nisa’: 176)

Sedangkan Sunnah Rasulullah, maka sebagaimana sabda beliau :

َ‫يَ ِأل َ ْولَىَ َر ُجلََذَكَر‬


ََ ‫أ َ ْل ِحقُواَا ْل َف َرائِضَََ ِبأ َ ْه ِلهَاَفَ َماَبَ ِق‬

Artinya :

“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3)

kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa adalah untuk ahli waris
lelaki yang paling kuat (berhak).” (HR. Al-Bukhari, no. 6733, dari sahabat
Abdullah bin Abbas)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di t berkata: “Ayat-ayat tersebut (An-


Nisa’: 11-12, pen.) dan ayat terakhir dari surat An-Nisa’ merupakan ayat-ayat
yang mengandung sistem waris Islam. Sesungguhnya ayat-ayat tersebut dan hadits
Abdullah bin Abbas c yang terdapat dalam Shahih Al-Bukhari:

َ‫يَ ِأل َ ْولَىَ َر ُجلََذَكَر‬


ََ ‫أ َ ْل ِحقُواَا ْل َف َرائِضَََبِأ َ ْه ِلهَاَفَ َماَبَ ِق‬

Artinya :

“Berikanlah bagian/jatah waris yang Allah tentukan (1/2, 1/3, ¼, 1/6, 1/8, 2/3)

kepada para pemiliknya, sedangkan apa yang tersisa untuk ahli waris lelaki yang
paling kuat (berhak).”

Mencakup mayoritas bahkan semua hukum waris sebagaimana yang akan anda
lihat nanti, kecuali jatah waris nenek. Akan tetapi telah ditetapkan dalam beberapa
kitab Sunan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah dan Muhammad bin
Maslamah bahwa Nabi n telah memberi nenek jatah waris 1/6 (seperenam),
seiring dengan adanya ijma’ ulama dalam masalah tersebut.” (Taisir Al-
Karimirrahman, hal. 132)

10
Hal serupa dinyatakan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t dalam
Tashilul Faraidh (hal. 6) dan Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan
hafizhahullah dalam At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah
(hal. 8). Hanya saja dalam pernyataan Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-
Sa’di t terdapat penyebutan ijma’ yang juga merupakan dasar pijakan dalam
masalah waris.

Keterangan:

[272]. Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-
laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan
memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34).
[273]. Lebih dari dua maksudnya: dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan
Nabi.

[274]. Memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan seperti:


a. Mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.

b. Berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. Sekalipun kurang dari


sepertiga bila ada niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.

b. Bagian Ashabul Furudh

Secara umum, teknik pembagian waris ada dua macam yaitu secara Fardhu dan
secara Ta’shib. Pembagian waris secara Fardhu adalah pembagian waris dimana
telah ditentukan bagian untuk seseorang secara pasti, sedangkan pembagian waris
secara Ta’shib adalah pembagian waris dimana bagian seseorang itu belum pasti
dalam artian bagiannya baru diketahui setelah pembagian kepada ahli waris yang
lain diselesaikan. Diantara para ashabul furudh terdapat beberapa pihak yang
mewaris secara Fardhu, Ta’shib ataupun gabungan dari keduanya (mewaris secara
fardhu dan ta’shib. Berikut akan diuraikan mengenai bagian masing-masing
ashabul furudh.

1. Bagian Waris Suami

11
1.1. Suami mendapat jatah waris setengah dari peninggalan istrinya jika si istri
tidak memiliki keturunan, yang dimaksud keturunannya adalah: “anak-anaknya,
baik itu putra maupun putri, cucu dari putranya sampai kebawah” adapun cucu
dari putri mereka termasuk dari keturunan yang tidak mendapat waris.

1.2. Suami mendapat jatah waris seperempat dari istrinya jika si istri memiliki
keturunan, baik itu keturunan darinya ataupun dari suami lain. Adapun keturunan
yang tidak mewarisi, seperti anak perempuan dari anak perempuan, maka dia
tidak mengurangi bagian suami atau isteri.

2. Bagian Waris Istri

2.1. Seorang istri mendapat seperempat dari peninggalan suaminya jika si suami
tidak memiliki keturunan.

2.2. Istri mendapat waris seperdelapan dari suami jika dia (suami) memiliki
keturunan, baik itu darinya ataupun dari istrinya yang lain.

