Anda di halaman 1dari 23

Kelompok 7

ANAK ANGKAT, ANAK PUNGUT, ANAK HASIL ZINA, DAN ANAK


HASIL INSEMINASI
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas :
Mata Kuliah : Masailul Fiqih
Dosen Pengampu : Khadijah, S. Kom, I.M.Pd

Disusun Oleh
AHMAD PAUZI
(2211110036)
MAULIDA SARI
(2211110052)
HAFIZAH NURAINI GHANI
(2211110067)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1445H/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan syukur dengan tulus dipanjatkan ke hadirat Allah SWT. Atas berkat dan rahmat
serta taufik dan hidayat-Nya serta nikmat sehat, baik berupa fisik maupun akal pikiran sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Anak Angkat, Anak Pungut, Anak Hasil Zina,
Dan Anak Hasil Inseminasi” dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga
kami berterimakasih kepada Ibu Khadijah, S. Kom, I.M.Pd selaku dosen mata kuliah yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna bagi kita semua dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai “Anak Angkat, Anak Pungut, Anak Hasil Zina,
Dan Anak Hasil Inseminasi”. Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa
masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. semoga makalah
ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan teman-teman yang membaca makalah ini.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Palangka Raya 11 Oktober 2023

Tim Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................................................ii
BAB I..........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................2
A. Pengertian Anak Angkat/Anak Pungut Menurut Hukum Islam...............................................2
B. Sebutkan Pengertian Anak Hasil Zina Menurut Hukum Islam..............................................10
C. Pengertian Anak Hasil Inseminasi Menurut Hukum Islam.....................................................13
BAB III.....................................................................................................................................................17
PENUTUP................................................................................................................................................17
A. Kesimpulan..................................................................................................................................17
B. Saran Penulisan...........................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................19
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, memiliki anak adalah sebuah dambaan bagi suami dan
istri. Anak merupakan anugrah dari Allah SWT dan menjadikan sebuah keluarga kepada
kebahagiaan dan kesempurnaan. Bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang
paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya. Namun, tidak semua
pasangan suami istri diberi kemudahan dalam hal memiliki anak. Akan tetapi, saat ini
sudah terdapat banyak cara yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri yang kesulitan
memiliki anak untuk dapat memiliki anak. Misalnya, dengan cara mengadopsi anak.
Perzinaan yang mewabah ini menimbulkan berbagai problematika social yang
menyakitkan. Tidak hanya pada kedua pelakunya saja, namun juga pada anak yang lahir
melalui hubungan haram tersebut. Predikat “anak zina” sudah cukup menyebabkan si
bocah menderita kesedihan mendalam. Apalagi bila menengok masalah-masalah lain
yang mesti ia hadapi di kemudian hari. Seperti penasaban, warisan, perwalian dan
masalah-masalah sosial lainnya yang tidak mungkin ia hindari.
Seiring berkembangnya zaman ini, semuanya berkembang dengan pesat, terutama
dalam bidang teknologi yang merambah sampai pada bidang kedokteran. Dalam bidang
kedokteran dibantu dengan canggihnya teknologi ini mengalami perkembangan yang
sangat pesat, hal ini bisa sangat dirasakan terutama di negara-negara yang sudah maju
seperti negara-negara Eropa dan Timur Tengah. Misalnya adanya inseminasi buatan, bayi
tabung, bank ASI, peminjaman rahim, dan lain sebagainya
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan Pengertian Anak Angkat/Anak Pungut Menurut Hukum Islam
2. Sebutkan Pengertian Anak Hasil Zina Menurut Hukum Islam Dan
3. Sebutkan Pengertian Anak Hasil Inseminasi Menurut Hukum Islam
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian Anak Angkat/Anak Pungut Menurut Hukum Islam
2. Untuk Mengetahui Pengertian Anak Hasil Zina Menurut Hukum Islam
3. Untuk Mengetahui Pengertian Anak Hasil Inseminasi Menurut Hukum Islam
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Angkat/Anak Pungut Menurut Hukum Islam
1. Anak Angkat
Dalam kamus al-Munawwir, istilah tabanni diambil dari kata al-Tabannî yang
berasal dari Bahasa Arab mempunyai arti mengambil, mengangkat anak atau
mengadopsi. 1Pada prinsipnya pengangkatan anak (adopsi) adalah perbuatan hukum
dengan cara mengambil anak orang lain yang bukan keturunannya untuk dipelihara
dan diperlakukan sebagai anak keturunan sendiri. 2 Faktor lain dari tabanni terkadang
karena keinginan mereka untuk meringankan beban orang tua kandung anak
angkatnya yang serba minim, baik karena hidup pas-pasan atau karena mempunyai
anak yang banyak. Alhasil, faktor ini menjadi penyebab kurangnya perhatian terhadap
kesehatan, pendidikan, perawatan, pengajaran, dan kasih sayang anak-anaknya.
Adapun anak angkat adalah anak yang dijadikan sebagai anak asuh yang
diketahui nasab kedua orang-tuanya. Ada semacam "serah terima" yang resmi dari
kedua orang tua asli kepada orang tua angkat. Dengan demikian, tidak dapat
dibenarkan bagi orang tua asuh untuk menasabkan anak angkatnya kepada dirinya
karena pengangkatan anak dalam Islam bukan bertujuan untuk menghilangkan nasab,
tapi untuk menolong dan memberikan bekal pendidikan Pengangkatan anak dalam
Fikih Islam dikenal dengan sebutan tabbani. Istilah Tabanni sebenarnya sudah
menjadi tradisi dikalangan mayoritas masyarakat Arab. Hal ini juga pernah dilakukan
Nabi SAW terhadap Zaid bin Haritsah. Setiap anak yang dilahirkan memerlukan
perawatan, pemeliharaan, dan pengasuhan untuk mengantarkannya menuju
kedewasaan. Pembentukan jiwa anak sangat dipengaruhi oleh cara perawatan dan
pengasuhan anak sejak dia dilahirkan. Tumbuh kembang anak diperlukan perhatian
yang serius, terutama masa-masa sensitif anak, misalnya balita (bayi dibawah lima
tahun). Demikian pula perkembangan psikologis anak juga mengalami fase-fase yang

