Anda di halaman 1dari 14

PERSPEKTIF HUKUM WARIS INDONESIA MENGENAI HAK ANAK ANGKAT

DALAM MENDAPATKAN WARISAN


STUDI KASUS HUKUM WARIS INDONESIA
Dosen pengampu: Erkham Maskuri,LC., M.S.I

Disusun Oleh:
Seruni Pusputi Ratri 3301020030
Yunissa Wahyuni 33010200077
Muhamad Rafli Al Fajri 33010200111
Ainun Shafira 33010200112

Semester IV
HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2022
ABSTRAC
A. Pendahuluan
Tujuan perkawinan adalah meneruskan keturunan, tetapi ada orang tak memiliki
keturunan Biasanya pasangan suami-istri melakukan pengangkatan anak. Dalam konteks
pengangkatan anak dikenal istilah adopsi. Pengangkatan diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan, bahkan dikenal dalam sistem hukum perdata umum hukum islam,
dan hukum adat Pengangkatan anak termasuk hukum keluarga yang banyak mendapat
perhatian dari para pemangku kepentingan. Tidak hanya oleh Kementrian Sosial, tetapi
juga Mahkamah Agung Perhatian semacam itu tidaklepas dari munculnya beragam
masalah yang berkaitan dengan anak angkat, apalagi jika sudah berkaitan dengan
pewarisan Perseoalannya berkisar pada hak - hak, anak angkat dalam pembagian waris.
Tidak jarang persoalan bak waris anak angkat bermuara ke panggilan.
B. Metode Penelitian
Dalam menghasilkan penulisan ini metode yang digunakan adalah met kepustakaan,
yang bersifat vuridis normative. Sebagai ilmu normative ilm memiliki cara kerja yang
khas dalam membantu memecahkan persoa hukum yang dihadapi masyarakat dengan sifat
penelitian deskriptif tujuannya adalah melalui penelitian penemuan fakta-fakta yang
bertujua mengetahui fakta di lapangan terhadap aplikasi ketentuan hukum yang ada dan
dalam masyarakat.
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah hak waris yang berlaku bagi anak angkat terhadap barta orang tua
angkatn ya ?
2. Bagaimanakah sistem pembagian warisan terhadap anak angkat ?
D. Pembahasan
1. Hak Waris Yang Berlaku Untuk Anak Angkat
a. Pengertian Anak Angkat
Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua wan yang sah , atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapannya
pengadilan.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pengangkatan anak bertujuan untuk
kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengangkatan anak ini tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya.
b. Hukum Yang Mengatur Anak Angkat
 Dalam perspektif hukum islam
Waris menjadi salah satu pengaturan utama yang ada dalam hukum di
Indonesia. Jika dilihat dari beberapa pasal dalam Kompilasi Huku Islam ( KHI )
anak angkat diatur secara khusus mengenai bagian waris yang berhak la
dapatkan. Sesuai dengan Pasal 171 huruf h KHI, disebutkan bahwa "anak
angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya seharihan, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan keputusan Pengadilan.” Yang perlu
digaris bawahi adalah pemeliharaan anak tersebut tidak berarti bahwa hubungan
darah anak tersebut dengan orang tua kandungnya menjadi terputus. Karena
yang beralih hanya tanggung jawab orang tua angkat untuk memenuhi hajat
hidupnya. Dimana tidak otomatis menjadikan antara anak angkat dan orang tua
angkat memiliki hubungan darah Padahal jika dilihat dari definisi ahli waris
