Anda di halaman 1dari 27

THE PARENTING STYLE OF PROSTITUTES: A REVIEW OF HADHANAH

JURISPRUDENCE AND CHILD PROTECTION LAWS IN INDONESIA

Siti Rohmah1, Nur Chanifah2


1,
Faculty of Law, Brawijaya University, Malang, Indonesia
Email: sitirohmah@ub.ac.id
2
Faculty of Law, Brawijaya University, Malang, Indonesia
Email: nurchanifah@ub.ac.id

Abstrak
Penelitian ini hadir untuk memahami dan menganalisis bagaimana konstruksi para
pelacur tentang pola asuh anak dalam persepektif fiqh hadhanah. Selain itu, penelitian ini juga
dilakukan untuk menganalisis bagaimana pemenuhan hak-hak anak oleh para pelacur dalam
perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan
yuridis empiris dan merupakan jenis penelitian deskriptif analitis. Metode pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara mendalam. Hasil
penelitian ini menunjukkan: 1) Secara kognitif, para pelacur tidak pernah mengenal istilah
fikih hadhanah dalam sistem pengetahuan mereka. Namun, pola asuh mereka terhadap buah
hatinya telah menjawab ketidaktahuan mereka tentang fikih hadhanah itu sendiri, yang secara
praksis tanpa mereka sadari telah diterapkan. Sebagai Pramuria, sekaligus sebagai orang tua
mereka tetap menunaikan kewajiban hadhanah mereka meskipun dari jarak jauh dengan
dibantu oleh hadlin (pengasuh) yang mereka percayai; sebab, dalam kaca mata fikih hadhanah
mereka tidak memiliki hak hadlin secara langsung. 2) Sebagai tuna susila, mereka tidak
pernah tahu tentang isi Undang-undang Perlindungan Anak, akan tetapi dalam praktek
pengasuhan anak-anak mereka, tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak yang dilanggar; misalnya terkait penelantaran anak, pengabaian kewajiban sebagai
orang tua serta pemenuhan hak-hak anak. Penelitian ini menyadarkan kita bahwa dalam
melihat kehidupan para pelacur tidak selayaknya dilihat secara biner. Satu sisi mereka
seringkali distigmakan sebagai agen human trafficking, kenakalan remaja, minum-minuman
keras dan obat-obatan terlarang, namun di sisi yang lain ternyata ada potensi-potensi kebaikan
yang mereka miliki. Terutama terkait dengan pola asuh anak yang melampaui tudingan
pejoratif masyarakat.

Kata kunci: Pelacur, Pengasuhan Anak, Fiqh Hadhanah, Undang-Undang


Perlindungan Anak

A. Pendahuluan
Fiqih Hadhanah secara normatif merupakan konsep dalam hukum Islam yang
memuat berbagai hal yang berkaitan dengan hak-hak pengasuhan anak yang bersumber dari
al-Qur’an dan sunnah yang sudah dibahas secara terperinci dan sistematis oleh para yuris
klasik1. Pola pengasuhan anak dalam perspektif hukum Islam, tentu tidak bisa dilepaskan dari
1
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2013), 175.
ketetapan dan aturan-aturan yang sudah digariskan oleh para fuqaha’(ahli Fikih). Pengasuhan
anak dalam konteks Indonesia juga telah diatur dalam KHI dan Undang-UndangNo. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak yang kemudian dirubah melalui Undang-Undang Nomor 35
tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak. Didalamnyamengatur tentang pemenuhan hak anak untuk mendapatkan
kasih sayang dari orang tua, hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, hak anak
untuk beribadah menurut agamanya, hak anak untuk bermain, hak anak untuk mendapatkan
kehidupan yang layak, dan lain sebagainya.2
Selama ini, konsep fiqih hadhanah kerapkali hanya diidentikkan sebagai pola
pengasuhan anak yang dilakukan oleh keluarga yang terdidik dan agamis. Padahal dalam
perspektif Islam dan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, setiap anak yang dilahirkan
ke dunia berhak mendapatkan pola pengasuhan dan kasih sayang yang layak dan baik, tanpa
memandang latang belakang sosial dan budaya di mana anak itu dilahirkan.3
Dalam konteks kehidupan keluarga yang dianggap sebagai “tuna susila” seperti
keluarga yang tinggal di lingkungan lokalisasi atau eks lokalisasi, pola hidup mereka
kerapkali dipersepsikan jauh dari konsep pola asuh yang ideal. Kognisi tentang fiqih
hadhanah seolah tidak kompatibel dengan potret kehidupan mereka yang tidak jauh dari
potret kelam sebagai pekerja seks komersial (PSK) dan eks PSK. Padahal anak yang lahir di
lingkungan lokalisasi, bahkan yang lahir dari rahim seorang PSK maupun eks PSK sekalipun
juga punya hak yang sama untuk mendapatkan pengasuhan yang baik.
Dalam konteks inilah penelitian ini berupaya menggali tentang konstruksi para pekerja
seks komersial Di Kabupaten Malang tentang fiqih hadhanah. Lokalisasi yang mulai
beroperasi sekitar tahun 1967 ini telah ditutup pada tahun 2014 bersama dengan beberapa
lokalisasi lain yang ada di kabupaten Malang. Pada masa “jayanya” lokalisasi Suko menjadi
tempat prostitusi terbesar di Kabupaten Malang.Banyak Pekerja Seks Komersial (PSK) dari
luar Malang yang mengadu nasib ke tempat ini.4Pasca ditutup, eks lokalisasi Suko

2
“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” (2014).
3
Rini Fitriani, “Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi Dan Memenuhi Hak-Hak
Anak,” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 11, no. 2 (2016): 250–358.
4
Akaibara, “Sejarah Lokalisasi Suko, Diwarnai Pasang Surut,” Ngalam.co, 12 November 2019,
https://ngalam.co/2019/11/12/sejarah-lokalisasi-suko-diwarnai-pasang-surut/.
Sumberpucung menjelma menjadi kafe dan karaoke. Meski begitu banyak pihak yang
mencurigai bahwa praktek prostitusi masih terjadi di lokasi tersebut.5
Prostitusi sebagai salah satu problem sosial dalam masyarakat tentu memberikan
pengaruh negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Salah satunya adalah adanya pengaruh
demoralisasi atau kemerosotan moral, khususnya kepada anak-anak dan remaja. 6Selain itu
anak-anak yang berada di lingkungan lokalisasi juga rentan terhadap praktik eksploitasi
seksual komersial,trafficking untuk tujuan pelacuran, dan pornografi anak.7Kondisi inilah
yang menjadi salah satu sebab yang melatari lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak
sebagai langkah preventif pemerintah terhadap tindakan ekspolitatif orang tua terhadap anak
yang kerap terjadi di lingkungan lokalisasi.
Kendati demikian, kehidupan masyarakat di lingkungan lokalisasi, eks lokalisasi atau
lokalisasi terselubung, tentu tidak sepenuhnya dipandang secara pejoratif. Ada berbagai
fenomena budaya yang mencerminkan ambiguitas dan kompleksitas permasalahan dalam
lingkungan tersebut. Seperti halnya adanya ekspresi religiusitas ditengah-tengah lingkungan
yang menjadi inang endemi sosial dan agama tersebut. Para penghuni lokalisasi ternyata
cukup lekat dengan nilai-nilai religiusitas bahkan tidak sedikit dari mereka juga masih
menerapkan keyakinan tentang keberagamaannya sebagai seorang muslim.
Anomali kondisi tersebut sebagaimana riset yang dilakukan oleh Nur Syam dalam
bukunya, ‘Agama Pelacur’. Dalam studinya, Nur Syam mengatakan bahwa pelacur yang
selama ini distigmakan jauh dari kehidupan agama pada kenyataannya mereka juga memiliki
keintiman dengan keyakinannya. Seperti ketika ada keluarga pelacur yang meninggal, mereka
melakukan ritual tahlil, bahkan di malam Jum’at yang diyakini sebagai sayyidul ayyam,
sebagian dari mereka juga meluangkan waktunya khusus untuk bermunajat kepada Allah agar
diberikan pelanggan yang banyak dan baik hati.8Potret inilah yang acapkali absen dilihat oleh
para akademisi. Pun demikian halnya dengan landscape kehidupan PSK dan hiruk pikuk
lingkungan yang mengitarinya. Ambiguitas dan kompleksitas tersebut juga tercermin dalam