1
Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir. (Surabaya: Pustaka Progressif) 1997. hal.
111.
2
Surojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Haji
Masagung, Cetakan 6, 1987), hal.117.
memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangan
jiwanya.3
Dalam pandangan hukum Islam ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
penetapan anak angkat.
1. Dalam pandangan hukum Islam anak angkat tidak dapat menggunakan nama ayah
angkatnya. Seperti dijelaskan dalam Surah al- Ahzab ayat 4-5
‫ّٰل‬
‫َم ا َج َعَل ُهّٰللا ِلَر ُج ٍل ِّم ْن َقْلَبْيِن ِفْي َج ْو ِفٖه ۚ َو َم ا َج َعَل َاْز َو اَج ُك ُم ا ِٕۤـ ْي ُتٰظ ِهُرْو َن ِم ْنُهَّن ُاَّم ٰه ِتُك ْم ۚ َو َم ا َج َع َل‬
)4 :33/‫َاْد ِعَيۤا َء ُك ْم َاْبَنۤا َء ُك ْۗم ٰذ ِلُك ْم َقْو ُلُك ْم ِبَاْفَو اِهُك ْم ۗ َو ُهّٰللا َيُقْو ُل اْلَح َّق َو ُهَو َيْهِد ى الَّس ِبْيَل ( االحزاب‬
Artinya : Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya, Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia pun tidak
menjadikan anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu
hanyalah perkataan di mulutmu saja. Allah mengatakan sesuatu yang hak dan Dia
menunjukkan jalan (yang benar).
(Al-Ahzab/33:4) :
‫ُاْدُع ْو ُهْم ٰاِل َبۤا ِٕىِهْم ُهَو َاْقَس ُط ِع ْنَد ِهّٰللاۚ َفِاْن َّلْم َتْع َلُم ْٓو ا ٰا َبۤا َء ُهْم َفِاْخ َو اُنُك ْم ِفى الِّدْيِن َو َم َو اِلْيُك ْم ۗ َو َلْيَس َع َلْيُك ْم‬
)5 :33/‫ُجَناٌح ِفْيَم ٓا َاْخ َطْأُتْم ِبٖه َو ٰل ِكْن َّم ا َتَعَّم َد ْت ُقُلْو ُبُك ْم ۗ َو َك اَن ُهّٰللا َغ ُفْو ًرا َّر ِح ْيًم ا ( االحزاب‬

Artinya : Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak
mereka. Itulah yang adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapak mereka,
(panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu.607)
Tidak ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada dosanya) apa
yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.607)
Yang dimaksud dengan maula dalam ayat ini adalah teman dekat. (Al-Ahzab/33:5)
2. Antara ayah angkat dengan anak angkat, ibu angkat dan saudara angkat tidak
mempunyai hubungan darah. Mereka dapat tinggal serumah tetapi haus menjaga
ketentuan mahram, dalam hukum Islam tidak dibolekan melihat aurat berkhalwat,

