Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa

perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai pasangan suami istri yang memiliki tujuan untuk

menciptakan serta membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pasangan suami istri tentunya memiliki tujuan terhadap perkawinan yang mereka

jalani salah satunya ada memiliki keturunan atas perkawinan mereka. Begitu

pentingnya keturunan dalam sebuah pernikahan sehingga semua pasangan suami

istri akan berusaha untuk memperoleh keturunan dari darah daging mereka

sendiri. Namun sayangnya, tidak semua harapan dan impian manusia dapat

dicapai dengan mudah, ada banyak pasangan suami istri yang sudah menikah

bertahun-tahun juga belum memperoleh rezeki berupa keturunan oleh yang maha

pencipta. Menyikapi hal ini, tentunya menjadi salah satu masalah yang krusial

yang hadir ditengah keharmonisan keluarga sebagai salah satu bentuk harapan

terbesar setiap pasangan suami istri.


Pengangkatan anak atau yang biasa dikenal baik oleh lingkungan dengan sebutan

adopsi menjadi salah satu langkah yang ditempuh oleh pasangan suami istri

berdasarkan kesepakatan bersama guna menghadirkan sosok buah hati ditengah

keluarganya agar menambah keharmonisan dan kebahagiaan keluarga kecil yang

sudah mereka bina. Tujuan dilakukannya adopsi atau pengangkatan anak ini

tentunya tidak terlepas dari tujuan untuk menjaga keutuhan dalam sebuah ikatan

pernikahan dan tentunya sebagai bentuk rasa kemanusiaan terhadap anak yang

tidak memiliki orang tua dan tidak memperoleh kasih sayang dari kedua orang tua

kandungnya.

Maraknya kasus perceraian serta tindakan poligami yang selama ini menjadi

masalah yang sangat dihindari oleh setiap pasangan suami istri juga salah satunya

disebabkan karena tidak hadirnya keturunan dalam rumah tangga atau

perkawinan. Bahkan banyak perspektif masyarakat yang menyimpulkan bahwa

dengan tidak adanya keturunan maka sebuah tujuan dalam perkawinan dan rumah

tangga tidak berhasil mereka capai. Oleh karena itu, hadirnya sebuah keturunan

atau yang selama ini disebut dengan “anak” atau “buah hati” merupakan sebuah

hal besar yang diharapkan dalam sebuah perkawinan dan rumah tangga untuk

dapat melanjutkan proses generasi kehidupan manusia.1

Sebuah keluarga dapat dipandang mencapai keharmonisan yang utuh ketika

anggota dalam keluarganya lengkap dengan ayah, ibu serta anak. Pada prinsipnya

kehadiran anak ialah sebuah anugerah besar dari sang maha pencipta dan

merupakan buah hati dari orang tuanya yang sangat berharga. Dengan

1
Soeryono Soekanto. 2001. Hukum Adat Indonesia. PT. Raja Grafindo. Jakarta. Hlm. 251
2
dilakukannya adopsi atau pengangkatan anak ini merupakan sebuah trobosan dan

salah satu yang dapat diupayakan oleh pasangan suami istri untuk menghadirkan

anak dalam rumah tangganya, mengambil dan memberikan pengasuhan kepada

anak sampai anaknya tumbuh menjadi dewasa dan menjadi sosok yang mandiri,

oleh karena adanya pengangkatan anak ini maka terjalinlah hubungan

kekeluargaan antara bapak dan ibu angkat disatu pihak dan anak angkat dilain

pihak.

Seorang pemikir islam yang disebut Ulama dari Negara Mesir mengutarakan

terkait pengangkatan anak dalam kedudukan mengadopsi anak orang lain yang

mana akan diberikan perlakuan seperti memberikan perlakuan terhadap anak

sendiri. Perlakuan yang dimaksudkan oleh ulama Mahmud Syaltut ini adalah

perlakuan dalam hal mengasihi (memberikan kasih sayang), memenuhi kebutuhan

termasuk nafkah dalam kehidupan sehari-hari serta menjamin pendidikan anak

yang telah diadopsinya maka pengangkatan anak atau yang disebut adopsi ini

dibenarkan oleh Islam.

Adopsi anak oleh kalangan Arab sudah mejadi sebuah kebiasaan yang dilakukan

oleh masyarakat jauh sebelum Islam datang, hal ini disebut dengan Tabanni2yang

diartikan sebagai pengambilan anak. Pengambilan anak atau yang disebut adopsi

secara umum yang kemudian diberi status anak kandung, sehingga anak

angkatnya memiliki hak untuk menggunakan nasab orang tua angkatnya dan

memiliki hak untuk mewarisi harta sepeninggalan orang tua angkatnya serta hak

lainnya sebagaimana hubungan antara anak dan orang tua.

2
Muderis Zaini. 2002. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum Cet ke-4. Sinar
Grafika. Jakarta. Hlm. 53.
3
Adopsi atau pengangkatan anak yang dilakukan di Indonesia telah menjadi sebuah

kebudayaan dalam masyarakat serta merupakan elemen dari sistem hukum

kekeluargaan, hal ini dapat dikategorikan menjadi hukum kekeluargaan karena

telah berpaut kepentingan setiap orang dalam keluarga.

