Anda di halaman 1dari 26

AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT

DENGAN ORANG TUA ANGKAT

1
Mhd Fahmi Rizky,2Rangga Dwi Satriawan,3Ronny Imtara
Email : rizkyfahmi018@gmail.com, Ranggadwisatriawan@gmail.com,
ronnyimtara02@gmail.com.

Abstrak
Pengangkatan anak oleh orang tua angkat tertentu pada akhirnya akan
menimbulkan akibat akibat yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. Seperti
hal nya pada pewarisan. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VII/2010 dikaitkan dengan ketentuan Anak Luar Kawin dalam hal
pewarisan, memungkinkan untuk anak angkat bisa mendapat hak warisnya. Anak
angkat tidak diakui sebagai ahli waris di dalam Hukum Islam. Selain itu mengenai
bagiannya anak angkat terdapat bagian sendiri yang sudah diatur di dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2). Bagian anak angkat yang sudah
ditetapkan didalam KHI yaitu sebesar 1 /3 (sepertiga) yang dimana bagian ini
lebih kecil dari anak kandung. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian hukum normatif yang fokusnya menganalisis dari studi kepustakaan
dan mengkaji bahan hukum primer dan sekunder.
Kata Kunci : Akibat Hukum, Anak Angkat, Orang Tua Angkat

Abstract
Adoption of a child by certain adoptive parents will eventually have
consequences that may occur in the future. As is the case with inheritance. After
the decision of the Constitutional Court No. 46/PUU-VII/2010 related to the
provisions on children outside marriage in terms of inheritance, it is possible for
adopted children to get inheritance rights. Adopted children are not recognized as
heirs in Islamic law. In addition, regarding the share of adopted children, there is
a separate section which has been regulated in the Compilation of Islamic Law
Article 209 paragraph (2). The share of adopted children that has been
determined in the KHI is 1/3 (one third) which is smaller than the biological
children. In this study, the author uses a normative legal research method that
focuses on analyzing literature studies and examining primary and secondary
legal materials.
Keywoards : Legal Consequences, Adopted Children, Adoptive Parents

1 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG TUA


ANGKAT
A. LATAR BELAKANG

Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk


menyambung keturunan serta warisan harta kedua orang tua. Mempunyai anak
adalah kebanggaan bagi keluarga. Namun,demikian tujuan tersebut terkadang
tidak dapat tercapai sesuai dengan harapan yang diinginkan. Beberapa pasangan
hidup tidaklah sedikit dari mereka mengalami kesulitan dalam memperoleh
keturunan. Sedangkan, harapan untuk mempunyai anak nampaknya begitu besar.
Sehingga kemudian diantaranya mereka ada yang mengangkat anak. Banyak
warga Negara Indonesia adanya tekanan sosial bahwa seorang perempuan harus
melahirkan anak dan cara instant adalah dengan mengangkat anak orang lain yang
seringkali tak terpikirkan menjadi pilihan. Bahkan justru zaman sekarang yang
lebih popular adalah budaya adopsi anak sebagai ‘pancingan’ supaya pasangan
yang kesulitan memiliki momongan bisa lebih cepat punya anak kandung dan
Negara juga memutuskan menyetujui adanya pengangkatan anak (adopsi)
dikarenakan dengan alasan banyak anak terlantar yang ada di Negara Indonesia
sebab mengadopsi bisa membantu dan menyelamatkan masa depan mereka dan
secara hukum bahwa anak angkat dan anak kandung prinsipnya bisa punya
kedudukan dan hak yang sama tanpa adanya diskriminasi.(Iin Ratna Sumirat dkk,
2021:46)

Pengertian anak angkat secara bahasa (etimologis) dalam kamus Bahasa


Indonesia dapat kita jumpai, arti anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil
dan disahkan sebagai anaknya sendiri. Secara istilah yang sudah dikenal dalam
pengangkatan anak di Indonesia adalah bahwa pengangkatan anak sering disebut
adopsi, adopsi sendiri merupakan kata serapan yang berasal dari kata adoptie
dalam bahasa Belanda yang berarti mengangkat atau menjadikan anak. Istilah
“pengangkatan anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa
Inggris adoption, mengangkat seorang anak, yang berarti mengangkat anak orang
lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak sama dengan anak
kandung.(Abdul Latif dkk, 2021:156)

2 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
Sedangkan pengertian pengangkatan anak menurut terminologi memiliki
berbagai macam pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar,
diantaranya sebagai berikut : Menurut Hilman Hadi Kusuma, anak angkat adalah
anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi
menurut hukum adopsi setempat, dikarenakan untuk tujuan kelangsungan
keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.(Hadikusuma,
1982:149).

Persoalan anak angkat adalah persoalan yang menarik, karena anak angkat
dan lembaga pengangkatan anak termasuk persoalan yang aktual di tengah-tengah
masyarakat, tidak hanya pada masa sekarang tetapi sudah ada sejak masa pra
penjajahan yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat di nusantara, demikian
juga sejak zaman pra Islam sampai pada Islam datang di bawa oleh Nabi
Muhammad di tanah Arab.( Al-Amruzi, 2018:110)

Anak angkat adalah anak yang diambil dan dijadikan sebagai anak untuk
di pelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang sebagaimana layaknya anak
kandung. Dalam kenyataan di masyarakat, ada anak yang diangkat untuk diasuh
dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ada pula anak yang
diangkat sebagai anak sendiri dan diberi status sebagai anak kandung. Ada pula
anak yang diangkat hanya sebagai anak angkat biasa dan bahkan terkadang tidak
mendapatkan apapun dari orang tua angkatnya hanya sebagai anak angkat dan
orang tua angkat.(Folber Panjaitan, 2017:98)

Didalam undang-undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas


undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam pasal
1 menjelaskan bahwa anak angkat adalah haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.(Lidya Rahmadian Hasibuan, 2019:33)

3 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
Berdasarkan uraian Permasalahan diatas, maka penulis dapat merumuskan
menjadi tiga (3) Rumusan masalah, yang pertam (1) Bagaimanakan kedudukan
anak angkat menurut Hukum Positif di Indonesia?, yang ke dua (2).
Bagaimanakan kedudukan anak angkat menurut Hukum Islam?, dan Yang ketiga
(3). Bagimanakah akibat Hukum Anak Angkat dengan Orang Tua Angkatnya
Dalam hal Mewaris Berdasarkan Hukum Perdata dan Hukum Islam?. Dan karena
hak tersebut maka penulis tertarik untuk menulis jurnal yang berjudul “AKIBAT
HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG TUA
ANGKAT”.

B. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum


normatif. Jadi penelitian hukum doktrinal adalah bedasar pada studi kepustakaan,
yang fokusnya adalah menganalisis bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder. Dimana bahan hukum primer adalah peraturan-peraturan hukum yang
berlaku dan kasus hukum, sedangkan bahan hukum sekunder termasuk pendapat-
pendapat hukum yang terdapat dalam buku maupun jurnal hukum. Bahan
referensi lain seperti ensiklopedi hukum juga dapat dibutuhkan sebagai petunjuk.
(Kornelius Bernuf, 2020:26)

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Positif di Indonesia

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


menyebutkan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (9) mengatakan bahwa anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang
tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Ketentuan tersebut
menjelaskan bahwa pengangkatan anak hanya bersifat pengalihan kekuasaan.
Dalam konteks selanjutnya makna pengalihan kekuasaan tersebut akan terjabar

4 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
sesuai dengan keyakinan (agama) yang di anut dalam proses pengangkatan anak.
(Al-Amruzi, 2018:108)

Dalam KUHPerdata, istilah pengangkatan anak atau adopsi ini tidak


dikenal, akan tetapi hanya mengenai adopsi di luar kawin sebagaimana diatur
dalam Pasal 280 s.d. 290 KUHPerdata, sehingga pada prinsipnya di dalam
KUHPerdata ini tidak mengenal lembaga pengangkatan anak karena apabila
dilihat dari sumber hukumnya yang berasal dari produk pemerintahan Hindia
Belanda, negara penciptanya tersebut memang tidak diatur bahkan tidak dikenal
istilah adopsi. Oleh karena itu, bagi penduduk dan/atau warga negara Belanda
tidak dapat melakukan adopsi secara legal, meskipun saat ini Staten General mulai
menerima adanya hukum positif berupa UU terkait pengangkatan anak (adopsi).
Ketentuan yang dibuat tersendiri di luar KUHPerdata mengenai pengangkatan
anak yaitu melalui Staatblaad 1917 No. 129, di mana ketentuan ini dibuat sebagai
pelengkap dari KUHPerdata dan hanya berlaku bagi warga Tionghoa saja.
Apabila dilihat dari sudut pandang akibat hukum adopsi, maka Staatblaad 1917
No. 129 menerangkan status anak dari proses adopsi tersebut tidak sebagai anak
angkat, tetapi beruah menjadi anak sah, sehingga hubungan keperdataan antara
anak angkat dengan orang tua kandung anak yang diadopsi tersebut menjadi
terputus atau hilang. Oleh karena itu, anak yang diadopsi tersebut mempunyai hak
waris dari orang tua angkatnya. (Angga Airy Ghifari, 2018:6)

2. Kedudukan Anak Angkat Menurut Hukum Islam

Secara etimologi, dalam kamus besar bahasa Indonesia anak angkat berarti
anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri. Selanjutnya
dalam bahasa Inggris dapat dijumpai kata Adopt yang berarti “Take a child into
one’s family and treat is as one’s own” yang jika di terjemahkan dalam bahasa
Indonesia adalah mengambil anak dalam keluarga dan menganggapnya sebagai
anak sendiri. Dalam bahasa Arab pengangkatan anak disebut dengan “Tabbani’
yang artinya mengambil anak angkat. dari beberapa pengertian tersebut dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang

5 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
diangkat dan atau diadopsi menjadi anak sendiri atau dengan kata lain persamaan
status anak angkat dari hasil pengangkatannya sebagai anak kandung. Secara
Terminologi, dalam Buku II tentang Kewarisan pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaannya
untuk biay hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggungjawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.(Ari Dwi Nur Alam, 2021:15)

Beranjak dari pengertian tersebut diatas, penekanan istilah anak angkat


adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,
pendidikan dan pelayanan dalam segala hal kebutuhan dan bukan diberlakukan
sebagai anak nasabnya sendiri. Oleh karena itu anak angkat bukanlah anak pribadi
menurut syariat islam dan tidak ada ketetapan sedikitpun menurut syariat islam
membenarkan hilangnya nasab orangtua asalnya, berlaku sebaliknya apabila
mengacu pada hukum barat yang arahnya lebih kepada menekankan pengertian
masuknya anak yang diketahui sebagai anak orang lain kedalam keluarganya
dengan mendapat status dan fungsi yang sama dengan anak kandung sehingga
memiliki konsekuensi sampai kepada hak mewaris harta warisan orang tua
angkatnya.(Helda Mega Maya, 2021:220)

Pengangkatan adalah suatu tindakan hukum dan oleh karenanya tentu akan
pula menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu sebagai akibat hukum dari
pengangkatan anak menurut hukum islam adalah sebagai berikut :

1. Beralihnya tanggungjawab pemeliharaan untuk kehidupan sehari-hari, biaya


pendidikan dan sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya (Pasal
171 huruf [h] Kompilasi Hukum Islam). Hal ini bukan berarti bahwa orang tua
kandung tidak boleh membantu pemeliharaan anak hanya saja tidak dapat dituntut
untuk itu.

2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah atau nasab antara anak
angkat dengan orang tua kandung dan keluarganya, sehingga antara mereka tetap
berlaku hubungan mahram dan hubungan saling mewaris.

6 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
3. Pengangkatan anak tidak menimbulkan hubungan darah antara anak angkat
dengan orang tua angkatnya, sehingga antara mereka tidak ada hubungan mahram
dan hubungan saling mewaris.