3
Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang
Press, 2008), hal. 302.
ayah atau saudara angkat tidak menjadi wali perkawinan untuk anak angkat
perempuan.
3. Diantara mereka tidak saling mewarisi. Dalam hukum. Islam, pengangkatan anak
tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan
hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia ttap menjadi ahli waris dari
orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari aya kandungnya.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Hukum Islam anak angkat tidak
dapat disamakan dengan anak kandung. Seperti diketahui, Islam sangat
mementingkan hubungan nasab. Oleh karena itu status anak angkat tidak dapat
menjadikan anak tersebut sebagai ahli waris. Karena antara anak angkat dengan orang
tua angkat adalah orang lain dan tidak memiliki hubungan nasab.
Hal ini dikarenakan pada perinsipnya pengangkatan anak dalam Hukum Islam
adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai
terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.pertimbangan-
pertimbangan pengadopsian anak menurut syariat Islam yaitu :Pertama Islam
memperbolehkan mengadopsi anak dengan tujuan untuk menjaga/memelihara
kepentingan anak.Kedua Pengadopsian/pengangkatan anak dalam Hukum Islam
sebenarnya hanya peralihan biaya hidup anak, pendidikannya, bimbingan agama dan
lainnya dari orang tua kandung kepada orang tua angkat, tetapi tidak memutus
hubungan nasab atau hukum
dengan orang tua kandungnya.Ketiga Antara anak angkat dengan orang tua terdapat
ada hubungan keperdataan washiah wajibah.
4. Untuk mengadopsi anak diperlukan persetujuan dari orang tua kandung, wali atau
badan hukum yang akan diangkat.
Tata Cara Mengangkat Anak Menurut M.Hamdan Rasyid dalam Fiqih Indonesia, tata
cara pengangkatan anak yaitu:
a. Syariat Islam membolehkan dan bahkan menganjurkan seseorang mengambil
anak angkat dari orang lain, rumah yatim piatu, rumah sakit untuk di asuh,
diberikan kasih sayang, nafkah dan pendidikan.
b. Sesungguhnya mengambil anak angkat merupakan perbuatan mulia, tapi
harus memenuhi syarat, sebagai berikut:
1) Anak yang di adopsi dalam keadaan yang terlantar.
2) Tujuan adopsi adalah semata-mata mengasuh, memberi kasih sayang,
menyantuni dan mendidik anak yang di adopsi.
3) Pengadopsian anak dilakukan dengan cara-cara yang di benarkan oleh
syariat Islam.
4) Anak yang di adopsi diberikan kebebasan untuk kembali kepada
keluarganya. Seseorang yang mengadopsi anak orang lain tidak boleh
memutuskan tali persaudaraan dengan keluarganya.
c. Menurut Hukum Islam, status anak yang di adopsi adalah sama dengan orang
lain dan tidak mempunyai hubungan nasab atau silsilah dengan orang yang
mengadopsinya.
d. Anak angkat tidak mempunyai hubungan mahram dengan keluarga orang tua
angkat, oleh karena itu, anak angkat boleh di nikahi oleh ayah, ibu atau
saudara angkat.
e. Anak angkat tidak berhak saling mewarisi dengan orang tua angkat dan
keluarganya, karena harta pusaka hanya di berikan kepada orang-orang yang
mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan pernikahan dengan orang
yang wafat.
f. Umat Islam harus berhati-hati sehingga tidak menyerahkan anggota
keluarganya kepada orang-orang non muslim untuk di jadikan anak angkat
atau adopsi. Sampai sekarang sumber hukum pengangkatan anak menurut
hukum Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya yaitu:
1) QS. Al Ahzab (33) : 4-5.
2) QS. Al Ahzab (33) : 21
3) QS. Al Ahzab (33) : 37
Alasan dan tujuan melakukan pengangkatan anak ada bermacam-macam,
diantaranya adalah:
a) Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar.
b) Tidak mempunyai anak, dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan
memeliharanya kelak kemudian dihari tua.
c) Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak dirumah, maka akan dapat
mempunyai anak sendiri.
d) Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada.
e) Untuk mempertahankan ikatan perkawinan dan kebahagiaan keluarga.
f) Hubungan baik dan tali persaudaraan.
g) Rasa kekeluargaan dan peri kemanusiaan.
h) Kebutuhan tenaga kerja.
Dalam praktiknya, pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia
mempunyai beberapa tujuan. Tujuannya antara lain adalah untuk meneruskan
keturunan, apabila suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi ini
sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin
melahirkan anak, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam
pelukannya di tengah-tengah keluarganya
Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi
ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang
tua biologis dan keluarga.
2. Anak anagkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat,
melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tuakandungnya, demikian juga
orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara
langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.
4. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya.
Adapun syarat-syarat pengangkatan anak menurut hukum Islam diantaranya
adalah:
a. Tidak boleh mengambil anak angkat dari yang berbeda agama, kecuali ada
jaminan bahwa anak angkat tersebut akan bisa di islamkan.
b. Orang tua mengangkat anak harus benar-benar memelihara dan mendidik
anak yang bersangkutan sesuai dengan ajaran yang benar yakni syari’at Islam.
c. Tidak boleh bersikap keras dan kasar terhadap anak angkat.4
5. Anak Pungut
a) Pengertian Anak Pungut
Anak pungut adalah anak yang dijadikan sebagai anak asuh yang tidak diketahui
siapa nasabnya (ibu bapaknya), dalam bahasa Arabnya disebut al-laqith, seperti anak
yang dipungut dari tempat pembuangan. Biasanya anak tersebut dibuang oleh ibunya
karena untuk menghilangkan aib dari perbuatannya di luar nikah (kumpul kebo/free
sex). Termasuk anak pungut juga, anak yang diambil dari rumah sakit karena orang
tuanya tidak mampu membayar biaya kelahiran. Pengertian di atas sejalan dengan
definisi tentang anak pungut yang dikemukakan oleh Sayyid Sabiq bahwa anak
pungut adalah anak yang belum dewasa yang ditemukan di jalan dan tidak diketahui
nasabnya.
Bagi orang tua yang telah berlaku tega kepada anaknya dengan menelantarkan
anaknya tersebut merupakan perbuatan jahat dan berdosa tapi di sisi lain bagi orang
yang menyelamatkan dan mengu- rus itu merupakan perbuatan terpuji yang berpahala
dan teramat besar jasanya sehingga perbuatannya itu diumpamakan seperti orang
yang menyelamatkan manusia secara keseluruhan, sebagaimana ditegaskan dalam
firman Allah SWT:(QS. al-Ma'idah (5): 32)
‫ِم ْن َاْج ِل ٰذ ِلَك ۛ َك َتْبَنا َع ٰل ى َبِنْٓي ِاْس َر ۤا ِء ْيَل َاَّنٗه َم ْن َقَت َل َنْفًس ۢا ِبَغْي ِر َنْفٍس َاْو َفَس اٍد ِفى اَاْلْر ِض َفَك َاَّنَم ا‬
‫َقَتَل الَّناَس َج ِم ْيًع ۗا َو َم ْن َاْح َياَها َفَك َاَّنَم ٓا َاْح َيا الَّناَس َج ِم ْيًع اۗ َو َلَق ْد َج ۤا َء ْتُهْم ُرُس ُلَنا ِب اْلَبِّيٰن ِت ُثَّم ِاَّن َك ِثْي ًرا‬
)32 :5/‫ِّم ْنُهْم َبْع َد ٰذ ِلَك ِفى اَاْلْر ِض َلُم ْس ِرُفْو َن ( المۤا ئدة‬
Artinya : Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa
siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah
membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-
akan dia telah membunuh semua manusia.211) Sebaliknya, siapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua
manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di
antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.211) Maksudnya, membunuh
seorang manusia sama dengan menghalalkan pembunuhan terhadap seluruh manusia.

