Anda di halaman 1dari 17

PENGHALANG KEWARISAN

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur

Mata Kuliah : Fiqih Mawarits

Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Syatori, M.Ag

Disusun Oleh :

Reyza Faishal Hilmy 2108101171

Meisyanti Ilmi Lativy 2108101173

Lula Idealis Maulidina 2108101183

PAI 5/E

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SYEKH NURJATI


CIREBON

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Penghalang Kewarisan” ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam semoga
tercurah limpahkan pada baginda tercinta yakni Nabi besar Muhammad SAW
beserta keluarga nya, kepada sahabatnya hingga sampailah kepada kita sebagai
umatnya semoga mendapatkan syafaat di yaumul akhir Amin ya robbal a’lamiin.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas kelompok dari Bapak dosen Dr. Ahmad Syatori, M.Ag pengampu mata kuliah
Fiqih Mawarits. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang topik “Penghalang Kewarisan”.

Penyusunan makalah ini tentu tak lepas dari campur tangan berbagai pihak
yang telah membantu menyusun makalah ini. Oleh karena itu kami ucapkan banyak
terima kasih yang sebesar-besarnya. Dan Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini tentu banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian demi kesempurnaan
makalah ini.

Cirebon, 16 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I .......................................................................................................................1

PENDAHULUAN ...................................................................................................1

A. Latar Belakang ..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah .........................................................................................2

C. Tujuan Masalah .............................................................................................2

BAB II ......................................................................................................................3

PEMBAHASAN ......................................................................................................3

A. Rukun Mawarits ............................................................................................3

B. Sebab Mendapatkan Warisan ........................................................................3

C. Penghalang Kewarisan ..................................................................................6

BAB III ..................................................................................................................13

PENUTUP ..............................................................................................................13

Kesimpulan ............................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam adalah salah satu bagian penting dari hukum positif di
Indonesia, disamping juga menjadi salah satu komponen dari hukum positif
itu sendiri. Salah satu komponen hukum yang menjadi bagian dari hukum
Islam adalah hukum kewarisan. Warisan adalah merupakan sebab pokok
dalam memiliki harta, masalah waris merupakan perkara perdata yang
mempunyai kompleksitas permasalahan dalam masyarakat. Hal itu
dikarenakan menyangkut hukum personal dan berkaitan dengan harta benda
seseorang.
Hukum kewarisan pada dasarnya Islam secara keseluruhan. Hukum
kewarisan merupakan terjemahan dari fiqh mawaris yang berarti peralihan
harta dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
Pembagian itu lazim disebut dengan faraidh artinya bagian tertentu yang
dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Proses pemindahan harta terlaksana apabila terpenuhi unsur- unsurnya.
Adapun unsur-unsurnya adalah : adanya pewaris, harta warisan dan ahli
waris.
Pewaris yaitu seseorang yang telah meninggal dunia dan
meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarga yang masih
hidup. Sedangkan harta warisan adalah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya. Ahli
waris adalah orang yang berhak atas harta yang ditinggalkan oleh pewaris.
Hubungan kewarisan antara seseorang dengan orang lain
disebabkan oleh dua faktor, yaitu adanya hubungan darah atau kekerabatan
dan adanya hubungan perkawinan. Hubungan kekerabatan ialah orang yang
mempunyai hubungan kerabat melalui nasab (sedarah). Sebab memperoleh
hak kewarisan yang paling terkuat adalah hubungan kekerabatan, karena