Dalam hal pengangkatan anak atau adopsi anak tentunya orang tua angkat harus

melewati proses hukum dengan hasil penetapan oleh pengadilan. Karena

sebagaimana penegakan fungsi hukum dalam memberikan ketertiban maka adopsi

anak melalui proses sampai penetapan pengadilan merupakan sebuah eskalasi

dalam hal penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang hadir ditengah

masyarakat, selain hal merupakan sebuah bentuk ketertiban tentunya hal ini akan

memberikan sebuah kepastian hukum dikemudian hari bagi kedua belah pihak,

baik bagi orang tua angkat maupun bagi anak angkat. Proses adopsi anak dengan

dilakukan melalui pengadilan telah mengalami perkembangan yang cukup

signifikan baik dilingkup Pengadilan Negeri maupun dalam lingkup Pengadilan

Agama bagi yang beragama Islam.3

Adopsi anak dalam rangka mensejahterakan kehidupan anak merupakan salah satu

tindakan dalam dukungan terhadap adanya Undang-Undang perlindungan anak,

karena anak memiliki hak untuk dilindungi baik oleh orang tua, masyarakat

maupun pemerintah. Implementasi adopsi anak atau pengangkatan anak saat ini

telah dituangkan dalam aturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 54

Tahun 2007 tentang Pelaksaan Pengangkatan Anak, oleh karena itu peraturan ini

dapat diterapkan dalam hal pengangkatan anak atau yang biasa dikenal dengan

3
Ahmad Kamil dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia. PT. Raja Grafindo. Jakarta. Hlm. 12.
4
adopsi anak. Terlepas dari patuhnya kita sebagai masyarakat Indonesia untuk

mematuhi adanya peraturan di negara ini, maka adanya aturan ini tentu

merupakan langkah pasti yang diambil oleh pemerintah untuk mencegah adanya

deviasi terhadap adopsi anak untuk memberikan perlindungan dan kesejahteraan

anak, demi masa depan dan kepentingan terbaik terhadap anak.

Berdasarkan apa yang penulis jabarkan pada latar belakang ini, maka penulis

tertarik untuk mendalami regulasi ini yang kemudian akan penulis tuangkan

dalam penelitian ini dengan judul “TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

ADOPSI ANAK BERDASARKAN PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM

ISLAM”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini

adalah :

1. Bagaimana konsep pengangkatan anak dalam perspektif hukum islam?

2. Bagaimana pelaksanaan proses pengangkatan anak di Pengadilan Agama?

3. Apa akibat hukum yang timbul dengan adanya pengangkatan anak dalam

perspektif hukum islam?

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian penelitian yaitu mengkaji bagaimana status hukum anak

angkat dalam perspektif hukum islam serta proses pengangkatan anak melalui

Pengadilan Agama dan akibat hukum yang timbul dengan adanya kedua hal

tersebut.
5
D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan ini ialah :

a. Untuk mengetahui konsep pengangkatan anak dalam perspektif hukum

islam

b. Untuk mengetahui pelaksanaan proses pengangkatan anak di Pengadilan

Agama

c. Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dengan adanya

pengangkatan anak dalam perspektif hukum islam?

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian dalam penulisan ini antara lain :

a. Kegunaan Teoritis

Dengan hasil penelitian ini harapan penulis dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak dalam pencapaian tujuan yang diharapkan khususnya

dalam rangka pengangkatan anak menurut hukum islam.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini guna menambah informasi mengenai adopsi anak

berdasarkan perspektif hukum islam serta sebagai salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Muhammadiyah Metro

6
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Fitsgerald mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Salmond bahwa

kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia sehingga

hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusi yang

perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan-tahapan

yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya adalah kesepakatan

bersama yang mengatur tentang hubungan dan perilaku antar anggota

masyarakat, orang-perorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili

kepentingan masyarakat.4

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi tambahan informasi

bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum terhadap pengangkatan anak dalam

perspektif hukum islam.

Pada dasarnya proses pengangkatan anak atau yang biasa dikenal dengan adopsi

anak sudah diatur oleh pemerintah dan tertuang dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

2. Kerangka Konseptual

Konseptual terdiri dari kumpulan konsep yang di jadikan titik utama pengamatan.

Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian,

4
Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 53.
7
ensiklopedia, kamus, dan fakta. Dalam penelitian ini konseptualnya adalah

sebagai berikut :

a. Adopsi anak merupakan sebuah perbuatan hukum dalam memperoleh

peralihan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang

sah, maupun orang lain yang bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan

anak, termasuk perawatan, pendididkan dan membesarkan anak tersebut,

kedalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan penetapan

Pengadilan.

b. Perspektif disebut juga dengan poin of view. Berdasarkan asal katanya, arti

perspektif global adalah cara pandang atau wawasan yang menyeluruh dan

mendunia sedangkan secara ilmiah perspektif global diartikan sebagai cara

pandang yang menyeluruh.

c. Kompilasi merupakan kumpulan atas beberapa informasi yang diperkuat

dengana adanya dasar pemikiran yang kemudian ditelaah dan disimpulkan.

d. Hukum islam atau syariah adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada

wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul. Hukum Islam mengatur tingkah laku

yang mengikat bagi semua pemeluknya. Hukum Islam dipandang sebagai

ekspresi perintah Tuhan bagi umat Islam. Dalam penerapannya, hukum Islam

merupakan sistem yang menjadi kewajiban semua Muslim.