4
Nur Ana Fitriani, Waris Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, PP. Darun Najah, Kudus,
Sebaliknya, menjaga kehormatan seorang manusia sama dengan menjaga kehormatan
seluruh manusia. (Al-Ma'idah/5:32)5
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pada prinsipnya kedudukan anak
pungut dan anak angkat itu sama, yaitu mereka adalah anak orang lain bukan anak
kandung. Yang membedakan antara keduanya terletak pada proses pengambilan.
Dalam bahasa Arab menjadikan anak sebagai anak asuh disebut (tabanni), atau
bahasa Inggrisnya disebut adopsi. Mengangkat anak dalam Islam memiliki tujuan
yang jelas, yaitu untuk menolong dan mengasuh serta mendidik sebagaimana :
“Aku (Nabi) dan orang yang megasuh anak yatim di surga seperti ini. Nabi
mengisyaratkan dengan menunjukkan ibu jari dan jari tengah dan Rasul merapatkan
kedua jarinya." (HR. Bukhari)
Abu Abdillah Ahmad bin Ahmad Al-Isawi, (2004:468-470) menyatakan bahwa :

1. Madzhab Hanafi Laqith adalah sebutan untuk seorang


bayi yang dibuang oleh keluarganya
karena takut miskin atau untuk
menghindari tuduhan telah berbuat aib.
2. Madzhab Syafi’i laqith adalah setiap bayi yang terlantar
dan tidak ada yang menafkahinya.
3. Madzhab Hambali laqiith adalah anak kecil yang belum
mencapai usia mumayyiz (dewasa) yang
tidak diketahui nasabnya dan terlantar,
atau tersesat di jalan.

b) Status anak pungut


Anak pungut dengan orang tua yang memungutnya tetap seperti sebelum
pemungutan dan keluarga anak yang dipungut tetap seperti sebelum pemungutan,
tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Baik anak pungut itu dari intern
keluarga sendiri atau dari luar lingkungan kerabat.

5
Qur’an Kemenag, (Qs Al-Maidah 5/32)
Sumber Hukum Anak Pungut Dasar hukum yang mendasari adanya anak pungut
adalah:
1) QS. Al-Maidah ayat 32
2) QS. Al-Maidah ayat 2
3) Hadits Nabi SAW:
Artinya :"Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini
sambil la menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia ranggangkan antara
keduanya" (HR. Bukhari, Abu Daud dan Tirmidzi).
c) Pandangan Ulama tentang Status Anak Pungut
1. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa anak yang tersia-siakan dari orang tuanya lebih
patut dinamakan Ibnu Sabil, yang dalam Islam dianjurkan untuk memeliharanya.
2. Asy-Syarbashi mengatakan bahwa para fuqaha menetapkan, biaya hidup untuk anak
pungut diambil dari baitul-mal muslimin.
Hal ini sebagaimana dikatakan Umar Ibn Khattab r.a. ketika ada seorang laki-laki
yang memungut anak. "pengurusannya berada di tanganmu, sedangkan kewajiban
menafkahinya ada pada kami.6" Umat Islam wajib mendirikan lembaga dan sarana yang
menanggung pendidikan dan pengurusan anak yatim. Dalam kitab Ahkam al-Awlad fil
Islam disebutkan bahwa "Islam memuliakan anak pungut dan menghitungnya sebagai
anak muslim, kecuali di negara non-muslim. Oleh karena itu, agar mereka sebagai
generasi penerus Islam, keberadaan institusi yang mengkhususkan diri mengasuh dan
mendidik anak pungut merupakan fardhu kifayah. Karena bila pengasuhan mereka jatuh
kepada non-muslim, maka jalan menuju murtadin lebih besar dan ummat Islam yang
tidak mempedulikan mereka, sudah pasti akan dimintai pertanggungjawaban Allah s.w.t.
Karena anak angkat atau anak pungut tidak dapat saling mewarisi dengan orang tua
angkatnya, apabila orang tua angkat tidak mempunyai keluarga, maka yang dapat
dilakukan bila la berkeinginan memberikan harta kepada anak angkat adalah, dapat
disalurkan dengan cara hibah ketika dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam
batas sepertiga pusaka sebelum yang bersangkutan meninggal dunia."
3. Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata dalam kitabnya Al-Mughni (V/392).