dalam bukum islam sesuai dengan Pasal 171 huruf c yakni yang berbunyi "Ahli
waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawman dengan pewaris, beragama islam dan tidak
berhalang karena hukum untuk menjadi pewaris”
Sedangkan dengan wasiat itu sendiri dapat diberikan kepada anak angkat
untuk menjamin harta yang dapat ia peroleh setelah orang tua angkatnya
meninggal, namun, apabila orang tua angkatnya belum mempersiapkan wasiat
dapat berlaku dalam Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi “terhadap anak angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajib sebanyak banyak 1/3 dari harta
waris orang tua angkatnya”
 Dalam perspektif hukum perdata
Hal ini dapat di perbedaan antara hukum islam dengan hukum perdata solusi
yang ditawarkan hukum perdata adalah memberi hibah. Menurut ketentuan dan
Pasal 957 KUHPerdata, disebutkan bahwa " hibah wasiat adalah suatu
penetapan wasiat yang khusus dengan mana si yang mewariskan kepada seorang
atau lebih memberikan beberapa barang barangnya bergerak atau tak bergerak
atau memberikan hak pakai basıl atas seluruh atau sebagian harta
peninggalannya.
Namun demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
memberikan hibah agar hak ahli wans sahnya. Dalam KUHPerdata menentukan
pada Pasal 972 yang berbunyi apabila warisan tidak seluruhnya atau untuk anya
atau apabila wanısan diterimanya dengan hak istimewah akan pendaftaran harta
peningsalan, dan yang ini tidak mencukupi guna memenu hbab itu dalam
seimbangan dengan besarnya harus dikurangi, kecuali yang mewariskan tentang
hal mi telah menetapkan ketentuan ketentuan lain dalam surat latnya kan segala
wasiat, maka hibah
Jika memberika hibah harus disertakan dengan bukti yaitu akta hibah di
Ladapan pejabat yang berwenang dimana sebelumnya dimintakan terlebih
dahulu persetujuan dari ahli wans yang sah . Surat persetujuan tersebut juga
harus dilegalisir oleh notaris.
c. Hukum Waris Untuk Anak Angkat Menurut Negara
Pengangkatan anak akan mempengaruhi kedudukan hak waris anak angkat terhadap pewaris
orang tua angkatnya. Pada prisnsipnya pewarisan terhadap anak angkat dikembalikan kepada
hukum waris orang tua angkatnya. Untuk biasanya dalam kehidupan bermasyarakat, anak
angkat dapat diberi warisan untuk bekal hidup dengan jalan wasiat. 1Anak angkat yang telah
diakui dijamin dengan jamninan mutlak, yaitu setengah dari bagian yang menurut Undang-
Undang harus diperolehnya. Apabila ketentuan mengenai bagian mutlak seperti yang
dijelaskan diatas dilanggar, maka pewaris dapat mengajukan gugatan ke pengadilan supaya
hibah atau hibah wasiar tersebut dikurangi, sehingga tidak melanggar ketentuan Undang-
Undang khususnya KUHPerdata. Didasarkan pasal 913 KUHPerdata, yang dijamin dengan
bagian mutlak atau Ligitime Portie itu adalah para ahli waris dalam garis waris lurus yaitu
anak-anak dan keturunannya serta orang tua dan leluhurnya ke atas. Anak angkat dapat waris
dari orang tua yang mengangkatnya, tetapi yang penting tidak merugikan ahli waris lainnya
yang ada. Anak angkat yang diangkat secara lisan, tidak dapat mewarais daru orang tua yang
mengangkatnya, tetapi dapat di berikan hibah wasiat yang tidak menyimpang dari Ligitime