8
F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini tersusun dari lima bab dengan

tujuan untuk mempermudah dalam memahami isinya. Berikut adalah rincian dari

sistemtika penulisannya :

I. PENDAHULUAN

Isi dalam bab ini adalah latar belakang masalah, selanjutnya permasalahan serta

ruang lingkup, sehingga dapat dimuat tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka

teori dan konseptual serta yang paling akhir adalah sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Memuat berbagai kajian serta konsep yang saling berkaitan yaitu tinjauan umum

terkait tinjauan yuridis terhadap adopsi anak berdasarkan perspektif kompilasi

hukum islam.

III. METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan bagian yang menguraikan langkah-langkah yang

akan ditempuh oleh penulis dalam melakukan penelitian terdiri dari pendekatan

masalah, jenis dan sumber data, cara pengumpulan data-data dan pengolahan data-

data yang telah dikumpulkan.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Memuat hasil dari penelitian yang terdiri dari konsep pengangkatan anak dalam

perspektif hukum islam serta pengangkatan anak di Pengadilan Agama serta

akibat hukum yang timbul dengan pengangkatan anak dalam perspektif hukum

islam.
9
V. PENUTUP

Memuat kesimpulan umum berdasarkan dari hasil penelitian disertai dengan saran

yang sesuai terhadap permasalahan yang di ambil.

10
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Adopsi Anak atau Pengangkatan Anak

Anak merupakan tunas dan generasi muda penerus cita bangsa yang mempunyai

peran strategis dalam kelangsungan presensi suatu bangsa, oleh karena itu anak

harusnya memiliki kesempatan guna mendapatkan tumbuh kembang secara

optimal baik sosial, fisik serta mentalnya.

Adopsi anak atau yang biasa disebut dengan pengangkatan anak berasal dari kata

“adoptie” dalam bahasa Belanda atau “adoption” dalam bahasa inggris. Adopsi

anak yang dimaksudkan dalam hal ini ada pengangkatan anak untuk dijadikan dan

diperlakukan layaknya anak kandungnya sendiri. Dari pengertian menurut bahasa

dapat ditarik kesimpulan bahwa anak angkat ialah anak orang lain yang diangkat

menjadi anak sendiri. Pada hal ini yang harus digaris bawahi adalah adanya

persamaan atas segala bentuk tindakan dan perlakuan seperti perlakuan terhadap

anak kandungnya sendiri.

Mahmud Syaltut dalam buku yang disusun oleh Muderis Zaini dengan judul

“Adopsi” mengklasifikasikan pengertian anak angkat kedalam dua jenis, antara

lain:

11
Pertama, penyatuan pasangan suami istri terhadap anak yang diketahuinya bahwa

ia seorang anak orang lain ke dalam keluarganya, tetap memperoleh perlakuan

sebagaimana anak kandung pada umumnya dalam hal pemberian kasih sayang,

pemenuhan kebutuhan hidup, pendidikan dan perlakuannya namun bukan

diberikan perlakuan sebagai anak nasabnya sendiri.

Kedua,yaitu yang dijelaskan dari perkataan “tabanni” yaitu mengangkat anak

secara mutlak. Menurut syariat adat serta kabiasaan yang telah hadir dalam

masyarakat, Tabanni merupakan memasukkan anak yang sudah diketahuinya

sebagai orang lain kedalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada

dirinya, sebagai anak yang sah namun mempunyai hak dan ketentuan hukum

sebagai anak.5

Menarik kesimpulan pendapat Mahmud Syaltut terhadap pendapatnya diatas dapat

diketahui jika pengangkatan anak merupakan sebuah perlakuan sebagai anak

dalam hal memberikan kasih sayang, memenuhi kebutuhan, pendidikan serta

segala kebutuhannya namun bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.

Surojo Wignjodipuro mengemukakan dalam bukunya dengan judul buku

“Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat”, menjelaskan batasan antara lain “adopsi

atau yang biasa dikenal dengan mengangkat anak merupakan sebuah tindakan

pengambilan anak orang lain yang dihadirkan ditengah keluarga sendiri

sedemikian rupa, sehingga antara orang tua angkat dan anak memiliki hukum

5
Muderis Zaini. 1995. Adopsi, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika.
Jakarta. Hlm. 5-6.
12
kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orang tua dan anak kandungnya

sendiri.6

Penjabaran mengenai anak angkat adalah anak orang lain yang diangkat oleh

pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan atau pernikahan untuk

kemudian dijadikan anak kandungnya sendiri. Pengangkatan ini tentunya harus

selaras dengan hukum yang berlaku demi tercapainya tujuan rumah tangga atau

pernikahan dalam meneruskan keturunan dan memelihara harta kekayaan orang

tua angkatnya. Orang tua angkat merupakan pihak yang diberikan kekuasaan

dalam memberikan perawatan, menjamin pendidikannya serta membesarkan anak

berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan yang berlaku.

Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor

2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak disebutkan, bahwa dalam

pengangkatan anak yang sifatnya “intercountry”tersebut, maka sesuai dengan

“European Convention on the Adoption of Children”, yang memberikan

penjelasan bahwa pengangkatan hanya sah sifatnya, apabila diberikan oleh badan

peradilan dengan adanya penetapan maupun keputusan pengadilan yang menjadi

syarat esensialnya pengesahan anak.7

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam Pasal 1 angka 1 dijelaskan bahwa anak

angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga

orang tua wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,

6
Ibid.
7
Soedharyo Soimin. 2004. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Sinar Grafika,
Jakarta. Hlm. 14.
13
pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang

tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.