6
http://madaniannida-kumpulanmakalahpai.blogspot.com/2011/01/status-anak-pungutanak-angkat- anak-zina.html,
diakses tanggal 3 April 2011.
Memungut anak seperti ini hukumnya wajib, berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam
surat Al-Maidah ayat 2. Karena dengan memungut anak tersebut berarti ia telah
menyelamatkan jiwa seorang yang masih hidup dan ini hukumnya wajib. Seperti: dengan
cara memberikan makanan dan menyelamatkan anak yang hanyut"7
Berdasarkan uraian tentang pengertian, dasar hukum dan pendapat ulama tentang
hukum anak pungut, maka dapat ambil kesimpulan bahwa memungut anak yang tersia-
siakan merupakan hal yang Fardu Kifayah bagi umat Islam. Karena dengan memungut
anak tersebut maka selain menyelamatkan jiwa juga memungkinkan menyelamatkan
anak tersebut dari kemungkinan memeluk non muslim jika dipungut oleh umat non
muslim. Dasar hukum yang digunakn sebagai dasar memungut anak yang tersia-siakan
sudah sangat jelas baik dari nash Al-Qur'an maupun dari nash Hadits. Setelah anak
tersebut dipungut maka status anak tersebut sama dengan anak angkat yaitu secara hukum
mawaris tidak bisa menerima warisan dari keluarga yang memeliharanya, maka jika
keluarga ingin memberikan bagian untuknya dengan jalan hibah semasa masih hidup atau
wasiat dengan jatah maksimal sepertiga dari seluruh harta orang tua pungutnya.
Demikian pula mengenai mahram, ia berstatus sebagai orang lain, sehingga dia bukanlah
mahram bagi anggota keluarga orang tua pungutnya. Selama anak pungut tersebut tidak
menyusu dengan ibu pungutnya maka saudara dari keluarga pungut berhak untuk
menikahinya.8
B. Sebutkan Pengertian Anak Hasil Zina Menurut Hukum Islam
1) Pengertian Anak Diluar Nikah (Anak Hasil Zina)
Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa disebut
dengan anak tidak sah. Dengan demikian yang dimaksud dengan anak zina adalah anak
yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara
laki-laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa
kekeliruan atau kesalahan. Dengan demikian status anak zina bernasab kepada pihak ibu
bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil. Islam menganggap zina sebagai tindak
pidana (jarimah) yang sudah ditentukan sanksi hukumannya (had, zina)ketentuan ini
sudah pasti mempunyai tujuan. Salah satu tujuannya adalah agar manusia tidak

7
Al Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy-Syaikh Shalih bin Fauzan, Hukum Mengadopsi Anak, Majalah As-Sunnah
Edisi 04/TAHUN XI/1428H/2007M.
8
terjerumus kepada perbuatan terkutuk, dimurkai Allah dan bertentangan dengan akal
sehat. Sayid Sabiq dalam fiqh sunnah memberikan alasan dijadikannya zina sebagai
tindak pidana. Yaitu:9
a) Zina dapat menghilangkan nasab dan secara otomatis menyia-nyiakan harta warisan
ketika orangtuanya meninggal.
b) Zina dapat menyebabkan penularan penyakit yang berbahaya kepada yang
melakukannya dan anaknya.
c) Zina merupakan salah satu sebab terjadi pembunuhan, karena rasa cemburu
merupakan rasa yang ada pada semua ummat manusia.
d) Zina dapat menghancurkan keutuhan rumah tangga dan meruntuhkan Eksistensinya.
e) Zina hanya sekedar hubungan yang sementara, tidak ada masa depan dan
kelanjutannya.
2) Kedudukan Anak Diluar Nikah (Anak Hasil Zina)
Seorang anak berkewajiban menghormati dan mentaati orang tuanya, sepanjang
tidak diperintah untuk berbuat maksiat. Dilarang menyakiti baik secara fisik maupun
psikis. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Luqman ayat 14-15. Sebaliknya orang tua
yang mendapat hak penghormatan dari anaknya itu, berkewajiban untuk mendidik dan
memberinya rizki yang layak sesuai dengan perkembangan anak itu sendiri. Surah Al-
Baqarah:233, ayat ini memberikan kewajiban kepada seorang ibu untuk menyusui atau
memberi makan kepada anaknya sehingga pertumbuhannya baik dan sehat. Sedangkan
bapak diberi kewajiban secara umum untuk memberi nafkah kepada ibu yang menyusui
anaknya. Hak dan kewajiban seperti di atas terjadi manakala anak dilahirkan dalam
pernikahan yang sah. Khusus untuk menentukan nasab dari ayahnya, Imam Syafii
berpendapat bahwa anak dapat dianggap sah dan dapat dihubungkan kepada ayahnya
dengan semata-mata adanya akad nikah antara ayah dan ibunya. Berbeda hal dengan
Imam Ahmad bin Hambal yang menyatakan bahwa menentukan nasab anak terhadap
ayahnya harus dipastikan adanya hubungan kelamin antara ibu dan ayahnya.
Apabila seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak sah (diluar pernikahan),
maka ia bisa disebut anak luar kawin (anak alam). Sebagai akibatnya ia tidak dapat
dihubungkan dengan ayahnya, melainkan hanya kepada ibunya. Ketentuan ini terdapat

