Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

1. PERWALIAN DALAM HUKUM ISLAM DIINDONESIA


2. LEGISLASI HUKUM ISLAM DAN MODERNISASI

DOSEN PENGAJAR :

DODI TRI PURNAWINATA, SH, MH.

DISUSUN OLEH :

NAMA : SARAH OKTARIA

NIM : 19.061/HK

SEMESTER : 4 B

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SERASAN


MUARA ENIM

2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah menganugerahkan nikmat Islam
dan Iman kepada kita, dan menjadikan kita umat terbaik yang dikeluarkan untuk
manusia. Shalawat berangkaikan salam kita hadiahkan kepada nabi besar
Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam’ rahmat bagi semesta alam dan pemberi
petunjuk jalan menuju keselamatan sampai akhir zaman. Amma ba’du.
Saya berterima kasih kepada Allah SWT yang telah memberikan ilmu
kepada kami, kepada dosen pengajar yaitu bapak DODI TRI PURNAWINATA,
SH, MH yang telah memberikan tugas makalah kepada kami dan juga sekaligus
sebagai motivasi semangat belajar kami, kepadateman kelompok maupun tidak
yang telah sudi membantu dalam penyelesaian makalah ini,sehingga ini makalah
ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai bahan
materi dari mata kuliah Hukum Keluarga Dalam Islam mengenai Perwalian
dalam Hukum Islam di Indonesia, Legislasi Hukum Islam dan Modernisasi.
Merupakan sebuah harapan pula, semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca, khususnya untuk penulis sendiri. Penulis berharap agar
pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang bersifat positif guna untuk
kesempurnaan tugas makalah ini. Untuk itu lebih kurangnya penulis meminta
maaf apabila ada materi yang tidak di masukkan dalam makalah ini. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua serta sebagai amal shaleh dan menjadi
motivator untuk menyusun makalah yang lebih baik lagi.
PEBAHASAN
PERWALIAN DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Wali
Perwalian dalam istilah bahasa adalah wali yang berarti menolong yang
mencintai. Perwalian secara etimologi ( bahasa ), memiliki beberapa arti ,
diantaranya adalah kata perwalian berasal dari kata wali , dan jamak dari
awliya. Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti teman, klien, sanak
atau pelindung. Dalam literatur fiqih Islam perwalian disebut dengan al-
walayah ( alwilayah ), (orang yang mengurus atau yang mengusai sesuatu),
seperti kata ad-dalalah yang juga bisa disebut dengan ad-di lalah. Secara
etimologis, dia memiliki beberapa arti , di antaranya adalah cinta ( al-
mahabbah ) dan pertolongan (an-nashrah ) dan juga berarti kekuasaan atau
otoritas ( as-saltah wa –alqudrah ) seperti dalam ungkapan al-wali, yakni “
orang yang mempunyai kekuasaan”. Hakikat dari al-walayah (alwilayah)
adalah “ tawalliy al-amr ”, ( mengurus atau menguasai sesuatu).
Perwalian dalam istilah Fiqh disebut wilayah, yang berarti penguasaan
dan perlindungan. Jadi arti dari perwalian menurut fiqh ialah penguasaan
penuh yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan
melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaan perwalian
disebut wali.
Perwalian menurut hukum Islam ( fiqih ) merupakan tanggung jawab
orang tua terhadap anak. Dalam hukum Islam diatur dalam ( hadlanah ), yang
diartikan “ melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki
atau perempuan, atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, dan
menyediakan sesuatu yang menja dikan kebaikannya, menj aganya dari
sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawabnya. Dalam hal ini, kedua orang tua wajib memelihara
anaknya, baik pemeliharaan mengenai jasmani maupun rohaninya.
Keduannya bertanggung jawab penuh mengenai perawatan, pemeliharaan,
pendidikan, akhlak, dan agama anaknya.
Menurut hukum Islam “perwalian” terbagi dalam tiga kelompok. Para
ulama mengelompokan:
a. Perwalian terhadap jiwa ( Al-walayah „alan-nafs );
b. Perwalian terhadap harta ( Al-walayah „alal-mal );
c. Perwalian terhadap jiwa dan harta ( Al-walayah „alan-nafsi wal-mali
ma„an ).
Menurut Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak
yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
berada di bawah kekuasaan wali.(Lihat Pasal 50 ayat 1 Undang – Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Perwalian itu mengenai pribadi anak
yang bersangkutan maupun harta bendanya.(Lihat Pasal 50 ayat 2 Undang –
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.) Ketentuan ini adalah
bertujuan untuk menghindarkan adanya dua perwalian, yaitu : Perwalian
mengenai pribadi si anak dan perwalian mengenai harta bendanya, yang mana
hal itu ada dikenal dalam hukum islam.
Adapun pengertian perwalian menurut Kompilasi hukum Islam adalah
sebagai berikut: “Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada
seseorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk
kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua,
orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum”.
Dijelaskan dalam pasal-pasal selanjutnya: Pasal 107
1. Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.
Pada dasarnya perwalian menurut Kompilasi Hukum Islam adalah
kekuasaan yang diberikan kepada seseorang untuk mewakili anak yang belum
dewasa dalam melakukan tindakan hukum demi kepentingan dan kebaikan si
anak, yang meliputi perwalian terhadap diri juga harta kekayaanya. Adapun
anak belum dewasa menurut Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang
belum mencapai usia 21 tahun dan atau belum pernah menikah.
Selain dari itu, masalah perwalian juga mengenai wali anak kecil, orang
gila dan safih.

B. Dasar Hukum Perwalian Anak


Dasar hukum perwalian menurut hukum Islam adalah sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat : 282 yang artinya
“Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya)
atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu).”

C. Syarat-syarat Wali
Dalam hukum Islam syarat-syarat dapat disamakan dengan wali nikah.
Para ulama sepakat bahwa wali dari orang-orang yang menerima wasiat untuk
menjadi wali, sedangkan syarat-syarat yang akan menjadi wali di antaranya
yaitu:
a. Orang Mukallaf, karena orang yang mukallaf adalah orang yang
dibebanihukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
b. Muslim, disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang menjadi
tanggung jawabnya itu orang islam.
c. Baligh dan berakal sehat, hanya orang yang berakal sehatlah yang dapat
dibebani hukum dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.
d. Adil
e. Laki-laki, Adapun dalam hadlonah para ulama madzhab sepakat bahwa
dalam asuhan disyaratkan bahwa orang yang mengasuh berakal sehat,
dapat dipercaya, suci diri , bukan pelaku maksiat, bukan penari, dan
bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak yang diasuhnya.

D. Yang Berhak Menjadi Wali


Menurut hukum Islam orang yang berhak ditunjuk menjadi wali terdiri
dari:
a. Jika anak tersebut sudah dapat memilih atau sudah tidak lagi
membutuhkan pelayanan perempuan, maka orang yang ditunjuk menjadi
wali untuknya diambil dari keluarganya sesuai dengan urutan tertib
hukum waris, yaitu siapa yang berhak mendapat warisan terlebih dahulu.
b. Jika anak tersebut belum dapat memilih, para ahli fiqih berpendapat
bahwa kerabat ibu lebih didahulukan dari kerabat ayah dan urutannya
sebagai berikut:
1. Nenek dari pihak ibu
2. Kakek dari pihak ibu
3. Saudara perempuan sekandung dari anak tersebut
4. Saudara perempuan se ibu
5. Saudara perempuan se ayah
6. Kemenakan perempuan sekandung
7. Kemenakan perempuan ibu se ibu
8. Saudara perempuan ibu sekandung
9. Saudara perempuan ibu se ibu
10. Saudara perempuan ibu se ayah
11. Kemenakan perempuan ibu se ayah
12. Anak perempuan saudara laki-laki sekandung
13. Anak perempuan saudara laki-laki se ibu
14. Anak perempuan saudara laki-laki se ayah
15. Bibi dari ibu sekandung
16. Bibi dari ibu se ibu
17. Bibi dari ibu se ayah.
LEGISLASI HUKUM ISLAM DAN MODERNISASI

A. Definisi Legislasi Hukum Islam


Legislasi berasal dari kata bahasa Inggris legislate yang berarti
membuat undang-undang. Kata legislasi sendiri dalam bahasa Arab dapat
pula disebut taqnin. Ulama fikih mengemukakan bahwa secara terminologi
legislasi/taqnin adalah penetapan oleh penguasa, sekumpulan undang-undang
yang mempunyai daya memaksa dalam mengatur hubungan sesama manusia
dalam suatu masyarakat. Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan taqnin
sebagai hukumhukum Islam dalam bentuk buku atau kitab undang-undang
yang tersusun rapi, praktis dan sistematis, kemudian ditetapkan dan
diundangkan secara resmi oleh kepala negara, sehingga mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat dan wajib dipatuhi serta dilaksanakan oleh seluruh
warga negara. Sedang istilah "al-Hukm al-Islam tidak dijumpai di dalam al-
Qur'an dan al-Sunnah. Al-Qur'an maupun alSunnah menggunakan istilah al-
Syari‟ah, yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah al-Fiqh. Pada titik
ini dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah seperangkat norma hukum
dari Islam sebagai agama, yang berasal dari wahyu Allah, sunnah rasul-Nya,
dan ijtihad para ulama (mujtahid).
Dengan demikian legislasi hukum Islam adalah upaya pemerintah
untuk melakukan penetapan hukum yang diambil dari Islam (al-Qur'an, al-
Sunnah dan Ijtihad) yang kemudian dijadikan sebagai undang-undang secara
legal-formal dengan tujuan agar supaya dilaksanakan oleh masyarakat,
memiliki sifat mengikat dan memiliki konsekuensi hukum.

B. Sejarah Legislasi Hukum Islam


Ide taqnin terhadap hukum Islam pertama kali diutarakan oleh Abu
Muhammad Ibn al-Muqaffa, sekretaris negara di zaman pemerintahan Abu
Ja‟far al-Mansur dari dinasti „Abbasiyah. Ide ini diajukan Ibn al-Muqaffa
kepada khalifah, karena menurut pengamatannya terdapat kekacauan hukum
dan peradilan ketika itu. Ada beberapa tujuan yang hendak dicapai dengan
taqnin tersebut, antara lain untuk memberikan batasan jelas tentang hukum
sehingga mudah disosialisasikan di masyarakat; dan untuk membantu para
hakim dalam merujuk hukum yang akan diterapkan terhadap kasus yang
dihadapi, tanpa harus melakukan ijtihad lagi.
Namun, ide ini tidak mendapat dukungan dari pihak penguasa karena
dikhawatirkan akan terjadi kesalahan berijtihad di satu pihak dan keharusan
bertaklid di pihak lain. Dengan kata lain, apabila hukum telah dikodifikasi,
maka keterpakuan pada hukum yang telah dimodifikasi merupakan bentuk
taklid lain dan pemilihan hukum yang tepat dari berbagai mazhab ketika itu
tidak mungkin pula dapat menghindarkan unsur subjektifitas sebagian ulama
fikih. Atas dasar ini, pihak penguasa tidak menanggapi serius usulan Ibn al-
Muqaffa tersebut.
Selanjutnya al-Mansur ketika bertemu Imam Malik, meminta kepada
Malik untuk menuliskan buku yang mencakup seluruh persoalan fikih yang
akan diberlakukan di seluruh wilayah Abbasiyah. Semula Imam Malik secara
diplomatis menolak permintaan tersebut dengan mengatakan, “Penduduk Irak
tidak akan mungkin menerapkan pendapat saya tersebut.” Akan tetapi
alMansur meyakinkan Imam Malik bahwa kitab tersebut akan diberlakukan di
seluruh wilayah Abbasiyah dan mempunyai hukum mengikat untuk seluruh
warga. Akan tetapi pada akhirnya, sesuai dengan jawaban Malik diatas,
keinginan khalifah untuk hanya memberlakukan hukum dalam kitab al-
Muwaththa‟ tidak berjalan mulus.
Kodifikasi hukum Islam baru terealisasi pada tahun 1293 H/ 1876 M
oleh kerajaan Turki Usmani dengan lahirnya kodifikasi hukum Islam pertama
yang disebut al-Majallah al-Ahkam al-Adliyyah.

C. Problematika Legislasi Hukum Islam


Apabila dilihat secara sepintas, legislasi hukum Islam atau formalisasi
hukum Islam mempunyai dampak positif – terutama bagi praktisi hukum –
praktisi hukum, misalnya memudahkan mereka untuk merujuk hukum serta
menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga-lembaga peradilan. Akan tetapi
disisi yang lain, kendala yang lebih berorientasi pada sifat negatif adalah
bahwa hukum Islam dengan keragamannya tidak bisa ditunggalkan untuk
kemudian diformalisasikan dalam bentuk perundangundangan. Jalan
penunggalan dan formalisasi hukum Islam bukan hanya bertentangan dengan
watak dasar hukum Islam yang kenyal dan relatif, melainkan juga membunuh
kehadiran hukum-hukum Islam lain yang berbeda dengannya. Yang akhirnya
menimbulkan kekakuan hukum, berhentinya upaya ijtihad serta munculnya
persoalan taklid baru.
Deskripsi tersebut diatas hanyalah sebagian masalah yang muncul
dalam kaitannya dengan dialog legislasi hukum Islam ini. Sedangkan pada
beberapa hal banyak permasalahan yang harus dicarikan solusinya sehingga
pro-kontra legislasi tersebut menjadi sebuah ide yang bersifat konseptual
yang mampu mengakomodir semua kepentingan umat manusia, lebih-lebih
dalam rangka menjaga dan melestarikan kemaslahatan.
Secara substansial, hukum Islam merupakan bagian integral agama
Islam yang tidak lain adalah sebuah produk yang diturunkan atau ditentukan
sendiri oleh Allah. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum Islam tersebut
tidak bersifat politis akan tetapi lebih bersifat transendent, walaupun dalam
pelaksanaannya banyak ditemukan nilai-nilai universal sehingga tidak
terkesan kaku dan otoriter. Akan tetapi dalam perkembangannya, unsur politis
tidak dapat dipungkiri untuk masuk dalam wilayah hukum Islam. Salah satu
contoh konkrit yang gampang dilihat adalah dalam "legislasi hukum Islam".
Asumsi ini berangkat dari realitas penerapan syari‟ah – dalam konteks agama
Islam – yang sangat problematik dan kontroversial, sehingga antara mereka
yang sepakat terhadap diberlakukannya hukum Islam secara formal melalui
metode legislasi maupun yang kontra terhadapnya, sama-sama menggunakan
kendaraan politik guna mencapai kepentingan yang menjadi target utamanya.

D. Legislasi Modern Diindonesia


Perubahan Umdang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebanyak 4 kali memberikan dampak yang sangat besar dalam sistem
ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut
secara khusus telah menempatkan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-Undang yang sebelumnya
berada di tangan Presiden. Perubahan paradigma pemegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang pada dasarnya menguatkan posisi DPR sebagai
lembaga perwakilan rakyat, meskipun perubahan tersebut tidak menghapus
keberadaan Presiden untuk turut membentuk Undang-Undang. Perubahan
dalam sistem ketatanegaraan Negara Republik Indonesia membawa
konsekuensi bahwa DPR lebih proaktif dalam pembentukan Undang-Undang,
walaupun dalam prosesnya tetap melibatkan Presiden melalui mekanisme
pembahasan untuk mendapatkan persetujuan bersama.
Atas dasar kekuasaan signifikan tersebut, DPR mempunyai fungsi
legislasi, yaitu fungsi membentuk Undang-Undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana tercantum dalam
pasal 69 hurup a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan
dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Pembentukan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun
Pemerintah berpijak pada Prolegnas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mendefinisikan
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan Undang-
Undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.
Fokus utama Prolegnas tentu berkaitan juga dengan salah satu elemen
dari hukum, yaitu materi/substansi hukum di dalam pembangunan sistem
hukum yang mencakup empat unsur atau sub-sistem hukum yang satu sama
lain saling terkait, yaitu : materi/substansi hukum; sarana atau kelembagaan
hukum; aparatur hukum; dan budaya atau kesadaran hukum masyarakat.
Perbedaan antara pengertian Prolegnas sebagai instrumen dan substansi
tersebut penting untuk dikemukakan. Hal ini disebabkan selama ini
pemahaman terhadap Prolegnas pada umumnya cenderung pada pengertian
materi/substansi. Dengan demikian tidak mengherankan apabila ada sebagian
orang yang menganggap bahwa sesungguhnya Prolegnas itu tidak penting
karena hanya berupa “daftar keinginan” yang diajukan oleh
Kementerian/LPNK, padahal sesungguhnya yang harus dikedepankan adalah
kedudukannya sebagai instrumen/mekanisme yang merupakan bagian dari
proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini secara jelas
ditegaskan dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 12 tTahun 2011 bahwa
perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas.
Ketentuan mengenai Prolegnas juga diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan
Rancangan Peraturan Presiden. Secara garis besar dijelaskan bahwa dalam
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang datang dari
Pemerintah, panitia antar kementerian dan pemrakarsa dapat mempersiapkan
Naskah Akademik-nya terlebih dahulu. Dalam rapat antar kementerian,
pemrakarsa dapat mengundang pakar, baik dari perguruan tinggi maupun
pihak lainnya. Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan
kesempatan untuk mengadakan sosialisasi kepada masyarakat sebagi
perwujudan asas keterbukaan masukan atas substansi RUU.

Anda mungkin juga menyukai