Terlepas dari Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007, Undang-Undang

Perlindungan anak juga menjelaskan terkait pengangkatan anak hanya dapat

dilakukan dalam rangka kepentingan yang terbaik untuk anak serta dijalankan

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengangkatan anak ini

tentunya tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan

orang tua kandungnya dan calon orang tua angkat haruslah seagama dengan

agama yang dianut oleh calon anak angkat.

Dalam masalah Adopsi atau Pengangkatan anak di Indonesia dikenal dengan 3

(tiga) sistem hukum, antara lain :

1. Adopsi atau pengangkatan anak dalam Hukum Barat (BW)

Adopsi merupakan sebuah tindakan manusia yang mana masuk dalam

kategori perbuatan perdata serta menjadi bagian dalam hukum kekeluargaan

dan mengikutsertakan persoalan terhadap setiap segala sesuatu yang

berhubungan dengan hubungan antara manusia.

Oleh karena itu, meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak

mengatur perihal adopsi ini namun karena desakan masyarakat maka

pemerintah Hindia Belanda berusaha menyusun sebuah aturan tersendiri

terkait adanya adopsi ini.

Dengan demikian dikeluarkannya Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917 dalam

Pasal 5 sampai 15 yang menjelaskan terkait aturan permasalahan adopsi atau


14
yang biasa dikenal pengangkatan anak ini guna diterapkan pada Masyarakat

Tionghoa atau Timur Asing.8

Dalam Pasal 5 Staasblad ini menuangkan aturan terkait siapa saja yang dapat

mengadopsi, diantaranya menyebutkan bahwa seorang laki yang memiliki

istri atau telah pernah beristri yang tak memiliki keturunan laki-laki yang

salah dalam garis perkawinan, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki

sebagai anaknya.

Dapat ditarik kesimpulan mengenai penjelasan diatas bahwa yang boleh

mengangkat anak ialah sepasang suami istri yang tidak memperoleh anak

laki-laki, seorang duda yang tidak memiliki anak laki-laki ataupun seorang

janda yang tidak memiliki anak laki-laki, asalkan janda yang bersangkutan

tidak ditinggalkan berupa amanah yaitu dengan adanya surat wasiat dari

suami yang menjelaskan tidak memperkenankan adanya pengangkatan anak.

Dalam hal ini tidak dituangkan secara detail terkait batasan usia untuk

mengadopsi anak.

Mengenai tata cara adopsi dalam staatblad dituangkan dalam Pasal 8 sampai

dengan 10, dimana persyaratan yang dituangkan adalah sebagai berikut:

a. Kesepakatan orang yang mengangkat anak;

b. Apabila anak yang akan diadopsi memiliki orang tua yang masih

hidup maka harus dengan izin orang tua; apabila ayahnya sudah

meninggal dan ibunya sudah menikah lagi maka adopsi anak harus

8
Muderis Zaini. Op.Cit., Hlm.33.
15
atas izin dan kesepakatan dari walinya serta dari balai harta

peninggalan selaku penguasa wali;

c. Namun jika anak yang akan di adopsi tidak lahir dalam sebuah

perkawinan, maka pengadopsian ini memerlukan persetujuan dari

orang tua yang mengakui sebagai anaknya, apabila anak tersebut tidak

memiliki orang tua yg mengakuinya sebagai anak maka pengadopsian

ini harus atas izin dari walinya serta balai harta peninggalan.

d. Apabila anak yang diadopsi berusia 19 tahun atau lebih maka

pengadopsian ini juga harus atas dasar kesepakatan dari anak tersebut.

e. Jika yang mengadopsi adalah seorang janda maka pengadopsian anak

ini harus atas izin dari saudara laki-laki serta ayah dari almarhum

suaminya, namun jika tidak memiliki saudara laki-laki atau ayah yang

masih hidup, atau jika tempat tinggalnya tidak di Indonesia, maka

pengadopsian ini harus memiliki izin dan atas dasar persetujuan

anggota laki-laki dari keluarga almarhum suaminya dalam garis laki-

laki sampai derajat keempat.9

2. Adopsi atau Pengangkatan anak dalam Hukum Adat

Pada dasarnya sistem hukum adat Indonesia terdapat perbedaan terhadap

Hukum Barat yang individualistis liberalistis. R.Soepomo menjelaskan,

hukum adat kita memiliki ciri sebagai berikut:

a. Memiliki sifat kemanusiaan yang baik dalam hal kebersamaan.

b. Memiliki

9
Ibid. Hlm.35.
16
c. Memiliki karateristik religius-magis yang erat kaitannya terhadap

pandangan hidup alam Indonesia;

d. Hukum adat diselimuti oleh pemikiran serta penataan yang serba konkrit.

e. Memiliki sifat yang visual, maksud dari visual disini adalah hubungan

hukum dianggap hanya terjadi karena ditetapkan dengan sebuah iaktan

yang dapat terlihat.

