Anda di halaman 1dari 20

Kajian Hukum Pidana Pengangkatan Anak Secara Ilegal

Disusun Oleh :

Kaharuddin

0402021 0890

Proposal Diajukan Untuk Penulisan Skripsi Pada

Fakultas Hukum

Fakultas Hukum

Universitas Muslim Indonesia

Makassar

2024
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah.

Akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir Ilahi, di mana

kehendak mempunyai anak tidak tercapai.

Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya,

sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Tidak

semua keluarga memiliki kesempatan untuk memiliki anak kandung. Banyak yang

menyebabkan hal ini terjadi karena alasan medis, karena usia, atau karena belum

bisa dipercaya untuk memiliki anak oleh Tuhan. Bagi keluarga yang belum

dikarunia anak, adopsi merupakan jalan yang tepat. Banyak keluarga yang

mengadopsi anak sebagai pancingan agar secepat mungkin dikarunia anak

kandung. Namun ada juga yang mengadopsi anak untuk meringankan beban

orang tua kandung si anak, terlebih lagi jika orang tua kandung anak tersebut

berasal dari keluarga yang tidak mampu.

Jika dalam perkawinan itu tidak diperoleh anak berarti tidak ada yang

melanjut keturunan dan kerabatnya yang dapat mengakibatkan punahnya kerabat

tersebut. Oleh karena itu orang akan melakukan cara apa saja dan mengorbankan
biaya berapa saja mendapatkan anak dalam perkawinan bahkan ada yang

melakukan program bayi, tidak jarang juga mendapatkan anak walaupun berusaha

secara maksimal sehingga pengangkatan anak dianggap sebagai jalan terakhir.

Pengangkatan yang lazim disebut adopsi merupakan lembaga hukum

yang dikenal sejak lama dalam budaya masyarakat Indonesia bermaca-macam

motif orang melakukan pengangkatan anak, sehingga mengadopsi seorang anak

tidak bisa dilakukan dengan “asal-asalan”. Ada peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang adopsi anak.

Peraturan mengenai tata cara dan akibat hukum dari pengangkatan anak

itu sendiri juga bersifat pluralistik di Indonesia. Masing-masing etnis dan

golongan penduduk mempunyai aturan sendiri mengenai prosedur dan akibat

hukum pengangkatan anak. Keanekaragaman ini sering menyebabkan

ketidakpastian dan masalah hukum yang tidak jarang menjadi sengketa

pengadilan. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih

belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi

masyarakat, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukumnya.

Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, kalau dipelajari ketentuan

tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber yang berlaku

di Indonesia, baik hukum barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Burgelijk Wetboek, hukum adat yang merupakan The Living Law
yang berlaku di masyarakat Indonesia, maupun hukum islam yang merupakan

konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama

islam.

Dalam BW tidak diatur tentang masalah adopsi atau lembaga

pengangkatan anak. Dalam beberapa pasal BW hanya menjelaskan masalah

perwarisan dengan istilah anak luar kawin atau anak yang diakui. Sedangkan

menurut hukum adat terdapat keanekaragaman hukumnya yang berbeda, antara

daerah satu dengan daerah lainnya.

Dalam hukum islam lebih jelas dijelaskan bahwa pengangkatan seorang

anak dengan pengertian menjadikannya sebagai anak kandung di dalam segala

hal tidak dibenarkan. Hanya yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa

larangan yang dimaksudkan yaitu pada status pengangkatan anak menjadi anak

kandung sendiri, dengan menempati status yang persis sama dalam segala hal.

Mahmud Syaltut pernah mengatakan bahwa pengangkatan anak dalam

konteks mengangkat anak orang lain yang diperlakukan seperti memperlakukan

anak sendiri dalam hal kasih sayang, nafkah sehari-hari, pendidikan dan lain-lain

tanpa harus menyamakannya dengan anak kandung, maka pengangkatan anak

seperti ini dalam islam dibenarkan.


Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT di dalam Al qur’an surah Al-

Ahzab ayat 4-5

Artinya : “... Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu


sebagai anak-anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataamu
yang kamu ucapkan saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia
menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan
memakai nama ayah-ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah. Dan kalau
kamu tidak mengetahui siapa ayah-ayah mereka, maka panggillah mereka sebagai
saudaramu seagama, dan budak-budak yang telah kamu merdekakan …”

Menurut azas pengangkatan anak, seorang anak berhak atas perlindungan

orang tuanya, dan orang tuanya wajib melindungi anaknya dengan berbagai cara.

Oleh sebab itu hubungan antara seorang anak dengan orang tua harus dipelihara

dan dipertahankan sepanjang hidup masing-masing. Pelaksanaan pengangkatan

anak pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pemutusan hubungan antara orang

tua kandung dengan anak kandung. Dengan demikian, maka pengangkatan anak

adalah pada dasarnya tidak sesuai dengan azas pengangkatan anak dan tidak dapat

dianjurkan.

Pengangkatan anak pada hakekatnya dapat dikatakan salah satu

penghambat usaha perlindungan anak. Oleh sebab pengangkatan anak yang pada

hakekatnya memutuskan hubungan antara orang tua kandung dengan anak

kandung, menghambat seorang ayah kandung melaksanakan tanggung jawabnya

terhadap anak kandung dalam rangka melindungi anak (mental, fisik,dan sosial).

Pengangkatan anak tidak memberikan kesempatan anak melaksanakan hak dan


kewajibannya terhadap orang tua kandungnya. Hal ini tidak mendidik dan

membangun kepribadian seorang anak. Kalaupun upaya adopsi berhasil, pasal 40

UU perlindungan anak masih mewajibkan orang tua angkat memberitahukakan

asal-usul orang tua kandung kepada anak kelak. Pengangkatan anak menyangkut

nasib anak yang harus dilindungi, sebab anak adalah tunas, potensi, dan generasi

muda penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Mengenai masalah pengangkatan anak, upaya terhadap perlindungan

anak perlu dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan

sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi

perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif. Undang-undang

perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban memberikan perlindungan

kepada anak berdasarkan asas-asas nondiskriminatif, kepentingan yang terbaik

bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan, serta

penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak

diperlukan peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga

keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi

sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari

hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang

berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-

masing daerah, walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak tersebut belum

diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri.

Secara faktual diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian

dari adat kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia dan telah merambah dalam

praktik melalui lembaga peradilan agama, maka sebelum terbentuknya undang-

undang yang mengatur secara khusus, pemerintah telah mengeluarkan Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Pada pasal 171 huruf (h), secara definitif disebutkan bahwa “Anak Angkat adalah

anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan

dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua

angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”

Definisi anak angkat dalam kompilasi Hukum Islam tersebut, jika

diperbandingkan dengan definisi anak angkat dalam UU No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak, memiliki kesamaan substansi. Pasal 1 angka 9

dinyatakan bahwa “Anak Angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari

lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut

ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau

penetapan pengadilan.
Karena Negara dan Pemerintah Indonesia berkewajiban dan bertanggung

jawab terhadap ketertiban jalannya praktik pengangkatan anak, baik dari segi

administrasi, dan kepastian hukumnya, maka diterbitkanlah beberapa kebijakan

melalui peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi yang mengatur dan

menangani masalah pengangkatan anak, antara lain : Surat Edaran Mahkamah

Agung Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak, Surat Edaran

Mahkamah Agung RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat

Edaran Nomor 2 Tahun 1979, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun

1989 Tentang Pengangkatan Anak, Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3

Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak, beberapa pasal dalam Undang-undang

Nomor 23 Tahun 2002, dan beberapa yurisprudensi tetap yang selama ini menjadi

sumber rujukan Pengadilan Negeri dalam menerima, memeriksa dan mengadili,

serta menyelesaikan perkara permohonan pengangkatan anak yang diajukan

kepadanya.