Portie ( bagian mutlak). Anak angkat yang diangkat dengan Pengadilan Negeri dapat waris
dari orang tua yang mengangkatnya dengan ketentuan daerahnya. Menurut hukum
pengangkatan anak yang melalui adopsi dilakukan dengan Penetapan Pengadilan status anak
angkat tersebut sama dengan kedudukannya dengan anak kandung. Akibat hukum nya dalam
pembagian harta warisan berlaku sama dengan anak kandung seperti tertuang dalam pasal
852 KUHPerdata. Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang
menagmbil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan kekeluargaan itu
dari orang tua aslinya, bai ia masih anak-anak maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban
yang sama dengan adopsi ini kitab undang-undang hukum perdata,yang terdapat pada pasal-
pasal yang mengatur tentang bagian mutlak oleh undang-undang dimasukkan dalam bagian
tentang hak waris menurut wasia, yaitu di dalam pasal 913,914,916 dan seterusnya. Cara
mendapatkan warisan menurut hukum perdata barat yaitu, pasal 832,842,852,852a,913,914
dan 916a. 2
Hukum Waris Untuk Anak Angkat Menurut Islam
Pengangkatan anak, adopsi, selayaknya dilakukan dengan sebuah putusan Pengadilan.
Dengan menggunakan putusan Pengadilan maka dapat dijadikan sebagai bukti autentik
tentang adanya pengangkatan anak. Bila dikemudian hari ada sengketa tentang pengangkatan
anak tersebut maka putusan Pengadilan dapat dijadikan sebagai alat bukti. Dalam hukum
kewarisan anak angkat tidak termasuk ahli waris, karena secara biologis tidak ada hubungan
kekeluargaan antara anak angkat dengan orangtua angkatnya kecuali anak angkat itu diambil
dari keluarga orangtua angkatnya3. Dari kelompok ahli waris yang disebutkan ternyata tidak
termasuk anak angkat, karena ahli waris tak punya hubungan darah dengan pewaris dan tidak
ada pula hubungan perkawinan. Menurut Abdul Manan, dalam bukunya ‘Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia’ (2006: 219), anak angkat dimasukkan ke dalam kategori
pihak di luar ahli waris yang dapat menerima harta peninggalan pewaris berdasarkan wasiat
wajibah.4. Karena bukan ahli waris, maka anak angkat tidak mendapatkan bagian sebagai ahli
1
R.Soepomo dalam M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 97-98.
2
(Pudihang, 2015)
3
https://www.pa-jakartatimur.go.id/berita-pengadilan/332-anak-angkat-dan-sengketa-waris, diakses 9 juni
2022
4
https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-mewaris-anak-angkat-menurut-hukum-perdata--hukum-islam-
dan-hukum-adat-lt609b7461e102b/?page=2,diakses 9 Juni 2022
waris dari warisan orangtua angkatnya. Walaupun tidak mendapat warisan dari orangtua
angkatnya akan tetapi anak angkat mendapat wasiat wajibat untuk mendapatkan harta
warisan orangtua angkatnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh KHI dalam pasal 209 ayat
(a) :”Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta warisan orangtua angkatnya”. Kalaulah pengangkatan anak itu
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka tidak akan menimbulkan sengketa
kewarisan. Sebab sudah jelas kedudukan anak angkat tidak sebagai ahli waris dari orangtua
angkatnya, anak angkat dapat menerima warisan orangtua angkatnya dengan jalan wasiat
wajibat.5