Adapun Isteri yang ditalak (diceraikan) dengan talak raj’ie itu mewarisi dari
suaminya apabila suami mati sebelum habis masa iddahnya. Orang-orang
Hambali berpendapat bahwa isteri yang ditalak sebelum dicampuri oleh suami
yang mentalaknya di waktu sakit yang menyebabkan kematian, kalau suami mati
karena sakit, sedang isteri belum menikah lagi, maka isteri itu mendapat warisan.
Demikian pula bila isteri yang ditalak yang telah dicampuri oleh suami yang
mentalaknya, selama dia belum menikah lagi, dan berada dalam masa ‘iddah
karena kematian suami.

3. Bagian Waris Ibu

3.1. Ibu mendapat sepertiga peninggalan dengan tiga syarat: Mayit tidak memiliki
keturunan, tidak adanya sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.

3.2. Ibu mendapat jatah seperenam: jika mayit memiliki keturunan, atau adanya
sejumlah saudara, baik laki-laki maupun wanita.

12
3.3. Mengambil sepertiga dari sisa harta bila tidak ada orang-orang yang telah
disebutkan tadi sesudah bagian seorang suami-isteri. Yang demikian itu terdapat
dalam dua masalah yang dinamakan gharraiyyah, yaitu Pertama: Bila si mayit
meninggalkan suami dan dua orang tua. Kedua : Bila si mayit meninggalkan isteri
dan dua orang tua.

4. Bagian Waris Ayah

4.1. Ayah mendapat waris seperenam secara fardhu dengan syarat adanya
keturunan laki-laki bagi si mayit, seperti putra ataupun cucu dari putranya.

4.2. Ayah mendapat waris sebagai ta’shib/ashabah jika si mayit tidak memiliki
keturunan. Dengan demikian, maka ayah mengambil semua peninggalan bila ia
sendirian, atau sisa dari ashabul furudh jika ia bersama seseorang dari mereka.

4.3. Ayah mendapat waris dengan jalan fardhu dan ta’shib sekaligus jika terdapat
keturunan mayit yang wanita, seperti: putrinya atau putri dari putranya (cucu),
dalam keadaan ini ayah berhak mendapat seperenam sebagai fardhu dan juga
mendapatkan sisa harta sebagai ashabah.

Yang perlu diingat sehubungan dengan keberadaan ayah selaku ahli waris
adalah bahwa kedudukan saudara-saudara kandung baik satu ayah ataupun satu
ibu, seluruhnya jatuh (tidak mendapat waris) dengan keberadaan ayah atau kakek.

5. Bagian Waris Kakek

Kakek ada yang shahih dan ada yang fasid. Kakek yang shahih ialah kakek
yang nasabnya dengan mayit tidak diselingi oleh perempuan, misalnya ayah dari
ayah. Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya dengan si mayit diselingi oleh
perempuan, misalnya ayah dari ibu. Kakek yang shahih mendapatkan waris
menurut ijma’.

Hak waris kakek yang shahih itu gugur dengan adanya ayah; dan bila ayah
tidak ada, maka kakek shahih yang menggantikannya, kecuali dalam tiga masalah:

13
1. Ibu dari ayah itu tidak mewarisi bila ada ayah, sebab ibu dari ayah itu
gugur dengan adanya ayah dan mewarisi bersama kakek.

2. Apabila si mayit meninggalkan ibu-bapak dan seorang dari suami-isteri,


maka ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta sesudah bagian salah
seorang dari suami-isteri. Adapun bila kakek menggantikan ayah, maka
ibu mendapatkan sepertiga dari semua harta. Masalah ini dinamakan
masalah ‘Umariyah, karena masalah ini diputuskan oleh ‘Umar. Masalah
ini juga dinamakan gharraaiyyah karena terkenalnya bagai bintang pagi.
Akan tetapi Ibnu ‘Abbas menentang hal itu, dan katanya: “Sesungguhnya
ibu mendapatkan sepertiga dari keseluruhan harta ; karena firman Allah :
‘dan bagi ibunya itu sepertiga'”.