5
mufarendra, “Suko Masih ‘Beroperasi’, Bupati Pun Bereaksi,” Radar Malang Online, 9 November 2019,
https://radarmalang.id/suko-masih-beroperasi-bupati-pun-bereaksi/.
6
Dike Farizan Fadhlillah, Santoso Tri Raharjo, dan IshartonoIshartono, “PEMENUHAN HAK ANAK DALAM
KELUARGA DI LINGKUNGAN PROSTITUSI,” Prosiding Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat 2,
no. 1 (1 September 2015), https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13262.
7
Marliana, “TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI INDONESIA,” JURNAL
MERCATORIA 8, no. 2 (2015), https://doi.org/10.31289/mercatoria.v8i2.649.
8
Nur Syam, Agama Pelacur ; Dramaturgi Transendental, (Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2010).
pola pengasuhan anak. Meskipun mereka berada di lingkungan PSK, ternyata sebagian
mereka juga tidak menginginkan anak-anak mereka tumbuh dan berkembang seperti PSK dan
mucikari.Sehingga sebagian mereka berupaya membentengi anak-anaknya melalui pola
pengasuhan yang baik sebagaimana ketentuan dalam fiqih hadhanah. Mereka juga berupaya
memenuhi hak-hak konstitusional anaknya dengan baik sebagaimana ketentuan yang diatur
dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Landscape budaya yang kompleks dan terkadang ambigu inilah yang akan menjadi
fokus dalam penelitian ini. Yakni berusaha memahami bagaimana konstruksi pola asuh para
PSK terhadap anak-anaknya di tinjau dari perspektif fikih hadhanah. Pada waktu yang
bersamaan, penelitian ini juga mencoba mengidentifikasi dan menganalisis bagaimana
pemenuhan hak-hak anak para PSK dalam perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak.

B. Konsepsi Hadlanah dalam Perspektif Hukum Islam

Secara etimologi kata hadlanah berasal dari bahasa Arab yaitu akar kata dari– َ‫ضن‬
َ ‫َح‬
َ ‫ َح‬- ُ‫ضن‬
‫نَا‬O‫ض‬ ُO ْ‫ يَح‬yang artinya asuh, mengasuh, dan memeluk anak.9Ada juga yangmenyamakan
hadlanah dengan kata “ al-janb” yang berarti di samping atau berada di bawah
ketiak.10Atau bisa juga berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk seperti
menggendong, atau meletakkan sesuatu dalam pangkuan, karena ibu waktu menyusukan
anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya. Seakan-akan ibu di saat itu melindungi dan
memelihara anaknya sehingga “ hadlanah” dijadikan istilah yang dimaksud dengan
“pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri,
mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu”.11

Sedangkan secara terminologi hadlanah menurut madhab Sunn’i yang dimotori


oleh empat tokoh ulama yaitu ulama Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali mendefinisikan
hadlanah adalah12:

9
Rusyadi, dkk, kamus Indonesia-Arab (Cet-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1995) hlm. 59.
10
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persepektif Islam, (Jakarta Timur: Pena
Media, 2008), hlm.114.
11
M.A. Tihami dan SohariSahrani, Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press,
2010 ), hlm. 215.
12
HuzaimahTahidoYanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 182.
a. Ulama Hanafiyyah mendefinisikan hadlanah adalah sebagai usaha mendidik anak yang
dilakukan oleh orang yang mempunyai hak mengasuh.
b. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan hadlanah adalah orang yang tidak dapat mengurus
dirinya dengan apa yang permasalahan yang dihadapi baginya dan memeliharanya dari
apa yang membahayakannya, meskipun orang tersebut telah dewasa, seperti membantu
dalam hal membersihkan jasadnya, mencuci pakaiannya, meminyaki rambutnya, dan
lain-lainnya. Demikian pula menggendong anak dalam buaian dan mengayun-
ayunkannya supaya dapat tidur.
c. Sementara itu ulama Hanabilah dan Malikiyah mendefinisikan hadlânah tidak jauh beda
dengan apa yang telah di definisikan oleh ulama Syafi’iyah.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hadlanah merupakan suatu tindakan
pemeliharaan anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan atau yang sudah
besar tetapi belum mumayyiz, dengan tujuan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri untuk
menghadapi hidup dan memiliki tanggung jawab. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
kitab fathul mu’in yang mengartikan hadlânah sebagai suatu kegiatan mendidik anak yang
belum bisa mengatur dirinya sendiri sampai mumayyiz.13

Secara teoritis dalam hukum Islam ada beberapa persyaratan yang terkait dengan
pengasuhan anak yang harus dimiliki oleh pengasuhnya, baik wanita maupun laki-laki.
Syarat-syarat itu diklasifikasikan oleh ulama fiqih menjadi tiga kelompok, yaitu syarat
umum untuk pengasuh wanita dan pria, syarat khusus untuk wanita, dan syarat khusus
untuk pria.

a. Syarat umum untuk seorang pengasuh

Secara umum seseorang yang melakukan pengasuhan anak harus memenuhi


syarat-syarat sebagai berikut:

1) Baligh (dewasa)
2) Berakal
3) Dapat dipercaya memegang amanah dan berakhlak baik

13
Aliy As’ad, Terjemahan Fathul Mu’in (Jil.: III, Kudus: Menara Kudus,tt), h.246.
4) Mampu mendidik secara benar
5) Beragama Islam
6) Tidak menikah
7) Merdeka 14

Para fuqaha berbeda pendapat tentang boleh atau tidaknya anak diasuh oleh
nonmuslim. Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi15 mensyaratkan bahwa
pengasuh harus seorang muslim atau muslimah. Karena orang non-Islam tidak
mempunyai kewengan dalam mengasuh dan memimpin orang Islam. Disamping itu
juga dikhawatirkan pengasuh akan menyerat anak masuk dalam agamnya.Akan tetapi
ulama Mazhab Hambali dan Mazhab Maliki 16 tidak mensyaratkan pengasuh harus
seorang muslim atau muslimah. Hal ini didasarkan atas sebuah riwayat yang
menyatakan bahwa Rasulullah Saw menyuruh memilih pada anak untuk berada di
bawah asuhan ayahnya yang muslim atau pada ibunya yang musyrik, lalu anak itu
memilih ibunya. Lalu Rasulullah bersabda: “Ya Allah, tunjuki anak itu, condongkan
hatinya kepada ayahnya” (HR. Abu Daud).17

b. Syarat khusus untuk pengasuh wanita


Menurut para ahli fiqih syarat khusus untuk pengasuh wanita adalah sebagai
berikut:18

1) Wanita pengasuh tidak mempunyai suami (belim kawin) setelah dicerai suaminya.
2) Wanita pengasuh merupakan mahram (haram dinikahi) anak.
3) Mempunyai akhlak yang baik dan mempunyai jiwa kasih sayang terhadap anak.

