Anda di halaman 1dari 14

ISU-ISU KONTEPORER TENTANG HUKUM WARIS ADAT

Makalah

Disusun untuk Memenuhi tugas mata kuliah

Kewarisan

Dosen Pengampu

Mohammad Hendy Musthofa, M.H

Disusun oleh :

1. Muh. Aziz Dwi Saputra (22301012)


2. M.Adib Khanafi (22301100)
3. M.Farohal Habibi Maulidi (22301120)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KEDIRI
2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan


kemudahan dan kelancaran dalam pengerjaan tugas makalah mata kuliah Tarikh
tasri’ dengan judul “Isu-isu Konteporer Tentang Hukum Waris Adat”.
Tidak lupa ucapan terima kasih kami sampaikan kepada pihak yang selalu
memberikan semangat dan motivasi selama proses pengerjaan makalah ini , kami
menyadari bahwa penyusun makalah ini belum mencapai kesepurnaan, sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari berbagai
pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua dan dapat memberikan wawasan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Kediri, 10 maret 2024

Tim Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..........................................................................................1


B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hak waris anak angkat terhadap orang tua......................................................3


B. Pembagian waris dalam harta poligami..........................................................4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pada dasarnya yang berhak menjadi ahli waris adalah orang yang
mempunyai hubungan darah dengan pewaris serta istri/suami pewaris yang
masih hidup ketika pewaris meninggal dunia, hal ini diatur dalam Pasal 832
KUHPerdata yang berbunyi:
“Menurut undang Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris
ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang
di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut
peraturan-peraturan berikut ini. Bila keluarga sedarah dan suami atau isteri
yang hidup terlama tidak ada, maka semua harta peninggalan menjadi milik
negara, yang wajib melunasi utang-utang orang yang meninggal tersebut,
sejauh harga harta peninggalan mencukupi untuk itu”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, apabila dimasukkan dalam kategori,
maka yang berhak mewaris ada empat golongan besar, yaitu:
1. Golongan I: suami/isteri yang hidup terlama dan anak/keturunanya
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung pewaris
3. Golongan III: keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan
ibu pewaris, contohnya kakek dan nenek pewaris baik dari pihak ibu
maupun bapak
4. Golongan IV: paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun
dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam
dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta
keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Golongan ahli waris ini menunjukkan siapa ahli waris yang lebih
didahulukan berdasarkan urutannya. Artinya, ahli waris golongan II tidak bisa
mewarisi harta peninggalan pewaris dalam hal ahli waris golongan I masih
ada.

1
Lalu bagaimana dengan anak angkat? Karena prinsip dari pewarisan
adalah adanya hubungan darah, maka apakah secara hukum anak angkat (yang
bukan keturunan langsung dari pewaris) tidak berhak mendapatkan warisan
dari pewaris?
Poligami atau menikah dengan lebih dari seorang istri bukan merupakan
masalah baru. Poligami sudah ada sejak dahulu kala, di berbagai penjuru
dunia. Bangsa Arab sudah melakukan poligami bahkan sejak sebelum Islam
datang. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah
menyebutkan bahwa di kalangan para pemimpin maupun orang-orang awam
di setiap bangsa, bahkan di antara para Nabihsekalipun, poligami bukan
merupakan hal yang asing ataupun tidak disukai.
Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata polus
yang berarti banyak dan gonus yang berarti perkawinan. Poligami dapat
diartikan sebagai suatu perkawinan di mana seorang laki-laki memiliki istri
lebih dari satu orang. Sistem perkawinan di mana seorang laki-laki memiliki
istri lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, pada dasarnya disebut
poligami.
Persetujuan dari istri atau istri-istri untuk suami yang bermaksud ingin
menikah lagi dengan wanita lain (berpoligami) merupakan salah satu syarat
untuk mengajukan permohonan izin melakukan poligami ke Pengadilan
Agama (Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Perkawinan). Selain dengan syarat persetujuan istri, masih terdapat dua
persyaratan lagi, yaitu adanya kepastian bahwa suami yang akan berpoligami
mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka dan
adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka (Pasal 5 ayat (1) huruf b dan c).
B. Rumusan masalah
1. Hak Nak Angkat Terhadap Harta Orang Tua ?
2. Pembagian Warisan Dalam Harta Poligami ?
C. Tujuan masalah
1. mengetahui Hak Nak Angkat Terhadap Harta Orang Tua!
2. mengetahui Pembagian Warisan Dalam Harta Poligami!

