Anda di halaman 1dari 16

ATURAN PENGASUHAN ANAK DI BEBERAPA NEGARA MUSLIM

Abstrak
Pembahasan penelitian ini menjelaskan bagaimana setiap negara muslim tentunya
memiliki regulasi yang berbeda dalam mengatur hukum keluarga di negaranya. Aturan yang
berlaku di negara-negara muslim disesuaikan dengan kondisi sosial budaya dan keagamaan
Masyarakat di negara tersebut. Di negara mayoritas muslim, landasan utama yang dijadikan
sumber dalam membuat peraturan adalah syariat Islam. Sesuai dengan sifat hukum yang
fleksibel, sehingga seiring dengan perkembangan zaman, hukum yang berlaku di suatu
negara pun akan beranjak menyesuaikan kebutuhan waktu itu. Hal ini menyebabkan adanya
kemungkinan bahwa peraturan juga beranjak dari syariat Islam. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yang disebut dengan studi
pustaka (Library Research). Pelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan
data mengenai permasalahan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Penelitian ini
menghasilkan bahwa pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah pengangkatan
anak yang diatur dalam Nash Al-Qur’an dan hadis, namun hal ini belum dijelaskan secara
rinci. Penjelasan Nash yang terkait dengan konsep adopsi hanya disandarkan pada firman
Allah SWT dalam surah al-Ahzab ayat 4-5 dan ada pula hadis Nabi yang mana secara
sederhana mengatur pengangkatan anak tidak berfungsi untuk mengubah nasab, akan tetapi
hanya pada ranah merawat, memelihara dan melindungi si anak. Melihat dari hal tersebut
beberapa negara mengalami keberanjakan hukum keluarga dalam konteks adopsi anak. Dapat
disimpulkan bahwa tidak semua negara muslim didunia memperbolehkan adanya pengasuhan
ataupun pengangkatan anak, ada negara-negara yang memberbolehkan dengan syarat dan
ketentuan yang telah diatur dalam negara baik itu peraturan yang dibuat secara tertulis
ataupun tidak tertulis yang telah menjadi budaya kebiasaan masyarakat sempat dibeberapa
negara muslim yang ada didunia
Abstact
The discussion of this study explains how each Muslim country certainly has different
regulations in regulating family law in its country. The rules that apply in Muslim countries
are adapted to the socio-cultural and religious conditions of the people in the country. In
Muslim-majority countries, the main basis for making regulations is Islamic law. In
accordance with the flexible nature of law, so that along with the times, the laws that apply in
a country will also move to adjust to the needs of that time. This leads to the possibility that
the rules also depart from Islamic law. This research uses a qualitative approach This research
uses a type of research called library research. This research is descriptive, which is research
that provides data on problems that develop in the midst of society. This research results that
child adoption based on Islamic law is the adoption of children regulated in the Nash of the
Qur'an and hadith, but this has not been explained in detail. Nash's explanation related to the
concept of adoption is only based on the word of Allah Almighty in surah al-Ahzab verses 4-
5 and there is also a hadith of the Prophet which simply regulates the adoption of children
does not serve to change the nasab, but only in the realm of caring, nurturing and protecting
the child. Seeing from this, several countries experience family law in the context of child
adoption. It can be concluded that not all Muslim countries in the world allow the care or
adoption of children, there are countries that allow the terms and conditions that have been
regulated in the country whether it is regulations made in writing or unwritten which has
become a cultural habit of society once in several Muslim countries in the world.
A. Latar belakang
Manusia berpasangan sejak lahir, karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak
dapat hidup tanpa orang lain.1 Menurut hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk
mengikuti petunjuk Allah dengan mendirikan suatu keluarga yang sejahtera, harmonis, dan
bahagia serta untuk menjaga dan mempertahankan keturunan. Selain itu, islam mengatur
tujuan pernikahan lebih dari itu dengan memberi mereka hak dan kewajiban.2
Anak-anak sangat khawatir tentang perceraian orang tua mereka karena anak-anak
adalah korban utamanya. Perceraian antara pasangan suami-isteri akan membawa
konsekuensi baru bagi anak yang dilahirkan sebagai hasil dari perkawinan. Anak-anak juga
memiliki keinginan yang harus dipenuhi, jadi Islam mengatur hadanah, hak asuh anak setelah
perceraian. Adanah adalah memelihara atau mengasuh seorang anak yang tidak dapat mandiri
secara akademis dan melindungi diri sendiri. 3 Secara syariat, ibu memiliki hak untuk
mengasuh anak, terutama anak berusia 12 tahun, karena ibu memiliki jiwa yang sabar dan
lembut dan waktu yang cukup untuk mengasuh, menyayangi, dan mencintai anaknya.
Anak yatim dan anak-anak yang kehilangan pengasuhan keluarga telah menjadi
realitas sosial sejak zaman kuno, begitu pula cara untuk mengasuh anak-anak tersebut. Model
pengasuhan anak ini memiliki berbagai variasi berbeda antar budaya. Di negara-negara Barat,
adopsi mencipatakan hubungan hukum antara pengadopsi dan anak yang diadopsi yang telah
menjadi instrument utama untuk mengintegrasikan anak-anak yang terlantar dan yatim piatu
ke dalam keluarga baru.4 Sedangkan dalam Hukum Islam umumnya hal yang demikian
adalah tidak diperbolehkan dan hal ini masih dipertahankan hingga sekarang di negara-negara
dengan penduduk Muslim mayoritas.
Dalam istilah Fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama
yaitu kaffalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kaffalah dalam arti
sederhana ialah “pemeliharaan atau pengasuhan”.5 Dalam arti yang lebih lengkap ialah
pengasuhan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan. Hal ini dibicarakan
dalam Fiqih karena secara praktis antara suami istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-
anak memerlukan bantuan dari ayah atau ibunya. Dalam Kompilasi hukum Islam
pemeliharaan anak atau hadhonah ialah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak
hingga dewasa atau berdiri sendiri.6
Setiap negara muslim tentu memiliki regulasi yang berbeda dalam mengatur hukum
keluarga di negaranya. Aturan yang berlaku di negara-negara muslim disesuaikan dengan
kondisi sosial budaya dan keagamaan Masyarakat di negara tersebut. Di negara mayoritas
1
Irfan Islami, “PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN (KAWIN SIRRI) DAN AKIBAT
HUKUMNYA,” ADIL: Jurnal Hukum 8, no. 1 (2017): 70–89.
2
Anung Al Hamat, “Representasi Keluarga Dalam Konteks Hukum Islam,” YUDISIA : Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 8, no. 1 (2018): 140–154.