Poin yang (a) sejalan dengan hadis Rasulullah SAW.: ”Engkau lebih berhak
mengasuhnya, selama engkau belum kawin dengan laki-laki lain” (HR. At-Tirmidzi,
Baihaki, dan al-Hakim). Hal ini selaras dengan pendapat ulama Imamiyah yang

14
Syeikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ FiiFiqhi An-Nisa’, Terj.M.AbdulGhoffar EM, (Cet. XXV, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 455., lihat juga Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer (Jakarta: Ke ncana, 2004), hlm. 166.
15
Muhammad Jawab Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah,Terj.Masykur AB, Dkk, (Cet. VII,
Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001), hlm. 417.
16
Muhammad Jawab Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, hlm. 417.
17
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persepektif Islam, hlm. 122.
18
Ibid., hlm. 123-124.
mengatakan bahwa ”hak asuh bagi ibu gugur secara mutlak karena perkawinannya
dengan laki-laki lain, baik suaminya itu mempunyai kasih sayang kepada anak atau
tidak”.19

Dan poin (b) mahram yang dimaksud disini adalah seseorang yang haram untuk
dinikahi oleh seorang anak, hal ini seperti ibu, saudara perempuan ibu, dan
nenek.Sementara itu untuk poin yang (c) merupakan suatu akhlak dan jiwa yang baik
merupakan sikap yang harus dimiliki oleh seorang pengasuh perempuan. Karena ahlak
dan jiwa yang baik merupakan suatu sikap yang akan menjadi suritauladan bagi sang
anak.

b. Syarat khusus untuk pria


Jika anak kecil itu tidak mempunyai pengasuh wanita, maka pengasuhannya
dapat dilakukan oleh kaum pria, selagi ia memiliki syarat-syarat sebagai berikut:20

1) Jika pengasuhnya adalah muhrim

Para fuqaha membolehkan untuk melakukan hadlanah bagi wanita oleh pria
yang muhrim baginya, baik anak tersebut masih kecil, disenangi atau tidak disenangi
laki-laki pengasuh diperbolehkan, ketika tidak ada wanita yang berhak melakukan
hadlanah baginya.

2) Pengasuh yang non-muhrim.

Jika ada orang yang bukan muhrim bagi anak, maka itu diperbolehkan dengan
syarat pengasuh tersebut memenuhi kualifikasi hadlanah, yakni ada wanita bersama laki-
laki tersebut yang ikut membantu memelihara anak tersebut.

C. Hukum Perlindungan Anak di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, ketentuan tentang perlindungan anak diatur dalam


undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian undang-
undang tersebut diperbarui dengan UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kendati dalam undang-undang tersebut

19
Muhammad Jawab Mughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah, hlm. 417.
20
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persepektif Islam, hlm. 124.
memberikan perspektif yang lebih luas tentang ketentuan Fiqh Hadhanah dengan
kompleksitas pengasuhan anak yang terjadi di Indonesia. Undang-undang perlindungan
anak sendiri dibentuk dalam rangka melindungi hak-hak dan kewajiban anak, hal ini dapat
kita lihat dalam kandungan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut. Undang-undang
ini, terdiri dari 14 bab, yang secara umum mengatur tentang ketentuan umum, asas dan
tujuan, hak dan kewajiban anak, kewajiban dan tanggung jawab, kedudukan anak, kuasa
asuh, perwalian, pengasuhan dan pengangkatan anak, penyelenggaraan perlindungan,
peran masyarakat, komisi perlindungan anak, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan
ketentuan penutup.21
Dari 14 bab itu kemudian di bagi menjadi 93 pasal, hal ini membuktikan bahwa
pemerintah dalam hal perlindungan anak memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-
hak anak dan perlakuan tanpa diskriminasi, saling menghargai antara individu yang satu
dengan yang lainnya dan menghargai semua harkat dan martabat seorang anak. selain
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada hakekatnya regulasi
peraturan yang mengatur tentang perlindungan anak banyak sekali diantaranya Undang-
Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, PP No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
dan lain-lainnya.
Adapun rincian pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 yaitu
ketentuan umum terdiri dari 17 pasal, asas dan tujuan terdiri dari 2 pasal, hak dan
kewajiban anak terdiri dari 16 pasal, kewajiban dan tanggung jawab terdiri dari 7 pasal,
kedudukan anak terdiri dari 3 pasal, kuasa asuh terdiri dari 3 pasal, perwalian terdiri dari 4
pasal, pengasuhan dan pengangkatan anak terdiri dari 5 pasal, penyelenggaraan
perlindungan terdiri dari 30 pasal, peran masyarakat terdiri 2 pasal, komisi perlindungan
anak Indonesia terdiri dari 3 pasal, ketentuan pidana terdiri dari 14 pasal, ketentuan
peralihan terdapat 1 pasal, dan ketentuan penutup terdiri 2 pasal.22

21
Tim Redaksi Pustaka Yustika, Perundangan Tentang Anak (Yogyakarta: Pustaka Yustika, 2010), hlm. 64-107.
Lihat juga Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
22
Tim Redaksi Pustaka Yustika, Perundangan Tentang Anak, hlm. 64-107. Lihat juga Muhazir, Pasal 44 Ayat
(1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Perspektif UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, Skripsi SI (Malang, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011) h. 46-47.
Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif
karena masih adanya tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan sektoral terkait
dengan definisi Anak. Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap Anak di Masyarakat, salah
satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan Masyarakat serta semua pemangku kepentingan yang terkait
dengan penyelenggaraan Perlindungan Anak. Untuk efektivitas pengawasan
penyelenggaraan Perlindungan Anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan
dapat mendukung Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan
Perlindungan Anak.
Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku
kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah
konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak
pelaku kejahatan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau
Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama.

Dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak disebutkan bahwa orang tua sebagai individu mempunyai tanggung
jawab utuk memelihara, melindungi, dan membina kehidupan anak untuk menuju dewasa.
Sehingga pada prinsipnya anak berhak diasuh oleh orang tuannya kerena orang tualah yang
paling bertanggung jawab terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Orang tua pula
yang memiliki ikatan batin yang khas dan tidak dapat tergantikan oleh apapun atau
siapapun.
Ikatan yang khas inilah yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak hingga anak menjadi dewasa. Jika ikatan yang khas tersebut
menorehkan warna positif, maka pertumbuhan anak itu akan mampu mengembangkan
potensi yang dimilikinya secara optimal. Sebaliknnya, jika kekhasan hubungan anak
dengan orang tua ini menorehkan warna yang negatif, maka hal itu akan sangat
berpengaruh terhadap masa depan anak secara potensial.
Mengingat pentingnya perlindungan anak dalam rangka menjamin kondisi terbaik
yang dapat diterima oleh setiap anak dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya,
maka pemeritah Indonesia pada tanggal 22 Oktober 2002 telah mengesahkan Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini bertujuan
untuk menghindarkan hal-hak yang negatif terhadap pengaruh perkembangan dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan anak.oleh karena itu, jika orang tua tidak mampu
memberikan perlindungan terhadap anak. Maka undang-undang memberikan kemungkinan
lain dalam menjamin perlindungan terhadap anak dengan menyediakan lembaga
pengasuhan anak.
Pengasuhan anak dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak tidak membahas secara rinci sebagaimana yang telah dibahas dalam kitab Undang-
Undang Perkawinan, seperti Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam,
dan sebagainya. Hal ini terjadi karena undang-undang ini lebih menekankan pada usaha
perlindungan terhadap anak dalam segala hal, untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup dan tumbuh sebagimnan mestinya.
Hal pengasuhan anak tersebut diatur dalam Bab VIII bagian kesatu Pasal 37
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut:
a. Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembangnya anak secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosialnya;
b. Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh lembaga yang
mempunyai kewenangan untuk itu;
c. Dalam lembaga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal (2) berlandaskan agama, anak
yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang
bersangkutan.
d. Dalam hal pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama,
maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang dianut anak yang
bersangkutan;
e. Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di luar Panti Sosial;
f. Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat (3), (4) dan (5).23

23
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Untuk menjamin bahwa lembaga pengasuhan anak melaksanakan perlindungan
terhadap tumbuh kembangnya anak, maka Pasal 38 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
ini mengatur sebagai berikut:

a. Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, dilaksanakan tanpa


membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa,
status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental;
b. Pengasuhan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diselenggarakan melalui
kegiatan bimbingan.24