4. Pengangkatan anak menimbulkan hubungan hukum yang beralihnya


tanggungjawab pemeliharaan untuk kehidupannya sehari-hari, biaya pendidikan
dan sebagainya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya. Hal ini bukan
berarti bahwa orang tua kandung tidak boleh membantu pemeliharaan anak hanya
saja tidak dapat dituntut untuk itu.

5. Mereka antara anak angkat dan orang tua kandungnya tetap berlaku hubungan
mahram dan hubungan saling mewaris.

Perwalian Anak Angkat

Perwalian anak pada umumnya diatur dalam undang-undang perlindungan


anak pasal 33 yang memberikan ketentuan rincian kondisi anak dan perwaliannya
pada saat itu. Perwalian terhadap anak dapat dikaji dari aspek definisi anak angkat
sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 9 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002, anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan pendidikan serta membesarkan anak tersebut dalam lingkungan orang
tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa perwalian anak angkat telah beralih dari orang tua
kandungnya kepada orang tua angkatnya. Dengan kata lain orang tua angkat
memiliki hak atas anak angkatnya termasuk dalam bidang harta kekayaan.
Putusanpengadilan yang memberikan wewenang kepada wali atas anak angkat
untuk melakukan perbuatan hukum maka orang tua angkat tersebut dapat
mengurus harta kekayaan anak angkatnya dengan disertai adanya penetapan dari
pengadilan. Wali yang ditunjuk apabila dikemudian hari tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum maka melalui penetapan pengadilan hak
perwaliannya dicabut. Ketentuan perwalian yang ada di undang-undang ini
berbeda dengan ketentuan yang ada dalam hukum islam, karena dalam hukum
7 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG
TUA ANGKAT
islam anak angkat artinya adalah anak yang diketahuinya sebagai anak orang lain
yang diperlakukan dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan
sebagainya bukan diperlakukan sebagai anak dan menasabkan kepada dirinya.
(Adawiyah Nasution, 2019 :15)

Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa apabila seseorang dilarang


mengingkari nasab anak-anaknya sendiri, maka ia juga dilarang untuk mengaku
anak nasab orang lain sebagai nasabnya. Islam menganggap bahwa pengangkatan
anak secara mutlak merupakan pemalsuan terhadap keaslian nasab dan keturunan.
Selain itu secara sosiologis akibat pengangkatan anak secara mutlak dapat
menimbulkan perselisihan diantara saudara dan kerabat serta memutuskan
hubungan persaudaraan. Dalam sejarahnya, Nabi Muhammad SAW sebelum
diutus sebagai Rasul juga memiliki seorang anak angkat yang bernama Zaid bin
Haritsah yang merupakan seorang budak sebelum dibebaskan oleh Rasulullah
yang kemudian merubah nama anak tersebut menjadi Zaid bin Muhammad.
Beberapa waktu kemudian turun wahyu yang menjelaskan permasalahan tersebut
yang menetapkan peraturan tentang waris mewaris yang ditentukan hanya kepada
orang-orang yang ada pertalian darah turunan dan perkawinan. Setelah itu nama
Zaid bin Muhammad dikembalikan semula menjadi Zaid Bin Haritsah. Dari sini
jelaslah bahwa adopsi dan memberikan status yang sama dengan anak
kandungnya sendiri adalah bertentangan dengan hukum islam, sedangkan apabila
ditelaah dalam pengertian terbatas dengan tanpa merubah nasab atau garis
keturunan maka kedudukan hukumnya diperbolehkan bahkan dianjurkan.(Ahmad
Bayuki, 2018:56)

Pengangkatan anak dalam hukum islam dapat dilakukan apabila memenuhi


ketentuan sebagai berikut :

1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua biologis serat keluarganya

8 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkatnya
melainkan tetap sebagai ahli waris dari orang tua kandungnya, demikian juga
orang tua tidak berkedudukan sebagai pewaris harta anak angkatnya.

3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali hanya sebagai pengenal atau alamat.

4.Orang tua angkat tidak bisa bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap
anak angkatnya.

3. Akibat Hukum Anak Angkat dengan Orang Tua Angkatnya Dalam hal
Mewaris Berdasarkan Hukum Perdata dan Hukum Islam

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk


memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan
yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki hukum. Lebih
jelas lagi bahwa akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari segala
perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap obyek hukum atau
akibatakibat lain yang disebabkan karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum
yang bersangkutan telah ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.
(Dermina Dsalimunthe, 2017:13)

Pengangkatan anak dapat di laksanakan menurut kebiasaan adat setempat


yang di atur dalam hukum adat, maupun dalam peraturan perundang undangan
yang ada di indonesia yang khususnya telah diatur dalam peraturan pemerintah
NO. 54 Tahun 2007. Kedua cara pengangkatan anak tersebut dianggap sudah sah
untuk menetapkan anak orang lain menjadi anak angkat. Namun, dalam
praktiknya sering juga diminta penetapan ke pengadilan Negeri agar memperoleh
kepastia hukum.(Valentinus Ronaldo Naibahi, 2021:28)

Secara faktual telah diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian
dari kebiasaan masyarakat di Indonesia dan telah merambah melalui praktek
melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama islam dan Lembaga Peradilan
9 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG
TUA ANGKAT
Negeri Bagi yang ber agama non Islam. Syarat umur anak yang akan di adopsi
menurut peraturan pemerintah NO.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak adalah belum berusia 18 tahun tetapi yang merupakan
prioritas utama adalah anak yang belum berusia 6 tahun. Menurut Peraturan
pemerintah Repiblik Indonesia No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak bahwa hal yang penting di perhatikan dalam hal adopsi
adalah bahwa pengangkatan anak agar tidak sampai memutuskan hubungan darah
antara anak yang di angkat dengan orang tua kandungnya dan orang tua angkat
wajib memberitahukan kepada anak angkatnya tentang asal usulnya dan mengenai
orang tua kandungnya. Karena tujuan pengangkatan anak yang sebenarnya adalah
untuk kepentingan terbaik bagi si anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
anak dan perlindungan terhadap anak. Jadi, kesejahteraan dan perlindungan anak
menjadi tujuan prioritas dalam sebuah adopsi. Undang-undang No. 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga menegaska bahwa pengangkatan anak tidak memutus
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Terutama dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka
orang tua angkat menjadi wali atas anak angkatnya tersebut. Sejak saat itu pula,
segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat
kecuali bagi anak angkat perempuan yang bearagaman islam, bila dia akan
menikah, maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah bapak kandungnya atau
wali nasab lainnya. .(Klaudius Ikam, 2018;75)