Oleh akrena itu, khusus terhadap permasalahan adopsi anak pada masyarakat

Indonesia juga sudah pasti memiliki ciri kebersamaan antar berbagai daerah.10

3. Adopsi atau Pengangkatan anak dalam Hukum Islam

Agama islam menganjurkan umatnya agar mengasuh anak milik orang lain

yang dianggap kurang mampu, kekurangan harta, terlantar atau bahkan tidak

memperoleh kasih sayang dari orang tuanya. Akan tetapi dalam pengasuhan

anak ini umat islam tidak diperkenankan menghilangkan serta memutus

hubungan dan hak anak yang diasuhnya dengan orang tua kandungnya.

Pengadopsian dalam islam ini harus berdasarkan pada pemberian santunan

secara sukarela, yang mana tentunya selaras dengan anjuran Allah yang telah

dituangkan dalam kitab sucai Surat Al-Ahzab (33:4-5), yang pada intinya

dapat ditarik kesimpulan seperti dibawah ini:

a. Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia

b. Anak angkat bukanlah anak kandungmu

c. Panggilah anak angkatmu menurut nama bapaknya

10
Ibid. Hlm. 42-43.
17
B. Sejarah Pengangkatan Anak dalam Agama Islam

Pengadopsian Anak atau yang dikenal pengangkatan anak dalam islam sudah ada

sejak dahulu kala sebelum kerasulan Muhammadad SAW. Seorang rector

Universitas Al-Azhar Kairo di Mesir bernama Mahmud Syaltut dan seorang

mujtahid memberikan penjelasan bahwa kebiasaan pengangkatan anak

sesungguhnya telah dilakukan oleh penduduk berbagai bangsa India, Yunani,

Romawi dan lain sebagainya. Dalam lingkungan masyarakat arab pada masa

jahiliyyah pelaksanaan pengangkatan anak disebut dengan at-tabanni yang sudah

menjadi kebiasaan turun temurun.11

(Q.S Al – Ahzab ayat 4)

“Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya; dan Dia

tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak

menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu

hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan yang sebenarnya dan

Dia menunjukkan jalan (yang benar)”

(Q.S Al – Ahzab ayat 5)

“Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak

mereka; itulah yang adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak

mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan


11
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. 2008. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam.
Kencana. Jakarta. Hlm. 22
18
maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi

(yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun,

Maha Penyayang”

Pada ayat yang tertuang diatas dapat ditarik kesimpulan yaitu adanya

pengangkatan anak diperkenankan dalam Islam, karena Nabi Muhammad SAW

telah terlebih dahulu memberikan contohnya, akan tetapi adanya pengangkatan

anak itu harusnya tidak memberikan perubahan terhadap status nasab seseorang,

karena Allah SWT sudah menuangkan dalam Al-Qur’an bahwa status nasab tidak

boleh dinisbahkan kepada ayah angkatnya.

Sejarah kehidupan Rasulullah SAW pada saat sebelum kenabian, Rasulullah SAW

pernah menjalani ikatan pernikahan dengan Zainab binti Jahsy, mantan istri anak

angkatnya tersebut. Hal berikut ini bisa dijadikan sebagai justifikasi kebolehan

mantan istri dari anak angkat. Pada Al-Qur’an hal ini dituangkan dalam Al-Ahzab

pada ayat 37

“Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah

diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya,

“Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau

menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan

engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka

19
ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya),

Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang

mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak

angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan

Allah itu pasti terjadi”

Ayat tersebut merupakan dasar yang akan memberikan penjelasan terhadap

pernikahan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW terhadap mantan istri dari

anak angkatnya, bahwa dengan adanya hubungan pengangkatan anak tersebut

tidak berarti menimbulkan hubungan nasab yang menjadikan persamaan status

seperti anak kandungnya, melakukan pernikahan dengan mantan istri anak angkat

itu diizinkan, namun melakukan pernikahan dengan mantan istri anak kandung itu

dilarang dalam islam.

Adanya pengangkatan anak tidak memberikan pengaruh kemahmaran terhadap

anak yang diangkat dengan orang tua angkatnya. Tidak adanya larangan atas

perbuatan saling mengawini dan tetap tidak diperkenankan untuk saling mewarisi

inilah yang menjadi akibat dari tidak adanya kemahraman terhadap anak angkat.

C. Perlindungan Adopsi Anak

Pelaksanaan Perlindungan kepada anak yang diadopsi mencakup berbagai lingkup

kehidupan dengan tetap memperhatikan hak asasi anak yang sudah melekat saat

anak dilahirkan, antara lain:

20
1. Perlindungan Keagamaan

Anak pada dasarnya memperoleh perlindungan untuk dapat melaksanakan

ibadahnya sesuai dengan agamanya. Anak dapat mengikuti agama yang

dianut kedua orang tuanya sampai anak dapat menentukan pilihannya sendiri

terhadap agama yang akan dianutnya. Setiap orang bahkan negara dan

pemerintahpun meliputi lembaga-lembaga sosial menjamin perlindungan

anak atas agamanya, jaminan ini meliputi bimbingan, binaan serta

pengalaman ajaran agama terhadap anak.

2. Perlingungan atas kesehatan

Kewajiban pemerintah dalam memberikan fasilitas serta memberikan upaya

kesehatan yang komprehensif untuk anak. Pemberian pelayanan kesehatan

tersebut sudah semestinya didorong oleh keberadaan masyarakat. Upaya

kepesehatan yang dimaksud dalam hal ini termasuk dalam upaya promotif,

preventif serta kuratif dan rehabilitative baik terhadap pelayanan yang berupa

layanan dasar sampai dengan pemberian layanan kesehatan rujukan.