3
Prihartini Purwaningsih, “HAK PEMELIHARAAN ATAS ANAK (HADHANAH) AKIBAT
PERCERAIAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF,” Yustisi 1, no. 2 (2014): 55–65.
4
Muhammad Al Ghazali, “PERLINDUNGAN TERHADAP HAK HAK ANAK ANGKAT DALAM
PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KITAB UNDANG UNDANG HUKUM PERDATA DAN
HUKUM ISLAM” (INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU, 2015), 1–10.
5
Purwaningsih, “HAK PEMELIHARAAN ATAS ANAK (HADHANAH) AKIBAT PERCERAIAN
DITINJAU DARI HUKUM POSITIF,” 55–65.
6
Dudung Maulana, “Telaah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Tentang Hadhanah,” Posita: Jurnal
Hukum Keluarga Islam 01, no. 01 (2023): 1–9.
muslim, landasan utama yang dijadikan sumber dalam membuat peraturan adalah syariat
Islam.7 Sesuai dengan sifat hukum yang fleksibel, sehingga seiring dengan perkembangan
zaman, hukum yang berlaku di suatu negara pun akan beranjak menyesuaikan kebutuhan
waktu itu. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan bahwa peraturan juga beranjak dari
syariat Islam.
Dalam kaitannya dengan pengasuhan anak, perlu diketahui bagaimana peran negara
dalam mengatur terkait pengasuhan anak di wilayah kekuasaannya. Setiap negara tentu
memiliki prosedur pengasuhan anak yang berbeda-beda. Pengimplikasian hukum pengasuhan
anak di negara mayoritas muslim tentu berbeda sesuai dengan regulasi yang diberlakukan di
negara tersebut.8
B. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yang berarti bahwa penelitian ini
tidak bergantung pada perhitungan, tetapi pada pemahaman teori, pengembangan, dan
penjelasan yang kompleks. Pendekatan kualitatif ini tidak membutuhkan banyak data, tetapi
lebih suka data monografis atau kasus-kasus. Studi ini menggunakan jenis penelitian yang
dikenal sebagai studi pustaka.9 Pelitian ini bersifat deskriptif, yaitu penelitian yang
memberikan data mengenai permasalahan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
sehingga dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang
menyeluruh, lengkap dan sistematis tentang objek yang akan di teliti. Sumber data dalam
penelitian ini terbagi menjadi dua, data primer dan data sekunder, data primer bersumber dari
buku-buku, artikel yang memiliki keterkaitan dengan pembahasan, sedangkan data sekunder
bersumber dari undang-undang yang berlaku di beberapa negara tersebut.10
C. Pembahasan
1. Pengasuhan anak
Pemeliharaan anak atau juga disebut pengasuhan anak dan dalam Islam dinamakan
hadhanah. Hadhanah mempunyai arti secara etimologi maupun terminologis. Secara
etimologis, hadhanah berasal dari kata hadhana-yahdhunu-hadhnan yang memiliki arti
mengasuh anak atau memeluk anak.11 Ulama Syafi‟iyah, hadhanah adalah mendidik orang
yang tidak dapat mengurus diriya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan
memeliharanya dari apa yang membahayakannya, meskipun orang tersebut telah dewasa. 12
Seperti membantu dalam hal membersihkan jasadnya, mencucikan pakaiannya, meminyaki
rambutnya, dan lain-lainnya. Demikian pula menggendong anak dalam buaian dan
mengayun-ngayunkannya supaya cepat dapat tidur.

7
Rohmatun Nafiah and Ahmad Faih, “Analisis Transaksi Financial Technology (Fintech) Syariah
Dalam Perspektif Maqashid Syariah,” IQTISHADIA Jurnal Ekonomi & Perbankan Syariah 6, no. 2 (2019):
168–175.
8
Sanusi taufiq Nur, “Perceraian Dalam Perundang-Undangan Negara Muslim (Studi Perbandingan
Hukum Keluarga Islam Pakistan, Mesir Dan Indonesia),” Al-Qadau : Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 4,
no. 2 (2017): 323–344.
9
Sugiyono, Metode Penelitin Kuantitatif Dan R&D, 4th ed. (Bandung: Alfabeta, 2020), 15.
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Indonesia, 2010).
11
Achmad Muhajir, “HADHANAH DALAM ISLAM (Hak Pengasuhan Anak Dalam Sektor
Pendidikan Rumah),” SAP (Susunan Artikel Pendidikan) 2, no. 2 (2017): 165–173.
12
Ibid.
Menurut Sayyid Sabiq, Hadhanah adalah sikap pemeliharaan terhadap anak kecil,
baik laki-laki maupun perempuan, yang kurang akal, tidak dapat membedakan antara baik
dan buruk, belum mampu mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk
kebaikan, dan menjaganya dari hal-hal yang menyakiti dan membahayakannya. Menurut
Sayyid Sabiq, Hadhanah adalah sikap mendidik dan mengasuhnya, baik secara fisik, mental,
maupun mental, agar mereka dapat menjalani kehidupan yang sempurna. 13 Hadhanah
berkaitan dengan menjaga anak yang belum mumayyiz, dan definisinya kurang lebih sama.
Di negara-negara muslim, orang tua harus menjaga anak-anak mereka di rumah. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), pasal 103–107, mengatur hak dan
kewajiban suami istri, seperti yang diterapkan di Indonesia. Pasal ini menetapkan bahwa
antara suami dan istri harus saling setia, tolong-menolong, dan bantu-membantu. 14 Mereka
bertanggung jawab satu sama lain untuk memelihara, menjaga, dan mendidik anak-anak
mereka. Suami bertanggung jawab untuk memimpin rumah tangga, atau perkawinan,
sehingga istri harus patuh dan mengikutinya.15 Suami harus tinggal bersama istrinya, dan
sebaliknya harus menerima dan memperlakukan istrinya dengan baik. Suami harus
memberikan perlindungan, rasa aman, dan memenuhi kebutuhan istrinya sesuai dengan posisi
dan kemampuan mereka.16
Diskriminasi terhadap hak-hak waris perempuan dilarang oleh unsur-unsur syariah
dan ketentuan konstitusi dalam undang-undang dan aturan hukum keluarga saat ini. Anak-
anak yang diasuh oleh pasangan memiliki kesempatan yang sama. Dalam Kompilasi Hukum
Islam, suami menanggung: Nafkah, kiswah, dan tempat tinggal isteri; biaya rumah tangga,
perawatan, dan pengobatan isteri dan anak; dan biaya pendidikan anak. sementara istri
bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik
mungkin.17 Termasuk kebutuhan untuk menjaga anak, jadi suami dan istri melakukan peran
yang berbeda untuk menjaga anak.