Pengangkatan anak oleh orang tua angkat tertentu pada akhirnya akan
menimbulkan akibat akibat yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
Keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional
yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan yang satu dengan yang lain, namun hak
haknya sebagai anak tidak dapat diabaikan begitu saja.(Klaudius Ikam, 2018:76)

Seperti halnya dalam Pewarisan atau pembagian Waris, baik anak angkat
maupun anak kandung harus dijamin hak haknya dan tidak boleh dikurangi.
Mengenai pengangkatan anak juga tidak luput dari permasalahan pembagian harta

10 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
waris saat meninggal. Di Indonesia, waris tidak diatur secara spesifik. Namun
terdapat beberapa aturan yang berhubungan dengan hukum waris anak angkat
baik secara hukum positif yang berlaku di Indonesia maupun Hukum Islam
sebagai hukum yang eksistensinya diakui di Indonesia. Hukum tersebut biasanya
menjadi pedoman para ahli untuk menentukan pembagian waris terhadap anak
angkat.(Adul Manan, 2017:76)

Sistem kewarisan atau keturunan yang dianut oleh BW adalah sistem


parental dan bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Karena keterkaitan antara hukum waris
sangat erat dengan hukum kekeluargaan, maka dalam membahas tentang waris ini
merupakan pembahasan yang mencakup dengan hukum perkawinan. Dalam
sistem Hukum Waris BW, “atas suatu perwarisan berlakuan ketentuan tentang
pewarisan berdasarkan Undang-Undang kecuali pewaris mengambil ketetapan
lain dalam suatu wasiat,” selanjutnya mengenai harta atau barang peninggalan di
atur dalam Pasal 849 BW, yang menyatakan bahwa: Undang-undang tidak
memandang akan sifat atau asal daripada barang-barang dalam suatu peninggalan
untuk mengatur pewarisan terhadapnya. (Ellyne Dwi Poespasari, 2018:65)

Pada dasarnya sistem kewarisan yang dianut KUH Perdata adalah sistem
Parental atau Bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Namun selain pewarisan secara
keturunan atau sistem pewarisan ab intensato menurut undangundang tanpa surat
wasiat sebagaimana ketentuan Pasal 832 KUH Perdata, terdapat juga sistem
pewarisan menurut wasiat (testament) sebagai ketentuan Pasal 875 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya, terjadi setelah ia
meninggal dan dapat dicabut kembali olehnya.(Ridwan Arifin, 2018:34)

Dalam KUH Perdata menggunakan istilah Legitieme Portie karena


pewarisan baru ada eksistensinya, bilamana si erflater telah meninggal dunia,
maka dengan begitu terdapat peralihan hak milik kepada erfgenaam. Kemudian

11 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
mengenai bagaimana cara dan siapa yang berhak atas harta waris dari erflater, BW
telah mengaturnya dalam dua (2) bentuk yaitu secara keturunan ab intenstato dan
berdasarkan testamenteir erfrecht. Sedangkan mengenai subjek yang berhak atas
harta waris BW menentukan tiga pihak : Erfgenaam, Negara dan Pihak Ketiga.
Berdasarkan pengertian tersebut terdapat syarat-syarat untuk peralihan harta
kekayaan pewaris kepada ahli warisnya meliputi syarat umum dan syarat mutlak.
Adapun yang menjadi syarat umum adalah: a) adanya orang yang meninggal
dunia (Pasal 830 KUH Perdata); b) ahli waris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUH
Perdata); c) tentang hal pembayaran hutang (Pasal 1100 KUH Perdata).
Sedangkan yang menjadi syarat mutlak adalah harus ada orang yang meninggal
(Pasal 830 KUH Perdata), kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir (Pasal
467 jo Pasal 470 KUH Perdata) bahwa pewaris belum meninggal. Syarat kematian
atau harus ada orang yang meninggal ini disamping syarat umum juga merupakan
syarat mutlak.

Terkait dengan harta warisan tidak seperti halnya pada KHI maupun
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang membagi 2 (dua)
harta keluarga, yaitu harta asal maupun harta gono-gini, maka dalam sistem
kewarisan menurut KUH Perdata tidak memisahkan harta asal dan harta gono-gini
dalam pewarisan sebagai ketentuan Pasal 849 KUH Perdata yang menyatakan
“undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang
dari suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. ”21 Ini berarti
baik harta bawaan atau harta gono-gini menjadi harta warisan.

Pada dasarnya sistem kewarisan yang dianut KUH Perdata adalah sistem
Parental atau Bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Namun selain pewarisan secara
keturunan atau sistem pewarisan ab intensato menurut undangundang tanpa surat
wasiat sebagaimana ketentuan Pasal 832 KUH Perdata, terdapat juga sistem
pewarisan menurut wasiat (testament) sebagai ketentuan Pasal 875 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi

12 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya, terjadi setelah ia
meninggal dan dapat dicabut kembali olehnya.(Indah sari, 2018:56)

Cara mewarisi ahli waris dalam sistem KUH Perdata terbagi atas 2 (dua)
macam yaitu :

a. Ahli waris menurut UU (Ab Intenstato)

Ahli waris menurut UU ab intensato adalah ahli waris yang mempunyai


hubungan darah dengan si pewaris. Ahli waris yang berdasarkan undang-undang
ini berdasarkan kedudukannya dibagi menjadi dua bagian yaitu :

1) Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde). Ahli waris yang
tergolong golongan ini adalah yang terpanggil menerima harta warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri dalam Pasal 85 ayat (2) KUH Perdata
dinyatakan : “mereka mewaris kepala demi kepala jika dengan meninggal mereka
memiliki pertalian derajat dengan kesatu dan masingmasing mempunyai hak
dengan diri sendiri.”