9
Ibid hal. 341
dalam Kitab Undang-undang. Hukum Perdata dan Hukum Islam. Namun demikian Kitab
Undang-undang Hukum Perdata ada ketentuan, bahwa anak tersebut dapat dianggap
sebagai anak yang sah setelah diakui sebagai anak sekaligus disahkan sebagai anak.
Akibat dari pengakuan dan pengesahan anak ini, timbul hak dan kewajiban timbal balik
antara anak dan orangtuanya. Sedangkan dalam hukum Islam tetap tidak dianggap
sebagai anak yang sah, karena itu berakibat hukum sebagai berikut :
1. Tidak ada hubungan nasab kepada laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak
sah. Anak yang sah berhak untuk dihubungkan kepada ayahnya. Adapun anak
diluar nikah atau anak zina, tidak dapat dihubungkan nasabnya kepada ayahnya
melainkan hanya kepada ibunya. Secara yuridis formal ayah tidak wajib
memberikan nafkah kepada anak itu, walaupun secara biologis dan geneologis
anak itu adalah anaknya sendiri. Jadi hubungan kekerabatan hanya berlangsung
secara manusiawi, bukan secara hukum.
2. Tidak ada saling mewarisi Sebagai akibat lebih lanjut dari tidak adanya hubungan
nasab antara anak zina dengan laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah,
maka mereka tidak bisa saling mewarisi satu sama lain. Karena nasab merupakan
salah satu penyebab mendapatkan warisan. Saling mewaris dimaksud, juga
termasuk mewaris dari kerabatnyayang tersekat seperti saudara, paman dan
sebagainya. Begitu pula keluarga bapak tidak dapat mewaris dari anaknya. A.
Hasan menegaskan anak tersebut tidak jadi anak bapak, dan oleh karena itu
bapaknya tidak jadi ahli warisnya dan iapun tidak jadi ahli waris mereka. Begitu
juga anak hasil zina yakni anak zina dan anak yang tidak di akui itu, ahli warisnya
hanya ibunya, saudara seibu dana anak dari pihak ibu.10
4. Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah (Anak Hasil Zina)
Mengenai wilayah yang dimaksud dalam akibat hukum ialah wilayah kasah yaitu
perwalian atas orang dalam perkawinan. Jika anak diluar nikah itu kebetulan wanita,
maka apabila ia telah dewasa dan akan melangsungkn pernikahan, maka ia tidak
berhak untuk di nikahkan oleh laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sahatau
oleh wali lainnya berdasarkan nasab. Yang dimaksud dengan wali dalam pernikahan

10
A.Hasan, Al-Faraid, Pustaka Progresif, Surabaya, 1979, hal 133.
adalah orang-orang yang tergolong asabah dalam waris, bukan kelompok dzawil
arham.
Sayid Sabiq menjelaskan : jumhur ulama seperti Mali, Tsauri al-Lais dan asy-
Syafii berpendapat bahwa wali-wali dalam nikah itu ialah mereka yang tergolong
asabah dalam waris, tidaklah ada hak menjadi wali bagi paman dari ibu, saudara-
saudara seibu, anak ibu saudara seibu dzawil arham lainya. Oleh karena asabah dalam
waris juga berdasarkan nasab, maka seorang wanita yang dilahirkan di luar nikah
dianggap tidak ada nasab dengan pihak laki-laki yang mencampuri ibunya secara
tidak sah. Sebagai akibatnya ia tidak dinikahkan oleh laki-laki yang mencampuri
ibunya secara tidak sah, melainkan dinikahkan oleh hakim. Hal ini sama
kedudukannya dengan orang yang tidak mempunyai wali sama sekali. Sebagaimana
sabda Rasulullah saw. : dari Aisyah r.a. ia berkata: Rasulullah bersabda : setiap
wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal. Jika wanita itu telah
disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar mitsil karena dianggap halal menyetubuhinya,
sebab jika mereka berselisih maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak
mempunyai wali.
C. Pengertian Anak Hasil Inseminasi Menurut Hukum Islam
Kata inseminasi berasal dari bahasa inggris "insemination" yang artinya
pembuahan atau penghamilan secara teknologi bukan secara ilmiah. Jadi, inseminasi
adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara memasukkan
sperma laki-laki kedalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan dokter, istilah lain
yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan. Dalam istilah arab inseminasi
disebut dengan istilah at-talqih,al-talqih berasal dari kata kerja laqqaha-yulaqqihu-
talqihan yang berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan). 11 Kata talqih
yang sama pengertiannya dengan inseminasi diambil oleh dokter ahli kandungan bangsa
Arab, dalam upaya pembuahan terhadap wanita yang menginginkan kehamilan, padahal
istilah ini berasal dari petani kurma yang pekerjanya menaburkan serbuk bunga jantan
terhadap bunga betina, agar pohon kurmanya dapat berubah. Inseminasi buatan dilakukan
dan dibenarkan menurut Hukum Islam tidak terlepas dari
a. Faktor-faktor Pendorong

