Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

Muqaranah Mazahib Fil Munakahat

“Nasab, Hadhanah, dan Hak Kewajiban Orang Tua Terhadap Anaknya dalam Prespektif Imam
Mazhab.”

Disusun Oleh :

Nurmifta Huljannah

193080010

FAKULTAS SYARIAH

PERBANDINGAN MADZHAB

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI DATO’KARAMA PALU

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Muqaranah Mazahib Fil Munakahat
dengan judul “Nasab, Nadhnah, dan Hak Kewajiban Orang Tua Terhadap Anaknya Dalam
Prespktif Imam Mazhab”.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Palu, 24 Desember 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Islam adalah agama yang sangat menghormati kedudukan manusia, begitu juga hukum yang
diterapkan. Hukum Islam yang diatur sedemikian rupa tiada lain adalah untuk merealisir
kemaslahatan manusia dalam kehidupan ini, menarik keuntungan untuk mereka, dan
melenyapkan bahaya dari mereka1.
Ada lima hal mendasar yang termasuk kebutuhan primer manusia yang harus dilindungi dan
dijaga yaitu: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Untuk menyelamatkan agama, Islam
mewajibkan ibadah, sekaligus melarang hal-hal yang merusaknya. Untuk menyelamatkan
jiwa, Islam mewajibkan umat manusia untuk makan tetapi secara tidak berlebihan. Untuk
menyelamatkan akal, Islam mewajibkan antara lain pendidikan sekaligus melarang hal-hal
yang merusak akal seperti minuman keras. Untuk menyelamatkan harta, Islam mensyariatkan
hukum mu’amalah sekaligus melarang langkah-langkah yang merusaknya seperti pencurian
dan perampokan. Untuk meyelamatkan keturunan, Islam mengatur hukum pernikahan dan
melarang perzinaan2
Pernikahan merupakan media untuk mencapai tujuan syariat Islam yang salah satunya adalah
bentuk perlindungan keturunan (h}ifz}an-nasl), demi melestarikan keturunan dan
menghindari kesyubhatan (tercemar) dalam penentuan nasab. Oleh karena itu, penyaluran
nafsu biologis manusia harus dengan batas koridor agama, sehingga terhindar dari perangkap
perbuatan mesum atau zina di luar pagar pernikahan3.
Perzinaan merupakan salah satu perbuatan yang menyalahi hukum sehingga hasil dari
perbuatan tersebut membawa efek tidak hanya bagi pelaku zina namun juga anak hasil zina 4.
Zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang belum
atau tidak ada ikatan nikah5.Islam melarang zina dengan pernyataan yang keras, bahkan
memberikan sanksi bagi mereka yang melakukannya.

Hal tersebut sangat jelas diterangkan di dalam Al-Quran sural Al-Isra ayat 32 yang arrtinya
1
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, alih bahasa Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolchah
Mansoer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 331.
2
Yudian Wahyudi, Ushul Fikih Versus Hermeneutika Membaca Islam Dari Kanada Dan Amerika, (Yogyakarta:
Nawesea Press, 2006), 45.
3
Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal, (Yogyakarta: LKIS, 2004),
86.
4
Mahjudin, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1992), 79
5
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), 237.
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang
keji dan suatu jalan yang buruk”
Memiliki seorang anak merupakan anugrah yang sangat indah dari Allah Subhana Wata’ala,
mengapa tidak, karena anak merupakan asset dunia maupun akhirat bagi kedua orang tuanya.
Tak hanya itu memiliki seorang anak sepatutnya orang tua harus mengetahui pengajaran apa
saja yang akan diberikan kepada anak kelak yang tak lain pegenalan terhadap agama Allah
lah yang mesti diajarkan oleh Anak.
Dalam hal pengasuhan anak atau disebut Hadhanah telah diatur dalam islam baik anak dari
hasil hubungan yang sah dimata agama dan hokum maupun anak dari hasil diluar pernikahan.
Anak hasil hubungan di luar nikah dalam pandangan Islam disebut dengan istilah anak zina
(walad al-zina>), anak tabi’y atau anak li’a>n dan dianggap sebagai anak yang tidak sah 6
Sedangkan dalam KUHPerdata (Burgelijk Wetboek) anak tersebut dinamakan “naturlijk
kind” anak itu dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Anak dari hasil
hubungan luar nikah tersebut menjadi problematika hukum tersendiri atas kedudukannya
dalam hal keperdataannya. Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber rujukan
hukum umat islam di Indonesia sekaligus referensi keputusan hukum di lembaga pengadilan
agama menjelaskan7
Pada pasal 100 KHI berbunyi: ”Anak yang lahir di luar hubungan perkawinan hanya
mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Maka, anak tersebut
hanya ditetapkan sebagai anak dari seorang ibu. Secara tersurat dijelaskan pula pada Pasal 43
ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”

Seperti yang dikatan tadi bahwa memiliki seorang anak merupakan anugrah dan sumber
kebahagiaan bagi kedua orang tua maupun keluarga. Sebagai orang tua tentu akan
memberikan hak dan kewajiban kepada seorang anak yang mana hal ini dijelaskan dalam
Pengertian anak menurut UUD 1945, oleh Irma Setyowati Siemitro, S.H. dijabarkan sebagai
berikut “Ketentuan UUD 1945, ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkannya UU No.4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak” yang berarti makna anak (pengertian anak), yaitu
seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara rahasia, jasmaniah, maupun
sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan

6
Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, (Jakarta: 2004), 49
7
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum
Islam Dari Fikih UU No 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencaran, 2006), 29.
kehidupan sosial. Anak juga berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dengan wajar8
Dan dalam islam pun sudah diajarkan bagaimana hak dan kewajiban orang tua dalam
menjaga, merawat dan mengasuh anak sampai ia baligh yang tentunya tak lain ajarn islam
lah yang dikenalkan padanya agar menjadi anak yang tak hanya menegnal dunia saja tetapi
lebih mengenal agamanya.

B. Rumusan Masalah
1) Pengertian Nasab Dalam Prespektif Islam dan Mazhab
2) Apa Saja Faktor Terjadinya Hubungan Nasab.
3) Pengertian Hadhanah Dalam Prespektif Imam Mazhab.
4) Apa Sumber Hukum/Istinbath dari Hadhanah.
5) Apa Saja Syarat-Syarat Hadhanah.
6) Apa Saja Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak.

C. Tujuan
1. Unntuk mengetahui Pengertian Nasab Dalam Prespektif Islam dan Mazhab.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Faktor Terjadinya Hubungan Nasab.
3. Untuk Mengetahui Pengertian Hadhanah Dalam Preapektif Imam Mazhab.
4. Untuk Mengetahui Sumber Hukum/Istinbath Hadhanah.
5. Untuk Mengetahui Apa Saja Syarat Dari Hadhanah.
6. Untuk Mengetahui Apa Saja Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak.

BAB II
8
Ibid, Hal. 18
PEMBAHSAN

1. NASAB
A. Definisi Nasab
Di antara tujuan disyariatkannya ajaran hukum Islam adalah untuk memelihara dan
menjaga keturunan atau nasab. Nasab merupakan salah satu fondasi dasar yang kokoh
dalam membina suatu kehidupan rumah tangga yang bersifat mengikat antarpribadi
berdasarkan kesatuan darah. Dalam rangka memelihara nasab ini disyariatkanlah nikah
sebagai cara yang dipandang sah untuk menjaga dan memelihara kemurnian nasab.
Adapun tujuan mendasar dari sebuah pernikahan adalah untuk melangsungkan hidup dan
kehidupan serta keturunan umat manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Tujuan
mendasar dari nikah seperti ini dinilai lumrah dan wajar, sebab secara naluri manusia
mempunyai kecenderungan untuk memenuhi hasrat nafsunya melalui adanya syahwat
kepada wanita, anak, dan materi.