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hak anak angkat terhadap harta orang tua


1. Hukum Adat
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat
tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental,
Jawa misalnya, pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali
keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya,
selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia juga tetap
berhak atas waris dari orang tua kandungnya. Namun, warisan yang
diperoleh anak angkat dari orang tua angkatnya tersebut terbatas pada
harta peninggalan selain barang-barang pusaka. Berbeda dengan di Bali
pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak
tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut
menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya, sehingga dalam
kewarisan mendapat harta warisan hanya dari orang tua angkatnya.
Berbeda pula dengan di Sulawesi Selatan, anak angkat masih ada
hubungan waris dengan orang tua kandung dan keluarganya, dan ia tidak
berhak sebagai ahli waris dari orang tua angkat dan keluarganya, namun ia
bisa diberi hibah atau wasiat.
2. Hukum Islam
Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum
dalam hal hubungan darah, hubungan wali mewali dan hubungan waris
mewaris dengan orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai
nama dari ayah kandung. Oleh karena itu, anak angkat tidak menjadi ahli
waris orang tua angkat. Namun, anak angkat boleh mendapat harta dari
orang tua angkatnya melalui wasiat. Besarnya wasiat ini pula ditentukan
tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan.
3. KUH Perdata
3
Cara perolehan harta warisan dalam sistem KUHPerdata ada dua macam,
yakni: (1) perolehan harta waris karena memiliki ikatan keluarga sedarah
dengan pewaris maupun memiliki ikatan perkawinan dengan pewaris atau
disebut ahli waris menurut undang-undang (ab intestato); dan (2)
perolehan harta waris karena berdasarkan wasiat (testamentair), sesuai
ketentuan Pasal 875 KUHPerdata.
Melihat dari ketentuan di atas, maka salah satu cara agar anak angkat
dimungkinkan untuk memperoleh warisan adalah melalui wasiat. Hal ini
dikarenakan anak angkat bukan termasuk golongan ahli waris menurut
undang-undang (ab intestato) berdasarkan ketentuan Pasal 832
KUHPerdata. Perolehan waris oleh anak angkat yang dilakukan secara
wasiat adalah cara yang paling ideal, karena sejalan dengan sistem hukum
Islam maupun sitem hukum adat pada beberapa suku tertentu. Perolehan
secara wasiat ini pula akan melindungi ahli waris sesungguhnya/ ahli waris
ab intestato karena KUHPerdata mengatur mengenai batasan-batasan
dalam pembuatan wasiat, salah satunya adalah legitieme portie
B. Pembagian Warisan Dalam Harta Poligami
1. Hukum Islam
Pada dasarnya, masalah kewarisan selalu sama dengan perpindahan terkait
kepemilikan harta benda, hak serta tanggung jawab dari pewaris kepada
ahli waris.2 Hukum islam menilai jika harta kekayaan dalam sebuah
perkawinan atau syirkah merupakan harta yang diperoleh baik dari
masing-masing atau bersamaan saat dalam ikatan perkawinan berlangsung
yang mana kemudian disebut dengan harta bersama, tanpa mempersoalkan
harta tersebut milik dan atas nama siapa.
Harta waris akan dibagikan apabila orang yang sudah meninggal
(pewaris), meninggalkan harta yang dapat berguna bagi orang-orang yang
ditinggalkan. Sebelum warisan dibagikan kepada para ahli waris, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a) Seluruh biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenazah harus
diselesaikan terlebih dahulu.
b) Wasiat dari orang yang meninggal.

4
c) Hutang piutang pewaris.
Dalam pembagian waris, besar kecilnya jumlah bagian untuk setiap
ahli waris sudah ada didalam Al-Qur‟an secara gamblang dan dapat
disimpulkan bahwa ada 6 bagian dalam pembagian harta waris, yaitu : ada
pihak yang mendapatkan bagian 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Sisa dari pengeluaran yang digunakan untuk kepentingan pewaris
adalah harta peninggalan yang akan dibagikan kepada ahli waris sesuai
dengan jumlah bagian yang akan diterima masing-masing ahli waris. Bagi
pewaris yang memiliki isteri lebih dari satu, maka masing-masing isterinya
mendapatkan bagian atas harta bersama dari rumah tangga suaminya.
Keseluruhan dari bagian pewaris akan menjadi hak dari para ahli waris.
Berikut merupakan penjelasan perolehan masing-masing ahli waris
dalam perkawinan poligami berdasarkan ketentuan yang ada dalam
AlQur‟an :
a. Bagian Suami (Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ Ayat 12)
1) Suami mendapat bagian ¼ bagian harta waris apabila pewaris tidak
meninggalkan anak (termasuk cucu dari anak laki-laki dan
seterusnya ke bawah dari garis laki-laki).
2) Mendapat ½ bagian harta waris apabila tidak meninggalkan anak.
b. Bagian Isteri (Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ Ayat 12)
1) Mendapat bagian 1/8 apabila pewaris meninggalkan anak
(termasuk cucu dari anak laki-laki dan seterusnya ke bawah dari
garis keturunan laki-laki) yang berhak mewaris. Bagian 1/8 dibagi
berdasarkan berapa jumlah isteri yang ditinggalkan, misal : seorang
suami meninggal dengan meninggalkan 3 orang isteri, maka
perolehan waris terhitung 1/8 dibagi dengan 3 orang isteri, yang
mana masing-masing isteri akan mendapatkan bagian sebesar 1/24
bagian.
2) Mendapat bagian ¼ harta waris apabila apabila tidak memiliki
anak dan cucu. Sebagai contoh : seorang suami meninggal dengan
meninggalkan 3 orang isteri tetapi tidak memiliki anak, maka
pembagian terhitung ¼ dibagi dengan 3 orang isteri yang mana

5
masing-masing isteri akan mendapatkan bagian sebesar 1/12.
Apabila seorang suami meninggalkan 4 orang isteri dan memiliki
anak, maka pembagian waris terhitung 1/16 bagian dibagi dengan 4
orang isteri yang mana masingmasing isteri akan mendapat bagian
sebesar 1/32.
c. Ayah (Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ Ayat 11)
1) Ayah mendapat bagian sebesar 1/6 harta warisan jika bersama
dengan anak atau cucu laki-laki (dari anak laki-laki)
2) Ashabah (kerabat)apabila tidak memiliki anak atau cucu. Apabila
ayah hanya bersama dengan anak perempuan atau cucu (dari anak
laki-laki seterusnya ke bawah dari garis laki- laki), kecuali
mendapat besar bagian 1/6 harta warisan, maka masih
dimungkinkan menerima lagi sisa dari harta tersebut.
3) Bagian 1/6 harta warisan dan „ashabah apabila bersama dengan
anak perempuan serta cucu perempuan (dari anak laki-laki).
d. Ibu (Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ Ayat 11)
1) Mendapat bagian sebesar 1/6 apabila ada anak dan cucu (dari anak
laki-laki) atau lebih dari satu suadara.
2) Mendapat bagian sebesar 1/3 apabila tidak ada anak dan cucu (dari
anak laki-laki) atau lebih dari satu saudara. Apabila ahli waris
terdiri dari suami/isteri, ayah/ibu, maka bagian ibu tidak 1/3 bagian
harta waris keseluruhan, tetapi 1/3 harta warisan setelah diambil
untuk bagian suami dan isteri.
e. Anak Perempuan (Al-Qur‟an Surat An-Nisa‟ Ayat 11)
1) Mendapat bagian ½ harta warisan apabila hanya seorang dan tidak
ada anak laki-laki yang menjadikannya „ashabah.
2) Mendapat 2/3 bagian harta warisan apabila dua orang atau lebih
dan tidak ada yang menariknya menjadi „ashabah.
3) Ingin menjadi „ashabah dari anak laki-laki dengan ketentuan
bagian seorang anak laki-laki yang bagiannya akan sama dengan
bagian dua anak perempuan.

6
2. Hukum Perdata
Dalam hukum perdata, waris poligami didasarkan pada Pasal 852a
KUHPerdata, yaitu yang menyebutkan bahwa :
“Dalam hal waris seorang suami atau isteri yang telah meninggal lebih
dahulu, suami atau isteri yang ditinggal mati dalam menerapkan
ketentuan-ketentuan pada bab ini, disamakan dengan seorang anak sah
dan orang yang meninggal, dengan pengertian bahwa bila perkawinan
suami isteri itu adalah perkawinan kedua atau selanjutnya, dan dari
perkawinan yang dahulu ada anak-anak atau keturunan-keturunan
anakanak itu, suami atau isteri yang baru tidak boleh mewarisi lebih dari
bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dari anak-anak itu, atau
oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan
bagaimanapun juga bagian warisan isteri atau suami itu tidak boleh
melebihi seperempat dari harta peninggalan si pewaris. Bila untuk
kebahagiaan suami atau isteri dari perkawinan kedua atau perkawinan
yang berikutnya telah dikeluarkan wasiat, maka bila jumlah bagian yang
diperoleh dari pewarisan pada kematian dan bagian yang diperoleh dari
wasiat melampaui batas dan jumlah termaksud dalam alinea pertama,
bagian dari pewariaan pada kematian harus dikurangi sedemikian,
sehingga jumlah harta bersama itu tetap berada dalam batas-batas
itu.bila penetapan wasiat itu seluruhnya atau sebagian terdiri dari hak
pakai hasil maka harga dari hak pakai hasil itu harus ditaksir dari jumlah
harta bersama yang termaksud dalam alinea yang lalu dan harus dihitung
berdasarkan harga yang ditaksir itu. Apa yang dinikmati suami atau isteri
yang berikut pasal ini juga harus dikurangkan dalam bab menghitung apa
yang boleh diperoleh suami atau isteri itu atau diperjanjikan menurut Bab
VIII Buku Pertama”.
Maka, berdasarkan dari Pasal 852a KUHPerdata, bagian untuk isteri
besarnya disamakan dengan anak dan besarnya tidak boleh melebihi dari
jumlah terkecil yang didapatkan oleh anak tersebut.

7
Saat hubungan sosial dianggap penting bagi seseorang, maka orang
tersebut akan melakukan segala upaya untuk mempertahankan hubungan
tersebut. Upaya itu sendiri diantaranya yaitu : mencari penyelesaian
dengan jalan negosiasi atau penyelesaian dengan cara perantara
(musyawarah) yang akan menghasilkan penyelesaian kompromistis atau
bahkan akan menghindari sengketa.16 Dalam sistem patrilineal, yang
dianggap penting dan berharga yaitu hubungan antara seorang laki-laki
dengan anak laki-laki dari isterinya. Hal itu menjadikan akses perempuan
dalam harta waris tergantung pada kemampuannya dalam memelihara
anak laki-lakinya tersebut dalam kepentingan kekerabatan.
Dalam UU Perkawinan Pasal 65 ayat (1) menegaskan ketentuan
mengenai seorang suami yang berpoligami, yaitu sebagai berikut :
a. Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua
anak dan isterinya.
b. Isteri kedua dan seterusnya tidak memiliki hak atas harta waris yang
sudah ada sebelum perkaiwnan dengan isteri kedua atau berikutnya
berlangsung.
c. Semua isteri memiliki hak yang sama atas harta waris yang ada sejak
perkawinan masing-masing.
Berdasarkan ketentuan diatas, jelas mengenai kedudukan harta waris
isteri yang dipoligami. Isteri pertama dari suami yang berpoligami
memiliki hak atas harta waris yang dimilikinya bersama dengan suaminya.
Isteri kedua dan seterusnya berhak atas waris bersama dengan suaminya
dari awal perkawinan itu berlangsung dan kesemua isteri memiliki hak
yang sama atas harta waris tersebut. Apabila dalam melakukan pembagian
waris secara musyawarah tidak menghasilkan apa-apa atau malah terjadi
perselisihan, maka penyelesaian waris tersebut diajukan kepada pengadilan
agama.
Pada umumnya, pembagian waris dilakukan setelah adanya kematian
seorang suami dalam perkawinan poligami. Dalam melakukan gugatan,
seorang penggugat sebaiknya membuat daftar harta waris serta bukti
bahwa harta yang digugat tersebut merupakan harta waris, yang artinya