Dari pasal diatas, bahwasanya dalam hal pengasuhan anak Undang-Undang No.23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada hakekatnya diserahkan sepenuhnya kepada
orang tuanya, akan tetapi ketika orang tuanya tidak mampu maka pegasuhan anak
dilakukan oleh lembaga panti sosial yang seagama dengan anak tersebut. Hal ini bertujuan
untuk menjamin kondisi terbaik anak yang dapat diterima dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya.
Perlindungan anak sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (2) Undang-
Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, merupakan segala usaha yang
dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental,
dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
masyarakat. Karena kita tahu bahwa anak merupakan pemegang tongkat estafet penerus
bangsa, sehingga perlu dilindungi keamanan dan keadilannya.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu


masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat
hukum, baik kaitannya dengan hukum tertulis maupun tidak tertulis. Karena hukum
merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.25Sebagaimana yang dikatakan oleh
Arif Gosita bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan

24
Ibid.,
MaidinGultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak: dalam SIstem Peradilan Anak di Indonesia
25

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 33.


perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
di inginkan dalam perlindungan anak.26

Di dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak menyatakan bahwa:

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusian serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.27
Menelusuri perkembangan terbentuknya Undang-Undang No. 23 tahun 2002
tentang perlindungan anak ini, pada hakekatnya tidak lepas dari kegelisahan pemerintah
terhadap penindasan hak-hak anak. Sehingga hal ini berimpliksi pada banyaknya terjadi
traficking, penganiayaan, deskriminasi, dan tenaga kerja anak. Hal ini dikarenakan pada
waktu itu belum adanya regulasi peraturan secara jelas yang mengatur tentang
perlindungan anak. Dengan munculnya undang-undang ini, diharapkan mampu untuk
menjamin dan melindungi anak serta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

D. Konstruksi Kognitif Para Pelacur Tentang Pola Asuh Anak Dalam Persepektif Fiqh
Hadhanah

Jika di Surabaya ada gang Dolly yang menjadi inang bagi ratusan Pekerja Seks
Komersial yang kemudian dibubarkan, maka di Kabupaten Malang terdapat Lokalisasi Suko
yang juga dibubarkan dan bermetamorfosis menjadi wisata karaoke. Para PSK dengan
kehidupan malamnya seolah jauh dengan potret kepribadian seorang ibu yang bertanggung
jawab untuk mengajarkan nilai-nilai agama. Ternyata, stigma tersebut tidak sepenuhnya bisa
dibenarkan. Sebab, berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan melalui wawancara
mendalam dan observasi langsung di lapangan, ditemukan sisi lain dari kehidupan para PSK
yang berbanding kontras dengan apa yang selama ini dilabelkan kepada mereka. Bahkan,

26
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Presindo, 1989), h. 19.
27
Baca pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
lebih jauh dari itu, para PSK dan mucikari yang selama ini dikesankan lekat dengan dunia
trafficking, ternyata sisi lain dari kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab
pengasuhan dan pendidikan yang islami. Lanskap inilah yang coba dipotret dalam penelitian
ini.

Peneliti disini tidak dalam rangka menghukumi halal-haram profesi mereka, sebab
dalam perspektif agama manapun keberadaannya tetap tidak bisa dibenarkan. Namun sekali
lagi penelitian ini mencoba mengungkap sisi lain dari kesadaran mereka sebagai PSK dan
mucikari dalam memberikan perhatian dan kasih sayang kepada buah hatinya. Dalam
penelitian ini, peneliti sengaja menyamarkan identitas para informan sebagai bentuk
perlindungan terhadap privasi para informan. Ada lima informan yang bersedia untuk peneliti
wawancarai. Mereka diantaranya adalah Bery sebagai mucikari serta Mawar, Melati, Anggrek
dan Seroja sebagai PSK. Walaupun lokalisasi Suko telah dibubarkan, namun banyak
informasi yang diterima oleh peneliti bahwa lokalisasi tersebut masih eksis dibalik layar.28

Justru itulah poin menarik dalam penelitian ini. Anomali kehidupan PSK tidak hanya
dilihat dari potret buramnya saja, namun terdapat juga blind spot yang selama ini abai
diperhatikan oleh masyarakat pada umumnya. Terutama dalam pola pengasuhan dan
pendidikan anak. Lanskap tersebut tercermin dari kehidupan Bery, seorang eks-mucikari yang
telah berhasil mengantarkan kedua anaknya, Putra dan Santi menjadi pribadi yang berkarakter
dan bermoral baik. Hal itu disebabkan pola pengasuhan yang tepat. Berdasarkan hasil
wawancara yang peneliti lakukan dengan Bery, yang juga seorang pengusaha wisata karaoke
serta pemilik wisma di eks lokalisasi tersebut, mengatakan bahwa proses pengasuhan yang
beliau terapkan terhadap anak-anaknya sejak dalam kandungan hingga dewasa dilakukan
sebagaimana yang menjadi kelaziman pengasuhan orangtua Muslim terhadap anaknya. Hal
tersebut dibuktikan ketika mendengar kabar kehamilan istrinya, Bery bersama istri melakukan
selamatan tiga bulanan dan tujuh bulanan dengan prosesi islami. Kesadaran inilah yang
mengindikasikan bahwa ritual fiqh hadhanah benar-benar living dalam kehidupan keluarga
Bery, kendati posisinya sebagai eks-mucikari dan pada saat proses membesarkan anak-

28
Baca https://kumparan.com/tugumalang/geliat-bisnis-lokalisasi-suko-di-malang-yang-tersamarkan-rumah-
karaoke-1toV7ypflBs
anaknya Bery dan Istrinya tinggal di lingkungan lokalisasi Suko. Bahkan sebelum ia
menikahkan anaknya, ritual aqiqah ia niatkan bersamaan dengan prosesi akad nikah.29

Apa yang dilakukan oleh Pak Bery juga senada dengan pengalaman pengasuhan anak
yang diterapkan oleh Mawar, salah seorang PSK kelahiran 1984 yang sekarang bekerja
sampingan sebagai pembantu relasi (biasa disingkat Purel) di eks lokalisasi tersebut. Bagi
Mawar, ritual selamatan tiga bulanan dan tujuh bulanan merupakan bentuk rasa syukur atas
karunia yang Tuhan berikan berupa anak. Upaya tersebut dilakukan oleh wanita kelahiran
Pasuruan ini sebagai doa yang dapat menjadi modal spiritual untuk masa depan anaknya yang
bernama Rendy (18 th).30

Pola pengasuhan yang dilakukan oleh Mawar sebagai PSK melampaui pola
pengasuhan masyarakat Muslim pada umumnya. Sejak kecil, Mawar mendidik anaknya
dengan pengetahuan agama, walaupun pendidikan dan pengasuhan tersebut tidak dilakukan
oleh Mawar sendiri. Mawar menyadari kapasitas dirinya yang terbatas untuk menanamkan
nilai-nilai spiritualitas dan pengasuhan yang layak terhadap anaknya. Oleh karenanya, Mawar
mempercayakan pengasuhan Rendy kepada salah satu pesantren di Jawa Timur. Seperti yang
terekam dalam wawancara kami dengan Mawar berikut:31

“Anakku tinggal ndek pondok mas. Aku gak duwe dulur, bapakkku yo
wis gak ono, ibuku yo wis gak ono. Aku dewe anak tunggal mas. Mangkane
anakku tak titipno nang Pondok. Aku nang kene sing ndolekne….”
Tidak ada yang menyangka, anak yang dilahirkan oleh seorang eks-PSK ternyata
mampu mengukir prestasi akademik ala pesantren yang cukup bagus. Berdasarkan penuturan
Mawar, putra semata wayangnya tersebut kerap kali menjuarai berbagai kompetisi khas
pesantren baik tingkat daerah maupun tingkat provinsi. Seperti juara adzan, baca kitab kuning,
dan hafalan AL-Qur’an. Seperti dalam penuturan Mawar berikut:32