Para ulama mazhab fiqh yang empat sepakat menyatakan bahwa nasab merupakan
pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke
samping. Nasab juga sebagai dasar fondasi yang kuat dalam membina dan melestarikan
keutuhan kehidupan manusia, sebab pada hakikatnya nasab juga merupakan nikmat dan
karunia besar yang Allah ‫ ُس ْب َحانَهُ َو تَ َعالَى‬berikan kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, nasab
harus senantiasa dijaga kemurniannya. Di samping itu, nasab juga merupakan persoalan
pokok kaitannya dengan struktur hukum keluarga yang lain, seperti hak hadhanah,
nafkah, hukum kewarisan, dan masalah perwalian.

Secara etimologis, kata nasab berasal dari bahasa Arab ‚an-nas}ab ‛ yang artinya
‚keturunan, kerabat‛9.Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasar
hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Secara terminologis,
istilah nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena
hubungan darah (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) ke bawah (anak, cucu, dan
seterusnya) maupun kesamping (saudara, paman, dan lain sebagainya).

Berkaitan dengan hal ini, seorang ayah dilarang untuk mengingkari keturunannya. Karena
mengingkari nasab ini mengakibatkan bahaya yang besar, dan bisa menimbulkan aib yang
buruk bagi anak dan istrinya tersebut.Dan haram bagi wanita menisbahkan atau
membangsakan seorang anak kepada seseorang yang bukan ayah kandung dari anak itu.

Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT
mensyariatkan adanya perkawinan. Pensyariatan perkawinan memiliki tujuan antara lain

9
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), 1411.
untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari
penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah10.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah ar-Rum ayat 21 yang Artinya : ‚Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tandatanda bagi kaum yang berfikir.

Penetapan nasab seseorang berdampak besar terhadap seseorang tersebut, keluarganya dan
masyarakat di sekitarnya, dan setiap seseorang hendaknya merefleksikannya dalam
masyarakat, supaya terjadi kejelasan nasab dari seseorang tersebut. Disamping itu,
ketidakjelasan nasab dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam
perkawinan, misalnya perkawinan dengan mahram sendiri. Itulah yang menyebabkan
pelarangan menisbahkan nasabnya kepada seseorang yang bukan ayah kandungnya.11

Pengertian Nasab Menurut Para Ahli


1. Wahbah al- Zuhaili
Mendefinisikan nasab sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu
hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu
adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan
seorang ayah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab
adalah orang-orang yang satu pertalian darah.
2. Ibnu Athiyah
Menyatakan bahwa nasab adalah "an yajma'a insan ma'a akhar fi abin au ummin qaraba
dzalik am ba' uda" artinya seorang manusia berkumpul bersama yang lain dalam hubungan
kebapaan atau keibuan, baik hubungan itu dekat maupun jauh.
3. Ibnu Aby Taghlib
Menyatakan nasab merupakan "al-ittishal baina insanain bi al-isytirak fi wiladatin
qariibatin au ba 'idatin" artinya hubungan keterikatan antara dua orang dengan persamaan
dalam kelahiran, dekat maupun jauh.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Hubungan Nasab


Nasab seorang anak terhadap ibunya ditentukan oleh kelahiran, baik secara syara‟ maupun
hukum perundang-undangan di Indonesia. Sedangkan penisbatan anak terhadap ayahnya .

Dalam hukum Islam, nasab dapat terjadi dari salah satu dari tiga sebab, yaitu:
a. Dengan cara al-firash, yaitu kelahiran karena adanya perkawinan yang sah
b. Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seorang ayah yang mengakui
bahwa anak tersebut adalah anaknya

10
Wahbah al-Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arobi, 1957), 114.
11
Andi Syamsu Alam, M. fauzan, Hukum Pengangkatan…, 179
c. Dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasar bukti-bukti yang
sah bahwa seorang anak tertentu tersebut adalah anak dari seseorang (ayahnya).12

Perkawinan diadakan, agar benar-benar dapat diketahui dengan pasti bahwa seseorang
perempuan adalah isteri dari seorang laki-laki (suaminya). Istri dilarang menghianati
suaminya atau dengan kata-kata kiasan, dilarang menyirami tanaman suami dengan air
orang lain. Dengan demikian, anak-anak yang lahir dari perempuan tersebut, dalam
hubungan perkawinan yang masih berlangsung, adalah benar-benar anak suaminya, tanpa
memerlukanadanya pengakuan atau pernyataan dari ayahnya demikian pula tidak
memerlukan adanya tuntutan ibu agar suami mengakui anak yang dilahirkannya adalah
anaknya13.

Sejatinya, seorang laki-laki baru dapat dinyatakan menjadi penyebab kehamilan dan
melahirkannya seorang ibu bila sperma si laki-laki bertemu dengan ovum si ibu atau yang
dalam kitab fikih disebut ‘uluq. Hasil pertemuan dua bibit itu menyebabkan pembuahan
dan menghasilkan janin dalam rahim si ibu. Inilah penyebab hakiki hubungan kekerabatan
antara seseorang anak dengan ayahnya. Hal tersebut tidak mungkin diketahui oleh
siapapun kecuali Allah SWT. Karena hukum harus didasarkan pada sesuatu yang nyata dan
dapat diukur serta dipersaksikan maka dicarilah sesuatu hal yang nyata, yang dapat
dipersaksikan dan yang menimbulkan anggapan kuat bahwa sebab hakiki yang disebutkan
di atas terdapat padanya. Sesuatu hal yang nyata yang dijadikan sebab hakiki yang tidak
nyata itu, dikalangan ulama us}ul fiqih disebut ‚mazhinnah‛ atau rechvermoeden .14

Dalam hubungan kekerabatan tersebut di atas yang dapat dijadikan mazhinnah-nya adalah
akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara seorang laki-laki dan ibu yang melahirkan
anak tersebut. Selanjutnya, akad nikah tersebut yang menjadi faktor penentu hubungan
kekerabatan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan
berlakuantara seseorang anak dengan seseorang laki-laki sebagai ayahnya, bila anak
tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang berlaku antara si lakilaki dengan ibu
yang melahirkannya15.

Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq, yang berbunyi :
Artinya : Anak yang sah dalam pandangan shara’ adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan yang sah secara shara’. Sesuai dengan teori fikih di atas, ketentuan Pasal 43
ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam
yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai

12
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008),
13
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, dan Wasiat Menurut Hukum Islam, (Bandung: Al-Ma’arif,1972),
21
14
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 176
15
Ibid., 176
hubungan perdata dan hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, telah sejalan
dengan teori fikih yang bersifat universal.16

Dari uraian , tentang status nasab anak dalarn berbagai latar bekalang perkawinan dan
hubungan seksual dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Anak yang sah dinasabkan kepada pria yang menikah ibunya secara sah itu.
anak yang dilahirkan sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Karena perkawinannya
dinyatakan sebagai perkawinan yang sah, akibatnya, anak yang dilahirkannya dari
perkawinan yang sah tersebut ditetapkan sebagai anak yang sah. Suatu perkawinan
yang sah, melahirkan anak yang sah. Sebaliknya perkawinan yang tidak sah (batal),
melahirkan anak yang tidak sah.