2) Berdasarkan Penggantian (Bij Plaatvervuling). Ahli waris yang menerima ahli


waris dengan cara menggantikan, yakni ahli waris yang menerima warisan sebagai
pengganti ahli waris yang berhak menerima warisan yang meninggal dunia
terlebih dahulu dari pewaris. Ahli waris Bij Plaatvervuling diatur dalam Pasal
841- 848 KUH Perdata.

b. Ahli waris berdasarkan wasiat (testament)

Yang menjadi ahli waris disini ialah orang yang ditunjuk atau diangkat
oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (erfstelling), yang
kemudian disebut sebagai ahli waris ad testamento. Wasiat atau testament dalam
KUH Perdata adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu
ialah keluar dari salah satu pihak saja dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh
pewasiat secara tegas atau secara diam-diam. Aturan Testament yang terdapat

13 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
dalam Pasal 874 KUH Perdata ini mengandung suatu syarat yang mana bahwa
testament tidak boleh bertentangan dengan Legitime Portie dalam Pasal 913 KUH
Perdata dan yang paling lazim adalah suatu testament berisi apa yang dinamakan
erfstelling yaitu penunjukan seseorang atau beberapa orang menjadi ahli waris
yang akan mendapatkan harta warisan seluruh atau sebagian dari harta warisan. .
(Indah sari, 2018:58)

Ahli waris pengganti dapat dibagi menjadi tiga golongan yaitu :

1) Penggantian dalam garis lurus kebawah;

2) Penggantian dalam garis lurus kesamping;

3) Penggantian dalam garis ke samping menyimpang;

Ketentuan Pasal 852 KUH Perdata merupakan bentuk hak untuk mewarisi
harta waris seorang anak angkat yang telah diakui secara sah menurut hukum
sekalipun ia tidak didasarkan atas suatu testament tertulis. Sedangkan hak
mewaris anak angkat yang diangkat secara sah menurut hukum terhadap harta
orang tua kandungnya harus ditinjau menurut Stb. No 129 Tahun 1917 dan
menurut UU No 23 Tahun 2002. Pada dasarnya sistem pewarisan atau penentuan
siapa yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris adalah didasarkan pada
keturunan atau adanya hubungan darah atau ab intestato dan secara wasiat atau
testament merujuk pada siapa yang berkedudukan sebagai ahli waris yang
mempunyai hak mutlak atau legitieme portie atau bagian harta warisan yang akan
diberikan kepada para ahli waris baik dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.
Oleh karena itu seorang anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang
tua angkatnya.(Regi Mulya Ramdani, 2019:54)

Pengangkatan anak akan mempengaruhi kedudukan hak mewaris anak


angkat terhadap orang tua angkatnya. Pada prinsipnya pewarisan terhadap anak
angkat dikembalikan kepada hukum waris orang tua angkatnya. Didasarkan
pemikiran hukum , orang tua angkat berkewajiban mengusahakan agar setelah ia

14 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
meninggal dunia, anak angkatnya tidak terlantar. Untuk itu biasanya dalam
kehidupan bermasyarakat, anak angkat dapat diberi sesuatu dari harta peninggalan
untuk bekal hidup dengan jalan wasiat. Hukum waris menurut KUHPerdata
mengenal peraturan hibah wasiat ini dengan nama testamen yang diatur
dalamBuku II bab XIII. Hibah wasiat merupakan suatu jalan bagi pemilik harta
kekayaan semasa hidupnya menyatakan keinginannya yang terakhir tentang
pembagian harta peninggalannya kepada ahli waris yang baru akan berlaku
setelah si pewaris meninggal dunia. Dengan hibah wasiat maka seseorang yang
tidak berhak mewaris, atau yang tidak akan mendapat harta warisan tertentu, ada
kemungkinan mendapatkannya dikarenakan adanya pesan atau umanat, hibah atau
hibah wasiat daripewaris ketika masih hidup. Di lingkungan masyarakat hal
tersebut dapat terjadi terhadap isteri dan atau anaknya yang keturunannya rendah
atau juga terhadap anak angkat dan anak akuan.(Tasya Salsa Ilaha, 2022:24)

Menurut Hukum Barat (KUHPerdata) terdapat pembatasan dalam hal


membuat hibah wasiat yaitu tentang besar kecilnyaharta warisan yang akan
dibagi-bagikan kepada ahli warisyang disebut “Ligitime Portie”, atau
”wettelijkerfdeel” (besaran yang ditetapkan oleh Undang-Undang). Hal ini diatur
dalam Pasal 913-929 KUHPerdata. Tujuan dari pembuatan Undang-undang dalam
menetapkan Legitime Portie ini adalah untuk menghindari dan melindungi anak si
wafat dari kecenderungan si wafat menguntungkan orang lain, demikian kata
Asser Meyers yang dikutip dalam buku oemarsalim. Ligitime Portie (bagian
mutlak) adalah bagian dari harta peninggalan atau warisan yang harus diberikan
kepada para waris dalam garis lurus, terhadap bagaimana si pewaris dilarang
menetapkan sesuatu baik yang berupa pemberian (Hibah) maupun hibah wasiat
(Pasal 913 KUHPerdata). Dengan demikian maka yang dijamin dengan bagian
mutlak atau Legitime Portie itu adalah para ahli waris dalam garis lurus kebawah
dan keatas (sering dinamakan“Pancer”).Dalam garis lurus kebawah, apabila si
pewaris itu hanya meninggalkan anak sah satu–satunya, maka bagian mutlak
baginya itu adalah setengah dari harta peninggalan. Jadi apa bila tidak ada
testamen maka anak satu-satunya itu mendapat seluruh harta warisan, jikaada

15 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
testamen anak satu – satunya itu dijamin akan mendapat setengah dari harta
peninggalan.(Tasya Salsa Ilaha, 2022:25)

Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang
mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan
kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik ia masih kanak-kanak (belum
dewasa) maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama dengan adopsi
ini Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang terdapat
pada pasal-pasal yang mengatur tentang bagian mutlak oleh Undang-undang
dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat
(testamentairerfrecht), yaitu di dalam Pasal 913, 914, 916 dan seterusnya. Cara
mendapatkan warisan menurut hukum perdata barat yaitu Pasal 832, 842, 852,
852a, 913, 914, dan 916a yang berhak menjadi ahli waris keluarga sederajat baik
sah maupun di luar kawin yang diakui, serta semuanya istri yang hidup terlama. .
(Tasya Salsa Ilaha, 2022:26)

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VII/2010 dikaitkan


dengan ketentuan Anak Luar Kawin dalam hal pewarisan, majelis Mahkamah
Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) inkonstitusional bersyarat. Dalam
amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
(Adelia Rosalina, 2022:202)

Dengan adanya putusan MK tersebut maka perubahan besar terjadi dalam


sistem hukum perdata pun tak bisa dihindari. Misalnya dalam hukum waris,
berdasarkan KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak
luar kawin yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya putusan MK
tersebut maka anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai
hubungan waris dengan bapak biologisnya. Dengan demikian terdapat beberapa

16 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
resiko yang akan timbul, salah satunya terkait dengan tanah yang menjadi objek
waris. Biasanya, tanah waris dipergunakan sebagai jaminan atas transaksi di bank
oleh para ahli waris. Dengan adanya putusan MK tersebut maka tuntutan anak luar
kawin terhadap jaminan tersebut dapat timbul. Selain itu tidak dapat dipungkiri,
akan timbul banyak gugatan ke pengadilan agama (Islam) dan pengadilan negeri
(non-Islam) dari anak luar kawin.(Adelia Rosalina, 2022:202)

Di Indonesia hukum waris masih bersifat dualisme dan pluralisme. Dalam


hal ini berarti hukum waris tidak hanya bergantung pada satu aturan, tetapi
terdapat aturan lain yang tidak bisa dilarang dan harus dihormati. Seperti
contohnya bagi masyarakat muslim berlaku Hukum Islam sebagai pedoman yang
ditaati sebagai hukum bagi masyarakat muslim di Indonesia. Berlakunya Hukum
Islam sendiri ini dikarenakan bagi seorang muslim akan berdosa dia jika tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah tertulis di Al-Quran. Selanjutnya
berbeda dengan hak mewaris menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
pembagian harta warisan, dimana dalam Hukum Islam ahli waris dapat
dikelompokkan menjadi tiga (3) bagian yakni (Budi Hariyanto 2020:30) :

(1) Ashabul furudh,

Ashabul furudh merupakan pembagian warisan telah yang telah ditentukan


ditentukan dalam syariat Islam mengenai orang-orang yang mendapat warisan
serta jumlah yang didapatkan. Jumlah pembagian yang ditentukan Al-Quran ada
enam macam yaitu setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga,
dan seperenam.

(2) Ashabah,

Ashabah adalah bentuk jamak dari kata ”ashib” yang berarti mengikat dan
menguatkan hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang bagiannya
tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta, setelah harta
tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.

17 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
(3) Dzawil Arham.

Yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang
tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya bibi (saudara perempuan
ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki
dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.

Dalam KHI terdapat pengaturan dalam pengelompokkan ahli waris yang


diatur dalam pasal 174 KHI, yaitu :

a. Kelompok ahli waris terdiri dari :

1) Hubungan darah:

- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek.

- Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan
nenek.

2) Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda

b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda/duda. Kedudukan anak angkat menurut KHI tetap sebagai
anak yang sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan
anak menurut KHI adalah merupakan manifestasi keimanan yang terwujud dalam
bentuk memelihara anak orang lain sebagai anak dalam bentuk pengasuhan anak
dengan memberikan segala kebutuhan hidupnya. (Budi Hariyanto 2020:30)

Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus
terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan terhadap anak
kandung atau ahli waris. Aturan yang menjadi landasan hukumnya terdapat di
dalam Pasal 175 KHI, tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris, dimana
salah satu kewajibannya tersebut terdapat kewajiban untuk menunaikan segala

18 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
wasiat dari pewaris. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik diucapkan, atau
dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia.28 Wasiat wajibah
merupakan wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau bergantung kepada
kehendak orang yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap dilaksanakan, baik
diucapkan atau dikehendaki maupun tidak oleh orang yang meninggal dunia. Jadi
pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat tersebut tidak
diucapkan, dituliskan atau dikehendaki tetapi pelaksanaannya didasarkan pada
alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut dilaksanakan.
(Nur Aisyah, 2020:105)

Landasan yang bisa digunakan untuk menjadi aturan mengenai wasiat


wajibah terhadap anak angkat sebagaimana yang di atur dalam Pasal 209 KHI ini
sebagai bagian dari Fiqh hanyalah melalui metode Ijtihad istishlah, urf dan
istihan. Sama halnya seperti wasiat wajibah terhadap cucu yatim. Maksudnya
dengan pertimbangan kemaslahatan dan adat sebagian masyarakat Indonesia
maksudnya (keengganan melakukan poligami walaupun telah bertahuntahun tidak
dikaruniai keturunan maka wasiat wajibah untuk orang yang dianggap sebagai
anak angkat itu boleh diberikan.(Nur Aisyah, 2020:107)

Didalam KHI pengaturan mengenai wasiat wajibah disebutkan dalam


Pasal 209 ayat (1) dan (2), yang berbunyi sebagai berikut :

1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
Pasal 193 di atas, sedangkan bagi orang tuan angkat yang tidak menerima warisan
wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan
anak angkat.