8
harta tersebut bukan merupakan harta bawaan dari isteri yang lain serta
harta tersebut harus dapat dibuktikan sebagai harta bersama atau harta
tersebut didapat selama perkawinan dan disebutkan dalam pengajuan
gugatan (posita) yang kemudian disebutkan dalam permintaan pembagian
harta dalam berkas tuntutan (petitum).
Ketentuan mengenai pembagian waris didasari pada kondisi yang
menyertai hubungan perkawinan, seperti halnya kematian, perceraian, atau
hal lainnya. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1974 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 4 ayat (2) mengemukakan bahwa, selama berlangsungnya gugatan
pembagian waris atas permohonan penggugat dan tergugat, dapat
menentukan siapa sajakah yang berhak menerima waris serta berapa besar
bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dalam perkawinan
poligami. Disamping pembagian waris melalui pengadilan, pelaksanaan
pembagian waris juga dapat dilakukan dengan kesepakatan para ahli waris
dalam perkawinan poligami. Artinya, para pihak yang menjadi ahli waris
sepakat untuk melakukan pembagian waris dengan berdasarkan
kesepakatannya. Dalam pembagian waris ini, sebenarnya memiliki nilai
yang lebih baik dari pada pembagian waris melalui jalur pengadilan.
Pembagian waris melalui musyawarah sepakat ini tidak akan menimbulkan
dendam antar satu sama lain serta hubungan para ahli waris juga tidak
akan terputus.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 37 K/AG/1995 Tanggal 28
September 1995 menyatakan bahwa, apabila diantara para pihak sudah ada
kesepakatan untuk menyelesaikan perkara harta bersama secara damai,
maka penyelesaiannya harus didasarkan pada pembagian yang adil dan
rata atas kesepakatan tersebut dan secara damai mengikat pihak-pihak
yang mengadakannya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hal waris, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum barat,
masingmasing memiliki ketentuan mengenai hak waris yang berbeda satu sama
lain. Perolehan waris oleh anak angkat yang dilakukan secara wasiat adalah cara
yang paling ideal, karena sejalan dengan sistem hukum Islam maupun sitem
hukum adat pada beberapa suku tertentu. Perolehan secara wasiat ini pula akan
melindungi ahli waris sesungguhnya/ ahli waris ab intestato karena KUHPerdata
mengatur mengenai batasan-batasan dalam pembuatan wasiat, salah satunya
adalah legitieme portie
Hukum islam menilai jika harta kekayaan dalam sebuah perkawinan atau
syirkah merupakan harta yang diperoleh baik dari masing-masing atau bersamaan
saat dalam ikatan perkawinan berlangsung yang mana kemudian disebut dengan
harta bersama, tanpa mempersoalkan harta tersebut milik dan atas nama siapa.
Dalam pembagian waris, besar kecilnya jumlah bagian untuk setiap ahli waris
sudah ada didalam Al-Qur‟an secara gamblang dan dapat disimpulkan bahwa ada
6 bagian dalam pembagian harta waris, yaitu : 1/2, 1/4, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6.
Dalam waris islam, harta bersama perkawinan poligami terdapat dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 94.
Pasal yang mengatur hukum waris dalam KUHPerdata berjumlah 300
pasal yang dimulai dari pasal 830 sampai pasal 1130 KUHPerdata. Dalam
pembagian harta waris berdasarkan hukum perdata, tidak seorangpun ahli waris
bisa dipaksa untuk dapat membiarkan harta waris tidak terbagi, pembagian
peninggalan harta waris bisa dituntut setiap saat. Dalam hukum perdata, waris
poligami didasarkan pada Pasal 852a KUHPerdata.

10
DAFTAR PUSTAKA

Dikutip dari artikel hukumonline.com : https://www.hukumonline.com/klinik/


pembatasanpembatasan-dalam-membuat-surat-wasiat/
Buku II Mahkamah Agung tentang Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Perdata Umum
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam. 2001
As-Shabumi Muhammad Ali. 1995. Hukum Waris Dalam Syariat Islam.
Bandung: Diponegoro.
Lubis Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, 2008. Hukum Waris Islam.
Jakarta: Sinar Grafika.
Prasetyo Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah. Filsafat, Teori, dan Ilmu
Hukum Pemikiran Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Bermartabat.
Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2014.
Basyir Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam Edisi Revisi. Yogyakarta: UII
Press. 2001.
SulistyowatiIrianto. Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. 2003.
Siti Musdah Mulia. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: PT Gramedia. 2005.

11

Anda mungkin juga menyukai