“Malah anak saya itu di pondok juara adzan, juara baca kitab kuning
dan tahfidz juga”
Potret inilah yang menggambarkan kehidupan Fiqh Hadhanah Mawar sebagai seorang
PSK cukup lekat dan living dalam sistem kognisi serta afeksinya. Sebagai seorang ibu, Mawar
29
Bery, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 14 Juli 2020.
30
Mawar, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 23 Juli 2020.
31
Mawar, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 24 Juli 2020.
32
Mawar, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 24 Juli 2020.
seringkali merasa malu ketika anaknya mengajak untuk Sholat Tahajud. Dalam
wawancaranya, secara jujur dirinya mengakui bahwa terdapat kesenjangan spiritual antara apa
yang dia lakukan dengan keshalihan yang terus terbentuk dalam kepribadian anaknya. Mawar
tidak menyangka, pengasuhan dirinya melalui pesantren telah membentuk karakter Rendy
sebagai seorang yang taat beragama. Berikut cuplikan wawancara kami dengan Mawar:33

“Aku ya tau dijak shalat tahajud sama anakku mas, yo aku isin dadi yo
melu sholat mas. Heheheee….”
Gambaran yang berbeda terlihat pada pola pengasuhan Melati, sebagai seorang PSK
kelahiran Donomulyo tahun 1984. Melati yang diceraikan oleh suaminya dan menjadi single
parent memutuskan untuk mempercayakan kepengasuhan anaknya kepada kakaknya. Melati
menyadari dengan posisinya sebagai PSK tidak mungkin men take over pengasuhan anaknya
di lingkungan yang kurang kondusif. Kesadaran Melati untuk menitipkan hak asuh anaknya
kepada kakanya merupakan bagian dari tanggung jawabnya sebagai orangtua untuk
memberikan pendidikan yang terbaik buat masa depan anaknya. Dengan profesinya sebagai
kupu-kupu malam, Melati tidak segan-segan untuk memberikan pesan-pesan langit “Le, lek
ngaji sing pinter yo”.34 Potret itu seolah tidak mungkin terucap dari bibir seorang eks penjaja
diri. Kesadaran seorang ibu untuk mengantarkan anaknya menjadi insan yang sholih ternyata
juga dimiliki oleh Melati yang notabene adalah seorang PSK.

Selebrasi spiritual penyambutan kehamilan juga diekspresikan oleh Melati dalam


bentuk ritual tiga bulanan dan tujuh bulanan, kendati dengan kondisi yang serba terbatas.
Namun, itu semua dilakukan oleh Melati tidak lain agar kelak anaknya bisa menjadi lebih
baik daripada dirinya.35

Bila ditinjau dari kacamata Fiqh Hadhanah maka upaya Melati untuk menitipkan
pengasuhan sang buah hati kepada kakak perempuannya merupakan langkah yang tepat.
Sebab dalam perspektif ulama klasik, pengasuhan anak disyariatkan untuk diasuh oleh ibunya
atau ayahnya. Namun, jika keduanya tidak memungkinkan maka hak pengasuhan bisa diambil
alih oleh kerabat terdekat dari pihak ibu. Seperti, ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya keatas,
kemudian ibu dari bapak (nenek) dan seterusnya keatas. Kemudian saudara ibu yang

33
Mawar, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 24 Juli 2020.
34
Melatii, Mawar, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 28 Juli 2020.
35
Melati, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 28 Juli 2020.
perempuan sekandung, anak perempuan dari saudara perempuan seibu dan anak perempuan
dari saudara perempuan seayah. Kemudian, anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung,
anak perempuan dari saudara laki-laki seibu, dan anak perempuan dari saudara laki-laki
seayah. Kemudian, bibi dari ibu yang sekandung dengan ibunya, bibi dari ibu yang seayah
dengan ibunya, dan bibi dari yang seayah dengan ibunya. Kemudian, bibi dari bapak yang
sekandung dengan ibu, bibi dari bapak yang seibu dengan ibunya, dan bibi dari bapak yang
seayah dengan ibunya.36

Berdasarkan hierarki hadhin diatas, Melati tidak menitipkan pengasuhan anaknya


kepada ibunya dikarenakan kedua orangtuanya telah meninggal. Sehingga hak hadhin yang
paling dekat jatuh di pundak kakak perempuannya. Dalam kapasitasnya sebagai seorang eks
penghibur malam, Melati sadar diri atas latar belakang kepribadiannya yang tidak mungkin
mengambil posisi hadhin.

Sebangun dengan pengalaman yang diungkapkan oleh Melati dalam pola pengasuhan
anak, Anggrek, seorang wanita kelahiran Banyuwangi tahun 1989, juga melakukan hal yang
sama, yaitu mengalihtanggungjawabkan kepengasuhan anaknya kepada ibunya di
Banyuwangi.37 Pilihan Anggrek untuk menitipkan hak asuh anak kepada ibunya merupakan
keputusan yang tepat dan sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam narasi fiqh klasik. 38
Dalam sistem pengetahuan Anggrek, anak merupakan titipan Sang Kuasa. Sebagai
konsekuensinya, ia harus mendapatkan pendidikan dan pengasuhan yang baik di tempat yang
baik. Menurutnya, profesi yang ia jalani hari ini sebagai seorang PSK tidak memungkinkan
dirinya untuk hidup satu rumah dan memberikan asuhan secara langsung kepada anaknya. 39
Sebab, lingkungan eks-lokalisasi Suko yang ia tinggali saat ini merupakan tempat yang bisa
memberikan dampak buruk buat masa depan anaknya. Sehingga, adalah keputusan yang tepat
bagi Anggrek untuk mengambil jarak kepengasuhan dengan anaknya. Kendati sebagai kupu-
kupu kertas, Anggrek tetaplah seorang ibu yang mempunyai naluri sebagai orangtua pada
umumnya, yaitu mencita-citakan anaknya kelak menjadi pribadi yang sholih dan baik dengan
berbagai keterbatasannya. Lagi-lagi gambaran inilah yang semakin melegitimasi adanya sisi

36
Syeikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ Fi Fiqhi An-Nisa’, hlm 456.
37
Anggrek, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 6 Agustus 2020.
38
Baca Syeikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ Fi Fiqhi An-Nisa’
39
Anggrek, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 6 Agustus 2020.
lain kehidupan PSK dengan fiqh hadhanahnya, walaupun dalam bentuk pengasuhan yang
sederhana.

Kehidupan yang tidak jauh berbeda dengan Anggrek, pun dialami oleh Seroja, wanita
yang menjadi korban pernikahan dini. Keterlibatan Seroja dalam dunia malam diawali pasca
meninggalnya sang suami dalam sebuah kecelakaan, dengan konsekuensi tertumpunya
tanggung jawab pencarian nafkah di pundak Seroja. Lahir di tahun 2000 di usianya yang
belia, Seroja memiliki paras yang cantik dengan lekuk tubuh yang menawan. Berawal dari
ajakan seorang teman untuk bekerja di sebuah klub malam, Seroja akhirnya jatuh ke dalam
lubang hitam yang penuh dengan kegelapan.40 Peristiwa tsunami di Palu memaksa Seroja
untuk hijrah ke Malang demi perannya sebagai sandaran ekonomi keluarga. Semua upaya itu
dilakukan Seroja tidak lain untuk masa depan pendidikan Bagus, anaknya. Jarak yang jauh
tidak menyebabkan Seroja absen dalam pengasuhan dan pendidikan anaknya. Pesan spiritual,
motivasi kebaikan dan nasehat senantiasa dikonstruksikan kendati Seroja berada di
lingkungan eks lokalisasi. Kondisi ini bisa jadi anomali di tengah kehidupan dan hiruk pikuk
dunia malam yang digeluti oleh Seroja. Tidak jarang Seroja menanyakan progres
perkembangan akademik anaknya. Seroja mengakui dirinya adalah ibu yang tidak baik.41
Namun, Seroja tetaplah sosok ibu dengan jiwa keibuan yang ingin selalu menaungi dan
memproteksi anaknya dari segala pengaruh buruk seperti pergaulan bebas dan narkoba.
Gambaran Seroja sebagai seorang Wanita Tuna Susila tidak lantas memudarkan perannya
untuk memberikan perhatian yang mendalam dan kasih sayang seluas samudera sebagaimana
yang tergambar dalam puisi-puisi tentang ibu.