2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah,
sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Peraturan pemberian wasiat terhadap anak angkat melalui wasiat wajibah


ini sesungguhnya dianggap baru apabila dikaitkan fiqh tradisional, bahkan
peraturan perundang-undangan mengenai kewarisan yang berlaku diberbagai

19 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
dunia Islam. Al-Qur’an secara tegas menolak penyamaan hubungan karena
pengangkatan anak yang telah berkembang di adat masyarakat Arab Madinah
waktu itu dengan hubungan karena pertalian darah.(Mila Yuniarsih, 2022:40)

Adapun pemberian wasiat harus memenuhi dua syarat yaitu :

Pertama : Yang wajib menerima wasiat bukan ahli waris. Jika dia berhak
menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib wasiat dibuat untuknya.

Kedua : Orang yang meninggal baik kakek maupun nenek, belum memberikan
kepada anak yang wajib dibuat wasiat jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang
lain seperti hibah umpamanya dan jika dia telah memberikan kurang daripada
jumlah wasiat wajibah, maka wajibalah disempurnakan pada saat itu.

Anak angkat tidak diakui sebagai ahli waris di dalam Hukum Islam. Selain
itu mengenai bagiannya anak angkat terdapat bagian sendiri yang sudah diatur di
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2). Bagian anak angkat yang
sudah ditetapkan didalam KHI yaitu sebesar 1 /3 (sepertiga) yang dimana bagian
ini lebih kecil dari anak kandung. (Rizqy Aulia, 2021:54)

D. PENUTUP

Kesimpulan :

Dalam KUHPerdata, istilah pengangkatan anak atau adopsi ini tidak


dikenal, akan tetapi hanya mengenai adopsi di luar kawin sebagaimana diatur
dalam Pasal 280 s.d. 290 KUHPerdata, sehingga pada prinsipnya di dalam
KUHPerdata ini tidak mengenal lembaga pengangkatan anak karena apabila
dilihat dari sumber hukumnya yang berasal dari produk pemerintahan Hindia
Belanda, negara penciptanya tersebut memang tidak diatur bahkan tidak dikenal
istilah adopsi. Oleh karena itu, bagi penduduk dan/atau warga negara Belanda

20 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
tidak dapat melakukan adopsi secara legal, meskipun saat ini Staten General mulai
menerima adanya hukum positif berupa UU terkait pengangkatan anak (adopsi).
Ketentuan yang dibuat tersendiri di luar KUHPerdata mengenai pengangkatan
anak yaitu melalui Staatblaad 1917 No. 129, di mana ketentuan ini dibuat sebagai
pelengkap dari KUHPerdata dan hanya berlaku bagi warga Tionghoa saja.

Secara etimologi, dalam kamus besar bahasa Indonesia anak angkat berarti
anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri. Selanjutnya
dalam bahasa Inggris dapat dijumpai kata Adopt yang berarti “Take a child into
one’s family and treat is as one’s own” yang jika di terjemahkan dalam bahasa
Indonesia adalah mengambil anak dalam keluarga dan menganggapnya sebagai
anak sendiri. Dalam bahasa Arab pengangkatan anak disebut dengan “Tabbani’
yang artinya mengambil anak angkat. dari beberapa pengertian tersebut dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
diangkat dan atau diadopsi menjadi anak sendiri atau dengan kata lain persamaan
status anak angkat dari hasil pengangkatannya sebagai anak kandung. Secara
Terminologi, dalam Buku II tentang Kewarisan pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaannya
untuk biay hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggungjawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk


memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh
hukum. Secara faktual telah diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi
bagian dari kebiasaan masyarakat di Indonesia dan telah merambah melalui
praktek melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama islam dan Lembaga
Peradilan Negeri Bagi yang ber agama non Islam. Syarat umur anak yang akan di
adopsi menurut peraturan pemerintah NO.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak adalah belum berusia 18 tahun tetapi yang merupakan
prioritas utama adalah anak yang belum berusia 6 tahun. Pengangkatan anak oleh
orang tua angkat tertentu pada akhirnya akan menimbulkan akibat akibat yang
mungkin akan terjadi di kemudian hari.

21 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
Ketentuan Pasal 852 KUH Perdata merupakan bentuk hak untuk mewarisi
harta waris seorang anak angkat yang telah diakui secara sah menurut hukum
sekalipun ia tidak didasarkan atas suatu testament tertulis. Sedangkan hak
mewaris anak angkat yang diangkat secara sah menurut hukum terhadap harta
orang tua kandungnya harus ditinjau menurut Stb. No 129 Tahun 1917 dan
menurut UU No 23 Tahun 2002. Pada dasarnya sistem pewarisan atau penentuan
siapa yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris adalah didasarkan pada
keturunan atau adanya hubungan darah atau ab intestato dan secara wasiat atau
testament merujuk pada siapa yang berkedudukan sebagai ahli waris yang
mempunyai hak mutlak atau legitieme portie atau bagian harta warisan yang akan
diberikan kepada para ahli waris baik dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.
Oleh karena itu seorang anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang
tua angkatnya.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi No.46/PUU-VII/2010 dikaitkan


dengan ketentuan Anak Luar Kawin dalam hal pewarisan, majelis Mahkamah
Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan (UU Perkawinan) inkonstitusional bersyarat. Dalam
amar putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan
dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan atau alat bukti lain ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.
Dengan adanya putusan MK tersebut maka perubahan besar terjadi dalam sistem
hukum perdata pun tak bisa dihindari. Misalnya dalam hukum waris, berdasarkan
KUHPerdata, anak luar kawin yang mendapat warisan adalah anak luar kawin
yang telah diakui dan disahkan. Namun sejak adanya putusan MK tersebut maka
anak luar kawin diakui sebagai anak yang sah dan mempunyai hubungan waris
dengan bapak biologisnya.

Anak angkat tidak diakui sebagai ahli waris di dalam Hukum Islam. Selain
itu mengenai bagiannya anak angkat terdapat bagian sendiri yang sudah diatur di
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2). Bagian anak angkat yang

22 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
sudah ditetapkan didalam KHI yaitu sebesar 1 /3 (sepertiga) yang dimana bagian
ini lebih kecil dari anak kandung.