Pada mulanya pengangkatan anak hanya dilakukan semata-mata untuk

melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu keluarga yang

tidak mempunyai anak kandung. Disamping itu juga untuk mempertahankan

ikatan perkawinan. Sehingga tidak timbul perceraian, akan Tetapi dalam

perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat, tujuan

adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam

Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1979, yang berbunyi “pengangkatan


anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan

kepentingan kesejahteraan anak.”

Namun dalam perkembangan jaman di mana perekonomian semakin

terpuruk, masih ada juga penyimpangan-penyimpangan yang terkait dengan

pengangkatan anak seperti misalnya ingin mendapatkan tenaga kerja yang murah,

atau menjadikannya sebagai objek komersial dengan berkedok adopsi. Ada

kalanya keluarga yang telah mempunyai anak kandung, merasa perlu lagi untuk

mengangkat anak yang bertujuan untuk menambah tenaga kerja dikalangan

keluarga atau karena kasihan terhadap anak yang diterlantarkan

Dalam proses pengangkatan anak, anak tidak mempunyai kedudukan

yang sah sebagai pihak yang membuat persetujuan. Anak merupakan objek

persetujuan yang dipersoalkan dan dipilih sesuai dengan selera pengangkat.

Tawar-menawar seperti dalam dunia perdagangan dapat selalu terjadi. Pengadaan

uang serta penyerahaan sebagai imbalan kepada yang punya anak dan mereka

yang telah berjasa dalam melancarkan pengangkatan merupakan petunjuk adanya

sifat bisnis pengangkatan anak. Sehubungan dengan ini, maka harus dicegah

pengangkatan anak yang menjadi suatu bisnis jasa komersial.

Salah satu isu adopsi yang menyimpang muncul beberapa tahun silam

oleh orang warga negara asing pasca bencana tsunami dan gempa di Nanggroe

Aceh Darussalam. Dimana kurang lebih 300 anak pasca bencana tsunami Aceh
yang dilarikan oleh World Help yang tidak jelas penyelesaianya, dan banyak

pihak menduga anak-anak ini dilarikan ke Amerika. Selain itu di suatu hari di

awal tahun 2010 ada seorang perempuan TKW yang pulang ke kampung halaman

membawa aib karena telah diperkosa oleh majikannya di Arab Saudi dan telah

hamil 8 bulan saat itu, dalam kondisi yang tertekan oleh ekonomi dan kemarahan

orang tuanya, dia terpaksa menjual bayi yang ada dalam rahimnya. Kasus ini

sangat miris. Bahkan di tahun 2010 tercatat insiden serupa. Komisi Perlindungan

Anak mencatat tak kurang dari 24 kasus ibu menjual janinnya.

Apa sebenarnya pemicu insiden memiriskan hati macam itu?

Kemiskinan? Kebodohan? Ketidakpedulian? KomNas Perlindungan Anak

mencatat ada banyak sekali motif di balik penjualan anak, namun tetap sulit

menjelaskan fenomena ini dengan memuaskan. Komisi Nasional Perlindungan

Anak, menyimpulkan penyebabnya dalam satu kalimat, “Anak cenderung dilihat

sebagai komoditas.”

Jutaan anak di negeri ini terlantar dan jumlahnya bertambah setiap tahun.

Mereka menjadi korban kekerasan, diperjualbelikan, dipekerjakan di luar batas

prikemanusiaan dengan modus adopsi. Fakta menunjukkan bahwa saat ini, banyak

anak-anak menderita akibat deraan psikis, dikekang, diseret ke pengadilan, disalah

mengerti dan diabaikan. Anak-anak kita ini kelak akan tumbuh dewasa menjadi

generasi yang hilang.


