1
Mhd Fahmi Rizky,2Rangga Dwi Satriawan,3Ronny Imtara
Email : rizkyfahmi018@gmail.com, Ranggadwisatriawan@gmail.com,
ronnyimtara02@gmail.com.
Abstrak
Pengangkatan anak oleh orang tua angkat tertentu pada akhirnya akan
menimbulkan akibat akibat yang mungkin akan terjadi di kemudian hari. Seperti
hal nya pada pewarisan. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi
No.46/PUU-VII/2010 dikaitkan dengan ketentuan Anak Luar Kawin dalam hal
pewarisan, memungkinkan untuk anak angkat bisa mendapat hak warisnya. Anak
angkat tidak diakui sebagai ahli waris di dalam Hukum Islam. Selain itu mengenai
bagiannya anak angkat terdapat bagian sendiri yang sudah diatur di dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2). Bagian anak angkat yang sudah
ditetapkan didalam KHI yaitu sebesar 1 /3 (sepertiga) yang dimana bagian ini
lebih kecil dari anak kandung. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode
penelitian hukum normatif yang fokusnya menganalisis dari studi kepustakaan
dan mengkaji bahan hukum primer dan sekunder.
Kata Kunci : Akibat Hukum, Anak Angkat, Orang Tua Angkat
Abstract
Adoption of a child by certain adoptive parents will eventually have
consequences that may occur in the future. As is the case with inheritance. After
the decision of the Constitutional Court No. 46/PUU-VII/2010 related to the
provisions on children outside marriage in terms of inheritance, it is possible for
adopted children to get inheritance rights. Adopted children are not recognized as
heirs in Islamic law. In addition, regarding the share of adopted children, there is
a separate section which has been regulated in the Compilation of Islamic Law
Article 209 paragraph (2). The share of adopted children that has been
determined in the KHI is 1/3 (one third) which is smaller than the biological
children. In this study, the author uses a normative legal research method that
focuses on analyzing literature studies and examining primary and secondary
legal materials.
Keywoards : Legal Consequences, Adopted Children, Adoptive Parents
Persoalan anak angkat adalah persoalan yang menarik, karena anak angkat
dan lembaga pengangkatan anak termasuk persoalan yang aktual di tengah-tengah
masyarakat, tidak hanya pada masa sekarang tetapi sudah ada sejak masa pra
penjajahan yang hidup dalam kehidupan masyarakat adat di nusantara, demikian
juga sejak zaman pra Islam sampai pada Islam datang di bawa oleh Nabi
Muhammad di tanah Arab.( Al-Amruzi, 2018:110)
Anak angkat adalah anak yang diambil dan dijadikan sebagai anak untuk
di pelihara dan dididik dengan penuh kasih sayang sebagaimana layaknya anak
kandung. Dalam kenyataan di masyarakat, ada anak yang diangkat untuk diasuh
dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Ada pula anak yang
diangkat sebagai anak sendiri dan diberi status sebagai anak kandung. Ada pula
anak yang diangkat hanya sebagai anak angkat biasa dan bahkan terkadang tidak
mendapatkan apapun dari orang tua angkatnya hanya sebagai anak angkat dan
orang tua angkat.(Folber Panjaitan, 2017:98)
B. METODE PENELITIAN
Secara etimologi, dalam kamus besar bahasa Indonesia anak angkat berarti
anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri. Selanjutnya
dalam bahasa Inggris dapat dijumpai kata Adopt yang berarti “Take a child into
one’s family and treat is as one’s own” yang jika di terjemahkan dalam bahasa
Indonesia adalah mengambil anak dalam keluarga dan menganggapnya sebagai
anak sendiri. Dalam bahasa Arab pengangkatan anak disebut dengan “Tabbani’
yang artinya mengambil anak angkat. dari beberapa pengertian tersebut dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
Pengangkatan adalah suatu tindakan hukum dan oleh karenanya tentu akan
pula menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu sebagai akibat hukum dari
pengangkatan anak menurut hukum islam adalah sebagai berikut :
2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah atau nasab antara anak
angkat dengan orang tua kandung dan keluarganya, sehingga antara mereka tetap
berlaku hubungan mahram dan hubungan saling mewaris.