23 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU DAN JURNAL


Hadikusuma, Hilman. 1991. Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Manan, H. Abdul, and S. SH. 2017. Aneka masalah hukum perdata Islam di
Indonesia. Jakarta:Prenada Media.
Pospasari, Ellyne Dwi. 2018, Pemahaman Seputar Hukum Waris Adat di
Indonesia.Jakarta:Kencana.
Al Amruzi, M. Fahmi. 2018. "Anak Angkat Di Persimpangan Hukum." Masalah-
Masalah Hukum 43.1.
Alam, Ari Dwi Nur. 2021. "STUDI KOMPARASI TERHADAP HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITI TENTANG HAK-HAK ANAK
ANGKAT." Jurnal Akrab Juara 6.3.
Aisyah, Nur. 2020. "Anak Angkat dalam Hukum Kewarisan Islam dan Hukum
Perdata." El-Iqthisady: Jurnal Hukum Ekonomi Syariah Fakultas Syariah
dan Hukum 2.1.
BAYUKI, AHMAD. 2018. ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF TENTANG PENGANGKATAN ANAK DALAM
KANDUNGAN (Studi Kasus di Desa Sumber Makmur Kecamatan
Lempuing Kabupaten Ogan Komering Ilir). Diss. UIN Raden Intan
Lampung.

Benuf, Kornelius, and Muhamad Azhar. 2020. "Metodologi penelitian hukum


sebagai instrumen mengurai permasalahan hukum kontemporer." Gema
Keadilan 7.1.
CP, Helda Mega Maya. 2021"LEGALITAS HUKUM WASIAT WAJIBAH
ORANG TUA ANGKAT MENURUT HUKUM WARIS
ISLAM." Rechtsregel: Jurnal Ilmu Hukum 4.2.
Dalimunthe, Dermina. 2017. "Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perspektif Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Bw)." Jurnal AL-MAQASID: Jurnal Ilmu
Kesyariahan dan Keperdataan 3.1.
Dian, Ridwan Arifin Karin Aulia Rahmadhanty. 2018. "Hak Anak Angkat Dalam
Mendapatkan Warisan Ditinjau Dari Hukum Waris Indonesia." Normative
Jurnal Ilmiah Hukum 6.2.
Fitri, Rizqy Aulia. 2021. "Perlindungan Hukum Hak Waris Anak Kandung Dan
Anak Angkat Dalam Perkawinan Poligami Prespektif Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam." Signifikan 2.2.

24 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT
Ghifari, Angga Aidry, and I. Gede Yusa. 2018. "Pengaturan Pengangkatan Anak
(Adopsi) Berdasarkan Peraturan Perundangan-Undangan Di
Indonesia." Jurnal Kertha Negara 8.
Hasibuan, Lidya Rahmadani. 2019. "Hak Restitusi Terhadap Korban Anak
Berdasarkan Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undangnnomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Di Belawan." Jurnal Hukum Responsif 7.2.
Hariyanto, Budi. 2020. "Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Beda
Agama Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Kuh Perdata) Dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI)." IUS: Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum 8.2.

Hulu, Klaudius Ilkam. 2018. "ANALISIS YURIDIS TERHADAP


PERLINDUNGAN ANAK ANGKAT DIKAITKAN DENGAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 54 TAHUN 2007 TENTANG
PENGANGKATAN ANAK." Jurnal Education and Development 5.1.
Ilaha, Tasya Shalsa. 2022. "TINJAUAN TERHADAP HAK MEMPEROLEH
WARIS ANAK ANGKAT BERDASARKAN HIBAH WASIAT." LEX
PRIVATUM 9.12.
Latif, Abdul, Jumailah Jumailah, and Luqman Haqiqi Amirullah. 2021.
"Kedudukan Anak Angkat dalam Pembagian Warisan Perspektif Hukum
Islam dan KuhPerdata." Al-Hukkam: Journal of Islamic Family Law 1.2.
Nasution, Adawiyah. 2019. "Akibat Hukum Pengangkatan Anak Menurut
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak." Jurnal
Ilmiah Penegakan Hukum 6.1.
Naibaho, Valentinus Rolando, and Mei Sinta Uli Br Sihombing. 2021.
"Kedudukan Anak Angkat Dalam Pewarisan Menurut Hukum Adat Batak
Toba Di Desa Siogung-Ogung Kecamatan Pangururan Kabupaten
Samosir." Widya Yuridika: Jurnal Hukum 4.2.
NOTARISA, GABY. "AKIBAT HUKUM BAGI ANAK ANGKAT YANG
ORANG TUA ANGKATNYA BELUM MEMBERITAHUKAN ASAL-
USUL ORANG TUA KANDUNG MENURUT PERATURAN
PEMERINTAH NO. 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN
PENGANGKATAN ANAK DI KECAMATAN PONTIANAK
KOTA." Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal
Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura 5.4.
Panjaitan, Folber. 2017. "Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Orang Tua Angkat
Terhadap Anak Angkat Menurut Hukum Islam." .
Ramdhani, Regi Mulya. 2019. PERLINDUNGAN HUKUM ANAK ANGKAT
AKIBAT PERUBAHAN IDENTITAS DALAM MEMPEROLEH HARTA
WARISAN DIHUBUNGKAN DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA. Diss. Fakultas Hukum Unpas,.
25 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG
TUA ANGKAT
Rosalina, Adelia. 2022. "KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM HAK
WARIS MENURUT KITAB UNDANG–UNDANG HUKUM
PERDATA." Journal of Law (Jurnal Ilmu Hukum) 8.1.
Sumirat, Iin Ratna, 2021. and Muhamad Wahyudin. "Hukum Anak Angkat dalam
Perspektif Islam dan Hukum Positif." Jurnal Studi Gender Dan Anak 8.02.
Sari, Indah. 2018. "Pembagian Hak Waris Kepada Ahli Waris Ab Intestato dan
Testamentair Menurut Hukum Perdata Barat (BW)." Jurnal Ilmiah Hukum
Dirgantara 5.1.
Yuniarsih, Mila, et al. 2022. "Wasiat Wajibah bagi Anak Adopsi untuk Mendapat
Harta Waris." Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum 3.01.

26 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG


TUA ANGKAT

Anda mungkin juga menyukai