Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ADOPSI
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika dan Hukum
Dosen : Metha solihati R., SST., M.Keb

Disusun Oleh:

1. Vina Dwi (10621030)


2. Intan Sari P (10621032)
3. Ade siti nurohmah (10621032)
4. Elya fardhila (10621021)

POLITEKNIK KESEHATAN TNI AU


CIUMBULEUIT BANDUNG
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
yang berjudul ADOPSI dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang sudah membantu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dari ibu Metha solihati R., SST.,
M.Keb selaku dosen mata kuliah Etika dan hukum di prodi kebidanan. Penyusun sangat
berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
pembaca.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk
itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 30 Oktober 2022

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang Masalah

Keinginan mengembangkan keturunan adalah naluri setiap manusia.


Untuk  kepentingan itu manusia perlu melakukan pernikahan. Dari pernikahan tersebut
terjalinlah sebuah ikatan suami isteri yang pada gilirannya terbentuk sebuah keluarga
berikut keturunannya berupa anak-anak. Dengan demikian kehadiran anak tidak hanya
dipandang sebagai konsekuensi adanya hubungan biologis antara jenis kelamin laki-laki
dan perempuan, tetapi lebih dari itu, juga merupakan keinginan yang sudah melembaga
sebagai naluri setiap manusia. Oleh karenanya, rasanya kurang lengkaplah sebuah
keluarga tanpa kehadiran seorang anak. Bahkan, dalam kasus tertentu tanpa kehadiran
seorang anak dianggap sebagai aib yang menimbulkan rasa kurang percaya diri bagi
pasangan suami istri. Akan tetapi, karena berbagai hal atau alasan tertentu keinginan
memperoleh anak tidak dapat tercapai. Dalam keadaan demikian berbagai perasaan dan
pikiran akan timbul dan pada tataran tertentu tidak jarang perasaan dan pikiran tersebut
berubah menjadi kecemasan. Kecemasan tersebut, selanjutnya diekspresikan oleh salah
satu pihak atau kedua pihak, suami istri, dalam bentuk tindakan-tindakan tertentu. Salah
satu tindakan suami istri, ketika keturunan berupa anak yang didambakan tidak
diperoleh secara natural adalah dengan cara mengambil alih anak orang lain.
Selanjutnya, anak tersebut dimasukkan ke dalam anggota keluarganya sebagai
pengganti anak yang tidak bisa diperoleh secara alami tersebut. Cara memperoleh anak
dengan cara ini, dalam istilah hukum Perdata Barat lazim disebut sebagai adopsi yang
dalam tulisan ini disebut penulis sebut sebagai pengangkatan anak.
Pengangkatan anak yang ada di Indonesia sekarang, memang telah dimulai
sejak lama. Dalam masyarakat yang memiliki adat tertentu, telah lama dijumpai praktek
pengangkatan anak ini. Hanya saja, motivasi dan cara serta akibat pengangkatan anak
tersebut berbeda-beda antara masyarakat yang satu dengan yang lain.

B.     Rumusan Masalah

Tulisan berikut, dimaksudkan untuk membahas seputar pengangkatan anak


dengan mencari jawaban atas rumusan masalah sebagai sebagai berikut :
1.      Apa pengertian adopsi dan pengangkatan anak ?
2.      Bagaimana tata cara mengadopsi anak ?
3.      Apa saja syarat pengangkatan anak ?
4.      Bagaimana pandangan Hukum Barat, Hukum Adat, dan Hukum Islam terhadap
adopsi ?
5.      Apa akibat hukum pengangkatan anak ?
6.      Apa saja aturan hukum yang berkaitan dengan pengangkatan anak ?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Adopsi dan Pengangkatan Anak

Pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut Adopsi. Dalam
kamus hukum kata adopsi yang bersasal dari bahasa latin adoption diberi arti
pengangkatan anak sebagai anak sendiri.
Adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua
pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan/ keluarga.
Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut,
kedalam lingkungan keluarga orang tua tersebut, kedalam lingkungan keluarga orang
tua angkat.
Secara terminologi para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi
adopsi antara lain:
Dalam kamus umum bahasa indonesia dijumpai arti kata anak angkat yaitu anak
orang lain yang diambil dan disamakan dengan anaknya sendiri.
Dalam ensiklopedia umum disebutkan Adopsi, suatu cara untuk mengadakan
hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-
undangan. Biasanya adopsi dilakukan untuk mendapatkan pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat adopsi yang demikian itu
ialah bahwa anak yang di adopsi kemudian memiliki status sebagai anak kandung yang
sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orang
tua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan
bagi anak.
Selanjutnya dapat dikemukakan pendapat Hilman Hadi Kusuma, SH. : anak
angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum setempat, dikarenakan dengan tujuan untuk kelangsungan
keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
Sedangkan pengangkatan (adopsi) tidak di kenal dalam kitab undang-undang
hukum perdata tetapi hanya dikenal dalam Stbl. 1917 no. 129 yo. 1924 no. 557.
Menurut peraturan tersebut, pengangkatan anak atau adopsi adalah pengangkatan
seorang anak laki-laki sebagai anak oleh seorang laki-laki yang telah beristri atau telah
pernah beristri, yang tidak mempunyai keturunan laki-laki. Jadi disini hanya anak laki-
laki yang dapat di angkat ( tetapi menurut perkembangan yurisprudensi sekarang ini,
anak perempuan pun boleh diangkat sebagai anak oleh seorang ibu yang tidak
mempunyai anak.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia pengasuhan adalah proses, perbuatan, atau
cara mengasuh. pengasuhan sering disebut pula sebagai child-rearing yaitu
pengalaman, keterampilan, kualitas, dan tanggung jawab sebagai orangtua dalam
mendidik dan merawat anak. Pengasuhan atau disebut juga parenting adalah proses
menumbuhkan dan mendidik anak dan kelahiran anak hingga memasuki usia
dewasa.atau biasa disebut juga dengan melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih
kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz,
menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.
Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai
anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami
istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai
“pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri. Apapun
alasannya, saat anda dan pasangan memutuskan akan mengadopsi anak hendaknya
didasari dengan niat baik dan keikhlasan serta rasa kasih sayang yang tulus untuk
merawat si anak. dalam perkembangan kemudian sejalan dengan
perkembangan masyarakat, tujuan pengangkatan anak telah berubah menjadi
untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-
Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak yang
berbunyi: “Pengangkatan anak menurut adat kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak”.
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak ternyata masih terdapat adanya ketentuan
hukumnya yang masih belum seragam. Ketentuan hukum mengenai pengangkatan anak
tersebar ke dalam beberapa peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Keadaan yang demikian tentu menimbulkan permasalahan diantaranya mengenai akibat
hukum dari pengangkatan anak terutama sekali bagi anak yang diangkat. Dalam
perkembangan kemudian, setelah diundangkannya Undang-Undang No.4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak pada tanggal 23 Juli 1979 maka diharapkan pelaksanaan
pengangkatan anak diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi anak yang
diangkat. Meskipun sampai saat ini masih terdapat beragam peraturan yang mengatur
mengenai pengangkatan anak, sehingga di dalam pelaksanaannya timbul permasalahan-
permasalah dan hambatan-hambatan walaupun tujuan akhir pelaksanaan pengangkatan
anak adalah mewujudkan kesejahteraan anak.

Sampai saat ini belum ada peraturan khusus dan tersendiri mengenai
pengangkatan anak. Karena Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak mengatur
mengenai pengangkatan anak ini, sedangkan dalam kenyataannya pengangkatan anak
ini banyak terjadi, oleh karenanya pengaturannya kemudian diatur
dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 yang merupakan bagian dari keseluruhan aturan
yang ada dalam Staatsblad tersebut dan khusus berlaku untuk masyarakat Tionghoa.