Hukum Waris Untuk Anak Angkat Menurut Hukum Adat

Hukum adat merupakan hukum asli Indonesia yang diantaranya mengatur masalah
pengangkatan anak. Prosedur pengangkatan anak menurut hukum adat terdapat banyak cara,
namun secara umum pengangkatan anak dapat dibedakan menjadi dua:

1) Pengangkatan anak secara tunai atau terang.6


2) Pengangkatan anak secara tidak terang atau tidak tunai.7

Berdasarkan prosedur tersebut membawa konsekuensi atau akibat hukum, diantaranya


mengenai pewarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya begitu pula antara anak
angkat dengan orang tua kandungnya. Sehingga terdapat suatu aturan hukum yang sesuai
yang digali dari hal-hal yang terdapat dalam hukum adat.

Hukum adat atau hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi, berlaku di 19 daerah
hukum adat di Indonesia yang dibagi oleh Von Vollenhoven. Berdasarkan pembagian daerah
hukum adat di Indonesia mengenai pengangkatan anak tidak terdapat keseragaman. Hal ini
berkaitan langsung dengan hukum keluarga yang berlaku di masing-masing daerah.

Meskipun kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung sebagai anggota
keluarga orang tua angkatnya namun dalam hal-hal tertentu misalnya, dalam memperoleh
harta kekayaan orang tua angkatnya menurut hukum waris adat di tiap-tiap daerah di
Indonesia tidak sama.
5
(Damping, 2017)
6
Secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak yang dilakukan secara terbuka dihadiri oleh segenap
keluarga, Pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat (tunai).
7
Secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan anak yang dilakukan secara diam-diam tanpa
mengundang keluarga seluruhnya, hanya keluarga tertentu saja, tidak dihadiri oleh pemuka
adat/desa dan tidak dengan pembayaran uang adat.
Pengangkatan anak di Jawa Tengah dikenal dengan sebutan “mupu anak” adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami isteri untuk memungut anak orang lain atau
keponakan sendiri yang akan diasuh dan dididik sebagai anak kandung sendiri dan statusnya
sebagai anak angkat tidak disebut-sebut lagi. Orang Jawa Tengah mengatakan seorang anak
angkat “ngangsu sumur loro” yang artinya ia mewarisi baik orang tua angkatnya maupun
orang tua kandungnya.8

Sama halnya dengan daerah Jawa Tengah pada masyarakat adat Suku Dayak
Kalimantan Tengah yang menggunakan sistem kekerabatan parental, dikatakan bahwa anak
angkat mendapatkan warisan dari kedua belah pihak yaitu dari orang tua angkat dan jua dari
orang tua kandungnya.9

Berbeda dengan hukum adat Batak Toba, meskipun sama-sama menggunakan sistem
kekerabatan parental, dimana biasnya anak angkat mendapatkan warisan dari keduanya, yaitu
keluarga orang tua angkat dan juga keluarga orang tua kandung. Namun menururt hukum
adat Batak Toba bahwa anak angkat adalah pewaris dari harta orang tua angkatnya. Anak
angkat tidak lagi mempunyai hak mewarisi dari orang tua asal atau kandung mereka.
Dikarenakan telah diadakannya upacara adat “Marhesek hesek” yang bertujuan memutuskan
hubungan si anak dengan leluhur dan keluarga asal (kandung) nya. Akibatnya si anak tidak
mempunyai kewajiban terhadap orang tua dan leluhur asalnya.10

Penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Di
Indonesia yang mempunyai berbagai suku dengan hukum adat yang berbeda-beda, tentu saja
cara penyelenggaraan pewarisannya juga berbeda, hal ini tergantung dari adat istiadat daerah
masing-masing.

Sistem Pembagian Warisan Anak Angkat Menurut Hukum Perdata

8
B. Bastian Tafal. Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, CV. Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 48.
9
Sri Kayun, Kedudukan Anak Angkat Dalam Mewarisi Harta Orang Tua Angkatnya Menurut Hukum Adat
Dayak, Vol. 9 No 1 (2019), Belom Bahadat: Jurnal Hukum Agama Hindu
10
Satria Braja Hariandja, Kedudukan Anak Angkat Dalam Pembagian Warisan Menurut Hukum Adat Batak
Toba, Vol. 18 No 2 (2019), Jurnal Hukum Kaidah, hal. 51
Pewarisan menjadi masalah yang cukup kompleks, terlebih lagi apabila terdapat anak
angkat. Anak angkat sendiri yang sudah diketahui merupakan anak yang tidak memiliki
hubungan darah dengan orang tua maupun dengan saudaranya. Namun syarat utama dalam
hal pewarisan ini adalah memiliki hubungan darah. Pengangkatan anak merupakan kenyataan
sosial di dalam masyarakat yang sudah ada sejak jaman dahulu. Ketidak adaan anak dalam
sebuah keluarga akan menimbulkan ada sesuatu yang kurang dalam sebuah keluarga. Maka
dilakukanlah pengangkatan anak, sesuai dengan hukum yang berlaku bagi mereka. Hal ini
merupakan salah satu jalan yang dapat ditempuh suatu keluarga yang tidak mempunyai anak.
Perbuatan pengangkatan anak mengandung konsekuensi bahwa anak yang diangkat
mempunyai kedudukan hokum terhadap orang tua yang mngangkatnya.

Sebagai akibat dari pengangkatan anak, menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129
bahwa pengangkatan anak bagi golongan Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa,
menyebabkan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua
yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua
angkatnya.