Tidak sama dengan menjaga anak setelah perceraian. Secara umum, suami atau istri
memiliki hak asuh anak (haḍānah).18 Namun, bagi pihak yang tidak memenangkan putusan
perkara mengenai hak pengasuhan anak, akan sangat sulit untuk mencapainya jika
keinginannya tidak sesuai dengan keadaan saat ini. Haḍānah hanya berlaku untuk perceraian
suami-istri. Berikut ini akan dibahas hak asuh anak di negara-negara yang beragama Islam.
2. Pengasuhan anak di Negara Muslim
a) Indonesia
13
Hifni Mohammad and Asnawi, “Problematika Hak Asuh Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif,” Res Justitia : Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 1 (2021): 39–57.
14
Sifa Mulya Nurani, “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi
Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam),” Al-
Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 3, no. 1 (2021): 98–116.
15
Fahmi Basyar, “Relasi Suami Istri Dalam Keluarga Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974,” Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4, no. 2 (2020): 138–150.
16
Mohammad Hifni and (Mahasiswa Pascasarjana IAIN SMH Banten), “Hak Asuh Anak Pasca
Perceraian Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam,” Bil Dalil 1, no. 1 (2016): 49–80,
17
Hamzani Irwan Ahmad, “PEMBAGIAN PERAN SUAMI ISTERI DALAM KELUARGA ISLAM
INDONESIA (Analisis Gender Terhadap Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam),”
Sosekhum 43, no. 10 (2010): 1–15.
18
I A Maliki, N NURHIDAYATI, and ..., “Pengasuhan Dan Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang
Negara Muslim (Meninjau Resiprokalitas Keluarga Dan Negara),” Syakhshiyyah Jurnal … 3 (2023): 14–36.
Ada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang
pengasuhan anak, yakni: 1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; 2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; dan 3) Kompilasi
Hukum Islam (KHI).19 Namun dari ketiga peraturan tersebut, KHI menjadi produk peraturan
yang merepresentasikan hukum Islam tentang pengasuhan anak di Indonesia.
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pada pasal 105, dalam hal terjadi perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.20
Kemudian pada pasal berikutnya dari Kompilasi Hukum Islam yaitu dalam pasal 156,
huruf a, b dan c mengenai akibat putusnya perkawinan karena perceraian:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan haḍānah dari ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2) Ayah.
3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4) Saudara perempuan dari pihak anak yang bersangkutan.
5) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan haḍānah dari ayah
atau ibunya.
c. Apabila pemegang haḍānah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, meskipun biaya nafkah dan haḍānah telah dicukupi, maka atas
permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak
haḍānah kepada kerabat lain yang mempunyai hak haḍānah pula.”21
Dalam kasus di mana ibu tidak dapat memelihara atau meninggal dunia, kerabat
perempuan memiliki hak pemeliharaan yang lebih tinggi daripada kerabat laki-laki. bahwa
dari perspektif kewanitaan yang penyabar, ulet, dan penyayang, wanita lebih baik dalam
melaksanakan haḍānah daripada laki-laki.22
Menurut pasal-pasal KHI tentang haḍānah, kewajiban perawatan material dan non-
material adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, KHI membagi tanggung
jawab kedua orang tua meskipun mereka berbeda. Anak-anak yang belum dewasa tetap
diasuh oleh ibunya, sedangkan ayahnya bertanggung jawab untuk membiayainya. 23 Selain itu,
KHI menetapkan bahwa ibu memiliki hak untuk memelihara anak yang belum mumayyiz
19
Hani Sholihah, “Perbandingan Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak Dan Hukum Islam,” al-Afkar, Journal For Islamic Studies 1, no. 2 (2018): 88–112.
20
Umul Khair, “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian,” JCH (Jurnal Cendekia
Hukum) 5, no. 2 (2020): 291–306.
21
Fakultas Syariah, U I N Syarif, and Hidayatullah Jakarta, “TINGGINYA ANGKA CERAI GUGAT
( KHULU ’) DI INDONESIA ; ANALISIS KRITIS TERHADAP PENYEBAB DAN ALTERNATIF SOLUSI
MENGATASINYA *,” Al-’dalah 11 (2014): 191–204.
22
Maliki, NURHIDAYATI, and ..., “Pengasuhan Dan Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang
Negara Muslim (Meninjau Resiprokalitas Keluarga Dan Negara),” 14–36.
atau belum berumur 12 tahun. Jika anak tersebut sudah berumur 12 tahun, anak tersebut dapat
memilih antara ayah atau ibunya untuk memeliharanya.24
Indonesia memiliki sistem pengasuhan bersama, juga dikenal sebagai hak pengasuhan
bersama. Sistem ini, yang pertama kali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1940-1950-an,
melarang anak-anak menghabiskan waktu bersama orang tua mereka sendiri. Di Indonesia,
istilah ini tidak diketahui dan sistem ini masih terdengar asing karena negara tersebut
menggunakan sistem hak asuh tunggal.25 Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa
hakim telah memilih hak asuh bersama sebagai solusi untuk hak asuh anak. Peraturan
peraturan-undangan Indonesia tidak mengatur sistem hak asuh bersama secara resmi seperti
di beberapa negara lainnya. Jadi, tahun pertama kali muncul di Indonesia tidak diketahui,
tetapi sistem ini jelas diambil dari negara lain.
Sistem pengasuhan berbagi berarti bahwa setelah orang tua bercerai, masing-masing
dari mereka diberi hak mengasuh atau memelihara anak secara bergantian, sehingga
keduanya bertanggung jawab atas anak.26 Dalam hal pembagian hak asuh anak, orang tua
harus selalu bekerja sama dan setuju. Karena sistem ini membuat anak menjadi tanggung
jawab keduanya, bukan hanya ibu atau ayah. Sampai anak beranjak dewasa dan menikah,
orang tua tetap memiliki tanggung jawab ini. Menurut Priyatna, hak asuh bersama juga
disebut sebagai co-parenting dan jointjusper , yang berarti bahwa orang tua bekerja sama
untuk menjaga perasaan anak mereka setelah bercerai dengan membagi waktu pengasuhan
anak masing-masing sebagai bentuk kerja sama meskipun mereka sudah tidak lagi terikat
dalam ikatan perkawinan.27
Dalam sistem pembagian hak asuh bersama, ada dua jenis pembagian hak asuh:
pembagian hak asuh fisik ( hak asuh fisik) dan pembagian hak asuh sah ( hak asuh yang
sah).28 Hak asuh fisik berkaitan dengan pembagian waktu tinggal, yang berarti orang tua
membagi waktu bersama anak mereka secara bergilir dan disesuaikan dengan kebutuhan dan
kepentingan terbaik anak. Pola Pembagian waktu tinggal yang biasa digunakan adalah lima
puluh persen, enam puluh persen, empat puluh persen, dan tujuh puluh persen. Hak asuh
hukum sehubungan dengan pembagian tanggung jawab, yang berarti orang tua mencapai
kesepakatan bersama tentang hal-hal yang akan terjadi di masa depan.
Salah satu karakteristik sistem hak asuh bersama adalah hak asuh fisik dan hukum
yang dimiliki anak setelah bercerai. Hal ini berbeda dengan hak asuh tunggal, di mana
23
Achir Nuvazria Henga Ilham, “PROBLEMATIKA TANGGUNG JAWAB AYAH TERHADAP
PEMENUHAN NAFKAH ANAK YANG DITELANTARKAN DI KOTA GORONTALO,” Gorontalo Law
Riview 4, no. 2 (2021): 187–200.
24
Maulana, “Telaah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Tentang Hadhanah,” 1–9.
25
Meliani Meliani and Indra Budi Jaya, “Pelaksanaan Hak Asuh Bersama Terhadap Anak Di Bawah
Umur : Analisis Norma Hukum,” Fastabiq: Jurnal Studi Islam 3, no. 1 (2022): 56–68.
26
Nikmatul Kamila, “Pemberian Kewenangan Hak Asuh Anak Kepada Ayah Prespektif Hukum Positif
Dan Hukum Islam,” Panitera: Jurnal Hukum dan Hukum Islam 1, no. 1 (2023): 74–107.
27
Hafiz Abdul Hertasmaldi, “Penolakan Pembagian Harta Bersama Alasan Nafkah Anak Menurut
Kompilasi Hukum Islam,” Jurnal Hukum Keluarga 6, no. 1 (2021): 55–67.
28
Hasan Ahmad Noor Fitrian, Al-Amruzi Fahmi M, “PROBLEMATIKA HAK ASUH ANAK PASCA
PUTUSAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS NOMOR 342/PDT.G/2020/PA.MTP
Jo PUTUSAN BANDING NOMOR 32/PDT.G/2020/PTA.BJM Jo PUTUSAN KASASI NOMOR 392
K/AG/2021),” al qalam 17, no. 6 (2023): 4085–4104.
konsep-konsep di atas hanya dimiliki oleh salah satu orang tua anak. Namun, dalam
penerapan hak asuh bersama, konsep pembagian tanggung jawab hukum (pembagian
tanggung jawab) menjadi lebih penting karena berkaitan dengan masa depan anak. Waktu
tinggal hanya diberikan kepada satu orang, dengan kesepakatan bahwa orang tua tidak tinggal
bersama anak tetap bertemu secara langsung.
Di Indonesia, sistem hak asuh bersama didasarkan pada pembagian konsep hak asuh
fisik (hak asuh fisik ) dan hak asuh hukum ( hak asuh fisik). Kedua konsep tersebut
merupakan tanggung jawab bersama untuk memastikan pertumbuhan anak yang optimal dan
ditetapkan dengan kesepakatan bersama. Pola Pembagian waktu tinggal atau hak asuh fisik
juga ditetapkan oleh hakim di pengadilan. Salah satu contohnya adalah putusan Bdg nomor
5162/ Pdt.G/2020/PA, yang menetapkan hak asuh bersama dengan pola pembagian waktu
tinggal satu bulan pergantian (50 persen hingga 50 persen). Selain itu, keputusan JK nomor
10/ Pdt.G/2016/PTA membagi waktu tinggal, yaitu hari senin hingga jum'at untuk anak yang
diasuh ibu dan hari sabtu dan minggu untuk anak yang diasuh ayah (70% hingga 30%).
Sistem ini muncul dengan beberapa alasan. Salah satunya adalah karena ayah tidak
sering memperjuangkan hak asuh anak. Sistem ini membuat ayah dapat memiliki hak
mengasuh anak sambil bergilir waktu dengan ibu. Orang tua dapat dengan bebas
menghabiskan waktu bersama anak mereka jika mereka memiliki hak asuh, karena tanpa hak
asuh, hak dan kekuasaan orang tua akan terbatas. 15 Tujuan utama penerapan hak asuh
bersama adalah untuk memastikan bahwa anak baik-baik saja dan bahwa orang tua bekerja
sama satu sama lain setelah mereka bercerai.29
b) Malasyia
Hak hadanah dan perwalian diberikan dalam undang-undang keluarga Islam
Malaysia.30 Baik saat ibu masih dalam perkawinan maupun setelah perceraian, ibu paling
berhak atas hadanah, seperti yang dinyatakan dalam Seksyen 81 (1) Akta 303.31
Tetapi hak ini hanya dapat digunakan oleh pengasuh yang memenuhi syarat-syarat:
mereka harus beragama Islam, berakal sehat, layak umur, berakhlak baik, dan tinggal di
tempat yang selamat secara moral dan fisik untuk anak yang dilindungi.32
Perlantikan seseorang sebagai penjaga dan pemegang amanah anak melalui wasiat
bapak atau penjaga hakiki tidak berarti bahwa orang tersebut berhak atas hak hadanah dan
tidak memiliki hak keutamaan ibu. Hak ibu tetap diutamakan di antara penjaga yang dilantik
melalui wasiat dan ibu. Hal ini terbukti oleh keputusan hakim dalam kasus di Kedah, Rosnah
v. Mohamed Nor. Dalam kasus ini, ayah saudara seorang anak perempuan telah mengambil
anak tersebut dari ibunya setelah bapaknya meninggal. Dia mendakwa bahwa bapaknya telah
melantiknya sebagai penjaga dan pemegang amanah. Ibu meminta hak jagaan.

29
Meliani and Jaya, “Pelaksanaan Hak Asuh Bersama Terhadap Anak Di Bawah Umur : Analisis
Norma Hukum,” 56–68.
30
Zanariah Noor, “ISU-ISU BERBANGKIT DARI HAK HADANAH The Issues Arising from The
Custody and Guardianship Rights of Children,” Shariah Journal 20, no. 1 (2012): 123–144.
31
Ibid.
32
Ibid.
Mahkamah memutuskan bahwa ibu berhak atas hadanah anak. Penghakiman
berdasarkan kitab fiqh, yang menyatakan bahwa jika ada pertikaian antara pria dan wanita,
keutamaan akan diberikan kepada ibu, kemudian nenek sebelah ibu, dan seterusnya. Ayah
saudara mengajukan rayuan ke Mahkamah Rayuan, tetapi ditolak.33

Di Malaysia, khususnya di Negeri Kedah, ada Undang-Undang yang mengatur


hadlānah setelah perceraian, seperti di Indonesia. Enakmen Nomor 7 Tahun 2008 Tentang
Keluarga Islam Bahagian VII—Penjagaan mengatur peraturan ini. Beberapa Seksyen
membahas hal-hal seperti penjagaan anak, seperti:
1. Sekyen 82. Orang yang berhak menjaga kanak-kanak yang berbunyi:
(1) Tertakluk kepada seksyen 83, ibu adalah yang paling berhak dari segala orang bagi
menjaga anak kecilnya dalam masa ibu itu masih dalam perkahwinan dan juga selepas
perkahwinannya dibubarkan.
(2) Jika Mahkamah berpendapat bahawa ibu adalah hilang kelayakan di bawah
Hukum Syarak dari mempunyai hak terhadap hadlānah atau penjagaan anaknya, maka
hak itu, tertakluk kepada subseksyen
(3) Hendaklah berpindah kepada salah seorang yang berikut mengikut susunan
keutamaan yang berikut, yaitu:
(a) nenek sebelah ibu hingga ke atas
(b) bapa
(c) nenek sebelah bapa hingga ke atas
(d) kakak atau adik perempuan seibu sebapa
(e) kakak atau adik perempuan seibu
(f) kakak atau adik perempuan sebapa
(g) anak perempuan dari kakak atau adik perempuan seibu sebapa
(h) anak perempuan dari kakak atau adik perempuan seibu
(i) anak perempuan dari kakak atau adik perempuan sebapa
(j) emak saudara sebelah ibu
(k) emak saudara sebelah bapa
(l) waris lelaki yang boleh menjadi warisnya sebagai ‘asabah atau residuari: dengan
syarat penjagaan orang demikian tidak menjelaskan kebajikan kanak-kanak itu.34

33
Nur Zulfah Abdul, “Kebajikan Anak Dalam Kes Hadhanah Di Child Welfare in Hadhanah Cases in
Syariah,” Sultan Alauddin Sulaiman Shah 6, no. 2 (2019): 71–82.
34
Ruzita Ramli, Dina Imam Supaat, and Hasnizam Hashim, “Kebiasaan Baharu (New Normal) Dalam
Pelaksanaan Sulh Kes Hadhanah Dan Nafkah Anak: Isu Dan Cabaran,” INSLA e-proceedings 3, no. 1 (2020):
414–437.
(Terjemahan)
(1) Bergantung pada pasal 83, ibu adalah orang yang paling pantas dari yang lain, untuk
adopsi anaknya saat dia masih didalam ikatan pernikahan, atau setelah perceraian.
(2) jika pengadilan menetapkan bahwa ibu sudah tidak pantas menurut hukum syarak untuk
mengasuh dan menjaga anaknya, maka bergantung kepada subpasal.
(3) hak adopsi anak itu harus ditukar kepada salah seorang dengan urutan berikut.
(a) nenek sebelah ibu ke atas
(b) ayah
(c) nenek sebelah ayah ke atas
(d) saudara perempuan kandung
(e) saudara perempuan seibu
(f) saudara perempuan seayah
(g) anak perempuan dari saudara perempuan kandung
(h) anak perempuan dari saudara perempuan seibu
(I) saudara perempuan dari saudara perempuan seayah.
(j) tante sebelah ibu
(k) tante sebelah ayah
(l) waris laki2 yang bisa menjadi warisnya sebagai Asabah dan sementara.
Selama orang-orang tersebut tidak berdampak buruk pada anak itu. Berdasarkan
seksyen di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa ibu memiliki hak yang paling besar
untuk mengasuh anaknya, baik selama perkawinan maupun setelah perceraian.35
Seperti yang ditunjukkan oleh pasal tersebut, hak hadhinah dengan sendirinya akan
berakhir ketika seorang anak mencapai usia tertentu. Anak memiliki hak untuk memilih untuk
tinggal bersama ibu atau ayahnya setelah menjadi mumayyiz. Ketentuan yang disebutkan di
atas cukup membingungkan. Anak itu akan tetap bersama orang-orang yang bersamanya
selama ini jika tidak ada gangguan tentang Hadlanah.36

35
Arifin Abdullah, Siti Nursyafiqah, and Binti Ismail, “Faktor-Faktor Gugurnya Hak Hadhanah Kepada
Ibu,” El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga 1, no. 1 (2018): 75–91.
36
Fitri Nur Narima and A Pendahuluan, “ANALISIS PERAN IBU SINGLE PARENT PASCA
PERCERAIAN YANG” 1, no. 1 (2024): 1–17.
c) Maroko
Modernisasi adalah istilah yang mengacu pada fakta bahwa perubahan mendasar
dalam masyarakat terjadi secara bertahap dan berkelanjutan. Untuk menanamkannya,
masyarakat harus siap dan memiliki kemampuan untuk melakukannya.37
Seiring berjalannya waktu, banyak orang berpendapat bahwa pembaruan Hukum
Keluarga Maroko berhasil karena mendapat dukungan dari pemerintah (atas) dan masyarakat
secara keseluruhan. Termasuk kelompok perempuan yang disebut akhwat al-safa, yang
memperjuangkan hak-hak perempuan dan menentang poligami.38
Dua tahun setelah rakyat Maroko memperoleh kemerdekaan nya, ahwal syakhsyiah
berubah. tepat setelah Dekrit Raja dilahirkan pada tanggal 22 November 1957, yang dimulai
pada tanggal 1 Januari 1958.39
Dalam hal hak asuh anak di Maroko, anak pertama kali diberikan kepada ibunya,
kemudian ayahnya, kemudian neneknya, atau siapa pun yang mengadakan kontrak sebagai
kerabat yang paling memenuhi syarat. Menurut fiqih empat mazhab, ketentuan seperti itu
benar karena kasih sayang ibu adalah yang tak tergantikan. Selain itu, karena ibu menjadi
dirinya sendiri, ibu lebih memahami kebutuhan anak-anaknya dibandingkan orang lain.
Dalam pasal 85, 88, termasuk pasal 168 dan 190 dari bagian II hadhanah, dijelaskan hak-hak
kak anak yang harus dipenuhi dengan menafkahinya, serta biaya tempat tinggal dan
pengasuhan. Dalam hal ini, mempertimbangkan keadaan kehidupan dan pendidikan anak
sebelum perceraian, termasuk, jika ada, biaya penitipan anak pasca perceraian. Anak-anak
yang masih dalam pengawasan tidak boleh tinggal di luar rumah orang tuanya kecuali ayah
mereka telah memberikan tempat tinggal yang cukup bagi anak tersebut.40
Selain itu, undang-undang Maroko ini meningkatkan hak perempuan atas harta benda
dan tunjangan jika perceraian terjadi. 41 Dalam dustur qadim, setelah bercerai, istri berhak atas
semua harta, kecuali kendaraan dan harta tidak bergerak yang atas nama suami, termasuk
rumah; dalam dustur jadid, istri berhak atas semua harta, kecuali rumah. Untuk menghormati
satu sama lain, undang-undang ini dapat mengubah hubungan suami istri menjadi lebih adil.
Namun, sampai saat ini, badan peradilan belum berhasil melakukannya. Selain itu, para
hakim terus menghadapi masalah dalam hal perceraian karena mereka menafsirkan undang-
undang tidak selalu untuk kepentingan kaum perempuan. Meskipun banyak hal telah
berubah, masalah tetap ada.
Pasal 163 Kode Keluarga Maroko (Moudwana) menetapkan ketentuan tentang
hadhanah: Pemegang hak asuh harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk
menjamin keamanan fisik dan psikologis anak tersebut selama pengasuhannya, mengelola

37
Daud; Fathonah K dan Nurrohman Syarif, “Right To Divorce for Women in Islamic Family Law of
Morocco,” Al-Aḥwāl Vol. 14, (2021): 170–171.
38
Ibid.
39
Ibid.
40
Mochammad Agus Rachmatulloh, “Studi Hukum Keluarga Islam Di Tunisia,” Al-Syakhsiyyah:
Journal of Law & Family Studies 2, no. 2 (2021): 307–326.
41
Daud; Fathonah K dan Nurrohman Syarif, “Right To Divorce for Women in Islamic Family Law of
Morocco,” Al-Aḥwāl Vol. 14, N (2021): 170–171.
kepentingannya dengan tidak adanya pembimbing hukum, dan, bila diperlukan, mengambil
tindakan tambahan untuk melindunginya dari bahaya. 42 Pasal 169 menyatakan bahwa ayah
atau wali hakim dan ibu pengasuh wajib menjaga kepentingan anak, termasuk pendidikan dan
perawatannya, sebagai tanggung jawab mereka.43 Bagaimanapun, kecuali hakim memutuskan
sebaliknya, pengasuh selalu menghabiskan malam di rumah pengasuh. Jika anak diasuh oleh
orang lain selain ibunya, pengasuh itu harus berkumpul dan menanyakan pekerjaan rumah
anak setiap hari. Dalam perkara di mana wali hukum dan pengasuh anak berselisih, perkara
diserahkan ke pengadilan untuk diselesaikan sesuai dengan kepentingan anak.
Anak harus memiliki hak asuh sampai mayoritas hukumnya (pasal 164). Jika anak
telah mencapai usia lima belas tahun, ia memiliki kebebasan untuk memilih wali sendiri
(pasal 166). Menurut seni, anak-anak yang tidak memiliki orang tua juga diberi kebebasan
untuk mengambil keputusan sendiri. Moudawana dapat memilih wali dari sanak saudaranya
jaminan wali sah anak itu memberikan izin. Jika tidak, masalah tersebut harus diselesaikan
oleh pengadilan dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak (pasal 166).
Moudawana menyatakan bahwa menurut undang-undang, kecuali ayah digugurkan atas
perintah pengadilan, ayah adalah tutor anakanaknya. Moudawana menangani perwakilan
hukum anak. Moudawana mencantumkan semua wali yang dapat dihubungi, serta urutan
pemanggilan mereka. Pertama dan terpenting, pasal-pasal di atas menjelaskan bahwa bapak
adalah wali hukum kodrati anak, atau ibu jika ayah tidak hadir. Selanjutnya, wali wasiat
dipilih oleh bapak, atau ibu, jika tidak. Negara kemudian bertanggung jawab. Hakim dapat
bertindak sebagai perwakilan hukum atau pengadilan dapat menunjuk seorang pengajar
hukum.44
3. Perbedaan hak asuh anak di negara muslim
Perbedaan antara hukum hadlanah Indonesia dan Malaysia: Peraturan hadlanah di
Malaysia dan Indonesia telah disetujui secara hukum. Dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (hukum perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI),
Indonesia mengatur Hadlanah.45 Kompilasi Hukum Islam hanya digunakan sebagai bahan
perbandingan dalam penelitian ini. Di sisi lain, regulasi Hadlanah di Malaysia (Negara
Malaka) diatur oleh Undang-Undang Keluarga Islam Tahun 2002, namun ada perbedaan di
antara keduanya. Penulis akan membahas secara mendalam peraturan Hadlanah Indonesia
dan Malaysia dari perspektif sejarah, filosofi, dan pengaruh madzhab. Beberapa bagian akan
membahas persamaan dan perbedaan. Bagian-bagiannya termasuk memberikan nafkah anak,
masa hadlanah, persyaratan hadlanah, kehilangan hak hadlanah, dan orang yang melakukan
hadlanah. Selain itu, Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah memiliki otoritas mutlak
atas perkara hadlanah.46

42
Romadhon Fajri Putra Pratama Adji, “View of PATERNITY DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM PADA NEGARA-NEGARA MUSLIM DI DUNIA,” SAMAWA, 1–11.
43
Ibid.
44
Ibid.
45
Sunismi et al, “International Journal of Social Science Research and Review,” International Journal
of Social Science Research and Review 5, no. 1 (2022): 122–136.
46
Assidiqi M Jimli, “HAK ASUH ANAK,” Jurnal Private Law 1, no. 2 (2021): 104–111.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 42–45,
orang tua diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang beluum sampai
mereka berusia 18 tahun dengan cara yang baik sampai mereka dapat kawin atau berdiri
sendiri. Jika perkawinan orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian salah satu
dari mereka, kewajiban ini berlaku terus menerus. Orang tua mempunyai tanggung jawab
untuk memelihara anak mereka, yang mencakup pengawasan (menjaga keselamatan jasmani
dan rohani), pelayanan (anggota dan menanamkan kasih sayang), dan pembelajaran untuk
memenuhi kebutuhan primer dan sekunder anak-anak mereka sesuai dengan tingkat keuangan
orang tua mereka. Menurut Seksyen 82 Enakmen Nomor 7 Tahun 2008 tentang Perkawinan
Islam di Negeri Kedah Malaysia, hadlānah adalah menjaga dan mendidik anak yang belum
mencapai usia 7 tahun atau belum dianggap mumayyiz. Di sini, menjaga berarti menjaga
keselamatan fisik dan rohani, sedangkan mendidik berarti memberikan pendidikan, baik
agama, maupun akhlak.
Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 42–45, orang tua
diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya yang beluum sampai mereka
berusia 18 tahun dengan cara yang baik sampai mereka dapat kawin atau berdiri sendiri.
Kewajiban ini berlaku bahkan jika perkawinan orang tua si anak putus karena perceraian atau
kematian salah satu dari mereka. Tanggung jawab orang tua, sesuai dengan kemampuan
keuangan mereka, untuk memelihara anak mereka Tanggung jawab mencakup pengawasan
(menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (membantu dan menumbuhkan kasih
sayang), dan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder anak-anak
mereka.47 Menurut Seksyen 82 Enakmen Nomor 7 Tahun 2008 tentang Perkawinan Islam di
Negeri Kedah Malaysia, hadlānah adalah menjaga dan mendidik anak yang belum mencapai
usia 7 tahun atau belum dianggap mumayyiz. 48 Di sini, menjaga berarti menjaga keselamatan
fisik dan rohani, sedangkan mendidik berarti memberikan pendidikan, baik agama, maupun
akhlak.

Sebagai akibat perceraian antara Indonesia dan Maroko, ada beberapa faktor yang
menyebabkan hadhanah . Yang pertama adalah bahwa kedua negara menganut mazhab yang
berbeda: Indonesia menganut mazhab Syafi'i dan Maroko menganut mazhab Maliki. Dalam
pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, ayat a dan b menunjukkan bahwa hadhanah diberikan
kepada ibunya jika dia belum berusia dua belas tahun. Anak diberi kebebasan untuk memilih
ibu dan ayahnya setelah dia berusia dua belas tahun. Mazhab Syafi'I berpendapat bahwa
hadhanah lebih penting daripada ibu, seperti yang ditunjukkan dalam penjelasan pasal ini.
Pada pasal 173 Moudawana dijelaskan bahwa pengasuh harus dewasa, berbudi luhur, dan
mampu menjaga kesehatan moral dan pendidikan anak.
Indonesia juga menganut sistem hukum sipil Indonesia, yang diwariskan dari
pemerintah Belanda, memiliki peraturan tertulis yang digunakan oleh hakim dan lembaga
negara untuk menetapkan hak dan kewajiban warga negara. Kita tahu bahwa di Maroko
47
Titania Brintney Angela Mandey, Karel Yossi Umboh, and Deine R. Ringkuangan, “Hak Pengasuhan
Anak Akibat Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Lex Privatum Vol.IX, no. 9 (2021): 63–72.
48
ASSIDIQI M. JIMLI, “HAK ASUH ANAK(Studi Komparatif Antara Hukum Indonesia Dan
Malaysia)” (2023).
sebelum tahun 1957, hukum perkawinan dan keluarga didasarkan pada hukum Islam atau
fiqih.

D. Kesimpulan
Hadhanah (hak asuh) berarti mengasuh, membesarkan, atau membesarkan anak dalam
yurisprudensi Islam. Hak asuh anak biasanya tidak muncul selama hubungan pernikahan
karena pasangan suami istri biasanya berbagi. Tantangan dan masalah adalah bagian yang tak
terhindarkan dari kehidupan, tidak peduli seberapa religius Anda, dan masalah-masalah lain
pada akhirnya dapat menyebabkan putusnya hubungan pernikahan melalui perceraian.
Biasanya, perebutan hak asuh anak biasanya muncul setelah perceraian. Meskipun perceraian
diperbolehkan dalam hukum Islam, namun hal ini sangat tidak dianjurkan karena dianggap
tidak menyenangkan di mata Allah. Sayangnya, jika pernikahan berakhir dengan perceraian,
pertanyaan tentang siapa yang akan tinggal bersama anak dapat muncul. Menurut hukum
Islam, ibu dari anak tersebut umumnya dianggap lebih peduli, penyayang, dan lebih berbelas
kasih daripada suaminya. Sebagai akibatnya, hak asuh fisik biasanya diberikan kepada ibu
dari anak tersebut, sementara hak asuh hukum menjadi milik ayah dari anak tersebut. Hukum
Islam menetapkan beberapa persyaratan untuk mendapatkan hak asuh, yaitu: kecerdasan
(kewarasan), dapat dipercaya, tidak memiliki penyakit kronis atau menular, karakter yang
baik, ibu tidak menikah lagi, dan ibu harus tinggal di lingkungan di mana anak tidak akan
terpapar pada risiko moral atau fisik apa pun.
Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah pengangkatan anak yang diatur
dalam Nash Al-Qur’an dan hadis, namun hal ini belum dijelaskan secara rinci. Penjelasan
Nash yang terkait dengan konsep adopsi hanya disandarkan pada firman Allah SWT dalam
surah al-Ahzab ayat 4-5 dan adapula hadis Nabi yang mana secara sederhana mengatur
pengangkatan anak tidak berfungsi untuk mengubah nasab, akan tetapi hanya pada ranah
merawat, memelihara dan melindungi si anak. Melihat dari hal tersebut beberapa negara
mengalami keberanjakan hukum keluarga dalam konteks adopsi anak. Dapat disimpulkan
bahwa tidak semua negara muslim didunia memperbolehkan adanya pengasuhan ataupun
pengangkatan anak, ada negara-negara yang memberbolehkan dengan syarat dan ketentuan
yang telah diatur dalam negara baik itu peraturan yang dibuat secara tertulis ataupun tidak
tertulis yang telah menjadi budaya kebiasaan masyarakat sempat dibeberapa negara muslim
yang ada didunia.

Daftar pustaka
Abdullah, Arifin, Siti Nursyafiqah, and Binti Ismail. “Faktor-Faktor Gugurnya Hak
Hadhanah Kepada Ibu.” El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga 1, no. 1 (2018): 75–91.
Ahmad, Hamzani Irwan. “PEMBAGIAN PERAN SUAMI ISTERI DALAM KELUARGA
ISLAM INDONESIA (Analisis Gender Terhadap Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang
Kompilasi Hukum Islam).” Sosekhum 43, no. 10 (2010): 1–15.
Fahmi Basyar. “Relasi Suami Istri Dalam Keluarga Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974.” Istidlal: Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam 4, no. 2
(2020): 138–150.
Al Ghazali, Muhammad. “PERLINDUNGAN TERHADAP HAK HAK ANAK ANGKAT
DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KITAB UNDANG
UNDANG HUKUM PERDATA DAN HUKUM ISLAM.” INSTITUT AGAMA
ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU, 2015.
Al Hamat, Anung. “Representasi Keluarga Dalam Konteks Hukum Islam.” YUDISIA : Jurnal
Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 8, no. 1 (2018): 140–154.
Henga Ilham, Achir Nuvazria. “PROBLEMATIKA TANGGUNG JAWAB AYAH
TERHADAP PEMENUHAN NAFKAH ANAK YANG DITELANTARKAN DI
KOTA GORONTALO.” Gorontalo Law Riview 4, no. 2 (2021): 187–200.
Hertasmaldi, Hafiz Abdul. “Penolakan Pembagian Harta Bersama Alasan Nafkah Anak
Menurut Kompilasi Hukum Islam.” Jurnal Hukum Keluarga 6, no. 1 (2021): 55–67.
Hifni Mohammad, and Asnawi. “Problematika Hak Asuh Anak Dalam Perspektif Hukum
Islam Dan Hukum Positif.” Res Justitia : Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 1 (2021): 43.
Hifni, Mohammad, and (Mahasiswa Pascasarjana IAIN SMH Banten). “Hak Asuh Anak
Pasca Perceraian Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam.” Bil Dalil 1, no. 1 (2016):
1–32. http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/bildalil/article/view/123/125.
Islami, Irfan. “PERKAWINAN DI BAWAH TANGAN (KAWIN SIRRI) DAN AKIBAT
HUKUMNYA.” ADIL: Jurnal Hukum 8, no. 1 (2017): 70–89.
Jimli, Assidiqi M. “HAK ASUH ANAK.” Jurnal Private Law 1, no. 2 (2021): 104–111.
Kamila, Nikmatul. “Pemberian Kewenangan Hak Asuh Anak Kepada Ayah Prespektif
Hukum Positif Dan Hukum Islam.” Panitera: Jurnal Hukum dan Hukum Islam 1, no. 1
(2023): 74–107.
Khair, Umul. “Pelaksanaan Hak Asuh Anak Setelah Terjadinya Perceraian.” JCH (Jurnal
Cendekia Hukum) 5, no. 2 (2020): 291.
M. JIMLI, ASSIDIQI. “HAK ASUH ANAK(Studi Komparatif Antara Hukum Indonesia Dan
Malaysia)” (2023).
Maliki, I A, N NURHIDAYATI, and ... “Pengasuhan Dan Perlindungan Anak Dalam
Undang-Undang Negara Muslim (Meninjau Resiprokalitas Keluarga Dan Negara).”
Syakhshiyyah Jurnal … 3 (2023): 14–36.
Mandey, Titania Brintney Angela, Karel Yossi Umboh, and Deine R. Ringkuangan. “Hak
Pengasuhan Anak Akibat Terjadinya Perceraian Menurut Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.” Lex Privatum Vol.IX, no. 9 (2021): 63–72.
Maulana, Dudung. “Telaah Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Tentang Hadhanah.” Posita:
Jurnal Hukum Keluarga Islam 01, no. 01 (2023): 1–9.
Meliani, Meliani, and Indra Budi Jaya. “Pelaksanaan Hak Asuh Bersama Terhadap Anak Di
Bawah Umur : Analisis Norma Hukum.” Fastabiq: Jurnal Studi Islam 3, no. 1 (2022):
56–68.
Muhajir, Achmad. “HADHANAH DALAM ISLAM (Hak Pengasuhan Anak Dalam Sektor
Pendidikan Rumah).” SAP (Susunan Artikel Pendidikan) 2, no. 2 (2017): 165–173.
Nafiah, Rohmatun, and Ahmad Faih. “Analisis Transaksi Financial Technology (Fintech)
Syariah Dalam Perspektif Maqashid Syariah.” IQTISHADIA Jurnal Ekonomi &
Perbankan Syariah 6, no. 2 (2019): 167–175.
Narima, Fitri Nur, and A Pendahuluan. “ANALISIS PERAN IBU SINGLE PARENT
PASCA PERCERAIAN YANG” 1, no. 1 (2024): 1–17.
Noor Fitrian, Al-Amruzi Fahmi M, Hasan Ahmad. “PROBLEMATIKA HAK ASUH ANAK
PASCA PUTUSAN PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA (STUDI KASUS
NOMOR 342/PDT.G/2020/PA.MTP Jo PUTUSAN BANDING NOMOR
32/PDT.G/2020/PTA.BJM Jo PUTUSAN KASASI NOMOR 392 K/AG/2021).” al
qalam 17, no. 6 (2023): 4085–4104.
Noor, Zanariah. “ISU-ISU BERBANGKIT DARI HAK HADANAH The Issues Arising
from The Custody and Guardianship Rights of Children.” Shariah Journal 20, no. 1
(2012): 123–144.
Nur, Sanusi taufiq. “Perceraian Dalam Perundang-Undangan Negara Muslim (Studi
Perbandingan Hukum Keluarga Islam Pakistan, Mesir Dan Indonesia).” Al-Qadau :
Peradilan dan Hukum Keluarga Islam 4, no. 2 (2017): 323–344.
Nur Zulfah Abdul. “Kebajikan Anak Dalam Kes Hadhanah Di Child Welfare in Hadhanah
Cases in Syariah.” Sultan Alauddin Sulaiman Shah 6, no. 2 (2019): 71–83.
Nurani, Sifa Mulya. “Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam
(Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam
Dan Hadits Ahkam).” Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 3, no. 1 (2021):
98–116.
Purwaningsih, Prihartini. “HAK PEMELIHARAAN ATAS ANAK (HADHANAH)
AKIBAT PERCERAIAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF.” Yustisi 1, no. 2
(2014): 55–65.
Putra Pratama Adji, Romadhon Fajri. “View of PATERNITY DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM PADA NEGARA-NEGARA MUSLIM DI DUNIA.” SAMAWA.
Rachmatulloh, Mochammad Agus. “Studi Hukum Keluarga Islam Di Tunisia.” Al-
Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies 2, no. 2 (2021): 307–326.
Ramli, Ruzita, Dina Imam Supaat, and Hasnizam Hashim. “Kebiasaan Baharu (New Normal)
Dalam Pelaksanaan Sulh Kes Hadhanah Dan Nafkah Anak: Isu Dan Cabaran.” INSLA e-
proceedings 3, no. 1 (2020): 414–437.
Sholihah, Hani. “Perbandingan Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak Dan Hukum Islam.” al-Afkar, Journal For Islamic
Studies 1, no. 2 (2018): 88–112.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia, 2010.
Sugiyono. Metode Penelitin Kuantitatif Dan R&D. 4th ed. Bandung: Alfabeta, 2020.
Sunismi et al. “International Journal of Social Science Research and Review.” International
Journal of Social Science Research and Review 5, no. 1 (2022): 159–165.
Syariah, Fakultas, U I N Syarif, and Hidayatullah Jakarta. “TINGGINYA ANGKA CERAI
GUGAT ( KHULU ’) DI INDONESIA ; ANALISIS KRITIS TERHADAP
PENYEBAB DAN ALTERNATIF SOLUSI MENGATASINYA *.” Al-’dalah 11
(2014): 191–204.
Syarif, Daud; Fathonah K dan Nurrohman. “Right To Divorce for Women in Islamic Family
Law of Morocco.” Al-Aḥwāl Vol. 14, (2021): 170–171.
———. “Right To Divorce for Women in Islamic Family Law of Morocco.” Al-Aḥwāl Vol.
14, N (2021): 170–171.

Anda mungkin juga menyukai