2. Anak zina dinasabkan kepada ibunya yang melahirkannya.


Zina adalah perbuatan yang berupa melakukan hubungan kelamin sebagai hubungan
suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita tanpa adanya ikatan perkawinan.
Tanpa didahului adanya ijab kabul; dalam melakukan perkawinan tanpa dihadiri oleh
dua orang saksi dan tanpa adanya wali bagi si wanita. Judi, perbuatan zina adalah
perbuatan yang bertujuan mendapatkan kenikmatan seksual tanpa melalui proses
perkawinan yang sah Karena itu, anak yang dilahirkan oleh perempuan yang telah
berzina hanya dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya (Pasal
43 UU No. 1/1974).

3. Anak lian dinasabkan kepada ibunya.


Lian adalah sumpah yang diucapkan seorang suami terhadap istrinya, bahwa istrinya
telah melakukan zina. Ucapan tersebut dilakukannya sebanyak 4 kali. Kemudian untuk
kelima kalinya dikukuhkannya dengan suatu pernyataan bahwa laknat Allah akan
menimpa dirinya, jika tuduhannya terhadap istrinya tersebut bohong. Jika istrinya
tersebut menolak dengan mengucapkan sumpah yang sama, maka terjadilah perceraian
melalui lian. Apabila pada saat proses sumpah lian tersebut, si istri dalam keadaan
mengandung, lalu melahirkan anak, maka anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada
seorang laki-laki yang telah bersumpah lian kepada ibunya tersebut. Anak tersebut
harus dinasabkan kepada ibu yang melahirkan dan keluarga ibunya.Tapi menurut Abu
Hanifah dan Ahmad, anak yang dikandung tetap dinasabkan kepada suami yang
meliannya, baik anak itu dilahirkan dalam masa kandungan enam bulan atau kurang
dari itu.17

4. Anak nikah batal/fasid dinasabkan kepada pria yang menikahi ibunya - yang
perkawinannya batal itu.
Nikah fasid adalah pernikahan yang dilakukan yang sebagian rukunnya tidak terpenuhi.
Suatu pernikahan fasid yang telah menghasilkan keturunan (anak), maka anak tersebut

16
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Penerbit Focus Media, 2007), 34.
17
Sarmin, h. 399
tetap dinasabkan kepada suami ibunya yang nikahnya fasid itu 18.Demikian menurut
pendapat ulama Hukum Islam, dengan syarat sebagaimana yang ditentukan dalam
pernikahan yang sah.
Menurut kesepakatan ulama fiqh, penetapan nasab anak yang lahir dalam perkawinan
fasid sama dengan penetapan anak dalam pernikahan sah. Akan tetapi ulama fiqh
mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak dalam perkawinan fasid
tersebut, yaitu:19
1. Suami mempunyai kemampuan menjadikan istrinya hamil, yaitu seorang yang
sudah balig dan tidak mempunyai penyakit yang dapat menyebabkan istrinya tidak bisa
hamil. 2. Hubungan seksual benar-benar bisa dilaksanakan.
3. Anak dilahirkan dalam waktu 6 bulan atau lebih setelah terjadinya akad nikah fasid
tersebut (menurut jumhur) dan sejak hubungan suami istri (menurut ulama Hanafiyah).

5. Anak perkawinan terhadap wanita hamil dinasabkan kepada pria yang menikahi ibunya
dalam keadaan hamil itu.
Kawin hamil adalah kawin dengan atau terhadap wanita yang hamil di luar nikah, baik
dikawini oleh laki-laki yang menghamilinya maupun oleh laki-laki lain, bukan yang
menghamilinya.20

Dalam menyikapi kasus tersebut ulama fiqh berbeda pendapat. Empat imam mazhab
berpendapat, bahwa perkawinan keduanya (suami istri tersebut) sah dan keduanya boleh
bercampur sebagai suami istri dengan ketentuan, bila si laki-laki itu yang menghamilinya
dan kemudian baru ia mengawininya21.Ibnu Hazm berpendapat, perkawinan tersebut sah
dan suami istri boleh bercampur dengan ketentuan, bila keduanya telah bertobat dan
menjalani hukuman dera (cambuk) karena keduanya telah berzina.

Jika yang menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya, menurut ulama Hanafiyah
adalah sebagai berikut22:
1. Menurut Abu Yusuf, tidak boleh dikawinkan. Bila dikawinkan perkawinannya batal.
2. Menurut Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, perkawinannya sah, tapi haram
bercampur selama bayi yang dikandung si istri belum lahir.
3. Menurut Imam Abu Hanifah, perkawinannya sah karena wanita tersebut tidak terikat
perkawinan dengan orang lain (tidak ada masa idah). Wanita tersebut boleh dicampuri
karena tidak mungkin nasab (keturunan) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma
suaminya. Sedang bayi tersebut bukan keturunan orang yang mengawini ibunya itu (anak
luar nikah).

18
Andi, h. 184
19
Wahbah Azzuhayli, h. 686-687.
20
5Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 124.
21
6Ibid.,h. 124.
22
Ibid.,h. 125-127
6. Anak hasil persetubuhan syubhat dinasabkan kepada pria yang melakukan persetubuhan
syubhat.
Senggama atau persetubuhan syubhat adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan
perempuan yang terjadi bukan karena perkawinan yang sah dan bukan pula karena
perzinaan.Wahbah Azzuhayli memberikan definisi persenggamaan syubhat sebagai
hubungan (suami istri) yang terjadi bukan dalam perkawinan yang sah atau fasid dan bukan
pula dari perbuatan zina.23
Senggama syubhat bisa terjadi akibat kesalahpahaman atau kesalahan informasi atau
kesalahan perkiraan. Seperti seorang pria yang menikah dengan seorang wanita yang
belum pernah dikenalnya. Lalu pada malam pertama, di dalam kamar pengantinnya, ia
mendapati seorang wanita yang diyakini sebagai istrinya. Kemudian, terjadilah
persenggamaan atau persetubuhan, yang menyebabkan kehamilan. Setelah itu, diketahui
bahwa wanita yang disetubuhinya adalah bukan istrinya yang sebenarnya. Contoh lainnya,
dalam malam yang gelap seorang pria masuk ke dalam kamar tidurnya. Kemudian ia
melakukan hubungan suami istri dengan seorang wanita yang dikira istrinya. Setelah siang,
wanita tersebut ternyata bukan istrinya, tapi orang lain.
Dalam kedua contoh kasus tersebut, apabila persetubuhan menyebabkan lahirnya
keturunan (anak) maka anak tersebut dinasabkan kepada pria yang menyetubuhinya
dengan syarat: kelahiran anak tersebut terjadi setelah 6 bulan dari terjadinya persetubuhan.
jika anak tersebut lahir sebelum masa minimal kehamilan, maka tidak dinasabkan kepada
pria tersebut. Sebab, sangat mungkin wanita yang melahirkan tersebut telah hamil sebelum
terjadinya persetubuhan syubhat, dengan laki-laki lain.