Dengan pengangkatan anak itu pada asasnya semua hubungan kekeluargaan dengan
keluarga asalnya menjadi hapus (Pasal 14 Stbl 1917 No. 129) dan sekarang timbul hubungan
kekeluargaan dengan keluarga orang tua angkat, yang semula mungkin saja bukan apa-
apanya (Pasal 12 Stbl 1917 No. 129). Akibat hukum yang paling nyata adalah akibat hukum
dalam hukum waris. Anak angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya,
sebaliknya ia sekarang mewaris dari keluarga ayah dan ibu yang mengangkat dirinya.11

Dengan demikian seorang anak angkat dapat dikatakan anak luar kawin yang diakui
dan disahkan secara hukum, dianggap sah sebagai anak sah, sekalipun ia didasarkan pada
penetapan pengadilan (pengangkatan anak secara Undang-Undang).

Dalam hukum perdata (BW) disebutkan pada pasal 862-pasal 866 BW mengenai
warisan yang harus dibagi terhadap anak-anak yang diluar kawin yang telah diakui secara
sah. Seperti yang disebutkan dalam pasal 865 KUHPerdata: “Jika si meninggal tak
meninggalkan ahli waris yang sah, maka sekalian anak luar kawin mendapat seluruh
warisan”.

11
J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: PT, Citra Aditya
Bakti, 2005), h. 244
Ini berarti bahwa apabila pewaris tidak memiliki anak kandung, suami/istri sah
ataupun sanak saudara maka anak angkat mendapatkan seluruh harta warisan dari si pewaris.
Bagian seorang anak yang lahir di luar perkawinan, tetapi diakui dari berapa adanya anggota
keluarga sah. Apabila ada ahli waris golongan I, maka bagian anak yang lahir dilluar
perkawinan tersebut, sepertiga dari bagian yang akan diperolehnya seandainya dia dilahirkan
dari perkawinan yang sah. Apabila ia bersama-sama mewarisi dengan anggota-anggota
keluarga dari golongan II, bagiannya menjadi separuh dari bagian yang akan diperolehnya
seandainya ia dilahirkan dari perkawinan yang sah. Pembagian warisan harus dilakukan
sedemikian rupa, sehingga bagian anak yang lahir diluar perkawinan harus dikeluarkan dan
dihitung lebih dahulu, baru kemudian sisanya dibagi antara ahli waris yang lainnya. Seolah-
olah sisa itu warisan yang masih utuh.12

Dengan kedudukan dan hubungan hukum yang demikian tentunya seorang anak
angkat mempunyai hak mewarisi atas harta waris orang tua angkatnya dengan memiliki hak
waris sesuai legitieme portie13 atas segala bentuk harta waris dan sebagai ahli waris mutlak
dari orang tua angkatnya.

HUKUM WARIS MENURUT KHI

Menurut Kompilasi Hukum Islam dalam hukum kewarisan, Indonesia merupakan


salah satu negara merdeka dan berdaulat sekaligus sebagai negara hukum, yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, bahkan terdapat lembaga peradilan agama yang berazaskan
personalitas keislaman yang keberadaannya sama dengan persoalan lainnya yang yang
berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia.
Salah satu hukum materiil peradilan Agama di Indonesia yang dijadikan rujukan oleh
para hakim adalah Kompilasi Hukum Islam. Walaupun berlakunya hanya melalui Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.
Hak mewaris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam pembagian harta warisan,
dimana dalam Hukum Islam ahli waris dapat dikelompokkan menjadi tiga (3) bagian yakni :
(1) Ashabul furudh, (2) Ashabah, (3) Dzawil Arham. Dalam KHI terdapat pengaturan dalam
pengelompokkan ahli waris yang diatur dalam pasal 174 KHI, yaitu:14
a. Kelompok ahli waris terdiri dari :
12
https://menuruthukum.com/2019/11/30/pembagian-harta-waris-terhadap-anak-angkat-menurut-hukum-
perdata/ diakses pada 11 Juni 2022
13
Berdasarkan pasal 916 KUHPerdata, bagian mutlak dari anak luarkawin yang telah diakui adalah: setengah
daribagian yang seharusnya diterima oleh anak luar kawin tersebut menurut ketentuan Undang-Undang.

