Anda di halaman 1dari 9

CHILDFREE DALAM KAJIAN HUKUM ISLAM DAN PSIKOLOGI KELUARGA

Aditya Saputra (1120012)

085641238298

Adityasaputra@mhs.uingusdur.ac.id

Fakultas Syariah Prodi Hukum Keluarga Islam

UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan

Abstrak

Salah satu tujuan dari pernikahan yaitu memperoleh keturunan. Namun dengan
seiring berkembangnya zaman, memiliki keturunan sudah tidak lagi menjadi
tujuan dari pernikahan. Hal ini dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal.
Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan childfree (keengganan untuk
memiliki keturunan) dalam kerangka hukum Islam serta alasan – alasan
psikologis pasangan suami istri memilih untuk childfree. Penelitian ini adalah
penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif analisis. Childfree by choice
pada dasarnya diperbolehkan karenahukum dasar perkawinan juga
diperbolehkan. Childfree diperbolehkan dalam kondisi maslahah dharuriyyat.
Childfree tidak diperbolehkan dengan alasan yang bertentangan dengan
maqashid al-syari'ah.

Kata Kunci : Childfree, Hukum Islam, Psikologi

A. Pendahuluan
Salah satu tujuan utama dari pernikahan adalah memiliki keturunan
(reproduksi). Reproduksi tidak terbatas hanya pada memiliki keturuan. Kesiapan
sebelum memiliki keturunan dan setelah memiliki keturunan harus dipersiapkan
sebaik mungkin. Dalam Al–Qur’an lebih spesifiknya disebutkan dalam surah Al-
Furqon (25) ayat ke 74 yang berbunyi :

‫اجنَا َوذُ ِ ِّريَّاتِنَا قُ َّرةَ أَ ْعيُ ٍن َواجْ عَ ْلنَا ِل ْل ُمت َّ ِقينَ إِ َما ًما‬
ِ ‫َوالَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا َه ْب لَنَا ِم ْن أَ ْز َو‬
Artinya : “Dan orang-orang yang berkata, “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah
kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati
(kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al Furqon (25) : 74)
Ibnu Abbas berkata bahwa Qurratu A’yun adalah keturunan yang taat,
sehingga dengan ketaatannya, anak dapat menjadi penyejuk hati dan bisa
membahagiakan orang tua baik di dunia dan di akhirat. Makna Qurratu A’yun tidak
hanya diartikan sebagai nikmat dari seorang anak, melainkan nikmat, anugerah,
rahmat, kebahagiaan dari Allah SWT yang diberikan kepada manusia di akhirat
kelak sebagai imbalan bagi mereka yang taat dan mendekatkan diri kepada Allah
SWT selama hidup di dunia serta sukses mendidik anak-anaknya menjadi hamba-
hamba yang bertakwa kepada Allah.
Perkambangan zaman dan dinamika kehidupan yang selalu berubah tentu
berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Termasuk pada pembahasan
dan pelaksaan reproduksi. Kini, reproduksi tidak menjadi tujuan utama dari
sebuah pernikahan. Padahal, di negara maju dan berkembang, kehadiran anak
adalah hal yang baik, terlebih pada usia tua.1
Istilah childfree mungkin masih terdengar asing di masyarakat Indonesia,
akan tetapi di negara-negara besar seperti Amerika Serikat, istilah tersebut sudah
umum dikenal luas oleh masyarakat. Bicara mengenai childfree tidak lepas dari
peran suami istri.Peran suami istri dalam keputusan untuk childfree menjadi
penting adanya. Hal ini karena menyangkut hak-hak reproduksi mereka. Hak-hak
reproduksi dalam hubungan suami istri ini telah diatur didalam Islam.2 Adanya
relasi antara suami dan istri menjadi hal yang sangat penting dalam membuat
keputusan childfree tersebut. Hal ini karena Islam telah memberikan hak-hak
reproduksi yang sama serta bagaimana suami istri tersebut membina keluarga yang
bahagia sesuai dengan keadaan psikis dari pasangan tersebut ketika dihadirkannya
anak dalam pasangan suami istri. Berangkat dari fenomena tersebut, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul childfree dalam kajian hukum
islam dan psikologi keluarga. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk

1
Ahmad Fauzan, Childfree Perspektif Hukum Islam, As-Salam : Jurnal Hukum Islam & Pendidikan, (Juni 2022),
hlm. 2.
2
Uswatul Khasanah dan Muhammad Rosyid Ridho, Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan dalam
Islam, e-Journal Al-Syakhsiyyah Journal of Law and Family Studies, Vol. 3, No. 2, 2021, hlm .107.
mengkaji fenomena childfree jika ditinjau dari hukum islam dan perspektif
psikologi keluarga.
B. Literature Review
Penelitian dengan tema childfree telah banyak dilakukan, diantaranya oleh
Wanda Roxanne Ratu Pricillia dalam bukunya yang berjudul Menjadi Perempuan
Lajang Bukan Masalah, ada satu bab yang membahas mengenai childfree. Dalam
bab yang diberi judul Memiliki Keluarga Normal sebagai Perempuan Childfree
disimpulkan bahwa memiliki ataupun tidak memiliki anak dalam sebuah keluarga
memiliki konsekuensi dan hal ini merupakan sebuah pilihan hidup. Apapun
keputusan seorang perempuan dalam hal memilih memiliki ataupun tidak memiliki
anak haruslah didukung dan dihormati.3
Kedua, penelitian oleh Miwa Patnani, Bagus Takwin dan Winarni Wilman
Mansour yang melakukan studi empiris mengenai dampak ketidakadaan anak
dalam sebuah pernikahan. Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologi
ini menghasilkan sebuah temuan bahwa adanya anak dalam sebuah
pernikahan memberikan dampak positif bagi pasangan suami istri.4
Ketiga, penelitian oleh Ahmad Fauzan yang berjudul “Childfree Dalam
Perspektif Hukum Islam”. Penelitian ini berisi childfree jika ditinjau dari sudut
pandang hukum islam. Childfree berimplikasi pada keharmonisan rumah tangga,
hubungan sosial dengan keluarga dan masyarakat yang terdiri dari lingkungan
tempat tinggal, tempat kerja serta hubungan pertemanan.
C. Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepustakaan
(library research) dengan pendekatan yuridis normatif. Metode penelitian library
reseach atau studi kepustakaan yaitu serangkaian kegiataan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian. Dalam penelitian ini data-data didapatkan dari berbagai sumber seperti
buku referensi, buku-buku teks, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, dokumen, dan
sumber-sumber lainnya.5 Penelitian kepustakaan berisi teori-teori yang relevan
dengan masalah penelitian. Pengkajian mengenai konsep dan teori yang digunakan

3
Wanda Roxanne Ratu Pricillia, Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah, (Yogyakarta: Odise Publishing,
2021), hlm. 62.
4
Miwa Patnani, Bagus Takwin, dan Winarini Wilman Mansoer, “Bahagia tanpa anak? Arti penting anak bagi
involuntary childless,” Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan 9, no. 1 (15 Januari 2021), hlm 117.
5
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 3.
bedasarkan literatur yang tersedia, terutama dari artikel-artikel yang dipublikasikan
dalam berbagai jurnal ilmiah. Sumber data yang peneliti gunakan adalah beberapa
artikel yang membahas mengenai childfree. Data-data tersebut peneliti kumpulkan
dengan teknik dokumentasi serta dilakukan analisis dengan metode deskriptif dan
isi (content analysis).
Analisis data tidak saja dilakukan setelah data terkumpul, tetapi sejak
tahap pengumpulan data proses analisis telah dilakukan. Penulis menggunakan
strategi analisis “kualitatif”, strategi ini dimaksudkan bahwa analisis bertolak dari
data-data dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan umum.6 Berdasarkan pada
strategi analisis data ini, dalam rangka membentuk kesimpulan-kesimpulan umum
analisis dapat dilakukan menggunakan kerangka pikir “induktif”.
D. Hasil
Childfree dapat diartikan sebagai keputusan yang diambil pasangan suami-
istri untuk tidak memiliki anak berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Menurut Cambridge Dictionary,childfreebiasa digunakan kepada orang yang
memilih untuk tidak memiliki anak, baik tempat dan situasinya. Selain isu ini
terbilang baru, childfreejuga bisa dianggap langsung memberangus konsepsi
tentang keluarga yang ada di Indonesia karena konsep keluarga yang memiliki
unsuruntuk terpenuhinya syarat sebagai keluarga terdiri atas ayah, ibu, dan anak.
Anak yang selama ini menjadi tujuan dan angan-angan dalam melaksanakan
bahtera rumah tangga seketika dihancurkan oleh fenomena childfree.
Childfreedengan seluruh gagasan yang diamini penganutnya dianggap bisa
membawa banyak kebermanfaatan. Manfaat itu dapat dinilai oleh pengikut
childfreesecara ekonomi, psikologi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, dan
ekologi.7
Pemikiran tentang keharusanmemiliki anak dalam sebuahkeluarga ini
sebenarnya dapat dilacak dari pemahaman teologis umat muslim Indonesia yang
mazhab fiqh-nya adalah Syafii. Menurut Abdul Moqsith Ghazali, Wakil Ketua
Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, menyatakan bahwa