Sebagai seorang PSK Seroja boleh dicibir dan dihina. Namun dalam kapasitasnya
sebagai seorang ibu, Seroja tetaplah seorang ibu yang kasih sayangnya tak pernah padam bak
sang surya menyinari dunia. Walaupun buah hati Seroja tidak sepotensial dan sesholih Rendy
yang hafal Al-Qur’an, putra Mawar, namun lanskap pola asuh Seroja terhadap anaknya
dengan berbagai keterbatasannya telah menguatkan sisi lain sosok eks-PSK dengan hiruk
pikuk norma-norma fiqh hadhanah yang living dalam kesadarannya sebagai orangtua.

40
Seroja, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 13 Agustus 2020.
41
Seroja, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 13 Agustus 2020.
Al-Qur’an dan Hadist yang merupakan sumber hukum Islam otoritatif telah mengatur
garis besar haluan kepengasuhan anak. Beberapa ketentuan yang disebutkan dalam Al-Qur’an
tentang hak asuh anak memang telah menggariskan bahwa kapasitas mereka sebagai pramuria
tidaklah memenuhi standard yang telah ditentukan. Sebab estafet pengasuhan anak
mempersyararkan adanya ketakwaan, keimanan, berakhlak mulia serta memiliki spirit untuk
senantiasa berusaha menjauhkan diri dan keluarganya dari siksa api neraka, sebagaimana yang
diatur dalam surat An-Nisa ayat 9, Al-Anfal ayat 67 dan At-Tahrim ayat 6. 42 Oleh karena
ketidakcakapan spiritual itulah mereka sadar dan tahu diri untuk tidak mengambil hak hadhin
secara langsung. Namun, mereka memilih untuk mencurahkan perhatian dari jauh sebagai
upaya hadhanah alternatif terhadap buah hati mereka.

Sebagai seorang Pramuria, Seroja, Mawar, Anggrek, Melati dan Bery mereka memang
tidak pernah mengenal istilah fikih hadhanah dalam sistem pengetahuannya. Namun, pola
asuh mereka terhadap buah hatinya telah menjawab ketidaktahuan mereka tentang fikih
hadhanah itu sendiri, yang secara praksis tanpa mereka sadari telah diterapkan. Sebagai
Pramuria, mereka memang seringkali distigmakan sebagai tuna susila. Namun, dalam
kewajiban hadhanah mereka tetap tertunaikan dan yang terpenting lagi mereka bukan orang
tua yang tuna perhatian dan kasih sayang.

E. PSK dan Pemenuhan Hak-Hak Anaknya: Tinjauan Undang-Undang Perlindungan


Anak

Selama ini rumah tangga para PSK sering dikesankan jauh dari kata harmonis.
Bahkan, karena persoalan ketidakharmonisan lah mereka memilih untuk menginangkan
dirinya pada kehidupan malam. Pengalaman tersebut sebagaimana penuturan Mawar yang
mengungkapkan bahwa dirinya terpaksa harus bercerai pasca kasus perselingkuhan suaminya
terungkap. Sejak perceraian itu, mantan suaminya melepaskan tanggung jawab untuk
memberikan nafkah kepada anaknya. Awalnya, Mawar telah berusaha mengambil alih peran
ayah sebagai penopang ekonomi keluarga. Selama lima tahun Mawar mencari nafkah dengan
menjadi penjaga toko. Menyadari bahwa pekerjaan tersebut tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari sekaligus menutup hutang, Mawar memutuskan untuk mencoba
42
Baca Syeikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ FiiFiqhi An-Nisa’, Terj.M.AbdulGhoffar EM, (Cet. XXV,
Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 455., lihat juga Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer (Jakarta: Ke ncana, 2004), hlm. 166.
peruntungan di luar kota. Pada posisi terhimpit semacam itu, Mawar memilih jalan hidupnya
sebagai kupu-kupu malam. Hal itu dia lakukan demi menyediakan anak tangga bagi kebaikan
masa depan anaknya, Rendy.43

Dalam mengasuh anak Mawar tak luput memberikan kasih sayang dan perhatian yang
penuh. Hal itu diekspresikan oleh Mawar dengan cara memberikan ASI eksklusif dan
melengkapi imunisasi. Mawar juga tak luput menaruh perhatian terkait kesehatan Rendy.
Ketika Rendy sakit, tak ubahnya seperti perhatian orangtua pada umunya, Mawar segera
membawa Rendy ke klinik hingga memeriksakan Rendy ke rumah sakit. Lebih jauh dari itu,
dengan kapasitas Mawar yang hanya lulusan SD, Mawar sadar diri bahwa ia hidup di negara
hukum. Sebagai konsekuensinya, maka Mawar membuatkan akta kelahiran untuk Rendy.44

Begitu pula dengan aspek pendidikan Rendy, Mawar juga tidak absen
memperhatikannya. Terlepas dari lingkungan dan pekerjaan Mawar yang dianggap sebagai
sampah masyarakat serta jauh dari moralitas agama dan sosial, Mawar adalah orangtua yang
peduli terhadap masa depan anaknya. Mawar mengharuskan Rendy untuk mendapatkan
asupan pendidikan agama yang layak. Upaya tersebut Mawar tempuh dengan cara
memondokkan Rendy agar tidak terjangkiti kenakalan remaja, pergaulan bebas dan narkoba. 45
Jika dikaitkan dengan Undang-undang Perlindungan Anak, apa yang dilakukan oleh Mawar
seirama dengan ketentuan Undang-undang tersebut. Misalnya, terkait pemenuhan hak anak
untuk mendapatkan pendidikan, perlindungan dan pengembangan potensi. Hal itu
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa:

Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:


a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuh kembagkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat; dan
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.46
Namun, harus diakui problem pengasuhan anak bagi kebanyakan kupu-kupu kertas
adalah masalah perwalian anak yang biasanya dilimpahkan kepada orangtua, kerabat dan
yayasan. Perwalian pengasuhan tersebut dilakukan tidak lain untuk menjaga imunitas
43
Mawar, Wawancara, Suko, Sumber Pucung Malang: 23 Juli 2020
44
Mawar, Wawancara, Suko, Sumber Pucung Malang: 23 Juli 2020
45
Mawar, Wawancara, Suko, Sumber Pucung Malang: 24 Juli 2020
46
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
kesalehan Rendy agar tidak mudah terserang epidemi kerusakan moral yang ada di
lingkungan eks-lokalisasi. Oleh karenanya, Mawar memilih Pondok Pesantren sebagai
pelabuhan dimana Rendy menyerap pengaruh-pengaruh baik di lingkungan dan kondisi
yang terbaik. Upaya Mawar tersebut sejalan dengan amanat Undang-undang Perlindungan
Anak Pasal 13 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang
berbunyi:47
Ketika seorang anak dalam pengasuhan orang tua atau wali, atau pihak siapapun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak, maka ia harus dapat melindungi anak
dari perlakuan:
a. Diskriminasi;
b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. Penelantaran;
d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. Ketidak adilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya.