Kasus-kasus ibu yang menjual janinnya mencerminkan bahwa saat ini

Indonesia masih dipenuhi warga miskin dengan segala persoalannya, yang

kemudian menjadi sasaran pencarian anak-anak yang akan diadopsi melalui

proses perdagangan. Hal ini disertai Kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan

keterangan-keterangan dari kelurahan atau kepala desa dan kurangnya

pengamatan/penelitian dapat mengakibatkan lolosnya permohonan pengangkatan

anak antar negara tanpa memperhatikan aspek keamanan negara.

Seperti kasus Tristan dowse, korban penjualan anak berkedok adopsi

adalah kasus yang besar tidak hanya di Indonesia tetapi juga di negara asal orang

tua yang mengadopsinya, Irlandia. Setelah melalui proses hukum tristan kembali

ke ibu kandungnya. Tristan adalah salah satu contoh adopsi orang asing,

walaupun dalam praktek terdapat jual beli, adopsi anak bernama asli Erwin

disahkan Pengadilan Negeri Jakarta selatan. Diyakini di Indonesia masih banyak

kasus yang sama dengan Tristan, namun masih belum terungkap.

Pengasuhan yang masih jauh dari tujuan adopsi yang sebenarnya atau

adopsi yang tidak sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku (Adopsi Ilegal),

oleh karena itu bagi orang yang hendak mengadopsi anak hendaknya memenuhi

peraturan hukum yang berlaku sebab trafficking bukan saja persoalan penjualan

anak untuk dieksploitasi baik seksual maupun tenaga kerja melainkan sudah

meliputi penjualan janin dalam kandungan dan penjualan anak dengan alasan

adopsi.
Dengan uraian di atas, maka penulis terdorong untuk melakukan

penelitian yang berjudul “KAJIAN HUKUM PIDANA PENGANGKATAN

ANAK SECARA ILEGAL”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah

adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana peraturan hukum mengenai pengangkatan anak

(adopsi) dan prosedur pengangkatan anak?

b. Bagaimana sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara

ilegal?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan peraturan hukum mengenai

pengangkatan anak (adopsi) dan prosedur pengangkatan anak;

dan

b. Untuk mengetahui dan menjelaskan sanksi pidana bagi pelaku

pengangkatan anak secara ilegal.


Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Anak Angkat (Adopsi)

Untuk memberikan pengertian tentang adopsi, kita dapat

membedakannya dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan

secara terminologi.

1. Secara etimologi

Adopsi berasal dari bahasa Belanda “adoptie” atau “adopt” (adoption)

bahasa inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Sedangkan

dalam bahasa Arab disebut “tabbani” yang menurut prof. Mahmud Yunus

diartikan dengan “mengambil anak angkat”. Sedang dalam kamus munjid

diartikan “ittikhadzahu ibnan”, yaitu menjadikannya sebagai anak.

Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum berarti

pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Jadi di sini

penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak

sebagai anak kandung.


2. Secara terminologi

Para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi,

antara lain :

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu

anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri. Sedangkan

dalam Ensiklopedia Umum disebutkan bahwa adopsi adalah suatu cara untuk

mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan

perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris

atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mampu memiliki anak.

Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang diadopsi kemudian

memiliki status sebagai anak dengan segala hak dan kewajibannya. Sebelum

melaksanakan adopsi, calon orang tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-

benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak.

Anak angkat menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak pasal 1 ayat 9 menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya

dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang

lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak

tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan

atau penetapan pengadilan.


Sedangkan surojo wignjodipuro dalam dalam bukunya “Pengantar dan

Azas-Azas Hukum Adat” menyatakan bahwa “adopsi adalah suatu perbuatan

pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga

antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu

hukum kekeluargaan yang sama, seperti antara orang tua dengan anak sendiri”.

Kemudian Dr. Mahmud Syaltut membedakan dua macam arti anak

angkat, yaitu :

1) Penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa sebagai anak

orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam segi

kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala

kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri; dan

2) Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia, tabanni ialah

memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke dalam

keluarganya yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya sebagai anak yang

sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.

