PENDAHULUAN
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat teoritis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan dan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Kesehatan dalam bentuk makalah. Selain memberikan sumbangan pemikiran
dan untuk memenuhi tugas argumentasi hukum makalah ini juga akan membahas
mengenai pengertian serta proses bayi tabung, implementasi aturan hukum terkait
teknologi bayi tabung di Indonesia, dan status hukum bayi tabung ditinjau dari
Hukum Herdata serta hubungan nasabnya ditinjau dari Hukum Islam.
1.4.2 Manfaat Praktis
Makalah ini dapat dipergunakan sebagai acuan kepada seluruh pihak baik
masyarakat, pemerintah beserta pihak yang berprovesi dibidang kesehatan yang
dimana sebagai pemberi pelayanan kesehatan diantaranya seperti:
a. Makalah ini diharapkan mampu memberi masukan yang ideal dan implementatif
bagi pemerintah, masyarakat dan kelompok dalam pelaksanaan hukum maupun
dibidang kesehatan sebagai pemberi pemberi pelayanan kesehatan kepada
masyarakat.
b. Makalah ini diharapkan dapat memberi masukan berupa tambahan pengetahuan
maupun pandangan tentang pengertian serta proses bayi tabung, implementasi
aturan hukum terkait teknologi bayi tabung di Indonesia, dan status hukum bayi
tabung ditinjau dari Hukum Herdata serta hubungan nasabnya ditinjau dari
Hukum Islam, serta pemahaman hukum kesehatan pada masyarakat khususnya
bagi mahasiswa dan kelompok yang membacanya.
c. Makalah ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tambahan baik itu bagi
mahasiswa, masyarakat kelompok yang membaca bahwa setiap masyarakat dalam
pemahaman bayi tabung.
2.3 Status Hukum Bayi Tabung Ditinjau Dari Hukum Perdata Serta Hubungan Nasabnya
Ditinjau Dari Hukum Islam
A. Status Hukum Bayi Tabung Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dengan sel telur
di luar tubuh (In Vitro Fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut diamsukkan kembali
ke dalam rahim ibu atau embrio ditransfer sehingga embrio dapat tumbuh menjadi janin
sebagaimana layaknya kehamilan biasa. Status bayi tabung ada tiga macam yaitu:
1) Kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung menggunakan sperma
suami.
Dalam pasal 250 KUHPerdata dijelaskan tentang pengertian anak sah, yaitu anak sah adalah tiap-
tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami
sebagai bapaknya. Kedudukan anak yang dilakukan oleh pasangan suami isteri dengan mengikuti
bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri, kemudian
embrionya ditrasplantasikan ke dalam rahim isteri dan berhasil memperoleh anak, apabila
ditinjau dari konsep KUHPerdata dan UU Nomor 1 Tentang Perkawinan, sperma dan ovum yang
digunakan serta tempat embrio ditransplantasikan, maka nampaklah bahwa:
Anak itu secara biologis anak dari pasangan suami-isteri
Yang melahirkan anak itu adalah isteri dari suami
Orang tua anak itu terikat dalam perkawinan yang sah
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak yang dilahirkan melalui teknik bayi tabung yang
menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami-isterri kemudiann embrionya
ditransplantasikan ke dalam rahim isteri secara hukum dapat dikualifikasikan sebagai anak yang
sah. Oleh karena anak itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah yang dimana sperma dan ovum
dari pasangan suami-isteri serta yang mengandung dan melahirkan adalah isteri dari suami yang
bersangkutan. Sedangkan intervensi teknologi adalah semata-mata untuk membantu proses
pembuahannya saja, yang dimana dalam pembuahan tersebut terjadi dalam tabung gelas yang
proses selanjutnya tetap berada dalam rahim isteri yang sah.
