ADOPSI
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Hukum
Dosen : Metha solihati R., SST., M.Keb
Disusun Oleh:
Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
yang berjudul ADOPSI dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari ibu Metha solihati R., SST.,
M.Keb selaku dosen mata kuliah Etika dan hukum di prodi kebidanan. Penyusun sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam
kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti
pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua
pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang
tua angkat.
Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi
adopsi antara lain:
Dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak
orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk mengadakan
hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-
undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu
ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang
sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang
tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan
bagi anak.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak
angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan
keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-undang
hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557.
Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan
seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau telah
pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi disini hanya anak laki-
laki yang dapat di angkat ( tetapi menurut perkembangan yurisprudensi sekarang ini,
anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak
mempunyai anak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau
cara mengasuh. pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu
pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam
mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses
menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia
dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz,
menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai
anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami
istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai
“pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun
alasannya, saat anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya
didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk
merawat si anak. dalam perkembangan kemudian sejalan dengan
perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi
untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-
Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang
berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan
hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak
tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya mengenai akibat
hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam
perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan
pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang
diangkat. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur
mengenai pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-
permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan
anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.
Sampai saat ini belum ada peraturan khusus dan tersendiri mengenai
pengangkatan anak. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur
mengenai pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak
ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur
dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan
yang ada dalam Staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.
C. Syarat-syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan
pengangkatan anak adalah:
1. Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-
laki.
2. Suami istri bersama-sama.
3. Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk
melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang
ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat
(persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1) Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang
tuanya.
2) Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang
tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3) Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang
bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
4) Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka
diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak
mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata
sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak
bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang
telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.
Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah
angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15
tahun.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan satu
kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya mengenai pengakuan
terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah
dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga. Kita tidak menemukan satu ketentuan yang
mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanyalah ketentuan-ketentuan
tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku 1BW bab
XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar
kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah
adopsi ini. Oleh karena kitab undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal
pengangkatan anak ini.
“Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-
hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal
kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.
MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial
untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti
anak sendiri.
Para ulama di Tanah Air telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia
oleh Warga Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga
merendahkan martabat bangsa. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim
Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa
tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak
orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak
sah."
Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di
dalam nasab, mahram maupun hak waris. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Pada salah satu butir pertimbangannya,
para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak
yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika
mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab)
dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam.
Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4:
"Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka,
itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maulamaula
(hamba sahaya yang di merdekakan".
Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak
orang lain adalah sangat dianjurkan dalam islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak
menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan seseorang lain seperti
hubungan yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh karena itu , penamaan dan
penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar
dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau
arham. Hubungan antara anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah
hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak shulbi artinya ialah anak kandung yang
berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung kamu.
Jadi dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang
sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi
anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan
hukumnya dalam hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.
b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat.
PENUTUP
Simpulan
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai
anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami
istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai
“pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri.
Dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang sepanjang
hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat
itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam
hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.
Akibat Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
Dalam perwalian, Sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban
orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan
beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya
hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam waris Khazanah
hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya
seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan
bagi anak angkat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Zaini Muderis, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Artikel :
Patricia L.R, http://patricia-seohyerim.blogspot.com/2011/05/pengangkatan-anak-
menurut-berbagai.html,
http://pena-rifai.blogspot.com/2010/11/perbandingan-hukum.html,
http://fadilanhur30.blogspot.com/2013/01/adopsi-anak-dan-bayi-tabung.html,
http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm,
Asmu’iSyarkowi,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Lembaga%20Pengangkatan
%20Anak%20-%20asmui.pdf,