5. Mereka antara anak angkat dan orang tua kandungnya tetap berlaku hubungan
mahram dan hubungan saling mewaris.
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua biologis serat keluarganya
3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali hanya sebagai pengenal atau alamat.
4.Orang tua angkat tidak bisa bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap
anak angkatnya.
3. Akibat Hukum Anak Angkat dengan Orang Tua Angkatnya Dalam hal
Mewaris Berdasarkan Hukum Perdata dan Hukum Islam
Secara faktual telah diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian
dari kebiasaan masyarakat di Indonesia dan telah merambah melalui praktek
melalui Pengadilan Agama bagi yang beragama islam dan Lembaga Peradilan
9 AKIBAT HUKUM HUBUNGAN ANAK ANGKAT DENGAN ORANG
TUA ANGKAT
Negeri Bagi yang ber agama non Islam. Syarat umur anak yang akan di adopsi
menurut peraturan pemerintah NO.54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak adalah belum berusia 18 tahun tetapi yang merupakan
prioritas utama adalah anak yang belum berusia 6 tahun. Menurut Peraturan
pemerintah Repiblik Indonesia No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak bahwa hal yang penting di perhatikan dalam hal adopsi
adalah bahwa pengangkatan anak agar tidak sampai memutuskan hubungan darah
antara anak yang di angkat dengan orang tua kandungnya dan orang tua angkat
wajib memberitahukan kepada anak angkatnya tentang asal usulnya dan mengenai
orang tua kandungnya. Karena tujuan pengangkatan anak yang sebenarnya adalah
untuk kepentingan terbaik bagi si anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
anak dan perlindungan terhadap anak. Jadi, kesejahteraan dan perlindungan anak
menjadi tujuan prioritas dalam sebuah adopsi. Undang-undang No. 35 Tahun
2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga menegaska bahwa pengangkatan anak tidak memutus
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Terutama dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka
orang tua angkat menjadi wali atas anak angkatnya tersebut. Sejak saat itu pula,
segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat
kecuali bagi anak angkat perempuan yang bearagaman islam, bila dia akan
menikah, maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah bapak kandungnya atau
wali nasab lainnya. .(Klaudius Ikam, 2018;75)
Pengangkatan anak oleh orang tua angkat tertentu pada akhirnya akan
menimbulkan akibat akibat yang mungkin akan terjadi di kemudian hari.
Keberadaan anak angkat dalam keluarga memungkinkan adanya ikatan emosional
yang tinggi, yang tidak lagi memisahkan yang satu dengan yang lain, namun hak
haknya sebagai anak tidak dapat diabaikan begitu saja.(Klaudius Ikam, 2018:76)
Seperti halnya dalam Pewarisan atau pembagian Waris, baik anak angkat
maupun anak kandung harus dijamin hak haknya dan tidak boleh dikurangi.
Mengenai pengangkatan anak juga tidak luput dari permasalahan pembagian harta
Pada dasarnya sistem kewarisan yang dianut KUH Perdata adalah sistem
Parental atau Bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Namun selain pewarisan secara
keturunan atau sistem pewarisan ab intensato menurut undangundang tanpa surat
wasiat sebagaimana ketentuan Pasal 832 KUH Perdata, terdapat juga sistem
pewarisan menurut wasiat (testament) sebagai ketentuan Pasal 875 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi
pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya, terjadi setelah ia
meninggal dan dapat dicabut kembali olehnya.(Ridwan Arifin, 2018:34)
Terkait dengan harta warisan tidak seperti halnya pada KHI maupun
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang membagi 2 (dua)
harta keluarga, yaitu harta asal maupun harta gono-gini, maka dalam sistem
kewarisan menurut KUH Perdata tidak memisahkan harta asal dan harta gono-gini
dalam pewarisan sebagai ketentuan Pasal 849 KUH Perdata yang menyatakan
“undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari pada barang-barang
dari suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan terhadapnya. ”21 Ini berarti
baik harta bawaan atau harta gono-gini menjadi harta warisan.
Pada dasarnya sistem kewarisan yang dianut KUH Perdata adalah sistem
Parental atau Bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Namun selain pewarisan secara
keturunan atau sistem pewarisan ab intensato menurut undangundang tanpa surat
wasiat sebagaimana ketentuan Pasal 832 KUH Perdata, terdapat juga sistem
pewarisan menurut wasiat (testament) sebagai ketentuan Pasal 875 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa surat wasiat atau testament adalah sebuah akta berisi
Cara mewarisi ahli waris dalam sistem KUH Perdata terbagi atas 2 (dua)
macam yaitu :
1) Ahli waris berdasarkan kedudukan sendiri (Uit Eigen Hoofde). Ahli waris yang
tergolong golongan ini adalah yang terpanggil menerima harta warisan
berdasarkan kedudukannya sendiri dalam Pasal 85 ayat (2) KUH Perdata
dinyatakan : “mereka mewaris kepala demi kepala jika dengan meninggal mereka
memiliki pertalian derajat dengan kesatu dan masingmasing mempunyai hak
dengan diri sendiri.”
Yang menjadi ahli waris disini ialah orang yang ditunjuk atau diangkat
oleh pewaris dengan surat wasiat sebagai ahli warisnya (erfstelling), yang
kemudian disebut sebagai ahli waris ad testamento. Wasiat atau testament dalam
KUH Perdata adalah pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya
setelah ia meninggal dunia. Pada asasnya suatu pernyataan kemauan terakhir itu
ialah keluar dari salah satu pihak saja dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh
pewasiat secara tegas atau secara diam-diam. Aturan Testament yang terdapat
Ketentuan Pasal 852 KUH Perdata merupakan bentuk hak untuk mewarisi
harta waris seorang anak angkat yang telah diakui secara sah menurut hukum
sekalipun ia tidak didasarkan atas suatu testament tertulis. Sedangkan hak
mewaris anak angkat yang diangkat secara sah menurut hukum terhadap harta
orang tua kandungnya harus ditinjau menurut Stb. No 129 Tahun 1917 dan
menurut UU No 23 Tahun 2002. Pada dasarnya sistem pewarisan atau penentuan
siapa yang mempunyai kedudukan sebagai ahli waris adalah didasarkan pada
keturunan atau adanya hubungan darah atau ab intestato dan secara wasiat atau
testament merujuk pada siapa yang berkedudukan sebagai ahli waris yang
mempunyai hak mutlak atau legitieme portie atau bagian harta warisan yang akan
diberikan kepada para ahli waris baik dalam garis lurus ke atas maupun ke bawah.
Oleh karena itu seorang anak angkat tidak memiliki hubungan darah dengan orang
tua angkatnya.(Regi Mulya Ramdani, 2019:54)
Anak angkat adalah anak yang ada akibat suatu perbuatan dari seseorang
mengambil/menjadikan orang lain sebagai anaknya tanpa melepaskan ikatan
kekeluargaan anak itu dari orang tua aslinya, baik ia masih kanak-kanak (belum
dewasa) maupun sudah dewasa, mempunyai kewajiban yang sama dengan adopsi
ini Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), yang terdapat
pada pasal-pasal yang mengatur tentang bagian mutlak oleh Undang-undang
dimasukkan dalam bagian tentang hak mewaris menurut wasiat
(testamentairerfrecht), yaitu di dalam Pasal 913, 914, 916 dan seterusnya. Cara
mendapatkan warisan menurut hukum perdata barat yaitu Pasal 832, 842, 852,
852a, 913, 914, dan 916a yang berhak menjadi ahli waris keluarga sederajat baik
sah maupun di luar kawin yang diakui, serta semuanya istri yang hidup terlama. .
(Tasya Salsa Ilaha, 2022:26)
(2) Ashabah,
Ashabah adalah bentuk jamak dari kata ”ashib” yang berarti mengikat dan
menguatkan hubungan. Secara istilah, ashabah adalah ahli waris yang bagiannya
tidak ditetapkan, tetapi bisa mendapat semua harta atau sisa harta, setelah harta
tersebut dibagi kepada ahli waris dzawil furudh.
Yang dimaksud dengan dzawil arham adalah setiap kerabat pewaris yang
tidak termasuk ashhabul furudh dan ashabah, misalnya bibi (saudara perempuan
ayah atau ibu), paman dari pihak ibu (saudara laki-laki ibu), keponakan laki-laki
dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
1) Hubungan darah:
- Golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan
kakek.
- Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan
nenek.
b. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya:
anak, ayah, ibu, janda/duda. Kedudukan anak angkat menurut KHI tetap sebagai
anak yang sah berdasarkan keputusan pengadilan dengan tidak memutuskan
hubungan nasab dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan
anak menurut KHI adalah merupakan manifestasi keimanan yang terwujud dalam
bentuk memelihara anak orang lain sebagai anak dalam bentuk pengasuhan anak
dengan memberikan segala kebutuhan hidupnya. (Budi Hariyanto 2020:30)
Hak waris anak angkat yang dilaksanakan melalui wasiat wajibah harus
terlebih dahulu dilaksanakan dibandingkan pembagian warisan terhadap anak
kandung atau ahli waris. Aturan yang menjadi landasan hukumnya terdapat di
dalam Pasal 175 KHI, tentang kewajiban ahli waris terhadap pewaris, dimana
salah satu kewajibannya tersebut terdapat kewajiban untuk menunaikan segala
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan
Pasal 193 di atas, sedangkan bagi orang tuan angkat yang tidak menerima warisan
wasiat wajibah diberi wasiat wajibah sebanyak banyaknya 1/3 dari harta warisan
anak angkat.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah,
sebanyakbanyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Pertama : Yang wajib menerima wasiat bukan ahli waris. Jika dia berhak
menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib wasiat dibuat untuknya.
Kedua : Orang yang meninggal baik kakek maupun nenek, belum memberikan
kepada anak yang wajib dibuat wasiat jumlah yang diwasiatkan dengan jalan yang
lain seperti hibah umpamanya dan jika dia telah memberikan kurang daripada
jumlah wasiat wajibah, maka wajibalah disempurnakan pada saat itu.
Anak angkat tidak diakui sebagai ahli waris di dalam Hukum Islam. Selain
itu mengenai bagiannya anak angkat terdapat bagian sendiri yang sudah diatur di
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2). Bagian anak angkat yang
sudah ditetapkan didalam KHI yaitu sebesar 1 /3 (sepertiga) yang dimana bagian
ini lebih kecil dari anak kandung. (Rizqy Aulia, 2021:54)
D. PENUTUP
Kesimpulan :
Secara etimologi, dalam kamus besar bahasa Indonesia anak angkat berarti
anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya sendiri. Selanjutnya
dalam bahasa Inggris dapat dijumpai kata Adopt yang berarti “Take a child into
one’s family and treat is as one’s own” yang jika di terjemahkan dalam bahasa
Indonesia adalah mengambil anak dalam keluarga dan menganggapnya sebagai
anak sendiri. Dalam bahasa Arab pengangkatan anak disebut dengan “Tabbani’
yang artinya mengambil anak angkat. dari beberapa pengertian tersebut dapat
diambil sebuah kesimpulan bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang
diangkat dan atau diadopsi menjadi anak sendiri atau dengan kata lain persamaan
status anak angkat dari hasil pengangkatannya sebagai anak kandung. Secara
Terminologi, dalam Buku II tentang Kewarisan pasal 171 Kompilasi Hukum
Islam disebutkan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaannya
untuk biay hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggungjawab dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan
Anak angkat tidak diakui sebagai ahli waris di dalam Hukum Islam. Selain
itu mengenai bagiannya anak angkat terdapat bagian sendiri yang sudah diatur di
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 ayat (2). Bagian anak angkat yang