3. Bila ayah didapatkan, maka terhalanglah saudara-saudara laki-laki


perempuan sekandung, dan saudara-saudara laki-laki serta saudara-saudara
perempuan sebapak. Adapun kakek, maka mereka tidak terhalang olehnya.
Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad dan Malik.
Sedang Abu Hanifah berpendapat bahwa kakek menghalangi sebagaimana
ayah menghalangi mereka, tidak ada perbedaan antara kakek dan ayah.
Undang-undang Warisan Mesir telah mengambil pendapat yang pertama,
dimana dalam pasal 22 terdapat ketentuan berikut :

a) Kakek akan mendapat waris seperenam secara fardhu dengan dua


syarat:adanya keturunan mayit, tidak adanya ayah.
b) Kakek akan mewarisi sebagai ashobah jika mayit tidak memiliki
keturunan, atau tidak ada ayah.
c) Kakek akan mewarisi dengan fardhu dan ta’shib bersamaan ketika ada
keturunan mayit yang wanita, seperti putri dan putrinya putra (cucu).
6. Bagian Waris Nenek

Bagi nenek yang shahih (nenek yang nasabnya dengan si mayit tidak diselingi
oleh kakek yang fasid. Adapun Kakek yang fasid ialah kakek yang nasabnya

14
dengan si mayit diselingi oleh perempuan, seperti ayah dari ibu) ada tiga
ketentuan :

6.1. Nenek yang berhak untuk mendapat waris: adalah ibunya ibu, ibunya ayah,
ibunya kakek dan begitulah seterusnya dengan asal wanita, dua orang dari arah
ayah dan satu dari arah ibu.

6.2. Secara mutlak tidak ada jatah waris untuk seluruh nenek jika ada ibu,
sebagaimana pula tidak ada waris secara mutlak untuk kakek ketika ada ayah.

6.3. Waris yang didapat oleh satu orang nenek ataupun lebih adalah seperenam
(mutlak) dengan syarat tidak ada ibu.

7. Bagian Waris anak-anak putri

7.1. Satu orang putri ataupun lebih akan mendapat waris dengan ta’shib jika ada
bersama mereka saudara laki-laki, dengan hitungan untuk laki-laki seperti jatah
dua orang wanita.

7.2. Seorang putri mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak adanya
muasshib baginya, yaitu saudara laki-lakinya, tidak ada yang menyertainya, yaitu
saudarinya yang lain.

7.3. Dua orang putri ataupun lebih berhak mendapat waris dua pertiga dengan
syarat jumlah mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib bagi mereka, yaitu
saudara laki-laki mereka.

8. Bagian Waris Cucu Perempuan (Anak Perempuan Dari Anak Laki-Laki)

8.1. Seorang cucu perempuan dari anak laki ataupun lebih dari satu akan
mendapat waris sebagai ta’shib jika ada bersamanya saudara laki-laki mereka
yang sederajat dengannya, yaitu putranya putra (cucu laki).

8.2. Cucu perempuan mendapat waris setengah harta dengan syarat tidak ada
muasshibnya, yaitu saudara laki-lakinya. Atau dalam hal tidak ada yang
menyertainya, yaitu saudarinya yang lain, atau tidak ada keturunan mayit yang
lebih tinggi derajatnya, seperti putra ataupun putri mayit.

15
8.3. Dua orang cucu perempuan ataupun lebih akan mendapat waris dua pertiga
dengan syarat jumlah mereka dua orang atau lebih. Atau dengan tidak adanya
muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, ataupun tidak adanya keturunan
yang derajatnya lebih tinggi dari mereka.

8.4. Satu orang atau lebih dari cucu perempuan mendapat waris seperenam dengan
syarat tidak adanya muasshib mereka, yaitu saudara laki-laki mereka, tidak ada
keturunan mayit yang lebih tinggi derajat darinya kecuali satu orang putri yang
berhak mendapat setengah harta peninggalan, karena mereka tidak akan
mengambil seperenam kecuali dengan keberadaannya, begitu pula hukumnya
dengan putrinya cucu bersama cucu perempuan dari anak laki, dst.

9. Bagian Waris Saudari Kandung

9.1. Seorang saudari kandung mendapat waris setengah dari harta dengan syarat
tidak ada yang menyertainya dari saudari lainnya, tidak ada muasshib, yaitu
saudaranya, tidak ada asli waris, yaitu ayah atau kakek si mayit, tidak ada
keturunan.

9.2. Beberapa saudari kandung mendapat bagian dua pertiga dengan syarat jumlah
mereka dua orang atau lebih, mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asal waris
yang pria, tidak ada muasshib mereka, yaitu saudara mereka.