Karena sebagian besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut berlaku


bagi masyarakat Tionghoa. Namun pengaturan di dalam Staatsblad ini secara prinsip
hanya berdasarkan pada hubungan kekeluargaan yang hanya menarik garis keturunan
dari pihak bapak, sehingga di dalam aturannya hanya memperbolehkan pengangkatan
anak bagi anak laki-laki. Sedangkan pengangkatan anak perempuan adalah tidak sah.
Sejalan dengan perkembangan jaman dan budaya yang berkembang dalam masyarakat,
akhirnya pengangkatan anak bagi anak perempuan diperbolehkan berdasarkan Putusan
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Nomor 907/1963/P tanggal 29 Mei
1963 juncto nomor 588/1963/G tanggal 17 Oktober 1963. Sekarang ini pengaturan
mengenai pengangkatan anak diatur sebagian dalam beberapa peraturan. Diantaranya
adalah Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yaitu diatur
dalam pasal 39, 40 dan pasal 41. Dalam pasal-pasal tersebut ditentukan bahwa
pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah
anak angkat dengan orang tua kandungnya. Dengan demikian pengaturan mengenai
pengangkatan anak yang diatur dalam Staatsblad Tahun 1917 Nomor 127 dan peraturan
lain yang berkaitan dengan pengangkatan anak dinyatakan tidak berlaku apabila
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut. Pengaturan serta
syarat-syarat mengenai Pengangkatan Anak lebih lanjut diatur dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 1989 tentang Pengangkatan anak dan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor
41/HUK/KEP/VII/1984.

B.     Tata Cara Mengadopsi

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara


mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu
mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di
tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan
atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh
pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan
kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat
tinggal/domisili anak yang akan diangkat.

C.    Syarat-syarat
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat melaksanakan
pengangkatan anak adalah:
1.      Seorang laki-laki yang sudah atau pernah menikah, tetapi tidak mempunyai anak laki-
laki.
2.      Suami istri bersama-sama.
3.      Seorang wanita yang telah menjadi janda, dengan ketentuan tidak ada larangan untuk
melakukan pengangkatan anak oleh almarhum suaminya dalam wasiat yang
ditinggalkannya dan ia tidak telah kawin lagi.
Selain syarat-syarat tersebut di atas maka diperlukan pula kata sepakat
(persetujuan) dari orang-orang yang bersangkutan:
1)      Apabila yang diangkat itu seorang anak sah, maka ada kata sepakat dari kedua orang
tuanya.
2)      Jika yang diangkat itu seorang anak diluar kawin, tetapi diakui oleh kedua orang
tuanya, maka diperlukan persetujuan dari kedua orang tua tersebut.
3)      Bagi anak yang telah berumur 15 tahun, kata sepakat diperlukan juga dari anak yang
bersangkutan, apakah anak yang akan di angkat itu bersedia atau tidak.
4)      Bagi seorang wanita janda yang akan melakukan pengangkatan anak, maka
diperlukan kata sepakat dari para saudara laki-laki yang telah dewasa dan bapak
mendiang suaminya.
Apabila mereka tidak ada atau tidak berkediaman di Indonesia, cukup kata
sepakat dari dua orang tua diantara keluarga sedarah laki-laki yang terdekat dari pihak
bapak si suami yang telah meninggal dunia itu sampai dengan derajat ke empat, yang
telah dewasa dan bertempat tinggal di Indonesia.
Disamping itu perbedaan umur antara anak yang akan di angkat dengan ayah
angkatny, sekurang-kurangnya 18 tahun dan dengan ibunya sekurang-kurangnya 15
tahun.
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata /BW
Dalam kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), kita tidak menemukan satu
kesatuan yang mengatur masalah pengangkatan anak. Hanya mengenai pengakuan
terhadap anak-anak luar nikah mengenai pengakuan terhadap anak-anak luar nikah
dalam Buku 1BW bab XII bagian ketiga. Kita tidak menemukan satu ketentuan yang
mengatur masalah adopsi atau anak angkat ini, yang ada hanyalah ketentuan-ketentuan
tentang pengakuan anak diluar kawin, yaitu seperti yang diatur dalam buku 1BW bab
XII bagian ketiga, pasal 280 sampai 289, tentang pengakuan terhadap anak-anak luar
kawin. Ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali hubungan denagn masalah
adopsi ini. Oleh karena kitab undang-undang Hukum perdata tidak mengenal hal
pengangkatan anak ini.