14
http://dspce.library.uph/1849/1/13-01-2013/HakMewaris-Anak-Angkat-terhadap-Orang-Tua-Angkat, diakses
pada tanggal 04 Desember 2015.
 Hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan
nenek.
 Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda
b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah,
ibu, janda/duda. Kedudukan anak angkat menurut KHI tetap sebagai anak yang sah
berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab dengan
orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut KHI adalah
merupakan manifestasi keimanan yang terwujud dalam bentuk memelihara anak orang
lain sebagai anak dalam bentuk pengasuhan anak dengan memberikan segala kebutuhan
hidupnya.
Menurut KHI Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus
terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan terhadap anak kandung atau
ahli waris. Aturan yang menjadi landasan hukumnya terdapat di dalam Pasal 175 KHI,
tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris, dimana salah satu kewajibannya tersebut
terdapat kewajiban untuk menunaikan segala wasiat dari pewaris. Wasiat ini tetap
dilaksanakan, baik diucapkan, atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal
dunia.
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau
bergantung kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan,
baik diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi
pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut tidak
diucapkan, dituliskan atau dikehendaki tetapi pelaksanaannya didasarkan pada alasan-
alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut dilaksanakan.
Dengan demikian juga, penulis akan menelaah pasal 209 KHI melalui pendekatan
pemahaman petunjuk dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 180, sehingga gerak pasal
tersebut tetap berpijak pada nas syara’ walaupun tidak menafikan metode nas yang lain.
Hak waris anak angkat terhadap harta warisan yang tertera pada pasal 209 dalam KHI
adalah sebagai berikut:
“Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3
dari harta warisan orang tua angkatnya”.
Sedangkan dalam al-Qur’an dalam surat al-baqarah ayat 180 menyatakan:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.
Peraturan pemberian wasiat terhadap anak angkat melalui wasiat wajibah ini
sesungguhnya dianggap baru apabila dikaitkan fiqh tradisional, bahkan peraturan
perundang-undangan mengenai kewarisan yang berlaku diberbagai dunia Islam. Al-Qur’an
secara tegas menolak penyamaan hubungan karena pengangkatan anak yang telah
berkembang di adat masyarakat Arab Madinah waktu itu dengan hubungan karena pertalian
darah.
Adapun pemberian wasiat harus memenuhi dua syarat yaitu :15
Pertama : Yang wajib menerima wasiat bukan ahli waris. Jika dia berhak menerima pusaka
walaupun sedikit, tidaklah wajib wasiat dibuat untuknya.
Kedua : Orang yang meninggal baik kakek maupun nenek, belum memberikan kepada anak
yang wajib dibuat wasiat jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang lain seperti hibah
umpamanya dan jika dia telah memberikan kurang daripada jumlah wasiat wajibah, maka
wajibalah disempurnakan pada saat itu.

HUKUM WARIS MENURUT HUKUM ADAT


Sistem Hukum Waris menurut Hukum Adat, sistem hukum adat adalah hukum rakyat
yang hidup dan tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Negara. 16 Dengan
demikian jelas bahwa keberadaannya lahir dan berakar dalam masyarakat itu sendiri, yang
masih digunakan dalam lapangan hukum perdata, khususnya dalam perkara waris yang
membahas mengenai “harta peninggalan yang tidak dibagi (harta pusaka), harta benda yang
dibagi, harta benda keluarga (familiegoerderen), barang keramat, dan barang keluarga
(gezingoderen), barang persekutuan, utang (schulden), dan kedudukam janda.”
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Hal ini berhubungan erat dengan sistem keturunan dengan sifat-
sifat kekeluargaan serta sistem kewarisan. Bagi keluarga yang Parental, Jawa misalnya,
pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali kekeluargaan antara anak itu dengan
orang tua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan waris dari orang tua
angkatnya, dia juga tetap berhak atas hak waris dari orang tua kandungnya. Berbeda dengan
di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut
dari keluarga asalnya kedalam keluarga angkatnya. 17 Anak tersebut menjadi anak kandung
dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya. Demikian
halnya di Minahasa, pengangkatan anak berakibat putusnya hubungan si anak dengan orang
tua angkatnya dan menjadi bagian dari keluarga yang mengangkatnya menjadi anak, dengan
membawa nama keluarga baru tersebut dan meneruskan keturunan dan kedudukan orang
tua angkatnya. Seperti yang terjadi dalam hukum adat Jawa Tengah, anak angkat hanya
diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya. Jadi terhadap barang
pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat diketahui bahwa kedudukan anak angkat
terhadap harta warisan dalam hukum adat Jawa, yaitu :