2) Kedudukan hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung menggunakan sperma
donor
Teknik bayi tabung semula diajurkan sebagai pengobatan untuk kemandulan yang mula-
mula tubanya tersumbat dan hanya menyangkut pasangan suami-isteri yang hidup dalam
perkawinan yang sah. Penggunaan bayi tabung dengan sperma donor suatu saat akan
menimbulkan persoalan bidang hukum dikarenakan anak itu lahir dalam ikatan perkawinan yang
sah tetapi di sisi ain benihnya berasal dari orang lain (donor). Sehingga hal tersebut dikenal
dengan 2(dua) macam ayah, yaitu ayah yuridis dan ayah biologis. Dengan demikian seorang
anak yang dilahirkan melalui bayi tabung dengan menggunakan sperma donor dapat
dikualifikasikan sebagai anak sah (Pasal 250 KUHPerdata) atau dianggap sebagai anak luar
kawin. Dalam hal ini terdapat dua kualifikasi atau jawaban yaitu bahwa anak itu sebagai anak
sah melalui pengakuan dan jawaban kedua bahwa anak itu sebagai anak luar kawin. Seperti yang
telah disinggung sebelumnya, masalah anak sah diatur dalam pasal 250 KUHPerdata dan Pasal
42 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 250 KUHPerdata berbunyi “Tiap-tiap anak yang dilahirkan
atau ditumbuhkan memperoleh si suami sebagai bapaknya”. Selanjutnya Pasal 42 UU Nomor 1
Tahun 19974 menjelaskan “Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”. Apabila pasal tersebut digunakan dalam menentukan kedudukan hukum
anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung yang menggunakan sperma donor maka jelaslah
bahwa anak tersebut dikatakan anak sah. Bertitik tolak dari beberapa uraian sebelumnya jika
dikemukanan bahwa kedudukan yuridis anak yang dilahirkan melalui teknik bayi tabung dengan
menggunakan sperma donor dan atas izin dari suaminya maka anak tersebut dikatakan sah
melalui pengakuan. Sedangkan jika penggunaan sperma donor tidak sepengetahuan suami atau
tidak mendapatkan izin dari suami maka anak itu dikualifikasikan sebagai anak luar kawin,
karena suami dapat menyangkal tentang keabsahan anak yang dilahirkan oleh isterinya itu,
berdasarkan Pasal 44 UU Nomor 1 Tahun 1974.
3) Kedudukan Hukum anak yang dilahirkan melalui proses bayi tabung menggunakan rahim
sewaan (surrogate mother)
Munculnya ide surrogate mother ini disebabkan karena istri tidka dapat mengandung
karena kerusakan pada rahimnya atau isteri sejak lahir tidak punya rahim, atau bahkan istri ingin
mempertahankan tubuh atletisnya, mengingat ia adalah seorang wanita karier. surrogate mother
apabila ditinjau dari segi teknologi dan ekonomi tidak menimbulkan suatu masalah, tetapi tidak
jika ditinjau dari segi hukum karena dalam hukum positif yang mengatur tentang surrogate
mother secara khusus di Indonesia belum ada, namun apabila menggunakan cara berpikir
argumentum a contrario maka dapat diterapkan Pasal 1548, 1320, dan 1338 KUHPerdata.
Pasal 1548 KUHPerdata berbunyi:
“Sewa-menyewa ialah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya kepada pihak lainnya kenikmatan suatu barang, selama waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga, dan pihak yang lain tersebut belakangan disanggupi pembayarannya”.
Dalam hal ini apakah rahim seorang perempuan dapat dijadikan dianggap suatu barang/sebagai
objek sewa-menyewa atau tidak. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dapat digunakan
ketentuan pasal 1320 KUHPerdata untuk melihat syarat-syarat dalam sewa-menyewa
(perjanjian) rahim ini terpenuhi atau tidak. Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah diatur tentang
syarat-syarat sahnya perjanjian. Bilamana syarat pertama dan kedua (subjekif) tidak terpenuhi,
maka perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar), sedangkan kalau syarat ketiga dan keempat
tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (nullandvoid). Apabila syarat pertama dan
kedua yang diterapkan dalam perjanjian adalah sewa menyewa rahim, maka perjanjian itu dapat
terpenuhi karena disini orang-orang yang terlibat atau para pihak yang mengadakan perjanjian
yaitu orang tua yang menitipkan embrio dan ibu pengganti serta mereka yang melakukan
perjanjian tersebut adalah orang yang cakap dan sepakat melakukan perbuatan hukum.