D.    Adopsi Menurut Hukum Islam, Hukum Adat, dan Hukum Barat.


Dalam hal ini akan dikemukan prinsip anak angkat menurut Hukum Islam,
Hukum Adat dan KUHPerdata Belanda.
a.     Menurut Hukum Islam
Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi
atau pengangkatan anak. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni
ketika mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anaknya.
Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang
lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk
memberi kasih sayang, nafkah pendidikan dan keperluan lainnya. Secara hukum anak
itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh
pasangan suami istri yang luas rezekinya, namun belum dikaruniai anak.
Oleh karena itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mampu,
agar mendapat kasih sayang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan
memberikan kesempatan belajar kepadanya. Di Indonesia, peraturan terkait
pengangkatan anak terdapat pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut
memerhatikan aspek ini (Republika.Co.Id, Jakarta). Pasal 171 huruf h KHI
menyebutkan :

“Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-
hari, biaya pendidikan dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal
kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.

MUI mengharapkan supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial
untuk memelihara, mengasuh dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti
anak sendiri.

Para ulama di Tanah Air telah memfatwakan bahwa pengangkatan anak Indonesia
oleh Warga Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga
merendahkan martabat bangsa. Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim
Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa
tentang Adopsi. Dalam fatwanya, ulama NU menyatakan bahwa "Mengangkat anak
orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak
sah."

Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW :


"Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang
tersebut bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya”

Pengangkatan anak tak bisa menjadikan anak itu sederajat dengan anak sendiri di
dalam nasab, mahram maupun hak waris. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI)
sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi. Pada salah satu butir pertimbangannya,
para ulama memandang, bahwa Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak
yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Hanya saja, MUI mengingatkan ketika
mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab)
dengan ayah dan ibu kandungnya. Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam.
Banyak dalil yang mendasarinya. Seperti surat al-Ahzab ayat 4:

"Dan, dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu


(sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah
mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan yang benar."

Begitu pula surat al-Ahzab ayat 5:

"Panggilan mereka (anak angkat) itu dengan memakai nama bapak-bapak mereka,
itulah yang paling adil dihadapan Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudaramu seagama dan maulamaula
(hamba sahaya yang di merdekakan".

Surat al-Ahzab ayat 40 kembali menegaskan : "Muhammad itu sekalikali bukanlah


bapak dari seorang laki-laki diantaramu, tetapi ia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi”.

Anak angkat dalam arti memelihara, mendidik dan mengasuh seseorang anak
orang lain adalah sangat dianjurkan dalam islam. Tetapi penamaan anak angkat tidak
menjadikan seseorang menjadi mempunyai hubungan dengan seseorang lain seperti
hubungan yang terdapat dalam hubungan darah. Oleh karena itu , penamaan dan
penyebutan anak angkat tidak diakui dalam hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar
dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau
arham. Hubungan antara anak angkat dengan orang yang mengangkatnya bukanlah
hubungan anak sulbi. Anak sulbi asalnya anak shulbi artinya ialah anak kandung yang
berasal dari sumsum tulang sulbi atau tulang punggung kamu.