6
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, (Jakarta : Rineka Cipta, 2010), h.
202.
7
Karunia Haganta, Firas Arrasy dan Siamrotul Ayu Masruroh, “Manusia, Terlalu (Banyak) Manusia : Kontroversi
Childfree di Tengah Alasan Agama, Sains, dan Alasan Ekologi”, Prosiding Konferensi Integrasi Interkoreksi
Islam dan Sains, Vol. 4, 2022, hlm. 313.
"jadi kalau tujuan utama di dalam pernikahan menurut
mazhab Maliki untuk memperoleh kebahagiaan, maka tujuan
utama pernikahan di dalam mazhab Syafii itu untuk memperoleh
keturunan,"

Pemikiran bercorak Syafii ini juga yang melandasi pemikiran Buya Yahya.
Pernyataan Buya Yahya yangmenyebut bahwa memiliki keturunan merupakan
fitrah ini dikritisi oleh Ghazali dengan menyebutkan di dalam kaidah ushul fiqih
dikatakan hal-hal yang bersifat naluriah (fitrah) itu tidak butuh diwajibkan oleh
syariah.8 Menurut hukum Islam, dari segi niat memperoleh keturunan, maka
pernikahan itu menjadi nilai ibadah.

Adapun tujuan childfree jika dilihat dari berbagai macam alasan dapat
disimpulkan menjadi tiga (3) yakni sebagai berikut :

• Mengurangi tanggung jawab baik sebagai pasangan suami isteri


secara moril maupun materil.
• Mengurangi resiko penyakit atau kelainan yang dimiliki.
• Mengurangi dan membatasi jumlah kelahiran populasi manusia.

Adapun faktor terjadinya perubahan suatu sikap dan cara pandang


seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yakni: faktor
pendidikan, lingkungan, budaya, ekonomi dan lainnya. Mengingat bahwa
childfree merupakan sebuah pemikiran yang berasal dari Negara Barat
serta para penganutnya pun banyak diantaranya dipengaruhi oleh
pemikiran barat. 9

E. Pembahasan
Pembahasan mengenai childfree mulai terasa akhir-akhir ini Indonesia. Hal
ini disebabkan keterbukaan informasi yang begitu mudah diakses. Hal ini semakin
terasa sejak viralnya youtuber Gita Savitri Devi yang mendeklarasikan diri sebagai
childfree. Dari video tersebut, kemudian bermunculan akun-akun youtube lainnya