Jika Mawar memilih perwalian pengasuhan anaknya di Pondok Pesantren, maka


Melati mempercayakan pengasuhan anaknya kepada salah seorang kerabat yang merupakan
budhe dari putranya yang bernama Panji.48 Pilihan Melati untuk menyerahkan perwalian
kepada kakaknya tidak lain karena lingkungan dimana kakaknya tinggal merupakan kawasan
yang peduli terhadap pendidikan. Melati menyadari, bahwa dirinya dengan profesinya hari ini
bukanlah teladan yang baik. Sehingga akan lebih terjamin masa depan kesalehan dan
pendidikan anaknya jika berada dibawah asuhan sang kakak. Dari jauh Melati selalu
memantau perkembangan psikologis, pendidikan dan spiritual sang buah hati. Nasehat-
nasehat yang sarat dengan keagungan moral senantiasa Melati tanamkan secara mendalam.
Tanggung jawab Melati sebagai orangtua terlihat dari berbagai pemenuhan hak-hak anak
sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang Perlindungan Anak yang tertunaikan walau
dalam kondisi ala kadarnya.

Kasih sayang dan perhatian Melati terhadap anaknya sudah diperlihatkan sejak Panji
masih bayi. Hal itu ditunjukkan dengan pemberian ASI walupun tidak secara eksklusif. Oleh
karenanya, agar imunitas Panji tetap terjaga, imunisasi menjadi alternatif agar kesehatan
jangka panjang Panji terjamin dengan baik. Terkait dengan status hukum dan hak anak untuk

47
Pasal 13 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
48
Melati, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 28 Juli 2020.
dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil, Melati memasrahkan pengurusan akta kelahiran Panji
kepada kerabatnya tersebut.49 Apabila ditinjau dari perspektif Undang-undang Perlindungan
Anak, pengasuhan yang dilakukan oleh Melati sebagai orangtua adalah bentuk totalitas kasih
sayang disertai dengan tanggung jawab seorang ibu dengan berbagai keterbatasannya sebagai
seorang PSK. Sense kepedulian Melati melampaui aturan-aturan tertulis yang tertuang dalam
Undang-undang Perlindungan Anak. Keterbatasannya untuk mengakses Undang-undang
Perlindungan Anak tidak menjadi batu hambatan bagi Melati untuk menunaikan
tanggungjawab sebagai orangtua.

Fenomena pola asuh inilah yang peneliti sebut sebagai antroplogi fiqh hadhanah yang
sudah menginternalisasi dalam sikap dan perilaku Melati sebagai penghuni eks-lokalisasi
Suko. Selama ini, mereka yang mengadu nasib menjadi penghibur dan pemuas hasrat laki-laki
acapkali tertuduh sebagai orangtua yang tidak bertanggungjawab dan menelantarkan anaknya.
Sebagai konsekuensinya, mereka juga dipandang lekat sebagai pelanggar Undang-undang
Perlindungan Anak. Namun, stigma itu terbantahkan melalui kisah kehidupan Melati sebagai
pramuria dengan samudera kasih sayangnya.

Pengalaman yang sama juga menarik untuk disuguhkan mengenai anomali fiqh
hadhanah yang dikisahkan melalui penuturan Bery, sebagai salah seorang mucikari dan
pemilik wisma di eks-lokalisasi Suko. Menurutnya, “Masio penggaweanku koyo ngene, ojo
sampe anak-anakku melu jejak uripku. Aku duwe anak loro, lanang lan wedok. aku urip nang
nggon sing dianggep kotor karo masyarakat. Tapi aku pingin mbuktekno lek uwong sing urip
nang nggon kotor iku durung mesti kotor”. 50 Ungkapan Beri tersebut, merupakan ekspresi
pembuktiannya bahwa tempat kotor tidak selalu melahirkan produk sampah. Kendati Bery
sebagai mucikari, ia telah mengorbitkan anak perempuannya menjadi seorang perawat di
sebuah Rumah Sakit Islam ternama di Kepanjen. Tidak ada yang mengira sosok Sekar dengan
busana hijab adalah putri dari seorang mucikari. Profil Sekar hari ini tidak bisa dipisahkan
dari pola asuh ayah dan ibunya yang sangat dekat dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
fiqh hadhanah dan Undang-undang Perlindungan Anak dengan keterbatasan yang mereka
pahami.

49
Melati, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 28 Juli 2020.
50
Bery, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 14 Juli 2020.
Sejak kecil, Sekar mendapat kasih sayang penuh dari Bery dan istrinya. Hak-hak anak
untuk mendapatkan pendidikan, perhatian, perlindungan, bermain dan terjaminnya kesehatan
Bery tunaikan secara optimal sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak.51 Padahal jamak outsider, melihat kehidupan mucikari nyaris tak
terpisahkan dengan dunia human trafficking, narkoba dan kenakalan remaja. Potret anomali
inilah yang menjadi fokus kajian ini. Kehidupan fiqh hadhanah dalam keluarga Bery sebagai
pramuria justru menjadi tamparan buat rumah tangga masyarakat pada umumnya yang
kerapkali abai terhadap hak-hak anak sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang
Perlindungan Anak.

Spirit pengasuhan yang sama juga diterapkan oleh Seroja dan Anggrek 52 terhadap
anak-anak mereka dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Sama-sama pernah
mengadu nasib di Palu dan senasib seperjuangan menapaki karir sebagai kupu-kupu malam,
Seroja dan Anggrek menerapkan fiqh hadhanah alternatif jarak jauh dengan berbagai
kelebihan dan kekurangannya. Keduanya menitipkan anak semata wayangnya kepada
orangtua mereka. Seroja dan Anggrek berusaha memenuhi hak dan kewajiban sebagai anak
dan orangtua secara timbal balik. Kewajibannya sebagai orangtua dalam menjamin
penghidupan, pendidikan dan kesehatan sebagaimana yang diatur oleh Undang-undang
Perlindungan Anak telah dilaksanakan dengan baik. Mulai dari pemberian ASI walaupun
tidak secara eksklusif, imunisasi, pemberian nutrisi dengan memperhatikan standar empat
sehat lima sempurna tidak pernah absen dalam perhatiannya. Bahkan, ketika mereka berdua
harus dipisahkan oleh jarak, perhatian dan kasih sayangnya tetap tidak surut. Kondisi itu
dibuktikan ketika mendengar informasi dari neneknya bahwa anaknya sakit, Seroja dan
Anggrek bergegas untuk mengupayakan biaya kesehatan buat perawatan anaknya, walaupun
terkadang Seroja dan Anggrek harus mencari hutangan karena sepinya pelanggan yang
menghampirinya. Pada posisi inilah Anggrek dengan kapasitasnya sebagai wanita pendosa
tidak segan-segan menengadah ke langit memohon kasih sayang Tuhan melalui ritual sholat.