Jadi dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang
sepanjang hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi
anak angkat itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan
hukumnya dalam hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.

b.    Menurut Hukum Adat

Menurut catatan Ter Haar, sebagaimana dikutip oleh J. Satrio, pengangkatan


anak di dalam Hukum Adat bukan merupakan sesuatu lembaga yang asing. Lembaga
ini dikenal luas hampir di seluruh Indonesia. Alasan yang menjadi pertimbangan
pengangkatan anak juga bermacam-macam. Ada yang karena untuk kepentingan
pemeliharaan di hari tua dan ada yang kerana kasihan terhadap anak yatim piatu.
Bahkan, ada kalanya pengangkatan anak dilakukan dengan pertimbangan yang mirip
dengan adopsi yang diatur oleh ketentuan adopsi ( Stb Nomor 129 tahun 1917 ) yaitu
untuk menghindari punahnya suatu keluarga. Tentang siapa yang boleh mengangkat
anak tidak ada ketentuannya. Akan tetapi menurut R. Soeroso, dijumpai ketentuan
minimal berbeda 15 tahun. Demikian juga tentang siapa yang boleh diadopsi juga tidak
ada ketentuan harus anak laki-atau anak perempuan. Batas usia anak yang dapat
diangkat juga berbeda antara dearah hukum yang satu dengan daerah hukum yang lain.
Hal ini wajar mengingat perbedaan-perbedaan adat di suatu tempat juga
memungkinkan terjadinya perbedaan nilai-nilai hukum mereka.
Dalam hukum adat justru anak angkat atau pengangkatan anak ini diakuli dan
harus dilakukan secara jelas, tegas dan terang atau tunai, yaitu dilakukan dengan
upacara-upacara adat. Hal ini berkaitan dengan hubungan atau kedudukan hukum
antara anak angkat dengan orang tua angkat serta orang tua kandungnya.
Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah
hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal
pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak
kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam
hal pewarisan.

c.     Menurut KUHPerdata Barat

Yang dimaksud Hukum Barat di sini adalah Kitab Undang-undang Hukum


Perdata / BW. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pengangkatan anak
dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi. Dasar hukum adopsi adalah
Staatsblad Tahun 1917 nomor 129. Oleh karena itu pembicaraan mengenai adopsi
Hukum Perdata Barat hanya bersumber dari Staatsblad tersebut, sebab keberadaannya
merupakan satu-satunya pelengkap bagi BW yang di dalamnya memang tidak
mengenal masalah adopsi.
Sudah barang tentu hal ini perlu ditegaskan agar jangan sampai salah
pengertian, bahwa Hukum Barat itu hanya KUH Perdata/BW. J. Satrio menulis dalam
bukunya HukumKeluarga tentang Kedudukan Anak dalam Undang-undang, bahwa
tidak adanya ketentuan tentang adopsi dalam BW karena ketentuan tersebut memang
sengaja dikeluarkan. Ada yang mengatakan, lembaga itu memang hendak dihapus.
Menurut pikiran yang berlaku pada masa pembentukan BW tiang dasar mesyarakat
Eropa adalah keluarga, yang diwujudkan dalam hubungan suami istri, orang tua anak
seperti yang diletakkan dalam BW. Dengan dasar pikiran seperti itu, maka adopsi
merupakan hubungan semu yang hanya meniru hubungan orang tua anak. Dengan
mengutip pernyataan Ali Afandi dia mengemukakan, dalam catatan kaki, latar belakang
tidak dikenalnya adopsi atau pengangkatan anak luar kawin. Yang perlu dicatat adalah
bahwa adopsi yang diatur dalam ketentuan Staatsblad tersebut adalah hanya berlaku
bagi masyarakat Tionghoa.
Ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan anak versi Hukum Barat ini
diatur dalam Staatsblad Pasal 5 s.d. 15 antara lain:
a.    Suami istri atau duda yang tidak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-
laki baik keturunan dari kelahiran atau keturunan karena pengangkatan. Orang
demikian diperbolehkan mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya.
b.    Seorang janda (cerai mati ) yang tidak mempunyai anak laki-laki dan tidak
dilarang oleh bekas suaminya dengan suatu wasiat. (Pasal 5 )
c.    Yang boleh diangkat adalah anak Tionghoa laki-laki yang tidak beristri dan tidak
beranak dan tidak sedang dalam status siangkat oleh orang lain. (Pasal 6)
d.   Usia yang diangkat harus 18 tahun lebih muda dari suami dan 15 tahun lebih muda
dari istri. (Pasal 7 ayat 1);
e.    Adopsi harus dilakukan atas kata sepakat;
f.     Pengangkatan anak harus dilakukan dengan akta notaris. (Pasal 10)
g.    Pengangkatan terhadap anak perempuan dan pengangkatan dengan cara tidak
membuat akta otentik batal demi hukum. ( Pasal 15 ayat Di samping itu adopsi, atas
tuntutan oleh pihak yang berkepentingan juga dapat dinyatakan batal.
h.    Suatu adopsi tidak dapat dibatalkan dengan kesepakatan para pihak. ( Pasal 15 ayat
1 ). Pasal tersebut merupakan penyimpangan dari ketentuan Pasal 1338 ayat KUH
Perdata (BW ) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah dapat
dibatalkan dengan sepakat para pihak yang membuat perjanjian yang bersangkutan.
i.      Secara yuridis formal, motif tidak ada ketentuannya,. Akantetapi, secara culturalmotif
pengangkatan anak dalam system adat Tionghoaagar dapat meneruskan keturunan, agar
dapat menerima abu leluhur, dan sebagai pancingan agar dapat memperoleh keturunan
laki-laki dalam BW, yaitu karena BW memandang suaitu perkawinan sebagai bentuk
hidup bersama, bukan untuk mengadakan keturunan.
KUHPerdata Belanda yang lama tidak mengenal lembaga adopsi sehingga
KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnya meskipun Code Civil Prancis mengenal
adopsi. Hal ini disebabkan karena pandangan orang-orang Belanda yang menganggap
anak hanya mereka yang berhubungan darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan
selanjutnya adalah bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang baru
yaitu sejak tahun 1956.