8
Ibid., hlm.314.
9
Yuni Safira, “Tinjauan Hukum Keluarga Islam Tentang Fenomena Childfree dan Pengaruhnya Terhadap
Ketahanan Keluarga”, Skripsi : Fakultas Syariah S 1 Hukum Keluarga Islam UIN Matarram, 2022, hlm. 57.
yang membahas tentang childfree di Indonesia. Hal ini tentu menjadi bukti
eksistensi childfree di Indonesia.10
Rudolf Santana menyebutkan seorang wanita menolak kehamilan
karena beberapa hal, antara lain: tingginya biaya hidup, tidak ingin
menjadi single mother, khawatir kehidupan seks berkurang, proses
melahirkan yang dianggap menyakitkan, khawatir tubuhnya tak lagi
bagus, tidak ingin dan tidak mampu mengurus anak, fokus mengejar karir.
Maria Bicharova dan Irena Lebedeva menyebut beberapa alasan untuk
menjadi childfree, antara lain faktor psikologis dan ekonomi menjadi
alasan yang lumrah untuk menjadi childfree.11
Faktor lain yang membuat seseorang secara sukarela menjadi
childfree adalah keyakinan tentang kebebasan yang ia miliki menentukan
pilihan hidupnya sendiri.7 Selain perkara mempertahankan kebebasan sifat
kemandirian yang tinggi dan kurang ramah terhadap kehidupan
sekitar juga menjadi faktor yang mendorong childfree terjadi.8
Kekhawatiran tidak mampu merawat dan mengasuh anak juga menjadi
faktor pemicu lahirnya pilihan.
Pernikahan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia,
sejahtera dan harmonis. Untuk itu, setiap anggota keluarga, terutama suami
dan istri sebagai anggota inti, harus memikirkan dan merencanakan kehidupan
keluarganya dengan baik, termasuk keberadaan anak.12 Salah satunya terkait
dengan kedudukan childfree dalam hukum Islam. Pada masa awal Islam tidak
ditemukan istilah ini sehingga pada saat itu belum ada ketentuan hukum Islam.
Orang-orang jahil di Jazirah Arab pada masa lalu melakukan praktik mengubur bayi
perempuan karena dianggap aib dan menyusahkan orang tua. Kemudian Islam
datang dan melarang praktek tersebut.13
Untuk menempatkan posisi childfree dalam hukum Islam, terlebih
dahulu perlu ditentukan illat hukumnya. Posisi illat yang berbeda akan
menghasilkan hukum bebas anak yang berbeda pula. Jika illat hukumnya

10
Miwa Patnani, Bagus Takwin, dan Winarini Wilman Mansoer, “The Lived Experience of
Involuntary Childless in Indonesia: Phenomenological Analysis,” Journal of Educational, Health
and Community Psychology 9, no. 2 (8 Juni 2020).
11
Ahmad Fauzan, Op. Cit. hlm. 3.
12
Musdah Mulia, Ensiklopedia Muslimah Reformis (Tangerang Selatan: PT. Bentara Aksara Cahaya, 2020), h.
115 (Tangerang Selatan: PT. Bentara Aksara Cahaya, 2020). h. 115
13
Ahmad Fauzan, Op. Cit. hlm. 6.
telah memenuhi kategori dharuriyat, maka bebas anak dapat dianggap sebagai
kebolehan. Misalnya, jika seorang ibu hamil dan dapat mengancam nyawanya,
maka ia diperbolehkan untuk childfree. Atau jika terjadi kekacauan di suatu negara
yang kekurangan sumber sandang, pangan, papan, dan keamanan, maka childfree
juga diperbolehkan karena mengandung manfaat darurat (maslahah dharuriyyat).
Sebaliknya, jika seseorang khawatir kondisi tubuhnya akan berubah setelah
hamil dan memiliki anak, kemudian ia memutuskan untuk bebas anak,maka alasan
ini tidak dapat dibenarkan. Atau, dia ingin mengejar karir yang membuatnya tidak
ingin punya anak, karena anak bisa mengganggu aktivitasnya. Kehadiran anak
hanya dianggap sebagai hal yang merepotkan.14