Dengan demikian pengertian yang dikemukakan Dr. Mahmud Syaltut di

atas yang mungkin mempermudah kita untuk memahami istilah adopsi ini. Istilah

anak angkat pengertian pertamalah menurut beliau yang lebih tepat untuk kultur

indonesia yang mayoritas pemeluk Islam, sebab dijelaskan pengangkatan anak

adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,


pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak

nasabnya sendiri.

Oleh karena itu anak yang diangkat tersebut bukan sebagai anak pribadi

menurut syariat Islam dan tidak ada ketetapan sedikitpun dari syariat Islam kalau

mengambil patokan hukum Islam yang membenarkan arti yang demikian itu.

Sedangkan pengertian yang kedua menurut Dr. Mahmud Syaltut tesebut

persis dengan pengertian adopsi menurut hukum Barat, yaitu di mana arahnya

lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuinya sebagai anak

orang lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dan fungsi yang

sama persis dengan anak kandung.

Pengertian yang kedua ini konsekuensinya sangat serius karena sampai

kepada hak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya yang mengangkat dan

larangan kawin dengan keluarganya sendiri, hal ini jelas bertentangan dengan

Hukum Islam.

Dari rumusan di atas, maka istilah adopsi lebih ditekankan pada

pengertian pengangkatan anak dengan tidak memberikan status yang sama persis

dengan pengertian anak kandung.


Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan anak

angkat, tetapi hal ini hanya berbeda dari sudut etimologi dan sistem hukum yang

bersangkutan. Adopsi yang dalam bahasa Arab disebut “tabanni” mengandung

pengertian untuk memberikan status yang sama dari anak angkat menjadi anak

kandung sendiri dengan konsekuensinya ia mempunyai hak dan kewajiban yang

persis sama pula. Sedangkan istilah anak angkat adalah pengertian menurut

Hukum Adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian

sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan Indonesia.

B. Pengertian Anak Menurut Hukum

Pengertian anak secara umum yang dipahami masyarakat adalah

keturunan kedua setekah ayah dan ibu. Sekalipun dari hubungan tidak sah dalam

kacamata hukum tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi

dengan usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak

yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, ada di bawah pengawasan orang tuanya. Pengertian ini bersandar

pada kemampuan anak, jika anak mencapai umur 18 tahun, namun belum mampu

menghidupi dirinya, maka ia termasuk kategori anak. Namun berbeda apabila dia

telah melakukan perbuatan hukum.

Anak menurut pasal 1 angka 2 Undang-Undang Kesejahteraan Anak

seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin. Dalam

perspektif Undang-Undang Peradilan Anak pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa


anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal mencapai umur 8 tahun dan

belum pernah kawin.

Adapun pengertian anak menurut pasal 45 KUHP adalah orang yang

belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana)

sebelum berumur 16 tahun. Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak, anak adalah

setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun, kecuali berdasarkan undang-

undang yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa telah

mencapai lebih awal.

Dalam perkembangan anak diklasifikasikan menjadi beberapa bagian,

yakni :

a. Anak sah yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat

perkawinan yang sah atau hasil perbuatan suami istri yang sah

yang dilahirkan oleh istri tersebut.

b. Anak terlantar yaitu anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya

secara wajar, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun sosial.

c. Anak cacat yaitu anak yang mengalami hambatan secara fisik

atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan secara wajar.

d. Anak yang diunggulkan yaitu anak yang mempunyai kecerdasan

yang luar biasa atau memiliki potensi atau bakat istimewa.

e. Anak angkat yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan

kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan


anak ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya

berdasarkan atas putusan pengadilan.

f. Anak asuh yaitu anak yang dirawat oleh seseorang atau lembaga

untuk diberikan bimbingan, pendidikan, dan kesehatan karena

orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak

secara wajar.

Anda mungkin juga menyukai