E.     Akibat Hukum Pengangkatan Anak


Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris
a.    Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua
angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan
kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat
perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali
nikahnya hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.

b. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional,
memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama,
artinya seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan
pewarisan bagi anak angkat.
Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat, Hukum Islam dan Hukum Barat.

1.      Menurut Hukum Adat


Adapun akibat hukum pengangkatan anak menurut adat, menurut J.Satrio,
bahwa anak itu mempunyai kedudukan seperti anak yang lahir dari perkawinan suami
istri yang mengangkatnya dan hubungannya dengan keluarga asal menjadi putus.
Penerimaan anak angkat sebagai keluarga adoptan datang tidak hanya dari keluarga
adoptan, tetapi juga dari masyarakat lingkungannya.
Tentang akibat hukum pengangkatan anak menurut Hukum Adat ini R. Soeroso,
S.H. menulis :
“ Dengan demikian, khususnya masalah pengangkatan anak atau adopsi mempunyai
sifat-sifat yang sama antara berbagai daerah hukum, meskipun karakteristik masing-
masing daerah tertentu mewarnai kebhinekaan cultural suku bangsa Indonesia”. Bertitik
tolak dari yang dikemukakan R. Soeroso tersebut dapat dikemukakan, bahwa sebagai
akibat kebhinekaan kultural,
Perbedaan akibat hukum adopsi menurut Hukum Adat pun juga dimungkinkan
terjadi. Dengan kalimat lain, akibat hukum adopsi yang menurut J. Satrio melepas
hubungan anak angkat dengan orang tua asalnya tersebut, belum tentu terjadi di semua
di daerah hukum Adat. Masih dimungkinkan terjadi akibat hukum yang tidak
menyebabkan terputusnya hubungan antara anak angkat dengan orang tua asalnya.
Perkiraan seperti ini didukung oleh yang ditulis oleh R. Soeroso, bahwa di Bali
perbuatan pengangkatan anak melepaskan anak itu dari pertalian keluarganya dengan
orang tuanya sendiri dengan memasukkan anak itu ke dalam keluarga pihak bapak
angkat. Sedangkan, di Jawa pengangkatan anak tidak menyebabkan putusnya hubungan
pertalian keluarga. Di samping itu, menurut penulis, di daerah-daerah hukum yang
komunitas masyarakatnya muslim yang taat tentu tidak membenarkan pengangkatan
anak yang menyebabkan putusnya hubungan nasab dengan orang tua asalnya. Sebab,
akibat hukum seperti itu jelas dilarang dalam ajaran Islam.