Kewajiban dalam menjaga kesehatan serta merawat anak yang dilakukan oleh

orang tua dan keluarga ini sudah harus diimplementasikan sejak anak masih

dalam kandungan.

3. Perlindungan atas pendidikan

Negara, pemerintah, keluarga bahkan orang tua haruslah mengupayakan

pendidikan untuk anaknya, karena pendidikan merupakan anak untuk

memperoleh pendidikan seluas-luasnya. Hal ini sudah dilaksanakan


21
pemerintah dengan mewajibkan pendidikan dasar dengan minimal 9

(Sembilan) tahun untuk setiap anak yang berada di Indonesia. Ketika orang

tua, keluarga bahkan lingkungannya tidak mampu dalam memberikan hak

pendidikan kepada anak yang mana sudah selayaknya didapatkan anak maka

pemerintah berhak mengambil alih peran kerabatnya untuk memberikan biaya

pendidikan berupa bantuan cuma-cuma guna memberikan kesempatan kepada

anak untuk mengenyam bangku pendidikan tanpa melihat asal muasal anak

yang mana pemerintah menerapkan kebijakan ini sampai di daerah terpencil.

Namun kemudahan yang diberikan pemerintah ini haruslah mendapat

dukungan dan support yang baik dari masyarakat untuk dapat berperan aktif

bergerak mengimplementasikan kemudahan pendidikan bagi setiap anak demi

mengubah kehidupan bangsa menjadi lebih baik. Bukan hanya pendidikan

yang diperhatikan oleh pemerintah, dalam mengenyam pendidikan

pemerintah juga memberikan batasan dalam lingkungan sekolahnya, batasan

ini berupa dilarangnya kekerasan yang dilakukan oleh para pendidik serta

pengelola sekolah sampai dengan teman-teman yang berada dalam lingkup

sekolah yang sama seluruh lembaga pendidikan. Hal ini semata-mata

dilakukan pemerintah untuk memberikan pendidikan gratis guna mengubah

kehidupan bangsa menjadi lebih baik serta memberikan perlindungan kepada

setiap anak dalam lingkup sekolahnya.

4. Perlingungan atas hak sosial

Hak sosial untuk memberikan kesejahteraan kepada anak ini dilakukan

pemerintah dengan cara memberikan perawatan kepada anak yang terlantar,

22
tindakan ini dapat dilakukan didalam lembagai ataupun diluar lembaga.

Lembaga ini juga tidak harus lembaga pemerintahan yang mana lembaga

masyarakat juga diperkenankan untuk memberikan pelayanan hak sosial

kepada anak terlantar. Demi menunjang diraihnya kesejahteraan anak dalam

memperoleh pelayanan hak sosial, lembaga-lembaga dapat melaksanakan

kerjasama dengan berbagai pihak terkait untuk menunjang tercapainya hak ini

dan tentunya tidak terlepas dari pengawasan yang dilakukan oleh kementerian

sosial.

5. Perlindungan yang bersifat eksekpsional

Perlindungan khusus ini merupakan salah satu langkah pemerintah untuk

tetap memberikan perlindungan saat situasi darurat. Perlindungan ini tertuang

dalam produk hukum berupa undang-undang perlindungan anak yang

menjelaskan ukuran terhadap perlindungan yang diberikan kepada anak.

Situasi darurat dan mendesak dalam hal ini contohnya anak yang berhadapan

dengan hukum, anak yang terisolasi, anak yang berada dalam kelompok

minoritas, anak yang mengalami eksploitasi baik dalam hal ekonomi maupun

seksual, perdagangan anak, anak yang menjadi korban penyalahgunaan

alcohol, narkotika, psikotoprika serta napza, anak yang mengalami kekerasan

baik fisik maupun mental, anak korban penculikan, anak yang menderita

cacat fisik dan lain sebagainya.

23
D. Hak dan Kewajiban Anak Adopsi

Perlindungan yang diberikan kepada anak di Indonesia mencakup juga kepada

anak adopsi dalam rangka guna memberikan jaminan agar terpenuhinya hak setiap

anak untuk dapat hidup dan tumbuh kembang serta memberikan partisipasinya

secara maksimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, dan

memperoleh perlindungan atas kekerasaan dan diskriminasi demi untuk

mewujudkan anak di Indonesia yang memiliki kualitas, sejahtera dan berakhlak

mulia.

Anak kandung maupun anak adopsi serta anak-anak lain pada dasarnya

merupakan titipan dan karunia Tuhan maka dalam dirinya sudah melekat dan

memiliki hak sebagai mana hak anak dan memiliki harkat dan martabat

selayaknya manusia yang utuh. Hak ini lah yang harus dihormati dan

Pengertian hak dalam undang-undang adalah bagian dari hak asasi manusia yang

wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

negara, pemerintah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak pada Pasal 1 angka 12. Hak ini termasuk karunia pemberian

dari Tuhan kepada setiap umatnya yang disebut juga hak kodratiah untuk

menopang serta mempertahankan kehidupan dan prikehidupannya di dunia.