7. Anak Pengakuan dinasabkan kepada pria yang mengakui sepanjang memenuhi


persyaratannya.
Seorang anak dapat diakui oleh orang lain yang sudah dewasa sebagai anaknya. Atau
sebaliknya, seorang anak yang telah dewasa dapat mengakui orang lain sebagai bapaknya.
Pengakuan tersebut dapat menyebabkan seorang anak yang diakui menjadi anak orang
yang mengakui. Dan karenanya ia (anak) dinasabkan kepada pria yang mengakui sebagai
anak tersebut.
Agar pengakuan tersebut dapat dibenarkan, maka harus memenuhi syaratsyarat sebagai
berikut:
1. Anak tersebut tidak jelas nasabnya, atau ayahnya. Karena itu, apabila ayah anak tersebut
sudah jelas atau apabila anak tersebut tidak diakui ayahnya sebagai anaknya melalui proses
lian, maka anak tersebut tidak boleh dinasabkan kepada pria yang mengakui tersebut.
2. Anak tersebut jelas bukan anak zina. Kalau sudah jelas anak zina, maka tidak dapat
diakui sebagai anak.
3. Pengakuan tersebut rasional. Artinya, pengakuan yang dilakukan oleh orang bahwa anak
tertentu adalah anaknya harus bisa diterima akal. Seperti usia anak yang diakui jauh lebih
mudah dari pada pria yang mengakui.

23
Azzuhayli, h1m. 688
4. Pengakuan tersebut dibenarkan oleh anak yang diakui jika anak tersebut sudah dewasa.
Tapi golongan Malikiyah menolak syarat ini.
5. Orang yang mengakui menolak dikatakan bahwa anak yang diakui adalah anaknya dari
hasil perzinaan yang dilakukannya.
6. Anak yang diakui harus hidup. Apabila sudah meninggal maka pengakuan tidak
dibenarkan. Namun ulama Malikiyah tidak mengharuskan syarat tersebut.
7. Ahli waris juga mengakui anak tersebut sebagai anak orang yang telah mengakui dan
telah meninggal. Demikian menurut golongan Syafi'iyah.

8. Anak Temuan dinasabkan kepada pria yang menemukan dan memeliharanya.


Anak temuan adalah anak yang ditemukan oleh orang lain selain orang tuanya, di mana
anak tersebut tidak diketahui orang tuanya atau keluarganya. Pada masa sekarang banyak
peristiwa, di mana seorang anak/bayi yang belum dewasa sengaja ditinggal atau dibuang
oleh orang tuanya di suatu tempat, yang kemudian anak tersebut dipungut orang lain dan
selanjutnya dipelihara pembuangan atau meninggalkan anak tersebut bermacam-mancam
antara lain: kemiskinan, malu karena hamil di luar nikah dan sebagainya.
Orang yang telah dewasa dan merasa mampu untuk memeliharanya wajib mengambil dan
memelihara anak tersebut karena memelihara manusia ketika dibutuhkan adalah termasuk
perbuatan mulia.
Anak yang telah dipungut dan dipelihara oleh orang lain maka nasab anak tersebut
dihubungkan kepada orang yang memeliharanya. Hal ini untuk menjaga kehormatan dan
memuliakan kehidupan anak.
Bagaimana seandainya pada suatu saat ada orang lain yang mengakui bahwa anak tersebut
sebagai anaknya? Dalam kejadian yang demikian harus dilalui proses pembuktian. Artinya,
orang yang mengaku bahwa anak yang telah dipungut dan dipelihara oleh orang lain
tersebut adalah anaknya harus membuktikan bahwa anak tersebut adalah anaknya.
Sepanjang orang yang mengaku tersebut tidak mampu membuktikan maka anak tersebut
tetap dinasabkan kepada penemu atau pemeliharanya sesuai dengan kaidah hukum (bahwa
hukum sesuatu itu tetap berjalan sesuai hukum semula).

9. Anak angkat dinasabkan kepada pria sebagai bapak asalnya.


Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian anak angkat sebagai anak yang dalam hal
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan24.
Pengertian serupa diberikan oleh Dinas Sosial Provinsi jawa Timur, yaitu pengalihan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga (orang tua yang sah/walinya yang
sah/orang lain), Lembaga Sosial yang bertanggung jawab atas perlindungan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan kekuasaan pengasuhan orang tua angkat
berdasarkan putusan/ penetapan Pengadilan Negeri. Prinsip dasar pengangkatan anak

24
Pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam.
adalah melindungi anak agar dapat terjamin kesejahteraan (jasmani, rohani, dan sosial) di
masa datang.
Kemudian Rasulullah SAW telah menjanjikan, bahwa Beliau akan bersamasama di dalam
surga dengan orang-orang yang memelihara anak yatim. Pada prinsipnya ulama Hukum
Islam telah sepakat, bahwa pengangkatan anak dengan akibat anak angkat menjadi ahli
waris bagi bapak angkatnya adalah haram hukumnya.

10. Anak hasil pemerkosaan dinasabkan kepada ibunya atau kepada pria yang
memerkosanya jika ia menikahi perempuan yang diperkosanya.
Pemerkosaan dalam hal ini adalah pemerkosaan dalam hal seksual, di mana seorang laki-
laki dengan cara memaksa kepada wanita lain, yang bukan istrinya untuk melakukan
hubungan seksual. Tentu saja sampai pada saat orgasme, wanita tersebut tetap merasa tidak
menghendaki terjadinya hubungan seksual tersebut. Jika akibat pemerkosaan tersebut
menimbulkan kehamilan dan malahirkan seorang anak, kepada siapa anak tersebut harus
dinasabkan?
Barangkali untuk menentukan nasab anak hasil pemerkosaan tersebut, harus dibedakan.
Jika laki-laki yang memerkosa tersebut tidak menikahi wanita yang diperkosa, maka nasab
anak tersebut adalah kepada ibu yang melahirkannya. Jika laki-laki tersebut kemudian
menikahinya, maka anak tersebut dinasabkan kepada laki-laki tersebut. Dalam hal yang
kedua ini, tidak sama dengan kasus perzinaan, di mana Jika dalam perzinaan jelas
terjadinya hubungan seksual di luar nikah tersebut atas inisiatif kedua belah pihak, laki-laki
dan perempuan. Tapi dalam pemerkosaan inisiatif datang dari pihak laki-laki, kecuali jika
pada saat orgasme wanitanya berubah merasa senang melakukannya. Jika yang demikian
maka berubah pemerkosaan menjadi perzinaan, maka status hukum anak ditentukan
dengan perubahan itu.

2. Hadhanah
A. Definisi Hadhnah
Kata ‫الحضانَة‬
َ berasal dari kata‫ ْالحضْ ٌن‬yang artinya pendamping. Dimana seorang pengasuh akan
senantiasa mendampingi anak yang ada dalam asuhannya..25
Pengasuh, artinya yang ‫ َ◌ ْال ُم َربـِّيَة‬berarti ‫حضانَة‬
َ َ‫ ال‬bahasa Secara Pemeliharaan anak mengandung
arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya
serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua.26
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan adalah kewajiban orang tua untuk
memberikan pendidikan dan pengajaran yang memungkinkan anak telah menjadi manusia
yang mempunyai kemampuan dan dedikasi hidup yang dibekali dengan kemampuan dan
kecakapan sesuai dengan pembawaan bakat anak tersebut yang akan dikembangkan di