2.      Menurut Hukum Islam


Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam
hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang
tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut
tetap memakai nama dari ayah kandungnya.

3.      Menurut Hukum Barat

Akibat Hukum pengangkatan anak tersebut, antara lain :


1)      Pasal 12 memberikan ketentuan, bahwa adopsi menyebabkan anak angkat tersebut
berkedudukan sama dengan anak sah dari perkawinan yang orang tua yang
mengangkatnya. Termasuk, jika yang mengangkat anak tersebut seorang janda, anak
angkat ( adoptandus) tersebut harus dianggap dari hasil perkawinan dengan almarhum
suaminya.
2)      Adopsi menghapus semua hubungan kekeluargaan dengan keluarga asal, kecuali
dalam hal:
- Penderajatan kekeluargaan sedarah dan semenda dalam bidang perkawinan;
- Ketentuan pidana yang didasarkan atas keturunan;
- Mengenai perhitungan biaya perkaradan penyanderaan;
- Mengenai pembuktian dengan saksi,
- Menganai saksi dalam pembuatan akta autentik.
3) Oleh karena akibat hukum adopsi menyebabkan hubungan kekeluargaan dengan keluarga
asalnya menjadi hapus, maka hal ini berakibat juga pada hukum waris, yaitu: Anak
angkat tidak lagi mewaris dari keluarga sedarah asalnya, sebaliknya sekarang mewaris
dari keluarga ayah dan ibu yang mengadopsi dirinya. Ketentuan-ketentuan asal
mengenai adopsi tersebut kini memang tidak berlakusecara konsisten. Seiring dengan
perkembanagan zaman pelaksanaannyapun mengalami perubahan.

Menurut J. Satrio setidaknya ada dua perubahan mendasar dari penerapan


ketentuan adopsi tersebut, yaitu :
a.         Keberlakuan Staatsblad nomor 129 tahun 1917 kini tidak lagi berlaku bagi golongan
Tionghoa;
b.         Anak yang diangkat tidak hanya anak laki-laki saja tetapi juga anak perempuan.
F.     Aturan Hukum Yang Berkaitan Dengan Pengangkatan Anak

Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu bahwa adopsi


merupakan istilah yang dikenal dari lembaga hukum yang berasal dari hukum perdata
Barat (Belanda ). Oleh karena sampai saat ini, Indonesia sebagian hukum perdatanya
juga masih memberlakukan Hukum Perdata Barat, dalam hal ini Burgelijk wet Boek
( BW ), maka ketentuan-ketentuan menganai pengangkatan anak tersebut, dapat dilihat
pada ketentuan-ketantuan yang ada dalam BW. Akan tetapi kenyataannya BW sendiri
tidak mengatur mengenai adopsi sebagaimana yang terjadi dalam praktek. Sebagaimana
dikemukakan oleh R. Soeroso, adopsi yang diatur dalam BW hanya adopsi atau
pengangkatan anak luar kawin, yaitu sebagaimana termuat pada Buku I Bab XII Bagian
III pasal 280 sampai dengan 290. Sedangkan, pengangkatan anak sebagaimana terjadi
dalam praktek di masyarakat dan dunia peradilan sekarang, tidak hanya terbatas pada
pengangkatan anak luar kawin, tetapi sudah mencakup pengangkatan anak dalam arti
luas. Dengan demikian, sebenarnya, BW  tidak mengatur pengangkatan anak
sebagaimana dikenal sekarang. Hanya saja kemudian, untuk memenuhi tuntutan
masyarakat, oleh Pemerintah Belanda dikeluarkan Stb. 1917 Nomor 129 yang
memberikan ketantuan mengenai adopsi bagi masyarakat Tionghoa, dalam hal ini
diatur dalam ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 15. Di dalamnya diatur tentang
siapa yang boleh mengangkat, siapa yang boleh diangkat sebagai anak angkat, dan
tatacara pengangkatan anak, termasuk di dalamnya syarat-syarat pengangkatan anak.