Hak anak dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

24
Anak pada Bab II yang dirinci dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18, diantaranya

sebagai berikut:

1. Pasal 4
“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
2. Pasal 5
“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan”
3. Pasal 6
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan
orang tua atau wali”
4. Pasal 7
1) “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri.”
2) “Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak
tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat
oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”
5. Pasal 8
“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial
sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial”
6. Pasal 9
1) “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakat”
 “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan disatuan
pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang
dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, semua peserta
didik dan/atau pihak lain”
2) “Selain mendapatkan hak anak sebagaimana dimaksud dalam diatas,
anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar
biasa dan anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan
pendidikan khusus”
7. Pasal 10
“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan
kepatutan”
8. Pasal 11
“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan
minat, bangkat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”
25
9. Pasal 12
“Setiap anak penyandang disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”
10. Pasal 13
 “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
1) diskriminasi;
2) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
3) penelantaran;
4) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
5) ketidakadilan; dan
6) perlakuan salah lainnya.”
 “Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.”
11. Pasal 14
 “Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika
ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa
pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.”
 “Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud ayat (1),anak tetap
berhak:”
1) “Bertemu langsung dan berhubungan pribadi secata tetap dengan
kedua orang tuanya.”
2) “Mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, dan
perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.
3) Memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya.
4) Memperoleh hak anak lainnya”
12. Pasal 15
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari :
1) Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
2) Pelibatan dalam sengketa bersenjata;
3) Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
4) Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur
5) kekerasan;
6) Pelibatan dalam peperangan;
7) Kejahatan seksual.”
13. Pasal 16
1) “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.”
2) “Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum”
3) “Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir.”
14. Pasal 17
1) “Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
26
a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.”
2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
15. Pasal 18
“Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”

Tidak semua anak dapat tumbuh dan berkembang didampingi orang tua

kandungnya, menyikapi hal ini maka Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dalam Pasal 4 Ayat 1 memberikan

jalan terobosan untuk mereka anak yang tidak mempunyai orang tua kandung agar

dapat tumbuh dan berkembang layaknya anak pada umunya dengan tetap

memperhatikan jasmani, rohani dan sosial dengan memperbolehkan anak untuk

diasuh oleh negara, orang atau badan lain.12 Terlepas dari hak-hak anak adopsi

seperti yang sudah penulis tuangkan diatas, maka selayaknya anak pada

umumnya, anak adopsi juga memiliki kewajiban antara lain:

1. Menghormati orang tua, wali serta guru

2. Mencintai keluarga, lingkungan masyarakat dan menyayangi teman

3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara

4. Menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya serta

5. Melaksanakan etika dan akhlak mulia

12
Darwan Prinst. 2020. Hukum Anak Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm.
94
27
E. Kedudukan Anak Adopsi

Sudah penulis tuangkan dalam tulisan diatas bahwasanya adanya adopsi anak atau

pengangkatan anak ini tidak dapat menghilangkan tali perkerabatan pada anak

adopsinya terhadap orang tua kandungnya. Pada dasarnya adopsi anak ini hanya

untuk memasukkan anak adopsi hadir ditengah kehidupan rumah tangga orang tua

angkatnya saja.13 Yang penulis tuangkan diatas juga berdasarkan atas Peraturan

Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang

tertuang dalam Pasal 4 “Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah

antara anak yang diangkat dengan orang tua kandung” namun sayangnya dalam

peraturan pemerintah ini tidak memberikan penjelasan terkaitan bagaimana

kedudukan anak angkat dalam hal pewarisan dari orang tua angkatnya.

Selain hukum positif yang ada di Indonesia, Hukum Islam memberikan penjelasan

secara rinci bahwa anak angkat tidak memiliki kedudukan yang ssama dengan

anak kandung, oleh karena itu anak angkat dalam hukum islam tidak memiliki

hubungan hukum apapun. Hubungan hukum terhadap orang tua kandungnya tidak

terputus, bahkan anak angkat dinasabkan kepada ayah kandungnya dan dituliskan

dibelakang nama anak angkatnya. Hal ini tentunya merupakan suatu perbedaan

terhadap hukum islam dan hukum positif.14

Selain hukum islam dan hukum positif, hukum adat menganut sistem patrilineal

pada prinsipnya pengabdosian anak hanya pada anak laki dalam rangka

13
H. Zaeni Asyhadie. 2020. Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia. PT.
Raja Grafinfo Persada. Depok. Hlm. 270
14
Panca Ahmad Siburian. 2021. Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak Menurut
Hukum Positif dan Hukum Adat Batak Karo. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara Medan. Hlm. 33
28
menjadikannya penerus keturunan yang memiliki kedudukan sama dengan anak

kandung serta mendapatkan hak untuk memiliki hak waris.

Kedudukan anak adopsi ini dapat dikaegorikan menjadi anak adopsi sebagai

penerus keturunan, anak adopsi adat yang diangkat karena perbikahan atau

penghormatan. Pada adat lampung anak adopsi menjadi tega tegi biasanya

diangkat dari anak yang masih memiliki tali kekerabatan dengan bapak

angkatnya. Apabila anak adopsi tersebut menjadi penerus keturunan dengan

menikahkannya kepada anak gadis yang dimiliki bapak angkat tersebut disebut

nyentane pada adat bali serta anak adopsi itu menjadi sentane tarikan yang

diberikan hak dan kewajiban sama dengan anak kandung. Yang dimaksud anak

adopsi karena pernikahan ini terjadi disebabkan karena pernikahan antara suku.