25
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Ahmad Ihwani, Budiman Mushtofa), (Jakarta:
Gema Insani, 2005), hlm. 748.
26
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: Zahir Trading, 1975), hlm. 204
tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai landasan hidup dan penghidupan setelah ia
lepas dari tanggung jawab orang tua27.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeliharaan anak
atau Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa
atau mampu berdiri sendiri.28
Dalam kitab Syarah Hudud ibn ‘Arafah, dijelaskan bahwa:
‫الحضانة هي حفظ الولد في مبيتهـ ومؤنة طعامه ولباسه ومضجعه وتنظيف جسمه‬
Artinya: “Hadhanah adalah pemeliharaan anak dengan memberikan tempat tinggal,
membantunya makan, memakaikan pakaian, memberikan tempat tidur serta
memandikannya”.29Sedangkan dalam kitab Al-Fawakih al-Dawani ala Risalah ibn Abi Zayd
al-Qayrawani, al-Nafrawi memberikan pengertian: ‫ كفالة الطفل وتربيته واإلشفاق عليه‬Artinya:
“Memberi bantuan kepada anak, mendidik dan menyayanginya”.30
Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak kecil, karena ia membutuhkan penjagaan,
pengawasan pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya, mengabaikannya berarti
menghadapkan anak-anak yang masih kecil ini kepada bahaya kebinasaan.
Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa hadhanah adalah hak berserikat antara ibu, ayah dan
anak. Jika terjadi pertengkaran, yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak. Oleh
karena itu Hukum hadhanah wajib karena anak yang dipelihara akan terancam
keselamatannya sebagaimana juga wajibnya pemberian nafkah kepadanya.

B. Hadhanah Menurut Prespektif Imam Mazhab


Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak
adalah kewajiban bagi kedua orang tua31, karena apabila anak yang masih kecil (belum
mumayyiz) tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan
masa depan anak mereka. Bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu,
anak-anak tersebut wajib dipelihara, dirawat, dan dididik dengan baik.
Dalam hal ini, mereka sepakat bahwa itu adalah hak ibu. Namun mereka berbeda pendapat
tentang lamanya masa asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu.

Menurut Imam Hanafi


Hak itu secara bertutut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu, ibunya ayah, saudra-
saudara kandung, saudarasaudara perempuan seibu, saudara-saudara seayah, anak perempuan

27
Ibid., hlm. 205-206
28
Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.
285.
29
Abu Abdillah Muhammad al-Anshari al-Rasha’, Syarah Hudud Ibnu ‘Arafah (al- Hidayah al-Kafiah al-Syafiyah),
(Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1993), hlm. 324
30
Ahmad ibn Ghanim ibn Salim al-Nafrawi al-Azhari al-Maliki, Al-Fawakih al-Dawani ala Risalah Ibn Abi Zayd al-
Qayrawani, jilid 2, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997), hlm. 105.
31
Andi Syamsul Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.
114
dari saudara perempuan kandung, kemudian anak perempuan dari saudara seibu, dan
demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.32
. Jika anak yang hendak di pelihara tidak memiliki kerabat wanita yang berhak
memeliharanya seperti dalam urutan diatas, hak mengasuh dan memelihara dilimpahkan
kepada kerabat lakilaki terdekat sesuai urutan bagian warisnya mahram yaitu ayah, kakek
sampai ke atas, kemudian saudara dan anak-anaknya sampai ke bawah.
Kemudian jika si anak tidak memiliki kerabat laki-laki maka menurut Mazhab Hanafiyyah
untuk memeliharanya dilimpahkan pada kerabat lain yang masih ada hubungan keluarga
seperti paman dari jalur ibu, anak paman dari jalur ibu, pamannya ibu dan paman kandung.
Alasannya karena mereka mempunyai hak untuk menikahkan sehingga mereka juga berhak
untuk memelihara.33
Menurut Hanafiyyah, jika ada dua orang dalam satu tingkat kekerabatan, seperti ada dua
paman misalnya maka yang didahulukan adalah yang lebih tua tetapi tidak fasik atau dungu,
dan tidak memberikan hak bagi anak paman yang tidak amanah untuk memelihara putri yang
cantik.34

Menurut Imam Maliki


Hak asuhan itu berturut-turut dialihkan dari ibu kepada ibunya ibu dan seterusnya keatas,
saudara ibu sekandung, saudara perempuan ibu seibu, saudara perempuan nenek perempuan
dari pihak ibu, saudara perempuan kakek dari pihak ibu, saudaraperempuan kakek dari pihak
ayah, ibu ibunya ayah, ibu bapaknya ayah dan seterusnya.35
Saudara perempuan ibu lebih berhak daripada mereka. Saudara perempuan seibu lebih
berhak daripada saudara perempuan sebapak. 36
Jika terdapat dua orang yang berhak mengasuh dan kebetulan satu tingkat kekerabatannya,
seperti dua orang saudara perempuan, dua orang bibi dari ibu, dan dua orang bibi dari ayah
maka yang didahulukan adalah yang akhlaknya paling baik dan paling penyayang, namun
jika keduanya sama dalam hal itu maka yang didahulukan adalah yang paling tua di antara
keduanya.
Ulama malikiyyah berpendapat bahwa jika anak yang akan dipelihara sudah tidak memiliki
keluarga perempuan seperti yang disebutkan di atas maka hak mengasuh dilimpahkan kepada
orang yang diberi wasiat untuk mengasuh anak tersebut.37
Kemudian kepada saudara kandung laki-laki, baik dari jalur ibu maupun ayah. Kemudian
kepada kakek dari jalur ayahkemudian kerabat yang terdekat. Setelah itu kepada anak
saudara laki-laki yang akan dipelihara, kemudian kepada paman dan anaknya. Hak
memelihara itu diberikan kepada maula a‟la yaitu (orang yang memerdekakan anak yang

32
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih Lima Mazhab.,,,,. h.447
33
Wahbah AZ- Zuhaili, Fiqih Islam WA Adillatuhu, ( Damaskus: Darul Fikr, 2007) , h. 64
34
Wahbah AZ- Zuhaili, Fiqih Islam WA Adillatuhu.,,,,. h. 64.
35
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih Lima Mazhab.,,,,. H 415
36
Syaikh Al-Allamah Muhammad, Fiqih Empat mazhab,( Bandung: Hasyimi Press, 2001). 417.
37
Wahbah AZ- Zuhaili, Fiqih Islam WA Adillatuhu.,,,,. h. 65.
akan dipelihara, kemudian kepada keluarga nasabnya, kemudian para mawali, dan kepada
maula asfal yaitu ( orang yang di merdekakan oleh ayah dari anak yang akan dipelihara).

Menurut Imam Syafi’i


Hak atas asuhan, secara berturut-turut adalah, ibu, ibunya ibu, dan seterusnya hingga keatas
dengan syarat mereka itu adalah pewaris-pewaris anak. Sesudah itu adalah ayah, ibunya
ayah, ibu dari ibunya ayah, dan seterusnya hingga keatas, dengan syarat mereka adalah
pewaris-pewarisnya pula. Selanjutnya adalah kerabat-kerabat dari pihak ibu, dan disusul
kerabat-kerabat dari ayah.938
Kemudian hak asuh juga diberikan kepada pihak laki-laki yang tidak mempunyai ikatan
mahram seperti anak dari paman. Namun tidak boleh menyerahkan pengasuhan anak wanita
yangsudah besar kepada laki-laki untuk menghindari berduaan yang diharamkan. Akan tetapi
si kecil boleh diasuh dan diserahkan kepada laki-laki yang bisa dipercayai dan
direkomendasikan oleh orang yang berhak mengasuhnya karena pengasuhan merupakan
haknya. 39
Dapat disuimpulkan bahwa yang didahulukan dalam urutan pengasuhan tersebut dari
kalangan ibu, nenek, saudara dan dari kalangan paman. Hak asuh diberikan kepada lai-laki
yang mempunyai ikatan mahram dan waris dengan si kecil dengan mengacu pada urutan
warisan.