1
kekerabatan termasuk unsur causalitas seseorang yang tidak dapat
dihilangkan pada diri seseorang.
Hal ini tidak dapat dibantah, karena anak tersebut keluar dari rahim
ibu. Hubungan darah ini bersifat alamiah dan berlaku sejak awal adanya
manusia. Dengan berlakunya hubungan kerabat antara seorang anak dengan
ibunya, berlaku pula hubungan darah dari orang-orang yang lahir dari ibu
yang sama. Artinya bahwa di antara sesama saudara seibu mempunyai
hubungan darah, hal ini yang menyebabkan mereka saling berhubungan
kewarisan. Selanjutnya hubungan kekerabatan juga berlaku antara
seseorang yang lahir dengan laki-laki yang menyebabkan ia lahir yang
disebut dengan ayah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja rukun dalam waris?
2. Apa sebab-sebab mendapatkan warisan?
3. Apa saja penghalang warisan?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memahami rukun mawarits.
2. Untuk mengetahui dan memahami sebab-sebab mendapatkan warisan.
3. Untuk mengetahui dan memahami penghalang warisan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rukun Waris
Rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian
harta waris, dimana bagian harta waris tidak akan didapatkan bila tidak ada
rukunrukunnya. Rukun-rukun untuk mewarisi ada tiga yaitu:
1. Al-Muwarriṡ (pewaris), yaitu orang yang meninggal dunia baik secara
hakiki (sebenarnya) maupun ḥukmī (suatu kematian yang dinyatakan oleh
keputusan hakim) seperti mafqūd (orang yang hilang).
2. Al-Wāriṡ (ahli waris), yaitu orang yang hidup ketika pewaris meninggal
dan merupakan orang yang berhak mendapatkan warisan meskipun
keberadaannya masih dalam kandungan atau orang yang hilang.
3. Al-Maurūṡ (harta warisan), yaitu harta benda yang menjadi warisan.
Termasuk juga harta-harta atau hakhak yang mungkin dapat diwariskan,
seperti hak qiṣaṣ (perdata), hak menahan barang yang belum dilunasi
pembayarannya, dan hak menahan barang gadaian.
Inilah tiga rukun waris. Jika salah satu dari rukun tersebut tidak ada,
waris mewarisi tidak dapat dilaksanakan. Jika seorang meninggal dunia
namun tidak memiliki ahli waris, atau ada ahli waris tapi tidak ada harta
yang ditinggalkan, maka waris mewarisi tidak bisa dilakukan, karena tidak
memenuhi rukun waris.
B. Sebab-sebab Mendapatkan Warisan
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah tidak serta
merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab yang
menghubungkan penerima dengan orang yang mati.
Ada beberapa ketentuan yang menyebabkan seseorang memiliki hak
untuk saling mewarisi. Beberapa ketentuan tersebut terdiri atas tiga sebab.
yaitu:
a. Nasab atau kekerabatan.

3
Hubungan ini dikenal juga dengan nasab hakiki, yaitu
hubungan keluarga atau orang yang mewarisi dengan orang yang
diwarisi. Seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya. Hal ini ditegaskan dalam surah Al-anfal ayat 75 :
َٰٓ
َ‫وا‬ ِ ‫ُواَمع ُك ْمَفأ ُ ۟و َٰلئِك‬
۟ ُ‫َمن ُك ْمََۚوأ ُ ۟ول‬ ۟ ‫واَو َٰجهد‬ ۟ ‫َم ۢنَب ْعدَُوهاج ُر‬ ِ ‫وا‬ ۟ ُ‫ِينَءامن‬
َ ‫وَٱلَّذ‬
َۢ ‫ّللَبِ ُك ِلَش ْىءٍ َع ِل‬
‫يم‬ ََّ ‫ّللََۗإِ َّنَٱ‬ ِ ‫ضَفِىَ ِك َٰت‬
ََِّ ‫بَٱ‬ ٍ ‫ض ُه ْمَأ ْول َٰىَبِب ْع‬ َِ ‫ٱ ْْل ْرح‬
ُ ‫امَب ْع‬
"orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." (Q.S. al- Anfal:75).

b. Perkawinan yang terjadi dengan akad yang sah.


Hubungan perkawinan sebagai penyebab pewarisan
sebagaimana termuat dalam surah an-Nisa' ayat 11, adalah
perkawinan yang sah menurut agama, yaitu perkawinan yang telah
memenuhi syarat dan rukun seperti yang diatur dalam ajaran Islam,
baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli, disamping itu,
perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh Pengadilan Agama,
karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan
yang tidak sah.1 Oleh karena itu, bila salah seorang meninggal
diantara suami-istri maka mereka saling mewarisi. Tidak termasuk
dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun
adanya hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat saling
mewarisi, dan anak yang dilahirkan akibat perzinahan tidak
mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan mendapatkan dari
ibunya.
Perkawinan itu dalam posisi :

1 Fathurrahman, Ilmu Waris, hlm.114

4
1) Pemberi waris meninggal dalam keadaan perkawinan masih
utuh tidak dalam peceraian yang ba’in shugra’. Dalam posisi ini
suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya
perkawinan semata-mata dengan matinya salah seorang suami-
istri.
2) Perkawinan telah terputus, tetapi antara suami dan istri masih
dalam masa iddah (masa tunggu yang dibolehkan suami kembali
kepada istri dengan tidak membuat akad baru), yang itu disebut
dengan thalaq raj’iy, yaitu masqa dimana suami dapat merujuk
kepada istri tanpa membuat akad baru, saksi, wali dan tanpa izin
istri tersebut. Dari itu, apabila pada saat itu salah seorang
meninggal maka hak saling mewarisi telah habis dengan sebab
iddah tersebut telah habis.2

c. Memerdekakan Budak
Hukum ini mungkin terjadi pada zaman dahulu di zaman
perbudakan. Dalam fikih islam hubungan ini diistilahkan dengan
wala'. Seseorang yang telah memerdekakan budak. jika budak itu
telah merdeka dan memiliki kekayaan jika ia mati yang
membebaskan budak berhak mendapatkan warisan. Akan tetapi, jika
yang mati adalah yang membebaskannya, budak yang telah bebas
tersebut tetap tidak berhak mendapat warisan. Sebagaimana hadits
berbunyi, "Hak wala' itu hanya bagi orang yang telah membebaskan
hamba sahayanya. "(H.R. Bukhari dan Muslim).

d. Islam.
Seorang muslim yang meninggal dunia namun tak memiliki
ahli waris yang memiliki sebab-sebab di atas untuk bisa

2 Ibid, hlm. 115

5
mewarisinya maka harta tinggalannya diserahkan kepada baitul
maal untuk dikelola demi kemaslahatan umat Islam.

C. Penghalang Kewarisan
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi Ahli
Waris untuk mendapatkan hak warisnya (baik secara keseluruhan ataupun
sebagian besarnya), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab waris.3
Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan tetapi oleh karena
ada suatu keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta warisan.
Penghalang Waris secara garis besar terbagi menjadi dua:
a. Penghalang Waris Pertama
Penghalang dalam bentuk sifat/kriteria tertentu yang dapat
menghalangi Ahli Waris dari jatah warisnya secara keseluruhan.
Penghalang jenis ini bisa menimpa seluruh Ahli Waris tanpa
terkecuali4, yang dalam Ilmu al-Faraidh dikenal dengan istilah
Mawani'ul Irtsi (Penghalang-Penghalang Waris). Adapun rincian
Penghalang-Penghalang Waris jenis ini adalah sebagai berikut:
1) Perbudakan:
Seorang yang berstatus budak tidaklah bisa mewarisi, karena dia dan
hartanya menjadi milik tuannya. Tidak adanya hak milik bagi
seseorang merupakan penghalang syari baginya untuk mendapatkan
harta waris. Jika si budak tersebut mendapatkan harta waris, maka
harta waris itu akan menjadi milik tuannya, padahal si tuan tersebut
bukan bagian dari Ahli Waris si mayit. Atas dasar itulah, jika
seorang mayit Muslim meninggalkan seorang anak Muslim yang
berstatus budak dan seorang cucu Muslim dari kalangan merdeka,
maka yang mewarisi hartanya adalah sang cucu walaupun ada

3 Al-Khulashah Fillmil Faraidh, hlm. 45

4 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003),1101

6
bapaknya. Mengapa? Karena si bapak statusnya masih budak dan
budak tidak bisa mewarisi, sedangkan sang cucu dari kalangan
merdeka.5

2) Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan terhadap pemilik harta waris
(Muwarrits): Jika seorang Ahli Waris membunuh Muwarrits-nya,
maka si pembunuh tersebut tidak berhak mendapatkan harta waris
darinya.
Gambaran kasusnya adalah seorang anak (Ahli Waris)
membunuh bapaknya (pemilik harta waris), maka si anak tersebut
tidak berhak mendapatkan harta waris yang ditinggalkan bapaknya.
Di antara hikmah dari ketentuan di atas adalah mencegah
bermudahannya Ahli Waris dari perbuatan keji tersebut, hanya
karena untuk mendapatkan harta waris.
Hal ini didasarkan kaidah fikih yang berbunyi: "Orang yang
menyegerakan sesuatu sebelum waktunya, maka diberi sanksi untuk
tidak mendapatkannya". Syaikh Muhammad bin Shalih Al-
Utsaimin rahimahullah mengatakan: "Dan setiap orang yang
menyegerakan sesuatu yang diharamkan, maka hendaknya ia
dicegah."
Kaidah ini adalah kaidah yang sudah maruf yang seringkali
digunakan oleh para ulama. Di antara contoh penerapan kaidah ini
adalah:
➢ Barang siapa yang membunuh orang yang (sebenarnya bisa)
mewariskan harta kepadanya, maka ia tidak mendapatkan

5 At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, him. 46 dan Tashilul Faraidh, hml.

28

7
warisannya. Hal ini dikarenakan ia telah menyegerakan
sesuatu sebelum waktunya.
➢ Orang yang minum khamer (minuman keras) ketika di dunia,
maka ia tidak akan minum khamer ketika di akhirat kelak.
Padahal khamer di akhirat itu tidak memabukan. Hal ini
sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad
Shallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Membunuh pewaris berarti menyegerakan kematian si


pewaris dengan maksud untuk segera mendapat warisannya.
Akan tetapi justru hukum melarang apa yang ingin
disegerakannya yaitu dengan tidak diberikan hak mendapat
warisan kepadanya. Lalu apakah setiap jenis pembunuhan dapat
menghalangi seseorang dari jatah warisnya? Para ulama berbeda
pendapat dalam permasalahan ini. Namun menurut Asy-Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah dan Asy-
Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, bahwa
pembunuhan yang menyebabkan terhalangnya seseorang dari
jatah warisnya adalah pembunuhan yang bersifat Bighairil Haq
(tidak dibenarkan secara syari). yaitu pembunuhan yang
mengakibatkan Qishash, membayar Diyat (Tebusan), atau
membayar kafarah, seperti misalnya:

a) Pembunuhan dengan sengaja (Qatlul ‘Amd)


b) Pembunuhan semi sengaja (Syibhul ‘Amd)
Contohnya seseorang memukul orang lain dengan
menggunakan sandal, kemudian mati. Disebut semi
sengaja, karena di satu sisi sengaja memukul orang
tersebut, namun di sisi lain tidak berniat untuk
membunuhnya.
c) Pembunuhan karena kekeliruan (Khatha’an)

8
Contohnya seseorang membidikkan tembakan ke arah
rusa, namun ternyata tembakan tersebut justru mengenai
orang yang kebetulan sedang melintas di jalan tidak jauh
dari rusa tersebut, hingga mati. Disebut keliru karena
tidak ada niatan untuk membunuhnya, dan tidak ada
upaya sama sekali untuk melakukan sesuatu terhadap
orang tersebut.6
Dikecualikan darinya adalah pembunuhan Bil Haq (dengan
cara yang dibenarkan secara syari), misalnya seorang eksekutor
yang ditugasi Waliyul Amr (Pemerintah) untuk mengeksekusi
seorang pembunuh sebagai bentuk qishash (balasan bunuh)
baginya. seseorang yang membela diri hingga mengakibatkan
terbunuhnya si pelaku aniaya tersebut.

3) Perbedaan Agama
Perbedaan agama antara pemilik harta waris (Muwarrits)
dengan Ahli Warisnya.
Gambaran kasusnya: Si mayit yang meninggalkan harta
waris adalah seorang Muslim, sedangkan Ahli Warisnya non-
Muslim (kafir). Atau sebaliknya, si mayit yang meninggalkan harta
waris adalah seorang non-Muslim (kafir), sedangkan Ahli Warisnya
seorang Muslim. Menurut Jumhur (Mayoritas) Ulama, masing-
masingnya tidak bisa saling mewarisi. Karena secara tinjauan syari,
hubungan di antara mereka telah terputus.

Dalilnya adalah firman Allah ta'ala kepada Nabi Nuh


alaihisalam:

6 Abdullah al-Abbady, Syarah Bida>yat al-Mujtahid wa Niha>yatal-Muqtas}id, Jilid 4

(Kairo: Dar al-Salam, 1995), 2090

9
َ ‫ح فَ ََل تَسْـَٔ ْل ِن َما لَي‬
‫ْس‬ ٍ ‫صا ِل‬
َ ‫غي ُْر‬ َ ‫ع َم ٌل‬َ ٗ‫ْس ِم ْن اَ ْهلِكَ ۚاِنَّه‬ َ ‫قَا َل ٰينُ ْو ُح اِنَّهٗ لَي‬
َ‫ظكَ اَ ْن تَ ُك ْونَ ِمنَ ْالجٰ ِه ِليْن‬ ْْٓ ِ‫لَكَ ِب ٖه ِع ْل ٌم ۗاِن‬
ُ ‫ي اَ ِع‬
"Allah berfirman: "Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk
keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya
(perbuatan) dia adalah perbuatan yang tidak baik." Q.S Hud: 46
Demikian pula sabda Rasulullah: "Tidaklah seorang Muslim
mewarisi seorang non-Muslim (kafir) dan tidak pula seorang non-
Muslim (kafir) mewarisi seorang Muslim." (HR. Al-Bukhari no.
6383 dan Muslim no. 1614, dari hadits Usamah bin Zaid
radhiyallahu anhu).7
Namun apabila si Ahli Waris yang tadinya kafir kemudian
masuk Islam sebelum harta dibagi, maka si Ahli Waris yang mualaf
ini berhak mendapatkan warisan. Jadi apabila pada waktu
Muwarrits meninggal dunia ada ahli waris yang berbeda agama,
kemudian sebelum harta warisan dibagi-bagi si Ahli Waris masuk
Islam, maka dia berhak mendapat warisan.
4) Wanita yang sudah ditalak (raj’i) habis masa iddahnya.
5) Wanita yang ditalak tiga (Talak Bain Qubro) tidak bisa rujuk lagi.
6) Anak angkat
Sifatnya dua arah: Orang tua angkat tidak bisa mewarisi dari anak
angkatnya, demikian pula sebaliknya, anak angkat tidak bisa
mewarisi dari orang tua angkatnya.
7) Ibu tiri dan bapak tiri
8) Anak Lian
Lian adalah sumpah seorang suami untuk meneguhkan tuduhannya
bahwa istrinya telah berzina dengan laki-laki lain. Sumpah itu
dilakukan suami karena istrinya telah menyanggah tuduhan

7 At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, him. 53 dan Tashilul Faraidh, him.

31.

10
suaminya itu, sementara suami sendiri tidak memiliki bukti-bukti
atas tuduhan zinanya.
9) Anak hasil zina.

b. Penghalang Waris Kedua


Penghalang dalam bentuk Ahli Waris yang berposisi lebih kuat.
Artinya keberadaan Ahli Waris yang secara posisi lebih kuat itu bisa
menyebabkan terhalangnya Ahli Waris tertentu untuk mendapatkan
hak warisnya, baik secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya.
Proses penghalangan ini dalam Ilmu al-Faraidh dikenal dengan istilah
Hajb. Seorang yang terhalang dari harta warisnya disebut Mahjub,
sedangkan penghalangnya disebut Hajib.
Penghalang jenis ini dibagi menjadi dua :
1. Hajb Hirman (menghalangi secara keseluruhan). Jika
penghalangnya dari jenis pertama ini, maka dapat menghalangi
seorang Ahli Waris dari jatah warisnya secara keseluruhan.
Penghalang jenis ini bisa menimpa semua Ahli Waris kecuali enam
orang: bapak, ibu, anak lelaki, anak perempuan, suami, dan istri.
2. Hajb Nuqshan (menghalangi dari jatah waris yang terbesar). Jika
ada penghalang dari jenis kedua ini, maka dapat menghalangi
seorang Ahli Waris dari jatah warisnya terbesar, sehingga ia
bergeser dari jatahnya yang besar kepada jatahnya yang lebih
sedikit.
Penghalang jenis ini terbagi menjadi tujuh macam :
a. Menghalangi Ahli Waris tertentu dari jatah waris tertentu
(Fardh) dengan menggesernya kepada jatah waris tertentu
(Fardh) yang lebih sedikit. Misalnya, bergesernya suami dari
jatah waris ½ kepada 4. Demikian pula bergesernya satu orang
istri atau lebih dari jatah waris 4 kepada 1/8.
b. Menghalangi Ahli Waris tertentu dengan menggesernya dari
suatu Tashib kepada Tashib yang lebih sedikit. Misalnya.

11
saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan
sebapak yang bergeser dari Ashabah Ma'al Ghair kepada
Ashabah Bil Ghair.
c. Menghalangi Ahli Waris tertentu dengan menggesernya dari
jatah waris tertentu (Fardh) kepada Tashib yang lebih sedikit.
Misalnya, bergesernya jatah waris ½ dari para pemiliknya
kepada Ashabah Bil Ghair.
d. Menghalangi Ahli Waris tertentu dengan menggesernya dari
Tashib kepada jatah waris tertentu (Fardh) yang lebih sedikit.
Misalnya, bergesernya bapak dan kakek dari Tashib kepada
jatah waris tertentu (Fardh).
e. Saling berserikat dalam jatah waris tertentu (Fardh). Misalnya.
berserikatnya para istri pada jatah waris 4 dan 1/8,
berserikatnya para pemilik jatah waris 1/3 dan juga para
pemilik jatah waris 2/3 pada jatah tersebut.
f. Saling berserikat dalam Tashib tertentu, seperti berserikatnya
Ashabah pada suatu harta secara utuh atau pada apa yang
tersisa dari Ashhabul Furudh.
g. Saling berserikat dalam masalah 'aul (masalah 'aul adalah
masalah berlebihnya jumlah jatah/saham Ahli Waris di atas
jumlah Ashlul Mas'alah (Asal masalah), saat proses
penghitungan), di mana masing-masingnya mendapatkan jatah
yang lebih (di atas kertas), namun dalam praktik nyatanya tidak
demikian.8

8 Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 26-27 program Al-Maktabah Asy-

Syamilah II

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penghalang waris adalah sesuatu yang dapat menghalangi Ahli Waris
untuk mendapatkan hak warisnya (baik secara keseluruhan ataupun
sebagian besarnya), meskipun telah terpenuhi padanya sebab-sebab waris.
Pada awalnya seseorang sudah berhak mendapat warisan tetapi oleh karena
ada suatu keadaan tertentu berakibat dia tidak mendapat harta warisan.
Penghalang Waris secara garis besar terbagi menjadi dua:
(1)Penghalang Waris Pertama, Penghalang dalam bentuk sifat/kriteria
tertentu yang dapat menghalangi Ahli Waris dari jatah warisnya secara
keseluruhan. Penghalang jenis ini bisa menimpa seluruh Ahli Waris tanpa
terkecuali, yang dalam Ilmu al-Faraidh dikenal dengan istilah Mawani'ul
Irtsi (Penghalang-Penghalang Waris), (2)Penghalang Waris Kedua,
Penghalang dalam bentuk Ahli Waris yang berposisi lebih kuat. Artinya
keberadaan Ahli Waris yang secara posisi lebih kuat itu bisa menyebabkan
terhalangnya Ahli Waris tertentu untuk mendapatkan hak warisnya, baik
secara keseluruhan ataupun sebagian besarnya. Proses penghalangan ini
dalam Ilmu al-Faraidh dikenal dengan istilah Hajb. Seorang yang terhalang
dari harta warisnya disebut Mahjub, sedangkan penghalangnya disebut
Hajib.

13
DAFTAR PUSTAKA

Fathurrahman, Ilmu Waris, hlm.114

Ibid, hlm. 115

Al-Khulashah Fillmil Faraidh, hlm. 45

Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Kairo: Dar al-Hadith, 2003),1101


At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, him. 46 dan
Tashilul Faraidh, hml. 28
Abdullah al-Abbady, Syarah Bida>yat al-Mujtahid wa Niha>yatal-
Muqtas}id, Jilid 4 (Kairo: Dar al-Salam, 1995), 2090

At-Tahqiqat Al-Mardhiyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, him. 53 dan


Tashilul Faraidh, him. 31.

Al-Fawaidul Jaliyyah Fil Mabahits Al-Faradhiyyah, hlm. 26-27 program Al-


Maktabah Asy- Syamilah II.
Muhi bbussabry. (2020). Fikih Mawarits. Medan: Cv. Pusdikra Mitra Jaya.

14

Anda mungkin juga menyukai