Anda di halaman 1dari 10

KONSEP KEWARISAN KAKEK APABILA BERSAMA SAUDARA LAKI-LAKI

SEKANDUNG

MAKALAH

DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT DALAM MATA KULIAH FIQHI MAWARIS

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

DISUSUN OLEH :

DEWI ARIANI

NIM 18410181

INSTITUT AGAMA ISLAM AS’ADIYAH SENGKANG

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Puji dan syukur kehadirat Allah subahanahu wa ta”ala, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Konsep Kewarisan Kakek Apabila Bersama Saudara Laki-laki Sekandung”.
Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah untuk junjungan kita Nabi
Muhammad shallalahu alaihi wasallam beserta keluarga dan sahabatnya hingga akhir zaman,
dengan diiringi upaya meneladani akhlaknya yang mulia.

Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqhi
Mawaris. Semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat dan dapat menambah
wawasan terutama bagi pembaca.

Namun demikian, disadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih terdapat banyak kekurangannya. Kekurangan ini akan diupayakan untuk
terus disempurnakan sesuai dengan kemampuan yang penyusun miliki.

Semoga Allah subahanahu wa ta’ala senantiasa meridhoi segala usaha kita. Aamiin ya
rabbal alamin.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.

Sengkang, Januari 2021

penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................... ii

DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................... 1

A. Latar Belakang.............................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................... 1
C. Tujuan Masalah............................................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................... 2

A. Defenisi Waris ............................................................................................................. 2


B. Dasar Hukum Waris Antara Kakek Dengan Saudara Laki-lakinya............................. 2
C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek Bersama Saudara Sekandungnya..4-5

BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 6

 KESIMPULAN ........................................................................................................... 6
 SARAN ....................................................................................................................... 6

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 7

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih –yakni pendapat jumhur ulama maka
saya perlu mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan
saudara, maka ia mempunyai dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.
kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari
ashhabul furudh, seperti istri atau ibu,atau anak perempuan, dan sebagainya. Ketika
keadaan kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu,
istri, dan anak perempuan. Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-
saudara tanpa ashhabul furudh yang lain, maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal
baginya agar lebih banyak memperoleh harta warisan dari dua pilihan yang ada. Pertama
dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara mendapatkan sepertiga (1/3) harta
warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi kakek, itulah yang
menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara
pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi
haknya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa DefenisWaris?
2. Sebutkan Dasar Hukum Waris Antara Kakek Dengan Saudara Laki-lakinya?
3. Apa Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek Bersama Saudara
Sekandungnya?

C.Tujuan Masalah

1. Memahami Apa Definisi Waris.


2. Menganalisis Dasar Hukum Waris Antara Kakek Dengan Saudara Laki-lakinya.
3. Mengetahui Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek Bersama Saudara
Sekandungnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Waris

Kata Waris dalam bahasa Arab memilliki jama’ waratsah yang berarti ahli waris.1
Ilmu waris biasa juga dikenal dengan ilmu faraidl yang sebagai jamak dari lafad faridloh
yang berarti perlu atau wajib.2 Yang mana bila ditambahkan dengan kata ilmu maka
artinya akan berubah menjadi ilmu menerangkan perkara pusaka.3
Ahli waris dalam Fiqh, dikala terjadi peristiwa kematian, seseoraang yang
meninggal dunia ada kemungkinan pada saat tersebut dia memiliki harta. Kemudian ada
ketentuan syariat bahwa orang yang telah meninggal tidak lagi dikenakan hak maupun
kewajiban. Menurut ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam disaat kematian
telah terjadi perpindahan hak atas hak milik dengan sendirinya. Dinilai dengan realita
sangat jarang sekali pewaris hanya memiliki ahli waris tunggal.
Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak mendapatkan bagian
dari harta peninggalan. Ahli waris menurut Al-Qur’an yang sudah ditentukan didalam Al-
Qur’an disebut dzul fardl. Yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian
tetap tertentu yang tidak berubah-berubah.
B. Dasar Hukum Waris Antara Kakek Dengan Saudara Laki-lakinya

Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris
bagi kakek yang sahih dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu,
mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka
cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Ibnu
Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang
masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang
masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."

1 Mahmud Yunus, “Kamus Arab Indonesia”, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penafsiran Al-Qur’an,
1972), Hlm. 496.
2 Yunus, “Kamus”, Hlm. 313.
3 Muhammad Ali Ash-Shabuniy, “Hukum Waris Islam”, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), Hlm. 48.

2
 Pernyataan yang sama juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib dalam sebuah
Hadist:

"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia


memvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."

Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris
kakek dan saudara itu tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits
Nabi yang menjelaskannya. Dengan demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan
ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat mengkhawatirkan mereka, karena jika
salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya mempunyai hak untuk
menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya tidak
berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang
hak kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.

 Dijelaskan pula sebagai Firman Allah SWT. dalam Surah Al-Anfaal 75.

ٰۤ ُ
‫ب هّٰللا ِ ۗاِ َّن هّٰللا َ بِ ُك ِّل‬
ِ ‫ْض فِ ْي ِك ٰت‬ ٰ ُ ‫ك ِم ْن ُك ۗ ْم َواُولُوا ااْل َرْ َح ِام بَ ْع‬
ٍ ‫ضهُ ْم اَوْ لى بِبَع‬ َ qِ‫ول ِٕٕى‬ ‫َوالَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا ِم ۢ ْن بَ ْع ُد َوهَا َجرُوْ ا َو َجاهَ ُدوْ ا َم َع ُك ْم فَا‬
ࣖ ‫َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬

Artinya : “Dan orang-orang yang beriman setelah itu, kemudian berhijrah dan berjihad
bersamamu maka mereka termasuk golonganmu. Orang-orang yang mempunyai
hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) menurut Kitab Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu.”(QS. Al-Anfaal (8): 75)4

:Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam Surah An-Nisa’ (4) 33

‫َص ْيبَهُ ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ ع َٰلى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِه ْيدًا‬


ِ ‫َت اَ ْي َمانُ ُك ْم فَ ٰاتُوْ هُ ْم ن‬
ْ ‫ك ْال َوالِ ٰد ِن َوااْل َ ْق َربُوْ نَ ۗ َوالَّ ِذ ْينَ َعقَد‬
َ ‫َولِ ُك ٍّل َج َع ْلنَا َم َوالِ َي ِم َّما تَ َر‬

Artinya : “Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan
para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib
kerabatnya. Dan orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka

4 Al-Qur’an dan Terjemahannya, Juz 10, 274.

3
berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala
sesuatu.” (QS. Surah An-Nisa’ (4) 33).

C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek Bersama Saudara


Sekandungnya
Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan
dengan saudara sekandungnya, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para
sahabat Rasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua mazhab.

1. Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat ini diikuti
oleh mazhab Hanafyah:
mereka menyatakan bahwa para saudara baik saudara kandung, saudara seayah, ataupun
seibu terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa
kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak
yang paling 'tinggi'. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di
kalangan fuqaha, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata
'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan adalah arah anak (keturunan),
kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-kali arah itu tidak
akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu hilang
atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah
arah anak. Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan
adalah arah saudara, kemudian barulah arah paman.
2. Mazhab kedua: Berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki dan saudara
laki-laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek
tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah, sama seperti
halnya ayah. Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat
kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris
melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan
saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu
dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan
mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima.
Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian di
antara mereka ada yang tidak diberi.
Alasan dikemukakannya pendapat ini ialah bahwa kebutuhan para saudara yang
jelas lebih muda daripada kakek terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek.

4
Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan kepada para
kakek, kemudian ia wafat, maka harta peninggalannya akan berpindah kepada anak-
anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan demikian para paman menjadi ahli
waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak mendapat warisan dari
saudaranya yang meninggal. Pendapat ini dianut oleh beberapa Imam: Imam Malik, Imam
Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal. Inilah pendapat yang dianut oleh jumhur sahabat dan
tabi'in, yakni Zaid bin yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.
Keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara
pembagian yaitu Kakek dengan saudara kandung laki-laki. Pada keadaan ini
mendapat keuntungan yaitu kakek mendapat setengah (1/2).

5
BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan

Landasan teologis normatif yang dijadikan Hazairin yaitu sistem kekeluargaan


yang diinginkan Al-Qur’an adalah sistem bilateral yang individual, dengan keyakinan,
bahkan disebutnya dengan istilah ‘ainul al-yaqin (seyakin-yakinnya) bahwa secara
keseluruhan Al-Qur’an menghendaki masyarakat yang bilateral dan keberagaman hukum
kekeluargaan yang ada dalam masyarakat adalah ikhtilaf manusia dalam mengartikan Al-
Qur’an.5 Penyataan beliau adalah apabila surat An-Nisa’ ayat 22,23 dan 24 diperhatikan,
akan ditemukan adanya izin untuk saling kawin antara orang-orang yang bersaudara
sepupu. Fakta ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an cenderung kepada sistem kekeluargaan
yang bilateral. seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara kandung
laki-laki, dan seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu
mendapat seperenam (1/6) bagian, kakek memperoleh dua per enam (2/6) bagian, dan
sisanya diberikan kepada saudara kandung laki-laki. Dalam hal ini saudara perempuan
seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan keberadaannya hanya merugikan kakek bila
menggunakan cara pembagian.

 SARAN

Masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT tidak
membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi
ini. Dia menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan
perbuatan aniaya di kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris. Masalah yang
sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para salaf ash-shalih dan para
imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta dibukukan secara lengkap dan
detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang ingin
mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan
tepat) serta dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa.

5 Hazairin, op.cit, hlm. 01.

6
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad. Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam (Jakarta: Gema Insani
Press) 1995.
http://luk.tsipil.ugm.ac.id/kmi/islam/Waris/Bersama.html
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Juz 10
Mahmud. Yunus, “Kamus Arab Indonesia”

Anda mungkin juga menyukai