Menurut Imam Hambali


Hak asuhan itu berturut-turut berada pada ibu, ibunya ibu, ibu dari ibunya ibu, ayah, ibu
ibunya, kakek, ibu ibu dari kakek, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah,
saudara perempuan ayah sekandung, seibu dan seterusnya.
Dalam hadits sebagai berikut:
Perkataannya: bahwa Ali, Ja’far dan Zaid bin Haritsah tengah berselisih tentang hak asuh
putri hamzah setelah mati syahid, kemudian ali berkata: putri pamanku, dan bersamaku putri
Rasulullah (fatimah), Zaid berkata: putri saudaraku (karena Rasulullah adalah saudara
diantara Zaid dan Hamzah), Ja’far berkarta: hak asuh itu milikku, dia adalah putri pamanku
dan bersamaku bibi dari ibunya, maka Rasulullah SAW bersabda: khalah (bibi dari ibu) itu
adalah ibu”. (HR. BUKHARI dalam Shahihnya).40
Dalam urutan pengasuh tersebut adalah dari kalangan ibu, nenek saudara, dan dari kalangan
paman. Hak asuh diberikan kepada laki-laki yang mempunyai ikatan mahram dan waris
dengan si kecil dengan mengacu pada urutan warisan.
Kemudian hak asuh juga diberikan kepada pihak laki-laki yang yang tidak mempunyai ikatan
mahram seperti anak daripaman (sepupu si kecil). Namun, tidak boleh menyerahkan
pengasuhan anak wanita yang sudah besar kepada laki-laki untuk menghindari berduaan
38
Muhammad Jawad Mughniyah, fiqih Lima Mazhab.,,,,. h. 448.
39
Wahbah Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, ( Jakarta:
PT. Niaga Swadaya, 2010). h. 71.
40
Ibnu Hajar Al-Asqalani, Talkhishul Habir, Jakarta: Pustaka Azzam, 2012). h. 644.
yang diharamkan. Akan tetapi, si kecil boleh diasuh dan di serahkan kepada laki-laki yang
bisa di percayai dan direkomendasikan oleh orang yang berhak mengasuhnya karena
pengasuhan merupakan haknya.
Berdasarkan dari beberapa pendapat tersebut diatas penulis dapat menarik kesimpulan
terlihat bahwa hak utama memelihara anak adalah dari pihak ibu, setelah itu nenek dari pihak
ibu dan seterusnya, kalau pendidik/pemelihara pengasuhan anak dari beberapa perempuan
saja dan jalan kefamilian mereka terhadap si anak bertingkat-tingkat, maka si anak
diserahkan kepada ibunya,kalau ibu tidak ada, diserahkan kepada ibu dari ibu itu (nenek),
kalau ibu dari pihak ibu tidak ada, diserahkan kepada ibu-ibu dari pihak bapak, kemudian
kepada saudara perempuan, kemudian kepada anak perempuan dari pihak saudara perempuan
dari pihak laki-laki, kemudian saudara perempuan dari bapaknya.

C. Dasar Hukum atau Istinbath Hadhanah


Umat Islam mengakui bahwa Al-qur’an dan Hadist merupakan sumber utama hukum Islam
yang tidak ada keraguan di dalamnya. Sebagai sebuah pedoman hidup bagi umat Islam, Al-
qur’an dan Hadist telah mengatur berbagai seluk beluk perihal kehidupan manusia, baik yang
bersifat ibadah, muamalah, jarimah, siyasah dan ketentuan-ketentuan lain yang sudah diatur
di dalamnya secara lengkap. Begitu pula halnya dengan ketentuan mengenai dasar hukum
hadhanah yang telah diatur di dalamnya secara jelas.
Istinbath hukum yang dipakai oleh Empat Imam Mazhab yang terdiri dari Imam Syafi‟i,
Imam Hambali dan Imam Maliki dalam kasus ini adalah Al-Qur‟an dan Sunnah. Al-Qur‟an
yang di pakai dalam kasus ini pendapat tentang siapa yang berhak terhadap Hadhanah,
apakah yang berhak itu hadhin (pemelihara / pendidik) atau madhun (anak). Mazhab Hanafi
berpendapat bahwa hadhanah itu hak anak sedangkan menurut Syafi‟i, Ahmad dan sebagian
pengikut Mazhab Maliki berpendapatbahwa yang berhak terhadap hadhanah itu adalah
hadhin (orang yang memelihara).41
Dalam Qs. At-tahrim :”Hai orang-orang yang beriman, peliharalaah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya maalaikat-
malaikat yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahnya. (At-
tahrim : 6).
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
‫ يا رسول اهلل ان ابين ىذاكان بطين لو وعاء وحخري هاللحواء وثد يي لو سقاء‬:‫عن عبد اهلل بن عمرو ان امراة قالت‬
‫ انت احق بو ما مل تنكحي )اخر خو امحد وابو‬:‫ فقا ل هال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم‬,‫وزعم ابوه انو ينتزعو منيو‬
‫داود والبيهقي واحالكم وصححو‬
( Artinya: Dari hadist yang diriwayatkan dari Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya
Abdullah bin Amr, bahwa seorang perempuan berkata kepada Rasullullah SAW “wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai tempat naungannya,
air susuku menjadi minumannya, dan pengakuannku sebagai tempat berteduhya, sedangkan

41
Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, ( Jakarta: Kencana 2010) h. 183
ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya dari ku”. Maka
Rasulullah SAW bersabda : “kamu lebih berhak terhadapnya selama kamu belum menikah”.
(H.R. Ahmad, Abu Daud, Baihaqy dan Hakim mengisahkan hadist ini).
Hadist di atas sangat jelas bahwasannya seorang ibu lebih berhak dari pada bapak selama ibu
belum menikah lain. Ibu lebih diutamakan karena seorang ibu mempunyai kelayakan
mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu dalam mendidik.
Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar dari pada bapak, waktu yang dimiliki ibu lebih
lapang dari pada bapak, karena itulah ibu lebih diutamakan demi kemaslahatan anak. Akan
tetapi hak pengasuhan ini secara otomatis bisa gugur jika ibu telah menikah dengan laki-laki
lain yang bukan dari kalangan ashabah (pewaris), maka hak hadhanahnyapun menjadi
hilang42,14karena ditakutkan sang ibu tidak bisa lagi menjaga dan mendidik anak nya dengan
baik atau menelantarkan anak nya karena sudah membagikan kasih sayang untuk suaminya.
Namun hak asuh nya bisa di dapatkan kembali jika ibu diceraikan kembali oleh suaminya.
Tetapi apabila ibu menikah lain dengan laki-laki yang masih memiliki hubungan tali
kekerabatan dengan si anak, maka hak asuh ibu tidak hilang.
Penjagaan anak sesungguhnya ia adalah kewajiban karena orang yang memerlukan
penjagaan akan binasa apabila mereka tidak diberi penjagaan. Penjagaan ini memerlukan
hikmah, berhati-hati, waspada, sabar, dan akhlak yang luhur.43Sehinnga makruh bagi
seseorang mendoakan keburukan ke atas dirinya sendiri, ke atas pekerjaan dan ke atas
hartanya.

D. Syarat-Syarat Hadhhana
Seorang hadhinah (ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil
yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat
tertentu. Jika syarat-syarat tertentu tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan
menyelenggarakan hadhanah.
Adapun syarat-syarat hadhanah adalah sebagai berikut :
1. Berakal sehat, jadi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak boleh menangani
hadhanah, karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri. Sebab itu ia tidak boleh di
serahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang tidak punya apa-apa tentulah ia tidak dapat
memberi apa-apa kepada orang lain.44
2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang lain
untuk mengurusi urusannya dan mengasuhnya.
3. Mampu mendidik, karena itu untuk menjadi pengasuh tidak boleh orang yang buta atau
rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan
anak, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri perlu di urus, bukan orang yang
mengabaikan urusan rumahnya sendiri sehingga merugikan anak yang diurusnya, atau bukan
orang yang tinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah
42
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I’tishom, 2008), hlm. 528.
43
Wahbah al-Zuhaili, Fiqih dan Perundangan Islam jild Vll, (Malaysia, 2011), h. 898
44
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,..., hlm. 179.
kepada anak kecil itu sendiri, sehingga akibat kemarahannya itu tidak bisa memperhentikan
kepentingan si anak secara sempurna dan menciptakan suasana yang tidak baik.
4. Amanah dan berbudi, orang yang tidak amanah tidak akan aman bagi anak karena ia tidak
dapat dipercaya untuk bisa menunaikan kewajibannya dengan baik.
5. Islam, anak muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim.
6. Ibunya belum kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain maka hak
hadhanahnya hilang.
7. Merdeka, seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya sehingga ia
tidak memiliki kesempatan untuk mengasuh anak kecil.45

3. Hak dan Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak.


Semua agama menempatkan kedudukan orang tua pada tempat terhormat. Hal ini sungguh
pada tempatnya, karena tiada seorang pun yang nuraninya bisa mengingkari pengorbanan dan
jasa tanpa batas dari orang tua mereka. Selama sembilan bulan ibu menjaga dan memberikan
darahnya sendiri demi anak yangdikandung. Pada saat melahirkan betapa seorang ibu sangat
menderita. Ia tidak memperdulikan hidupnya sendiri. Harapan satu-satunya hanyalah:
“semoga anakku lahir dengan selamat”.46
Ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak
adalah kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak yang masih kecil dan belum mumayyiz
tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan
mereka, bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh karena itu anak-anak tersebut
wajib dipelihara, diasuh, dirawat dan dididik dengan baik.
Firman Allah dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 233 dijelaskan bahwa yang Artinya :
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang
ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosaatas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak
ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan “
(QS. Al Baqarah : 233)
Meskipun ayat tersebut secara tegas menegaskan bahwa tanggung jawab pemeliharaan anak
menjadi beban yang harus dipenuhi suami sebagai ayah, namun pembebanan ayah untuk
memberi makan dan pakaian kepada para ibu melekat di dalamnya. Hal ini diperkuat lagi
dengan ilustrasi apabila anak tersebut disusukan oleh perempuan lain yang bukan ibunya
sendiri, maka ayahnya bertanggung jawab untuk membayar perempuan yang menyusui
anaknya tersebut.
45
Ibid.
46
Hendi Suhendi, Pengantar Studi Sosial Keluarga (Bandung: Pustaka Setia, 2001) , 45-53
Hal ini dikuatkan dengan tindakan Rasulullah SAW. dalam hadits dibawah ini:
Artinya “Dari ibnu syuaib dari ayahnya dari kakeknya yakni Abdullah bin Umar r.a. , bahwa
ada seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah, “ Hai Rasulullah, anakku ini adalah
perutku yang menjadi kantongnya (mengandungnya), air susuku minumannya, dan pangkuan
saya tempat berlindungnya selama ini. Kini, suamiku telah menalakku dan ia ingin
mengambil anakku ini dari padaku, bagaimana itu? “ Jawab Rasulullah S.A.W. kamu lebih
berhak atas anakmu itu, selama kamu belum nikah lagi”.47
Pengasuhan dan pemeliharaan yang termasuk didalamnya adalah nafkah untuk anak supaya
anak terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya ini bukan hanyaberlaku selama ayah dan ibunya
masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadi perceraian.
Terdapat hadits yang menjelaskan mengenai kewajiban orang tua dalam memenuhi hak
anaknya. Seperti dalam hadits dibawah ini yang Artinya:
“Kewajiban orang tua terhadap anak adalah: membaguskan namanya dan akhlak atau sopan
santun, mengajarkan tulis menulis, berenang, dan memanah, memberi makan dengan
makanan yang baik, menikahkannya bila telah cukup umur.” (HR. Hakim)

Adapun tanggung jawab orangtua terhadap anaknya dalam hadits tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Memberi nama yang baik untuk anaknya.
Nama adalah ciri atau tanda, maksudnya adalah orang yang diberi nama dapat mengenal
dirinya atau dikenal oleh orang lain.
Dalam Al-Qur‟anul Kariim disebutkan yang Artinya: “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami
memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya,
yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia” (QS.
Maryam: 7).
Dan hakikat pemberian nama kepada anak adalah agar ia dikenal serta memuliakannya.
Oleh sebab itu para ulama bersepakat akan wajibnya memberi nama kapada anak laki-
laki dan perempuan. Oleh sebab itu apabila seseorang tidak diberi nama, maka ia akan
menjadi seorang yang majhul (tidak dikenal) oleh masyarakat.
Berikanlah nama yang disegani dan mempunyai arti yang baik, jangan nama yang
dibenci. Nama yang baik dapat juga menjadi penyebab orang yang memiliki nama itu
berusaha menjadi kualitas seperti makna yang terkandung dalam nama tersebut. Abu
Dawud meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya kamu
pada hari akhirat kelak dipanggil dengan menyebut namamu dan nama bapakmu, karena
itu berilah nama yang baik. Muslim dalam Shahihnya 13 meriwayatkan dari Ibnu Umar
sabda Rasulullah SAW: Nama kalian yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan
Abdurrahman.48

47
Kahar Masyhuri, Bulughul Maram 2. (Jakarta. PT Rineka Cipta, 1991 ), 148.
48
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 259-260
2. Mendidik anak dengan pendidikan terbaik
Kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anaknya mulai dari pendidikan di rumah,
pendidikan di sekolah atau pesantren, bahkan sampai anak melanjutkan ke perguruan
tinggi, merupakan hak anak yang patut diterima dengan sebaikbaiknya. Pendidikan buat
anak yang paling vital di rumah yaitu mengajarkan dan membiasakan shalat kepada anak-
anaknya. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Thaaha (20) ayat 132 : yang
Artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, kamilah yang
memberi rezki kepadamu. dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.”

3. Mengajarkan keahlian dan ketangkasan.


Seperti keahlian membaca dan menulis, dalam konteks sekarang mungkin anak diajarkan
agar menguasai komputer, bahasa asing dll. Ketangkasan dan keberanian, dapat diajarkan
melalui latihan berenang dan memanah, maupun olah raga lainnya.

4. Menempatkan ditempat tinggal yang baik dan memberi rezeki dari yang baik.
Anak yang tinggal di tempat tinggal dan lingkungan yang baik, niscaya akan menjadi
anak-anak yang baik. Juga, anak yang makan dan minum yang diberikan orang tuanya
dari rezki yang halal dan baik, niscaya akan menjadi anak yang baik pula. Dan biasanya,
anak yang berada di tempat tinggal yang tidak baik dan makan dari rezki yang tidak baik,
biasanya akan menjadi anak-anak yang tidak baik.

5. Menikahkan anak bila sudah cukup umur.


Sebenarnya tanggung jawab untuk mencari dan menikahkan seorang anak perempuan
ada di tangan orang tua dan walinya, secara khusus, dan pemerintahan, secara umum.
Bila kita lihat Q.S. An-Nur:32 (dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara
kamu …) artinya hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita-wanita yang tidak
bersuami, dibantu agar mereka dapat menikah.
Bila ini dilakukan, tentu saja tidak akan ada wanita yang kebingungan sendirian dalam
mencari pasangan hidup. Lebih dari itu orang tua yang telah bersusah payah
membesarkan, memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sabar bahkan sampai
mereka menikah akan mendapat ganjaran yang sangat besar 16 dari Allah SWT yakni
surge. Sebagaimana riwayat dari Auf bin Malik RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Barang siapa memiliki tiga orang anak perempuan yang dinafkahinya dengan baik
sampai mereka menikah atau meninggal dunia, maka anak-anak itu menjadi tabir baginya
dari neraka.” (HR Al-Baihaqi).49

49
Herlini Amran, Fiqih Wanita, (Jakarta Timur: PT Insan Media Pratama, 2011), 98-99
Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum, dengan resmi seorang anak menjadi
anggota keluarga melalui garis nasab berhak mendapat berbagai macam hak dan
mewarisi ayah dan ibunya, yaitu:50
1) Hak Nasab, dengan hubungan nasab ada sederetan hak-hak anak yang harus ditunaikan
orang tuanya dengan nasab pula dijamin hak orang tua terhadap anaknya.
2) Hak Radla’ adalah hak anak menyusui, ibu bertanggung jawab dihadapan Allah
menyusui anaknya ketika masih bayi hingga umur dua tahun, baik masih dalam tali
perkawinan dengan ayah bayi atau sudah bercerai.
3) Hak Hadhanah yaitu tugas menjaga, mengasuh dan mendidik bayi atau anak yang
masih kecil sejak lahir sampai mampu menjaga dan mengatur diri sendiri.
4) Hak Walayah disamping bermakna hak perwalian dalam pernikahan juga berarti
pemeliharaan diri anak setelah berakhir periode hadhanah sampai dewasa dan berakal
atau sampai menikah dan perwalian terhadap harta anak.
5) Hak Nafkah merupakan pembiayaan dari semua kebutuhan diatas yang didasarkan
pada hubungan nasab.
Dimaksud dengan hak-hak anak di sini adalah kewajiban-kewajiban yang harus
ditunaikan oleh kedua orang tua atas anak-anaknya. Kewajiban tersebut disebabkan oleh
adanya hubungan orang tua dengan anak yang tercipta karena keturunan.

BAB III

Satria Efendi, Makna , Urgensi dan Kedudukan Nasab Dalam Perspektif Hukum Keluarga Islam (Jakarta: Al-
50

Hikmah, 1999), 7-19.


PENUTUP

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kita pahami bahwa dalam perkara Nasab Para ulama mazhab fiqh yang
empat sepakat menyatakan bahwa nasab merupakan pertalian kekeluargaan berdasarkan
hubungan darah, baik ke atas, ke bawah, maupun ke samping. Nasab juga sebagai dasar fondasi
yang kuat dalam membina dan melestarikan keutuhan kehidupan manusia, sebab pada
hakikatnya nasab juga merupakan nikmat dan karunia besar yang Allah ‫ ُس ْب َحانَهُ َو تَ َعالَى‬berikan
kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, nasab harus senantiasa dijaga kemurniannya. Di samping
itu, nasab juga merupakan persoalan pokok kaitannya dengan struktur hukum keluarga yang lain,
seperti hak hadhanah, nafkah, hukum kewarisan, dan masalah perwalian.

Adapun Nadhanah Ulama Fikih sepakat menyatakan bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan
mendidik anak adalah kewajiban bagi kedua orang tua, karena apabila anak yang masih kecil
(belum mumayyiz) tidak dirawat dan dididik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri
dan masa depan anak mereka. Bahkan bisa mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab itu,
anak-anak tersebut wajib dipelihara, dirawat, dan dididik dengan baik.Dalam hal ini, mereka
sepakat bahwa itu adalah hak ibu. Namun mereka berbeda pendapat tentang lamanya masa
asuhan seorang ibu, siapa yang paling berhak sesudah ibu.

Dan antara Hak dan Kewajiban Orang tua terhadap anaknya Ulama fiqh sepakat menyatakan
bahwa pada prinsipnya hukum merawat dan mendidik anak adalah kewajiban bagi orang tua,
karena apabila anak yang masih kecil dan belum mumayyiz tidak dirawat dan didik dengan baik,
maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan mereka, bahkan bisa mengancam eksistensi
jiwa mereka. Oleh karena itu anak-anak tersebut wajib dipelihara, diasuh, dirawat dan dididik
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Fuji Astuti, Novi.2021. Nasab adalah keturunan berikut pengertian dan hukumnya.
https://www.merdeka.com/jabar/nasab-adalah-keturunan-berikut-pengertian-dan-hukumnya-
dalam-islam-kln.html ( diaskes 24 Desember 2021. Jam 09:45 )

Irfan, Nurul.2013. Nasab & Status anak dalam hokum islam.


https://perpustakaan.mahkamahagung.go.id/slims/pn-jakartaselatan/index.php?
p=show_detail&id=1027 (diaskes 24 Desember 2021. Jam 17:45)

Yuni Hardina.2014. Status nasab anak dari berbagai latar belakang ditinjau dari hokum
islam.Jurnal Hukum Islam.vol.XIV: 68-80. https://media.neliti.com/media/publications/40387-
ID-status-nasab-anak-dari-berbagai-latar-belakang-kelahiran-ditinjau-menurut-hukum.pdf

( diaskes 24 Desember 2021. Jam 20:36)

Syahfitri.Maulina.2016. Batas masa Hadhanah ( Studi analisis menurut Mazhab


Maliki).Skripsi.Aceh.Universitas Ar-raniry Darusalam Banda Aceh. https://repository.ar-
raniry.ac.id/id/eprint/5764/1/Maulina%20Syahfitri.pdf (diakses 24 Desember 2021. Jam 18:45)

Masrufah,Masrufah.2019. Pengalihan Hak Asuh Hadhanah ( Studi Komperatif menurut Empat


Imam Mazhab).Thesis.Banten.UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten.
http://repository.uinbanten.ac.id/4591/6/6.%20BAB%20IV.pdf (diakses 24 Desember 2021. Jam
19:35)

Arisnawati.2017. Hadhanah anak setelah berumur 7 tahun. ( Studi Perbandingan Mazhab


Hanafi & Syafi’I ).Skripsi.Aceh.UIN Ar-Rainiy Darusalam Banda Aceh. https://repository.ar-
raniry.ac.id/id/eprint/3122/1/ARISNAWATI%20FULL%20PDF.pdf (diakses 24 Desember
2021. Jam 23:45)

Jannah,Nurrohmatul.2016. Tanggung jawab orang tua terhadap anak pasca menikah menurut
hokum islam studi kasus di Desa Tanjung Tani Kecamatan PrambonKabupaten
Nganjuk.Thesis.Kediri.IAIN Kediri. http://etheses.iainkediri.ac.id/476/3/BAB%20II%20T.Jwab
%20tambahan.pdf (diakses 25 Desember 2021. Jam 10:25)

Anda mungkin juga menyukai