Pengalaman yang sama dalam memenuhi tanggung jawab untuk memberikan


pendidikan kepada anaknya, tergambar dari penuturan Seroja. Ia mengatakan, “Menawi

51
Bery, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 14 Juli 2020.
52
Seroja, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 13 Agustus 2020. dan Anggrek, Wawancara, Suko,
Sumberpucung Malang: 6 Agustus 2020.
pendamelan kulo rame biasane kulo lebihaken damel kabetahan bulan ngajenge. Kersane pas
wekdale sepi kabetahane lare-lare tetep saget tercukupi”.53 Penuturan yang senada juga
diungkapkan Anggrek yang mengatakan, “Masio aku lulusan SD tapi nek iso anakku kudu iso
luwih dukur dan luweh apik timbang aku”.54 Dalam bidang kesehatan, kewajiban untuk
menunaikan hak kesehatan anak juga sempat dituturkan oleh Anggrek, “Le nek njajan ojo
sembarangan, mundak watuk. Engko lek watuk, awake panas, gak iso sekolah”.55

Lanskap pengasuhan anak Seroja dan Anggrek merupakan indikator kuat bahwa
kendati posisinya sebagai kupu-kupu kertas, mereka berdua tetap menjalankan kewajibannya
sebagai orangtua sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Perlindungan Anak.
Bahkan hampir seluruh agama, norma sosial dan hukum yang ada melihat kehidupan mereka
secara pejoratif dan patalogis. Namun, dalam waktu yang bersamaan ada setitik pelajaran
yang bisa kita petik dari kehidupan mereka, yaitu terkait pola asuh anak dengan segala
keterbatasannya. Nyatanya, keterbatasan pengetahuan dan moral tidak menjadi penghambat
bagi keduanya untuk mencurahkan kasih sayang dan perhatian tanpa batas. Walaupun mereka
tidak pernah tahu tentang isi Undang-undang Perlindungan Anak, akan tetapi tidak ada satu
pasal pun yang dilanggar terkait penelantaran anak, pengabaian kewajiban sebagai orang tua
dan pemenuhan hak-hak anak sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang
Perlindungan Anak. Potret dan lanskap inilah yang peneliti sebut sebagai antropologi fiqh
hadhanah yang living dalam kehidupan wanita penghibur di eks-lokalisasi Suko,
Sumberpucung. Kehidupan mereka sebagai pramuria tidak hanya dilihat secara biner, namun
ada potensi-potensi kebaikan yang mereka miliki terutama terkait dengan pola asuh anak yang
mestinya menjadi cambuk dan lecutan bagi para orangtua dalam mengasuh buah hatinya.

F. Penutup

Secara kognitif, para Pekesja seks komersial di Kabupaten Malang tidak pernah
mengenal istilah fikih hadhanah dalam sistem pengetahuan mereka. Namun, pola asuh mereka
terhadap buah hatinya telah menjawab ketidaktahuan mereka tentang fikih hadhanah itu
sendiri, yang secara praksis tanpa mereka sadari telah diterapkan. Sebagai Pramuria, sekaligus
sebagai orang tua mereka tetap menunaikan kewajiban hadhanah mereka meskipun dari jarak
53
Seroja, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 13 Agustus 2020.
54
Anggrek, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 6 Agustus 2020.
55
Anggrek, Wawancara, Suko, Sumberpucung Malang: 13 Agustus 2020.
jauh dengan dibantu oleh hadlin (pengasuh) yang mereka percayai; sebab, dalam kaca mata
fikih hadhanah mereka tidak memiliki hak hadlin secara langsung. 2) Sebagai tuna susila,
mereka tidak pernah tahu tentang isi Undang-undang Perlindungan Anak, akan tetapi tidak
ada satu pasal pun yang dilanggar; misalnya terkait penelantaran anak, pengabaian kewajiban
sebagai orang tua dan pemenuhan hak-hak anak. Potret dan lanskap inilah yang peneliti sebut
sebagai antropologi fiqh hadhanah di lingkungan eks lokalisasi sebagaimana yang tertuang
dalam Undang-undang Perlindungan Anak. Kehidupan mereka sebagai pramuria tidak hanya
dilihat secara biner. Satu sisi mereka seringkali distigmakan sebagai agen human trafficking,
kenakalan remaja, minum-minuman keras dan obat-obatan terlarang, namun di sisi yang lain
ternyata ada potensi-potensi kebaikan yang mereka miliki. Terutama terkait dengan pola asuh
anak yang melampaui tudingan pejoratif masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal

Abdurrahman, Moeslim. Islam Yang Memihak, Yogyakarta: LKiS, 2005.

Akaibara, “Sejarah Lokalisasi Suko, Diwarnai Pasang Surut,” Ngalam.co, 12 November


2019, https://ngalam.co/2019/11/12/sejarah-lokalisasi-suko-diwarnai-pasang-surut/.

Alam, Andi Syamsu dan M. Fauzan.Hukum Pengangkatan Anak Persepektif Islam,


Jakarta Timur: Pena Media, 2008

Arikunto,Suharsimi. Prosedur Penelitian Dari Teori Ke Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,


1995.As’ad, Aliy.Terjemahan Fathul Mu’inJilid.: III, Kudus: Menara Kudus,tt.

As Shiddiqi, Hasbi.,Syaria Islam Menjawab tantangan Jaman, Jakarta: bulan Bintang,


1966

Efendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer.Jakarta: Ke ncana,


2004.

Ghazay, Abd Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2013

Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: Akademi Presindo, 1989.Gultom,


Maidin. Perlindungan Hukum Terhadap Anak: dalam SIstem Peradilan Anak di
Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2008.

Farizan Fadhlillah, Dike. Santoso Tri Raharjo, dan Ishartono, “PEMENUHAN HAK ANAK
DALAM KELUARGA DI LINGKUNGAN PROSTITUSI,” Prosiding Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat 2, no. 1 (1 September 2015),
https://doi.org/10.24198/jppm.v2i1.13262.

Fitriani, Rini. “Peranan Penyelenggara Perlindungan Anak Dalam Melindungi Dan


Memenuhi Hak-Hak Anak,” Jurnal Hukum Samudra Keadilan 11, no. 2 (2016).

Hanitijo Soemitro, Ronny.Metode Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia


Indonesia, 1990

Madjid, Nurchalish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi


Doktrin Islam dalam Sejarah, hlm.235-247.

Malik, Imam. Al-Muwaththa’, Kairo: Darul Fikr: tt

Marliana, “TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL KOMERSIAL ANAK DI


INDONESIA,” JURNAL MERCATORIA 8, no. 2 (2015),
https://doi.org/10.31289/mercatoria.v8i2.649.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005


Monib, Mohammad dan Islah Bahrowi.Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan
NurcholishMadjid,Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Mufarendra, “Suko Masih ‘Beroperasi’, Bupati Pun Bereaksi,” Radar Malang Online, 9
November 2019, https://radarmalang.id/suko-masih-beroperasi-bupati-pun-bereaksi/.

Mughniyyah, Muhammad Jawab. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah,Terj.Masykur


AB, Dkk, Cet. VII, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2001

Muhazir, Pasal 44 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dalam Perspektif UU
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Skripsi SI, Malang, Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2011.

Qorib, Muhammad, Solusi Islam: Mencari Alternatif Jawaban Terhadap Problem


Kontemporer, Jakarta: Dian Rakyat, 2010

Rahman, Fazlur. Islam dan Modernitas. Terj. Ahsin Muhammad. Cet. Ke III, Bandung:
Pustaka, 2005.

Rusyadi, dkk.kamus Indonesia-Arab, Cet-1, Jakarta: Rineka Cipta, 1995

Rusyd, Ibnu.Muqaddimah Ibn RusydJuz II, Mesir: Dar al-Fikr, tt.

Sadikin,Ali. Antropologi Al-Qur’an, Yogyakarta: Ar-Ruz Media. 2005.

Syafi’i, Imam. Al-Umm, Kairo: Darul Fikr: tt Syam, Nur, Agama Pelacur ; Dramaturgi
Transendental, Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara, 2010.

Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam,Jakarta: Rajawali Press, 2007.

Tihami, M.A. dan SohariSahrani. Fiqih Munakahat: Kajian Fiqih Nikah Lengkap, Jakarta:
Rajawali Press, 2010

Tim Redaksi Pustaka Yustika. Perundangan Tentang Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustika,
2010

‘Uwaidah, Syeikh Kamil Muhammad. Al-Jami’ Fi Fiqhi An-Nisa’, Terj.M.AbdulGhoffar


EM, Cet. XXV, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2007

Wahid, Marzuki dan Rumadi.Fiqih Mazhab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001

Watt, W. Montgomerry, Pengantar Studi Al Quran, Penyempurnaan atas Karya Richard


Bell. Terj. Taufik Adnan Amal, Jakarta: Rajawali Press, ct. I, 1991.

Yanggo, HuzaimahTahido. Fiqih Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.


Undang-undang

“Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak” (2014).

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 13 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Anda mungkin juga menyukai