Menurut R Soeroso Staatsblad tersebut merupakan satu-satunya pelengkap dari


BW. Oleh karena itu, segala persoalan menyangkut adopsi versi Barat semata-mata
harus beranjak dari Staatsblaad tersebut. Melihat praktek permohonan pengangkatan
anak di peradilan dari hari ke hari semakin marak, terlepas dari motivasi yang
melatarbelakangi pemohon, dan aturan yang mengatur mengenai hal itu masih dirasa
kurang, maka Mahkamah Agung memandang perlu untuk memberikan tambahan
aturan yang bersifat teknis mengenai pengangkatan anak tersebut. Kepedulian
Mahkamah Agung tersebut diwujudkan dengan mengeluarkan aturan dalam bentuk
Surat Edaran.
BAB III

PENUTUP

Simpulan

Adopsi anak adalah salah satu cara mulia bagi pasangan yang belum dikaruniai
anak. Kehadiran anak adopsi diharapkan dapat mengisi hari-hari sepi pasangan suami
istri tersebut, bahkan tak jarang banyak pasangan yang menjadikan anak adopsi sebagai
“pancingan” agar kelak mereka memiliki keturunan kandung mereka sendiri.

Dalam hukum islam pada prinsipnya anak angkat itu tidak dilarang sepanjang
hal itu menyangkut memelihara, mendidik dan mengasuhnya akan tetapi anak angkat
itu tidak dikenal bila dihubungkan atau dikaitkan dengan kedudukan hukumnya dalam
hal ini apabila menjadi ahli waris atau memperoleh kewarisan.

Dalam masyarakat hukum adat , dengan pengangkatan anak, maka putuslah


hubungan keluarga antara anak tersebut dengan orang tua kandungnya. Dalam hal
pewarisan anak tersebut mewaris dari orang tua angkatnya seperti halnya anak
kandung. Jadi kedudukan hukum antara anak angkat dengan anak kandung sama dalam
hal pewarisan.

KUHPerdata Belanda yang lama tidak mengenal lembaga adopsi sehingga


KUHPerdata Indonesia pun tidak mengenalnya meskipun Code Civil Prancis mengenal
adopsi. Hal ini disebabkan karena pandangan orang-orang Belanda yang menganggap
anak hanya mereka yang berhubungan darah semata-mata. Akan tetapi , perkembangan
selanjutnya adalah bahwa adopsi sudah dikenal dalam KUH Perdata Belanda yang baru
yaitu sejak tahun 1956.

Akibat Pengangkatan anak berdampak pula pada hal perwalian dan waris.
Dalam perwalian, Sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat
menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban
orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan
beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya
hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya. Dalam waris Khazanah
hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki
ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya
seseorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan
bagi anak angkat.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Zaini Muderis, Adopsi, Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.

Artikel :
Patricia L.R, http://patricia-seohyerim.blogspot.com/2011/05/pengangkatan-anak-
menurut-berbagai.html,
http://pena-rifai.blogspot.com/2010/11/perbandingan-hukum.html,
http://fadilanhur30.blogspot.com/2013/01/adopsi-anak-dan-bayi-tabung.html,
http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm,
Asmu’iSyarkowi,http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Lembaga%20Pengangkatan
%20Anak%20-%20asmui.pdf,

Anda mungkin juga menyukai