Sedangkan masalah syarat ketiga dan keempat dalam pasal 1320 KUHPerdata dapat diterapkan
dalam perjanjian sewa-menyawa rahim, yang dimana rahim merupakan obyek yang nyata (real)
yang dapat dijadikan objek perjanjian dan sebab yang halal juga dapat diterapkan karena hal ini
tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Meskipun
persoalan sewa-menyewa rahim pada KUHPerdata belum ada, tetapi undang-undang sendiri
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian, sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:”Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Perjanjian
sewa-menyewa rahim secara hukum dapat dikatakan sah, karena telah memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan dalam undang-undang. Supaya perjanjian antara surrogate mother dan orang tua
gentis mempunyai kekuatan mengikat, maka sebaiknya perjanjian tersebut di tulis dihadapan
notaris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kedudukan hukum anak yang dilahirkan
melalui proses bayi tabung yang menggunakan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri
kemudian embrionya di transplantasikan ke dalam rahim surrogate mother dikualifikasikan
sebagai anak angkat. Oleh karena itu secara yuridis anak itu adalah anak ibu pengganti dari
suaminya sedangkan secara genetis anak itu adalah anak pasangan suami isteri yang memesan.
B. Hubungan Nasab Bayi Tabung Dalam Perspektif Hukum Islam
Masalah bayi tabung atau inseminasi buatan menurut pandangan Islam termasuk masalah
kontemporer ijtihadiah, karena tidak terdapat hukumnya secara spesifik di dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah bahkan dalam kajian fikih klasik sekalipun. Oleh karena itu jika hendak dikaji
menurut hukum Islam, maka harus dengan memakai metode ijtihad yang lazimnya dipakai oleh
para ahlu ijtihad, agar dapat ditemukan hukumnya yang sesuai dengan prinsip dan jiwa Al-
Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan sumber pokok hukum Islam. Kajian masalah bayi
tabung atau inseminasi buatan ini harus menggunakan multidisipliner oleh para ulama dan
cendikiawan muslim dari berbagai disiplin ilmu yang relafan, agar dapat diperoleh kesimpulan
hukum yang benar-benar proposional dan mendasar,misalnya ahli kedokteran, biologi, hukum,
agama, dan etika.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang bayi tabung atau inseminasi buatan, Dewan
Peminpin Majelis Ulama Indonesia menfatwakan:
a) Bayi tabung yang dilakukan dengan sel sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah
hukumnya mubah (boleh), sebab hal ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor: Kep-952/MUI/XI/1990 tentang
inseminasi Buat-an/Bayi Tabung, tertanggal 26 November 1990 menyebutkan bahwa
inseminasi buatan/bayi tabung dengan sperma dan ovum yang diambil dari pasangan suami-
isteri yang sah secara muhtaram, dibenarkan oleh islam, selama mereka dalam ikatan
perkawinan yang sah.
b) Bayi tabung yang dilahirkan dari pasangan suami isteri dengan titipan rahim isteri lain
(misalnya dari isteri kedua dititip pada isteri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah
sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya
dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
c) Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya
haram berdasarkan kaidah sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah
pelik,dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan kewarisan.
d) Bayi tabung yang sperma dan ovumn ya diambil dari salah satu pasangan bukan suami isteri
yang sah hukumnya adalah haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin
antar lawan jenis di luar pernikahan yang tidak sah (zina), dan berdasarkan kaidah sadd az-
zari’ah yaitu untuk menghidari terjadinya zina.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumasari, Diana. 2011. “Bayi Tabung dan Hak Warisnya”. Diakses dari:
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl1885/hukum-waris-bayi-tabung/. Pada tanggal
(05 Mei 2021). Jam (01.20).