11
Mahjuddin, Masailul Fiqhiyyah (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm 1.
Yang sifatnya mendorong Mereka untuk melakukan inseminasi buatan. Motivasi
itu antara lain adalah:
1) Mengharapkan keridhoan Allah semata. Dengan dorongan ini orang tua yang
memiliki anak dari hasil inseminasi buatan didasarkan kepada kemampuan
dalam memelihara anak dan mendidik anak dengan niat ikhlas demi Allah
SWT.
2) Sebagai keberlangsungan generasi dan pelengkap dalam rumah tangga, anak
hasil inseminasi buatan dapat dilakukan untuk meneruskan cita-citanya dan
sebagai penyambung generasi seterusnya. Adapun tujuan dari inseminasi
buatan adalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan keturunan bagi
pasangan suami isteri yang belum mendapat keturunan dikarenakan tidak
dapat mempunyai keturuna secara alami.
Dari beberapa tujuan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pokok
inseminasi buatan dalam Hukum Islam adalah semata-mata untuk mendapatkan seorang
anak atau bayi dari hasil inseminasi buatan tersebut, lebih dari itu adalah demi terciptanya
kesejahteraan dan keharmonisan dalam keluarga itu sendiri, seperti ketika dalam rumah
tangga tersebut mempunyai suatu masalah atau terjadi pertengkaran, maka dengan
hadirnya seorang anak yang di hasilkan melalui inseminasi buatan dapat menjadi satu
pertimbangan tersendiri bagi pasangan tersebut. Meskipun realitanya inseminasi buatan
melalui titip rahim dikarenakan si istri memang benar-benar tidak dapat mempunyai
keturunan dikarenakan kelainan bawaan rahim (syndrome rokytansky), infeksi alat
kandungan, tumor rahim, dan Sebab operasi atau pengangkatan rahim yang pernah
dijalani., karena memang mereka yang melakukan inseminasi buatan adalah orang yang
tidak diberi keturunan oleh Allah SWT, inseminasi buatan yang dilakukan tersebuat harus
dengan tujuan di atas, yaitu dengan memeliharanya secara baik-baik dan penuh kasih
sayang.
Inseminasi buatan apabila dilakukan dengan sel sperma dan ovum suami istri
sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain termasuk istrinya
sendiri yang lain (bagi suami yang berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan
cara mengambil sperma suami, kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri,
maupun dengan cara pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized
ovum) ditanam di dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan
benar-benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan
cara pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Sebaliknya, kalau
inseminasi buatan itu dilakukan melalui titip rahim dan atau ovum, maka diharamkan,
dan hukumnya sama dengan zina (prostitusi). Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil
inseminasi tersebut tidak sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang
melahirkannya. Hal seperti ini jika dipertegas dan diatur di dalam pasal 16 ayat 1 dan 2
UU
No.23 tahun 1993 tentang kesehatan. Yang rumusannya sebagai berikut:
“sewa menyewa ialah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya
untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan suatu barang, selama suatu
waktu tertentu dan dengan pembeyaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut
belakangan itu disanggupi pembayarannya”.
Tetap saja proses inseminasi melalui titip rahim buatan tersebut tidak dapat dilakukan,
sebab syarat sahnya suatu perjanjian yang mana didalam pasal 1320 KUHP Perdata yang
berbunyi: “Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat”:
1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya,
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3) Suatu hal tertentu
4) Suatu sebab yang halal.
Tidak terpenuhinya, dalam hal ini yang tidak terpenuhinya adalah syarat yang
keempat yaitu suatu sebab yang halal, yang dimaksud dengan sebab yang halal titip
rahim/ sewa rahim, yang mana rahim seorang wanita tidak dapat disamakan dengan suatu
barang yang dapat diperjual belikan maupun disewakan. Maka dari itu perjanjian tersebut
batal demi Hukum .Perihal tersebut didukung pendapat seorang ahli hukum yang tidak
menyetujui jenis inseminasi buatan dengan menggunakan rahim wanita lain selain
isterinya, yaitu genetic adalah batal demi Hukum, karena satu syarat untuk menjadikan
perjanjian tersebut sah adalah syarat yang halal dan syarat ini tidak dipenuhi sehingga
tidak mungkin seorang ibu menyerahkan bayi yang dilahirkan kepada pihak yang lainnya
berdasarkan suatu perjanjian. Jadi tujuan dan motivasi dari dilakukannya Inseminasi
buatan adalah diantaranya untuk menolong pasangan yang mandul, untuk mengembang
biakan manusia secara cepat, untuk menciptakan manusia jenius, ideal sesuai dengan
keinginan, sebagai alternative bagi manusia yang ingin punya anak ketika dalam sebuah
perkawinan tersebut tidak bisa mempunyai anak dengan keadaan yang normal.12
b. Faktor-faktor yang mempengaruhi insemnasi.
Banyak faktor yang menjadi penyebab infertilitas sehinga pasangan suami istri
tidak mempunyai anak, antara lain:
1) Faktor hubungan seksual, yaitu frekuensi yang tidak teratur (mungkin terlalu
sering atau terlalu jarang), gangguan fungsi seksual pria yaitu disfungsi ereksi,
ejaukulasi dini yang berat, ejakulasi terhambat, ejakulasi retrograde (ejakulasi
kearah kandung kancing), dan menggunakan fungsi seksual wanita
yaitudispareunia (sakit saat hubungan seksual) dalam vaginismus.
2) Faktor infeksi, berupa infeksi pada sistem seksual dan produksi pria maupun
wanita, misalnya infeksi pada buah pelir dan infeksi pada rahim.
3) Faktor hormon, berupa gangguan fungsi hormon pada pria maupu wanita
sehingga pembentukkan sel spermatozoa dan sel telur terganggu.
4) Faktor fisik, berupa bentukan atau reparatur atau tekanan pada buah pelir
sehingga proses produksi spermatozoa terganggu.
5) Faktor psikis, misalnya stres yang berat sehingga mengguakan pembentukkan sel
spermatozoa dan sel telur. Untuk menghindari terjadinya gangguan kesuburan
pada pria maupun wanita, maka faktor-faktor penyebab tersebut harus dihindari.
Tetapi jika gangguan kesuburan telah terjadi, diperlukan pemeriksaan yang baik
sebelum dapat ditentukan langkah pengobatannya.13