29
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu sarana pokok dalam suatu pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, oleh sebab itu penelitian bertujuan untuk mengungkap

kebenaran yang sistematis, metodologis dan konsisten. Metode penelitian yang

diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Metode

penelitian digunakan untuk menjawab suatu permasalahan-permasalahan dalam

suatu penelitian dan merupakan cara ilmiah untuk menganggapi berbagai fakta.15

A. Metodelogi Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode,

sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu, juga

diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk

kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang

timbul di dalam gejala yang bersangkutan.16

15
Zaunudin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta. Hlm. 17
16
Ibid. Hlm. 14.
30
Berdasarkan permasalahan yang diteliti, maka metode yang digunakan adalah

hukum normatif. Metode hukum normatif atau kepustakaan dilakukan dengan

cara meneliti bahan pustaka.17

B. Jenis Penelitian

Jenis metode yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, yaitu melalui

pendekatan studi kepustakaan dengan cara mengutip, membaca, dan memahami

aturan-aturan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas. Jenis

pendekatan ini bertujuan untuk mengumpulkan data-data, teori, aturan-aturan

hukum perdata khususnya pada pengangkatan anak dalam perspektif hukum islam

serta proses pengangkatan anak di Pengadilan Agama.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah pada penelitian ini adalah pendekatan hukum secara

normatif, tahap pendekatan yang dapat ditentukan adalah penentuan pedekatan,

identifikasi pokok bahasan, rincian subpokok bahasan, pengumpulan, pengolahan,

penganalisaan dan kesimpulan hasil dalam bentuk karya ilmiah.

D. Sumber Data

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai aturan hukum

yang pasti, meliputi:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

17
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat Cet.11. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2009. Hlm. 13.
31
c. Undang-Undang Republik Inonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia;

d. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 Tentang

Pengadilan Agama;

e. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang

Perlindungan Anak;

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007

Tentang Pelaksanaan Pengangaktan Anak;

g. Al-Quran, Hadist, Buku-Buku pemahaman fiqh;

h. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang

Kompilasi Hukum Islam;

2. Bahan hukum sekunder merupakan penunjang dari bahan hukum primer

yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku, jurnal maupun penelusuran

dari internet yang berhubungan dengan penulisan skripsi.

3. Bahan hukum tersier merupakan bahan yang memberikan keterangan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder misalnya seperti Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) dan ensiklopedia.

E. Pengumpulan Data dan Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan

cara studi pustaka yaitu mengkaji dari sumber-sumber hukum yang sudah ada dan

yang terkodifikasi. Studi pustaka dilakukan untuk mencari informasi dari sumber

32
data buku-buku, jurnal, mengkutip peraturan perundang-undangan, dan buku-

buku pustaka lainnya yang berhubungan dengan skripsi ini.

Setelah data-data yang diperlukan sudah memenuhi, maka pengolahan data yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini dengan cara:

1. Pemeriksaan data, jika data yang terkumpul sudah dianggap benar, tidak

berlebihan, dan dirasa sudah cukup dan relevan dan dirasa sudah cukup

menjawab permasalahan yang ada.

2. Rekonstruksi data, yaitu menyusun ulang data yang ada sehingga mudah

untuk dipahami.

3. Sistematika data, menyusun secara benar data sesuai dengan kerangka

sistematika dari permasalahan.

F. Analisis Data

Berdasarkan tipe penelitian yang bersifat deskriptif, maka analisis data yang

dipergunakan adalah pendekatan kualitatif menguraikan data dan menyusun

kalimat yang tersusun dengan teratur. Penelitian deskriptif tersebut merupakan

struktur hukum positif yang digunakan penulis sebagai rujukan untuk

menyelesaikan permasalahan hukum yang dibahas dalam penelitian. 18

Data yang didapat dalam penelitian ini akan diuraikan kedalam kalimat-kalimat

yang disusun secara sistematis, sehingga didapatkan gambaran secara umum dan

dapat ditarik kesimpulan secara ilmiah dan mudah untuk dimengerti.

18
Zainuddin Ali. Op.cit. Hlm. 107.
33
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Al-Qur’an dan Terjemahan. 2005. CV Pernerbit Diponegoro. Jawa Barat.

Ahmad Kamil dan M. Fauzan. 2008. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan


Anak di Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan. 2008. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam. Jakarta : Kencana.

Darwan Prinst. 2020. Hukum Anak Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

H. Zaeni Asyhadie. 2020. Hukum Keluarga Menurut Hukum Positif di Indonesia.


Depok : PT. Raja Grafinfo Persada.

Muderis Zaini. 1995. Adopsi, Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta :
Sinar Grafika.

Muderis Zaini. 2002. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum Cet ke-4.
Jakarta : Sinar Grafika.

Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Soedharyo Soimin. 2004. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta :


Sinar Grafika.

Soeryono Soekanto. 2001. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2009. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat Cet.11. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Zaunudin Ali. 2011. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Sinar Grafika.

34
Undang-Undang / Deklarasi :

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlidungan Anak

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 jo Undang-Undang No. 23 Tahun 2002


Tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksaan Pengangkatan


Anak

Jurnal :

Panca Ahmad Siburian. 2021. Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak


Menurut Hukum Positif dan Hukum Adat Batak Karo. Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan.

35

Anda mungkin juga menyukai