15
3Suparno Usman, Op Cit, hal. 99
16
Hilman Hadikusuma, Op Cit, hal. 13
17
M Budiarto, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi Hukum, Akapres, Yogyakarta, 1991.
- Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua asal (kandung)
- Anak angkat berhak atas harta warisan orang tua angkat dengan bagian tertentu atau
jumlah terbatas (tidak boleh melebihi bagian anak kandung)
- Anak angkat berhak atas harta gono-gini
Mengenai pengangkatan anak di Indonesia sampai sekarang belum mempunyai
UndangUndang Pengangkatan Anak secara nasional. Hanya ada satu ketentuan-ketentuan
yaitu Surat Edaran Mahkamah Agung yang berisi pedoman dan petunjuk bagi para Hakim
untuk mengambil keputusan atau membuat ketetapan bila ada permohonan pengangkatan
anak yaitu SEMA No. 2 Tahun 1917 yang telah disempurnakan oleh SEMA No. 6 Tahun
1983, serta Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan
UndangUndang No. 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan adanya
penyempurnaan tersebut maka dimungkinkan adanya suatu kepastian hukum terhadap
adanya proses pengangkatan anak dan biasanya pengangkatan anak dilakukan dengan cara
adat saja dan hanya ada beberapa orang tua angkat yang mau datang ke Pengadilan Negeri
untuk meminta pengesahan pengangkatan anak yang mereka lakukan agar mempunyai
kepastian hukum.

Kesimpulan
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak
dari lingkungan kekuasaan orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkat.
Sesuai dengan Pasal 171 huruf h KHI, disebutkan bahwa " anak angkat adalah anak
yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya seharihan, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan Pengadilan.
Menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan
Warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, menyebabkan kedudukan anak angkat
dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak
angkat berhak mewaris harta kekayaan dari orang tua angkatnya.
Dengan demikian seorang anak angkat dapat dikatakan anak luar kawin yang diakui
dan disahkan secara hukum, dianggap sah sebagai anak sah, sekalipun ia didasarkan pada
penetapan pengadilan (pengangkatan anak secara Undang-Undang).

Menurut KHI Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus
terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan terhadap anak kandung atau
ahli waris.
Wasiat wajibah merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau bergantung
kepada kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan
atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi pelaksanaan wasiat
tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut tidak diucapkan, dituliskan atau
dikehendaki tetapi pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang membenarkan
bahwa wasiat tersebut dilaksanakan.
Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung kepada
hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang Parental, Jawa misalnya, pengangkatan anak
tidak otomatis memutuskan tali kekeluargaan antara anak itu dengan orang tua kandungnya.
Oleh karenanya, selain mendapatkan waris dari orang tua angkatnya, dia juga tetap berhak
atas hak waris dari orang tua kandungnya

DAFTAR PUSTAKA
Damping, B. (2017). Hak Waris Anak Kandung Dan Anak Angkat Menurut Komplikasi
Hukum Islam. Lex et Societatis, 61.
Pudihang, R. (2015). KEDUDUKAN HUKUM HAK WARIS ANAK ANGKAT
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA. Lex Privatum,
154-159.
R.Soepomo dalam M.Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
1986.
Drs. H. Nur Mujib.https://www.pa-jakartatimur.go.id/berita-pengadilan/332-anak-angkat
dan- sengketa-waris, diakses 9 juni 2022 pukul 15.29.

M. Yasin.2021. Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, Hukum Islam dan
Hukum Adat.https://www.hukumonline.com/berita/a/hak-mewaris-anak-angkat
menurut-hukum-perdata--hukum-islam-dan-hukum-adat-lt609b7461e102b/?page=2,
diakses 9 Juni 2022 pukul 15.32.

Anda mungkin juga menyukai