9.3. Seorang saudari kandung ataupun lebih akan menjadi ashobah jika ada
bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki, dengan pembagian untuk laki-
laki sama dengan dua bagian wanita, atau ketika mereka bersama keturunan mayit
yang wanita seperti putri mayit.

10. Bagian Waris Saudari se-Ayah

10.1. Saudari satu ayah mendapat bagian setengah harta dengan syarat tidak ada
yang menyertainya dari saudari selainnya, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-
lakinya, tidak ada asal waris dari laki-laki, tidak ada keturunan mayit, tidak ada
saudara kandung, baik laki-laki maupun wanita.

16
10.2. Saudari satu ayah berhak mendapat dua pertiga bagian dengan syarat jumlah
mereka dua orang atau lebih, tidak ada muasshib, yaitu saudara laki-laki mereka,
tidak ada asli waris laki, tidak ada keturunan, tidak ada saudara kandung, baik
laki-laki maupun wanita.

10.3. Seorang saudari satu ayah atau lebih akan mendapat bagian seperenam
dengan syarat adanya seorang saudari kandung mayit yang mendapat bagian
setengah dengan fardhu, tidak ada muasshib baginya, tidak ada keturunan mayit,
tidak ada asli waris laki-laki, tidak ada saudara kandung, baik itu satu orang
ataupun lebih.

10.4. Seorang saudari satu ayah ataupun lebih akan mendapat waris sebagai
ta’shib jika ada bersama mereka muasshibnya, yaitu saudara laki-laki mereka,
maka pembagiannya untuk satu orang laki-laki sama dengan dua orang wanita,
atau mungkin juga jika mereka ada bersama keturunan mayit yang wanita, seperti
putri mayit.

11. Bagian Waris Saudara Se-Ibu

11.1. Saudara satu ibu, baik laki-laki maupun wanita mendapat bagian seperenam
dengan syarat si mayit tidak memiliki keturunan, tidak ada asli waris yang laki-
laki, atau dia hanya satu orang (tidak ada saudara se-ibu lainnya).

11.2. Saudara satu ibu, baik itu laki-laki ataupun wanita mendapat bagian
sepertiga dengan syarat jumlah mereka lebih dari satu orang, mayit tidak memiliki
keturunan, atau tidak ada asli waris yang laki-laki.

Sebagai catatan, saudara satu ibu tidak dibedakan antara laki-laki dan
wanitanya, laki-laki mereka tidak menta’shibkan wanitanya, bahkan mereka
mendapat bagian dengan merata (sama).

17
Bab III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Sebagian ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya:


a) Ilmu Faraidh adalah ilmu yang membahas tentang cara pembagian
harta warisan orang yang meninggal kepada ahli warisnya.
b) Ilmu Faraidh adalah ilmu yang membahas tentang orang yang berhak
mendapat harta warisan dan orang yang tidak berhak mendapatkan
harta warisan, dan kadar bahagian yang didapat ahli waris itu.
2. Yang termasuk ashabul furudh ada sebelas orang. Mereka adalah : suami,
istri satu orang atau lebih, ibu, ayah, kakek, nenek satu orang atau lebih,
anak perempuan, putri anak laki-laki (cucu wanita dari anak laki), saudari
kandung, saudari satu ayah, saudara satu ibu baik laki maupun wanita.
Ketentuan mengenai bagian dari masing-masing ashabul furudh telah
diatur dalam al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 11 dan 12.

3.2 Kritik dan Saran

“Dalam penyusunan makalah ini tentu masih banyak salah dan kurangnya.
Untuk itu demi kemajuan dan perbaikan kedepan penulis mengharap saran dan
kritiknya.”

18
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan terjemahannya

Ahmad Azhar Basyir, Hukum waris Islam, 1999, Ekonesia Fakultas Hukum UII,
Yogyakarta.

Ahmad Zahari, Tiga Versi Hukum Kewarisan Islam: Syafi’i, Hazairin dan KHI,
2003, Romeo Grafika, Pontianak.

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam, tanpa
tahun, Mutiara Ilmu, Surabaya.

Pengertian Ilmu Faraidh secara bahasa dan istilah,


http://hawayahalwa.blogspot.com/2014/04/pengertian-ilmu-faraidh-secara-
bahasa.html

19

Anda mungkin juga menyukai