12
Ibid 15-24
13
Sudarto, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah (Yogyakarta: Deepublish, 2012), hlm. 164-165
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anak angkat yaitu anak orang lain yang diambil dan disahkan sebagai anaknya
sendiri, dan melalui pernyataan seseotrang terhadap anak yang diketahui bahwa
dirinya sebagai anak orang lain ke dalam keluarganya. Dia di perlakukan sebagai
anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam
segala apa yang dibutuhkannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya
sendiri. Anak pungut adalah anak yang hidupnya tersia-sia, tidak diakui dan dijamin
oleh seseorang kemudian diambil orang lain. Dalam istilah bahasa arab disebut laqith,
ditinjau dari sisi bahasa artinya anak yang ditemukan terlantar di jalan, tidak
diketahui siapa ayah dan ibunya
2. Anak zina adalah anak yang lahir dari hasil hubungan tanpa pernikahan, biasa disebut
dengan anak tidak sah. Dengan demikian yang dimaksud dengan anak zina adalah
anak yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis
kelamin antara laki-laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan
dengn tanpa kekeliruan atau kesalahan. Dengan demikian status anak zina bernasab
kepada pihak ibu bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.
3. Inseminasi adalah penghamilan buatan yang dilakukan terhadap wanita dengan cara
memasukkan sperma laki-laki kedalam rahim wanita tersebut dengan pertolongan
dokter, istilah lain yang semakna adalah kawin suntik, penghamilan buatan.
Pelaksanaan inseminasi (bayi tabung) buatan pada manusia yang embrionya berasal
dari pembuahan sperma dan ovum pasangan yang memiliki ikatan yang sah,
hukumnya halal. Dasar dijadikan alasan untuk menghukumi halal terdapat perbuatan
ini ialah adanya darurat karena untuk kepentingan pengobatan
B. Saran Penulisan
Diharapkan dengan adanya makalah ini dapat memberikan wawasan kepada para
pembaca, terutama untuk mahasiswa Prodi PAI Semester III agar mempelajari pengertian
Anak Angkat, Anak Pungut, Anak hasil Zina, dan Anak hasil Inseminasi, serta bisa
menjelaskannya nanti ketika menjadi guru. Makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan, oleh karena itu kami memohon saran serta kritik yang membangun
untuk perbaikan makalah ini ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bahtiar Saepudin Elang, Syahroni Ma’shum, dkk, Inseminasi Buatan Pada Manusia Menurut
Hukum Islam, Al I’tibar: Jurnal Pendidikan Islam,
https://journal.unuha.ac.id/index.php/JPIA/article/download/1084/545
Mohtarom Ali, KEDUDUKAN ANAK HASIL HUBUNGAN ZINA MENURUT HUKUM
ISLAM DAN HUKUM POSITIF, Al-Murabbi: Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Universitas Yudharta Pasuruan, 2018 http://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai
Suprayudi Mitra, ANALISIS HUKUM TERHADAP TABANNI (PENGANGKATAN ANAK)
MENURUT FIKIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002
TENTANG PERLINDUNGAN ANAK, analisis hukum terhadap tabanni (pengangkatan
anak) - Neliti https://media.neliti.com/media/publications/14009-ID-analisis-hukum-
terhadap-tabanni-pengangkatan-anak-menurut-fikih-islam-dan-undang.pdf
Raharjo Sukmo Bayu, Murni Dwi Afifah, dkk, Anak Angkat, Anak Pungut, Anak Zina, dan
Anak Hasil Inseminasi, Lamongan, 2021
https://www.scribd.com/document/540781043/ANAK-ANGKAT-ANAK-PUNGUT-
ANAK-ZINA-DAN-ANAK-HASIL-INSEMINASI
Hasibuan Efendi Zulfan, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Islam, Yurisprudentia: Jurnal
Hukum Ekonomi, 2019 http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/yurisprudentia
Di akses pada tanggal 3 oktober 2023, jam
06.02https://www.scribd.com/document/358320709/Anak-Zina-Anak-Pungut-Dan-Anak-
Angkat
Fitriani Ana Nur, Waris Anak Angkat Dalam Perspektif Hukum Islam, PP.Darun Najah, Jurnal
Studi Hukum Islam, Kudus, 2021
Rosi Hairul Muhammad, NASAB ANAK HASIL INSEMINASI BUATAN (STUDI ATAS
UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM),
Jember, 2021 http://digilib.uinkhas.ac.id/5679/
Manaf Chusnul, Kewarisan Anak Hasil Inseminasi Buatan Perspektif Hukum Islam,
IQTISODINA, Jurnal Ekonomi Syariah&Hukum Islam, 2018
Syahmudi Kholid, Status Anak Zina, Referensi : https://almanhaj.or.id/3354-status-anak-
zina.html

Anda mungkin juga menyukai