Seseorang yang menganut childfree beranggapan bahwa anak bukanlah satu-


satunya sumber kebahagiaan, masih banyak hal lain yang bisa mereka lakukan untuk
mendapatkan kebahagiaan. Sehingga memilih untuk tidak memiliki anak bukanlah
sesuatu hal yang salah. Terdapat beberapa kondisi psikologis yang menjadikan
seseorang memilih untuk childfree seperti adanya trauma, kecemasan, ketakutan,
hingga gangguan kesehatan mental lain yang dapat mempengaruhi kegiatan sehari-hari
dan kehidupan seseorang yang menderitanya. Ada juga alasan seseorang yang memilih
childfree dikarenakan oleh kondisi medisnya. Kondisi psikologis lebih mengarah
kepada alam bawah sadar sesorang (psikis) sedangkan kondisi medis adalah bentuk
gangguan dalam fisik seseorang yang menyebabkan seseorang tersebut menjadi
childfree.15

Kondisi psikologis yang terjadi terhadap sesorang yang memilih untuk


Childfree biasanya karena adanya rasa trauma, cemas akan masa depan sang anak dan
mereka memiliki rasa bimbang saat nanti menjadi orang tua, apakah sudah siap atau
belum karena mereka memiliki trauma masa kecil yang menjadikan takut menjadi
orang tua bahkan untuk mengurus seorang anak, Kondisi psikologis yang di derita oleh
seseorang seperti rasa trauma masa kecil karena ketakutan akan anaknya menemukan
pola asuh yang berbeda karena sebelumnya dia menjadi korban toxic dari ibunya yang
menjadikannya dia sangat takut jika anaknya nanti mendapatkan pola asuh yang terjadi
dengan dia saat masa kecil dulu.

14
Ibid., hal. 7.
15
Ajeng Wijayanti Siswanto dan Neneng Nurhasanah, Analisis Fenomena Childfree di Indonesia, Bandung
Conference Series : Islamic Family Law, hal. 67.
F. Kesimpulan
Childfree diperbolehkan sebagaimana dasar hukum nikah adalah
diperbolehkan (mubah) dan dapat berubah sesuai dengan kondisi. Childfree dengan
alasan maslahah dharuriyyat adalah dianjurkan. Sedangkan childfree dilarang jika
bertentangan dengan maqashild al-syari’ah. Childfree berimplikasi pada keharmonisan
rumah tangga.
Adapun beberapa beberapa alasan kondisi psikologis yang dapat menjadikan
pasangan suami dan istri lebih memilih untuk childfree yang antara lain seperti trauma
masa kecil, kekhawatiran akan masa depan anak, serta sebelumnya pasangan tersebut
telah menjadi korban toxic oleh orang tuanya. Maka dari itu childfree menjadi pilihan
dalam hidupnya.

REFERENSI

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Rineka Cipta.
Fauzan, A. (2022). Childfree Perspektif Hukum Islam. As-Salam : Jurnal Hukum Islam &
Pendidikan.

Haganta, K., Arrasy, F., & Masruroh, S. A. (2022). Manusia, Terlalu (Banyak) Manusia :
Kontroversi Childfree di Tengah Alasan Agama, Sains, dan Alasan Ekologi. Prosiding
Konferensi integrasi Interkoreksi Islam dan Sains Vol. 4.

Khasanah, U., & Ridho, M. R. (2021). Childfree Perspektif Hak Reproduksi Perempuan Dalam
Islam. e-Journal Al-Syakhsiyyah Journal of Law and Family Studies, Vol. 3 No. 2.

Mulia, M. (2020). Ensiklopedia Muslimah Reformis. Tangerang Selatan: PT. Bentara Aksara
Cahya.

Patnani, M., Takwin, B., & Mansoer, W. W. (2021). Bahagia Tanpa Anak? Arti Penting Anak
Bagi Involuntary Childless. Jurnal Psikologi Terapan.

Roxanne, W., & Pricillia, R. (2021). Menjadi Perempuan Lajang Bukan Masalah. Yogyakarta:
Odise Publishing.

Safira, Y. (n.d.). Tinjauan Hukum Keluarga Islam Tentang Fenomena Childfree dan
Pengaruhnya Terhadap Ketahanan keluarga. UIN Matarram, Matarram.
Siswanto, A. W., & Nurhasanah, N. (n.d.). Analisis Fenomena Childfree di Indonesia. Bandung
Conference Series : Islamic Family Law.

Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai