Anda di halaman 1dari 36

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak sebagai generasi penerus cita-cita dan masa depan bangsa. Oleh karena

itu, menjadi tanggung jawab orang tua dan pendidik untuk memastikan anak

tumbuh dan berkembang secara optimal sesuai dengan harapan. Berdasarkan UU

Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan

bahwa :

“Untuk mewujudkan cita-cita bangsa, maka anak perlu


mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang secara optimal. Baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia. Sangat perlu dilakukan upaya perlindungan untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan
terhadap pemenuhan hak-haknya serta perilaku tanpa
diskriminasi”.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia atau KPAI mencatat, kasus pelanggaran

hak anak pada 2018 mencapai 4.885 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan

pada 2017 yang mencapai 4.579 kasus. Kasus pelanggaran hak anak didominasi

kekerasan seksual (kpai.go.id). Menurut WHO (World Health Organization)

kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam aktivitas seksual dengan orang

dewasa atau dengan anak kecil lainnya (anak kecil yang memiliki kekuasaan

dibanding korban) yang anak tidak memahami sepenuhnya, tidak mampu

memberikan persetujuan untuk melakukan dan kegiatan ini melanggar hukum atau

tabu sosial masyarakat.

Maraknya kekerasan seksual terhadap anak menunjukkan bahwa dunia yang

aman bagi anak-anak semakin sempit dan sulit untuk ditemukan. Karena

kekerasan seksual terhadap anak bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Contoh
2

kasus yang dimuat di media masa; dua orang anak di Padang, Sumatra Barat

diperkosa dirumahnya sendiri oleh keluarga dan tetangganya (bbc.com). Artinya,

anak-anak yang seharusnya merasa aman dan terlindungi, justru menjadi korban

kekerasan seksual oleh orang dewasa yang dekat dengan mereka.

Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan serius yang terus

meningkat dari waktu ke waktu dan secara signifikan dapat mengancam dan

membahayakan jiwa anak, merusak kehidupan pribadi dan tumbuh kembang anak,

serta mengganggu rasa kenyamanan, ketentraman, keamanan, dan ketertiban

masyarakat.

Briggs dan Hawkins dalam Solihin (2015) mengungkapkan :

“Beberapa penyebab yang membuat anak-anak mudah menjadi


sasaran child sexual abuse, yaitu anak-anak yang polos yang
mempercayai semua orang dewasa, anak-anak yang berusia belia
yang tidak mampu mendeteksi motivasi yang dimiliki oleh orang
dewasa, anak-anak diajarkan untuk menuruti orang dewasa, secara
alamiah anak-anak memiliki rasa ingin tahu mengenai tubuhnya
dan anak-anak diasingkan dari informasi yang berkaitan dengan
seksualitasnya. Oleh karena itu anak-anak memiliki berbagai
karakter yang dapat menjerumuskan mereka menjadi korban child
sexual abuse”.

Berdasarkan hal tersebut, diperlukan upaya untuk mencegah dan melindungi

anak dari ancaman kekerasan seksual di lingkungannya. Salah satunya dengan

memberikan pendidikan seks. Pendidikan seks idealnya dimulai dari keluarga.

Karena orang tualah yang paling bertanggung jawab atas tumbuh kembang anak.

Namun, kebanyakan orang tua kurang memiliki pengetahuan atau kemampuan

untuk menyampaikan pemahaman seks kepada anak. Dan salah satu bidang yang

dapat menyentuh semua lapisan masyarakat dalam memberikan pemahaman seks

pada anak yaitu melalu pendidikan di sekolah.


3

Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal

3 menyatakan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan


membentuk watak dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Jelas bahwa yang perlu di bangun dalam pendidikan tidak hanya kemampuan

akademik, tetapi juga ditekankan pada sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan

standar norma tertinggi.

Melalui pendidikan seks, anak diarahkan pada perkembangan sikap dan

pemahaman tentang seks yang akan sangat berguna untuk membentengi diri

mereka dari ancaman kekerasan seksual. Pendidikan seks yang dimaksudkan

adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah

seksual yang diberikan pada anak, dalam usaha menjaga anak terbebas dari

kebiasaan yang tidak islami serta menutup segala kemungkinan ke arah

penyimpangan seksual (Choirudin: 2014).

Kekerasan seksual yang menimpa anak bukan hanya meninggalkan efek

traumatis yang cukup berat, namun juga bisa menimbulkan dampak negatif dari

segi kesehatan. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Salah satu bagian terpenting dari kesehatan adalah kesehatan reproduksi.

Pengertian kesehatan reproduksi hakekatnya telah tertuang dalam UU Nomor 61


4

Tahun 2014 tentang “Kesehatan reproduksi yang menyatakan bahwa kesehatan

reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh,

tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan

sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan”.

Dalam kasus ini peneliti melakukan observasi mengenai pendidikan seks di

Sekolah Kharisma. Dalam observasi dan wawancara yang dilakukan peneliti

terhadap pihak sekolah, bahwa pendidikan seks sudah ada dalam kurikulum akan

tetapi tidak disebutkan secara langsung, namun secara eksplisit masuk dalam

tema-tema tertentu, tidak terdapat jam khusus untuk mengajarkan anak tentang

pendidikan seks namun dirasa penting untuk diajarkan. Komponen pendidikan

seks untuk anak belum terlihat jelas dalam bahan ajar yang digunakan oleh guru.

Dalam hal ini, menjadi inspirasi bagi peneliti untuk mengembangkan bahan ajar

sex education di Sekolah Kharisma.

Pemahaman pendidikan seks di usia dini ini diharapkan agar anak dapat

memperoleh informasi yang tepat mengenai pendidikan seks. Hal ini dikarenakan

adanya media lain yang dapat mengajari anak mengenai pendidikan seks, yaitu

media informasi. Dengan memberikan pemahaman seks pada anak, diharapkan

dapat menghindarkan anak dari resiko negatif perilaku seksual maupun perilaku

menyimpang. Dengan sendirinya anak diharapkan akan tahu mengenai seksualitas

dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mengetahui aturan hukum, agama, dan

adat istiadat, serta dampak penyakit yang bisa ditimbulkan dari penyimpangan

tersebut.
5

Menurut Piaget (Izzaty dkk, 2008:88) menyatakan bahwa “anak pada masa

kanak-kanak awal berada pada tahap perkembangan praoperasional (2-7 tahun),

pada tahap ini anak belajar tentang semua hal melalui benda-benda konkrit yang

ada disekitarnya”. Sedangkan pendidikan seks merupakan konsep-konsep yang

abstrak. Sehingga dalam hal ini anak belum dapat menerima apa saja yang

diajarkan guru yang sifatnya abstrak secara cepat.

Sejalan dengan pemikiran tersebut, maka penulis melakukan penelitian

pengembangan suatu bahan ajar cerita bergambar materi pendidikan seks kepada

anak, dengan judul “Pengembangan Komik Digital Materi Sex Education untuk

Siswa Sekolah Kharisma di Kota Makassar”. Bahan ajar disampaikan dalam

bentuk cerita bergambar sehingga memudahkan orang tua atau guru melakukan

pendidikan pada anak untuk menjaga dirinya. Adapun penelitian sebelumnya yang

menjadi acuan atau referensi peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh Ita Suryani mahasiswa Universitas Bina Sarana

Informatika, Program studi Hubungan Masyarakat pada tahun 2019 yang berjudul

Upaya Preventif UNICEV dalam Pencegahan Kejahatan Seksual pada Anak

melalui video animasi pendidikan anak “Kisah si Geni”. Video tersebut

memberikan edukasi kepada anak untuk mengetahui apa yang harus dilakukan

agar terhindar dari kejahatan seksual.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya:

1. Bagaimana kebutuhan komik digital materi sex education di Sekolah

Kharisma Makassar?

2. Bagaimana desain prodak komik digital materi sex education di Sekolah

Kharisma Makassar?

3. Bagaimana tingkat validitas dan kepraktisan komik digital materi sex

education di Sekolah Kharisma Makassar?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu kepada rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan :

1. Mengetahui kebutuhan pengembangan komik digital materi sex

education di Sekolah Kharisma Makassar

2. Mendesain produk komik digital materi sex education di Sekolah

Kharisma Makassar.

3. Mengetahui tingkat validitas dan kepraktisan komik digital materi sex

education di Sekolah Kharisma Makassar.

D. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, manfaat yang

diharapkan adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai informasi dan memberikan

sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan tentang

pemanfaatan bahan ajar yang inovatif bagi guru.


7

2. Manfaat Praktis

a. Bagi kepala sekolah, menjadi pertimbangan dalam mewadahi dan

memediasi peningkatan kompetensi guru dalam mengajar dan

peserta didik dalam belajar sehingga kualitas pembelajaran dan mutu

pendidikan di sekolah.

b. Bagi guru, menjadi motivasi untuk mengunakan bahan ajar yang

inovatif dan relevan dengan tujuan pembelajaran sehingga

bermanfaat bagi perbaikan proses kegiatan pembelajaran.

c. Bagi peserta didik, sebagai pendorong (motivasi) untuk mengikuti

proses pembelajaran dengan lebih bersemangat dan acuan dalam

memahami materi pelajaran.

E. Spesifikasi Produk

Dalam penelitian pengambangan ini, diharapkan akan ada sebuah bahan ajar

berupa buku cerita bergambar yang layak digunakan dalam proses pembelajaran.

Spesifikasi produk yang diharapkan dalam penelitian ini adalah :

1. Materi

Materi dalam media ini mengenail “Aku belajar: Melindungi diri

sendiri”.

a. Siswa

Siswa merupakan sasaran utama dari pengguna bahan ajar sex

education yang dapat melakukan hal-hal seperti berikut:

1) Dapat mempelajari bagaimana melindungi diri sendiri

2) Mengetahui sejak dini tentang pentingnya pendidikan seks


8

b. Guru

Guru bisa menjadikan buku cerita bergambar sebagai salah satu

media pembelajaran.

2. Gambar dan Narasi

Gambar dan narasi dalam bahan ajar adalah sebagai penunjang agar buku

cerita bergambar menjadi lebih menarik, sehingga minat siswa untuk belajar

menjadi meningkat. Selain itu dapat memudahkan orang tua/guru melakukan

pendidikan pada anak untuk menjaga dirinya.

F. Target Luaran

Rencana Target Capaian Tahunan


Tahun Ke-
No Jenis Luaran
1 2 3
1. Publikasi Ilmiah Internasional
Nasional Terakreditasi v
2. Pemakalah dalam temu ilmiah Internasional
Nasional v
3. Invited Speaker dalam temu ilmiah Internasional
Nasional
4. Visiting Lecture Interternasional
5. Hak Kekayaan Internasional (HAKI) Paten
Paten sederhana
Hak Cipta v
Merek dagang
Rahasia Dagang
Desain Produk Insdustry
Indikasi geografis
Perlindungan Varietas
Tanaman
Perlindungan Topografi
Sirkuit Trepadu
14. Teknologi Tepat Guna
15. Model/Purwarupa/Desain/Karya seni/Rekayasa Sosial
16. Buku ajar (ISBN) v
17. Ringkat Kesiapan Teknologi
9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A. TINJAUAN PUSTAKA

1. Kawasan Teknologi Pendidikan

Menurut AECT (2004) teknologi pendidikan adalah studi dan praktek

etis dalam upaya memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan kinerja

dengan menciptakan, menggunakan/memanfaatkan, dan mengelola proses

dan sumber-sumber teknologi yang tepat. Jelas tujuan utamanya masih tetap

untuk memfasilitasi pembelajaran (agar efektif, efisien, dan menarik) dan

meningkatkan kinerja.

Berlandaskan definisi AECT, ada lima domain atau bidang garapan

teknologi pendidikan yaitu:

a. Kawasan Desain

Desain adalah proses untuk menentukan kondsi belajar. Tujuan

desain ialah untuk menciptakan strategi dan produk pada tingkat makro,

seperti program dan kurikulum, dan pada tingkat mikro, seperti pelajaran

dan modul. Kawasan desain meliputi studi mengenai desain sistem

pembelajaran, desain pesan, strategi pembelajaran, dan karakteristik

pebelajar. Desain sistem pembelajaran adalah prosedur yang

terorganisasi yang meliputi langkah-langkah penganalisaan, perancangan,

pengembangan, pengaplikasian dan penilaian pembelajaran. Desain

pesan meliputi perencanaan untuk merekayasa bentuk pesan. Hal tersebut

mencakup prinsip-prinsip perhatian, persepsi dan daya serap yang


10

mengatur penjabaran bentuk fisik dari pesan agar terjadi komunikasi

antara pengirim dan penerima pesan. Strategi pembelajaran adalah

spesifikasi untuk menyeleksi serta mengurutkan peristiwa belajar atau

kegiatan pembelajaran dalam suatu pelajaran.

b. Kawasan Pengembangan

Kawasan pengembangan berakar pada produksi media.

Pengembangan adalah proses penterjemahan spesifikasi desain ke dalam

bentuk fisik. Kawasan pengembangan dapat diorganisasikan dalam

empat kategori: teknologi cetak (yang menyediakan landasan untuk

kategori yang lain), teknologi audio visual, teknologi berazaskan

komputer, dan teknologi terpadu.

c. Kawasan Pemanfaatan

Pemanfaatan adalah aktivitas menggunakan proses dan sumber untuk

belajar. Dengan demikian, pemanfaatan menuntut adanya penggunaan,

desiminasi, difusi, implementasi, dan pelembagaan yang sistematis.

Fungsi pemanfaatan penting karena fungsi ini memperjelas hubungan

pebelajar dengan bahan dan sistem pembelajaran. Kawasan pemanfaatan

meliputi empat kategori, yakni pemanfaatan media, difusi inovasi,

implementasi dan institusionalisasi (pelembagaan), serta kebijakan dan

regulasi.

d. Kawasan Pengelolaan

Pengelolaan merupakan pengendalian Teknologi Pembelajaran

melalui perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan supervisi.


11

Ada empat kategori dalam kawasan pengelolaan, yaitu pengelolaan

proyek, pengelolaan sumber, pengelolaan sistem penyampaian, dan

pengelolaan informasi. 

e. Kawasan Evaluasi

Evaluasi adalah proses penentuan memadai tidaknya pembelajaran

dan belajar. Dalam kawasan ini dibedakan pengertian antara evaluasi

program, evaluasi proyek, dan evaluasi produk.

Gambar 2.1

Sumber: http://tp.fip.unm.ac.id/akademik/kurikulum/

2. Bahan Ajar

a. Pengertian Bahan Ajar

Bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang

berisikan materi pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara

mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka

mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau


12

subkompetensi dengan segala kompleksitasnya (Widodo dan Jasmadi

dalam Lestari, 2013:1). Pengertian ini menjelaskan bahwa suatu bahan

ajar haruslah dirancang dan ditulis dengan kaidah intruksional karena

akan digunakan oleh guru untuk membantu dan menunjang proses

pembelajaran.

Bahan atau materi pembelajaran pada dasarnya adalah “isi” dari

kurikulum, yakni berupa mata pelajaran atau bidang studi dengan

topik/subtopik dan rinciannya (Ruhimat, 2011:152).

Melihat penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa peran seorang

guru dalam merancang ataupun menyusun bahan ajar sangatlah

menentukan keberhasilan proses belajar dan pembelajaran melalui

sebuah bahan ajar. Bahan ajar dapat juga diartikan sebagai segala bentuk

bahan yang disusun secara sistematis yang memungkinkan siswa dapat

belajar secara mandiri dan dirancang sesuai kurikulum yang berlaku.

Dengan adanya bahan ajar, guru akan lebih runtut dalam mengajarkan

materi kepada siswa dan tercapai semua kompetensi yang telah

ditentukan sebelumnya.

b. Fungsi Bahan Ajar

Secara garis besar, fungsi bahan ajar bagi guru adalah untuk

mengarahkan semua aktivitasnya dalam proses pembelajaran sekaligus

merupakan subtansi kompetensi yang seharusnya diajarkan kepada siswa.

Fungsi bahan ajar bagi siswa untuk menjadi pedoman dalam proses
13

pembelajaran dan merupakan subtansi kompetensi yang seharusnya

dipelajari.

Bahan ajar juga berfungsi sebagai alat evaluasi pencapaiana hasil

pembelajaran. Bahan ajar yang baik sekurang-kurangnya mencakup

petunjuk belajar, kompetensi yang akan dicapai, isi pelajaran, informasi

pendukung, latihan-latihan, petunjuk kerja, evaluasi dan respon terhadap

hasil evaluasi (Prastowo dalam Lestari, 2011: 2004).

Karakteristik siswa yang berbeda berbagai latar belakangnya akan

sangat terbantu dengan adanya kehadiran bahan ajar, karena dapat

dipelajari sesuai dengan kemampuan yang dimilki sekaligus sebagai alat

evaluasi penguasaan hasil belajar karena setiap hasil belajar dalam bahan

ajar akan selalu dilengkapi dengan sebuah evaluasi guna mengukur

penguasaan kompetensi.

c. Jenis-jenis Bahan Ajar

Bahan ajar memiliki beragam jenis, ada yang cetak maupun non

cetak. Bahan ajar non cetak yang sering dijumpai antara lain berupa

bahan ajar berbentuk program audio, bahan ajar display, model,

overhead transparencies (OHT), video dan bahan ajar berbantuan

komputer. Di bawah ini akan diuraikan penjelasan terkait jenis-jenis

bahan ajar.

1) Bahan ajar display

Jenis bahan ajar display agak berbeda sifat dan karakteristiknya

dengan jenis bahan ajar cetak maupun noncetak karena isinya


14

meliputi semua materi tulisan ataupun gambar yang dapat

ditampilkan di dalam kelas, kelompok kecil ataupun siswa secara

perorangan tanpa menggunakan alat proyeksi. Pada umumnya, bahan

ajar jenis display ini digunakan oleh guru pada saat ia

menyampaikan informasi kepada siswanya di depan kelas. Contoh-

contoh jenis bahan ajar display dalam modul ini di antaranya adalah

flipchart, adhesive, chart, poster, peta, foto, dan realia.

2) Gyu Overhead Transparencies (OHT)

Overhead Transparencies (OHT) merupakan salah satu jenis

bahan ajar noncetak yang tidak memasukkan unsur-unsur gerakan

dan biasanya berupa imej tekstual dan grafik dalam lembar

transparan yang dapat dipresentasikan di depan kelas atau kelompok

dengan menggunakan Overhead Projector (OHP). OHT sangat

populer dan banyak digunakan guru dalam program pembelajaran,

terutama bermanfaat untuk bermacam-macam pembelajaran

kelompok, dan juga memungkinkan siswa untuk belajar mandiri.

3) Audio

Program audio adalah semua sistem yang menggunakan sinyal

radio secara langsung yang dapat dimainkan atau didengar oleh

seseorang atau sekelompok orang. Namun, guru kadang memandang

remeh kontribusi suara, musik, dan kata-kata yang diucapkan dalam

proses pembelajaran. Suara, musik, dan kata-kata dapat digunakan


15

untuk pengajaran langsung, terutama untuk pengajaran bahasa. Salah

satu contoh program audio, misalnya siaran radio.

Siaran radio dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran

dan mampu menjangkau jumlah siswa yang banyak dan tersebar. Di

samping siaran radio, contoh lain program audio adalah kaset audio.

Kaset audio ini lebih menguntungkan dibanding siaran radio karena

dapat direkam dan digunakan siswa kapan dan di mana pun mereka

berada. Siswa juga dapat mengontrol pemanfaatan kaset audio ini

secara mandiri.

4) Video

Daryanto (2010: 88) menjelaskan bahwa video adalah segala

sesuatu yang memungkinkan sinyal audio dapat dikombinasikan

dengan gambar bergerak secara sekuensial. Daryanto (2010: 86)

video merupakan suatau medium yang sangat efektif untuk

membantu proses pembelajaran, baik untuk pembelajaran massal,

individual, maupun berkelompok. Pada pembelajaran yang bersifat

massal (mass instruction), manfaat kaset video sangat nyata karena

dalam pembelajaran dengan jumlah peserta yang banyak, tentu tidak

mungkin efisien jika hanya menggunakan kapur dan papan tulis yang

ukuranya tidak dapat diperbesar ataupun diperkecil. Ukuran tampilan

video dapat diperbesar ataupun diperkecil. Sangat fleksibel dan dapat

diatur sesuai kebutuhan.


16

Video juga merupakan bahan ajar non cetak yang kaya

informasi dan tuntas karena dapat sampai kehadapan siswa secara

langsung. Disamping itu, video menambah suatu dimensi baru

terhadap pembelajaran, hal ini karena karakteristik teknologi video

yang dapat menyajikan gambar bergerak pada siswa, disamping

suara yang menyertainya. Sehingga siswa merasa seperti berada

disuatu tempat yang sama dengan program yang ditayangkan dalam

video. Seperti diketahui bahwa tingkat retensi (daya serap dan daya

ingat) siswa terhadap materi pelajaran dapat meningkat secara

signifikan jika proses memeroleh informasi awalnya lebih besar

melalui indra pendengaran dan penglihatan.

Buku cerita bergambar pendidikan berarti media yang

menjadikan animasi sebagai keseluruhan tampilan atau visualisasi

dalam video tersebut. Priyanto Hidayatullah, M. Amarullah Akbar

dan Zaky Rahim (2011: 4) menjelaskan animasi pendidikan adalah

visualisasi materi pelajaran dalam bentuk animasi untuk digunakan

dalam kegiatan belajar mengajar.

Diharapkan dengan tampilan animasi, anak akan menjadi lebih

tertarik untuk menyaksikan buku cerita bergambar pendidikan seks,

dengan begitu materi yang disampaikan akan lebih terserap.

5) Bahan ajar berbasiskan komputer

Penggunaan komputer untuk program pembelajaran terus

meningkat akhir-akhir ini. Pemanfaatan komputer untuk program


17

pembelajaran dapat langsung dioperasikan oleh siswa langsung atau

terkoneksi dengan komputer lain.

Sedangkan yang termasuk program komputer untuk

pembelajaran adalah berbagai jenis bahan ajar noncetak yang

membutuhkan komputer untuk menayangkan sesuatu untuk belajar.

Komputer yang digunakan siswa dalam proses pembelajaran

biasanya berbentuk stand alone atau komputer terminal yang terkait

dengan komputer utama. Jaringan kerja komputer (lokal, nasional

atau pun internasional) dapat memungkinkan siswa untuk akses ke

database dari jarak jauh. Selain itu, memungkinkan mereka juga

untuk berkomunikasi dengan pengguna komputer lainnya dengan

menggunakan e-mail atau computer conferencing. Informasi dalam

bentuk kata-kata, suara, gambar dan animasi, sekarang tersedia untuk

siswa dalam bentuk CD-ROM yang dihubungkan dengan personal

computer (PC).

Bahan ajar cetak meliputi berupa handout, buku, modul, brosur, dan

lembar kerja siswa.

3. Pendidikan Seks (Sex Education)

a. Pengertian Pendidikan Seks

Secara umum pendidikkan seks adalah suatu informasi mengenai

persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses

terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual,


18

hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan

kemasyarakatan.

Nugraha dalam Madani (2014: 12) menerangkan bahwa pendidikan

seks untuk anak usia dini adalah salah satu upaya memberikan

pemehaman kepada anak sesuai dengan usianya mengenai fungsi-fungsi

alat seksual dan masalah naluri alamiah yang mulai timbul; bimbingan

mengenai menjaga dan memelihara organ intim, di samping juga

memberikan pemahaman tentang perilaku pergaulan yang sehat serta

risiko-risiko yang dapat terjadi seputar masalah seksual.

Chomaria (2012:15) menjelaskan bahwa pendidikan seks adalah

pemberian informasi dan pembentukan sikap serta keyakinan tentang

seks, identitas seksual, hubungan, dan keintiman. Ini menyangkut

anatomi seksual manusia, reproduksi, hubungan emosional dan aspek

lain dari perilaku seksual manusia. Hal ini sangat penting bagi manusia,

sehingga setiap anak memiliki hak dididik tentang seks.

Pendidikan seks tidak melulu mengajari anak bagaimana cara

berhubungan seksual antara laki-laki dan perempuan. Pendidikan seks

diharapkan mampu menyadarkan anak pada jenis kelaminya sehingga ia

mampu menjaga dan berlaku sesuai dengan jenis kelamin yang

dimilikinya.

Pendidikan seks atau mengenai kesehatan reproduksi atau yang lebih

trend-nya “sex education” sudah seharusnya diberikan sejak dini ketika

anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan
19

orang lain, berkesinambungan dan bertahap disesuaikan dengan

kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak. Dalam hal ini

pendidikan seks idealnya diberikan pertama kali oleh orang tua di rumah,

mengingat yang tahu keadaan anak adalah orang tuanya sendiri. Tetapi

sayangnya di indonesia tidak semua orang tua mau terbuka terhadap anak

di dalam membicarakan masalah seksual. Dalam hal ini maka sebenarnya

peran dunia pendidikan sangtlah besar.

b. Tahapan Usia Untuk Mengajarkan Pendidikan Seks

Kapankah sebaiknya pendidikan seks itu dilakukan ? Menurut

Rosmini psikolog pendidikan, seks bagi anak wajib diberikan orang tua

sedini mngkin. “Pendidikan seks wajib diberikan orang tua pada anaknya

sedini. Tepatnya dimulai saat anak masuk play group (usia 3-4 tahun),

karena pada usia ini anak sudah dapat mengerti mengenai organ tubuh

mereka dan dapat pula dilanjutkan dengan pengenalan organ tubuh

internal.

Salah satu cara menyampaikan pendidikan seksual pada anak dapat

dimulai dengan mengajari mereka membersihkan alat kelaminnya

sendiri. Ajari anak untuk membersihkan alat genitalnya dengan benar

setelah buang kecil (BAK) maupun buang air besar (BAB), agar anak

dapat mandiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Pendidikan ini

pun secara tidak langsung dapat mengajari anak untuk tidak sembarangan

menginzinkan orang lain membersihkan alat kelaminnya.


20

Dalam memberikan pendidikan seks kita harus sesuaikan dengan

umur mereka. Berikut beberapa tahapan umur dan cara memberikan

pendidikan seks sesuai dengan tingkat usia.

1) Balita (1-5 tahun)

Pada usia ini, anak sudah bisa diperkenalkan tentang organ-

organ seks miliknya secara singkat. Misalnya saat memandikan si

kecil, beritahu dia tentang berbagai organ tubuhnya, seperti rambut,

kepala, tangan, kaki, peru, dan jangan lupa kelaminnya. Lalu beri

penjelasan perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya, misal si kecil

memiliki adik yang berlawan jenis.

2) Usia 5-10 tahun

Pada usia ini anak cenderung aktif untuk bertanya salah satu

pertanyaannya adalah darimana aku berasal Bu? Terkadang orang

tua yang kurang memahami pertanyaan itu bisa menjawab dengan

jawaban yang bisa membuat anak tambah bingung. Disini orang tua

bisa menjawab “nak, kamu dari sini (sambil menunjuk perut)” atau

orang tua bisa memberikan contoh dengan melihatkan si kecil wanita

yang sedang mengandung.

Di sampig itu orang tua harus memberitahu si kecil jika ada

orang lain yang memegang kemaluan si kecil tanpa sepengetahuan

orang tua agar si kecil berteriak. Hal ini adalah salah satu usaha

preventif agar si anak terhindar dari penjahat-penjahat kelamin.

3) Usia Menjelang Remaja


21

Pada masa ini biasanya anak sudah mengalami pubertas dimana

perubahan tubuhnya secara morfologi sudah terlihat. Peran orang tua

adalah menjelaskan mereka bahwa perubahan mereka murni alami

terjadi agar mereka tiak banyak bertanya yang menyebabkan mereka

terpancing untuk bertanya yang tidak seharusnya dipertanyakan.

4) Usia Remaja

Masa ini adalah masa dimana bisa dikatakan organ seksualnya

sudah matang. Peran orang tua sangat dibutuhkan dalam

memberikan nilai moral, dampak negatif dan hukum. Agar anak-

anak tidak terjerumus ke dalam masalah kawin muda.

Maka dari itu perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap

anak yang ada pada masa remaja. Agar terhindari dari informasi-

informasi yang tidak mendidik. Misalnya dari teman, VCD porno,

majalah, dan internet.

c. Tujuan dan Manfaat Pendidikan Seks

1) Tujuan pendidikan seks

Pendidikan seks sebagai bagian dari pendidikan secara

keseluruhan mempunyai tujuan, yaitu membentuk manusia yang

mempunyai kemampuan menyesuaikan dirinya dengan partnernya,

dengan masyarakat, dan lingkungannta, serta mampu menjalin

hubungan yang harmonis dan tidak menimbulkan efek yang

merugikan bagi dirinya, partnernya, dan masyarakatnya dalam

menjalankan kehidupan seksualnya.


22

Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (dalam Suraji, 2008) tujuan

pendidikan seks yang diberikan kepada anak-anak (sebagai generasi

penerus) meliputi beberapa hal :

a) Membantu anak untuk merasakan bahwa seluruh anggota

jasmani dan tahap-tahap pertumbuhannya sesuai dengan

yang diharapkan.

b) Menjadikan anak mengerti tetang proses berketurunan.

c) Mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang akan

terjadi akibat pertumbuhannya.

d) Menjadikan anak bangga dengan jenis kelaminnya.

e) Membantu anak mengetahui bahwa perbuatan seks harus

didasarkan atas penghargaan yang tulus terhadap

kepentingan orang lain

f) Menciptakan kesadaran bahwa masalah seks adalah salah

satu sisi positif konstruksif dan terhormat dalam kehidupan

masyarakat.

g) Mempersiapkan anak agar mampu membina keluarga dan

menjadi orang tua yang bertanggung jawab.

2) Manfaat pendidikan seks

a) Memberikan pengertian yang mamadai mengenai

perubahan fisik, mental, dan proses kematangan emosional

yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.


23

b) Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan

perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan,

dan tanggung jawab)

c) Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap

seks dalam semua manifestasi yang bervariasi.

d) Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia

dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan

kehidupan keluarga.

e) Memberikan pegertian mengenai kebutuhan nilai moral

yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam

membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.

f) Mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang

tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.

B. KERANGKA PIKIR

Bahan ajar sex education (buku cerita bergambar) untuk anak usia dini dapat

membantu orang tua memberikan tayangan yang mendidik mengenai pendidikan

seks. Dibuat dalam bentuk animasi yang diharapkan akan disukai anak.

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan produk berupa Bahan ajar sex

education (buku cerita bergambar), yang dimana buku cerita bergambar ini

tentunya tidak hanya dipergunakan semata untuk hiburan, tetapi juga

dipergunakan dalam dunia pendidikan.

Guru sebagai penggerak utama dalam pembelajaran diharapkan mampu

meminimalisir segala kemungkinan yang bisa terjadi dalam hubungan dengan


24

pelaksanaan pembelajaran. Dengan demikian guru diharapkan dapat

menggunakan bahan ajar yang inovatif yang siap pakai baik guru sendiri maupun

oleh siswa untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik.

Skema kerangka pikir pengembangan bahan ajar sex education untuk anak

usia dini dapat digambarkan sebagai berikut:

Mata Pelajaran Bahasa


Bahan ajar Sex Education
Inggris

Bahan Ajar Anak Usia Dini


Cetak

Anak memahami cara- Anak mampu menolong


cara menghindari Anak sadar diri sendiri dan orang lain
kekerasan seksual akan bahaya melalui potensi kekuatan
(kognitif) kekerasan fisik dan psiokologis yang
seksual dimilikinya
(afektif) (psikomotorik)

Gambar 2.2 Skema Kerangka Pikir


25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Sayodih (2010:4) Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dan

pengembangan atau research and development (R&D) adalah suatu proses atau

langkah-langkah untuk mengembangkan suatu produk baru atau meyempurnakan

produk yang telah ada, yang dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian

pengembangan menurut Seels & Richey dalam Nusa (2015:276) didefinisikan

sebagai berikut:

Developmental research, as opposed to simple instructional


development, has been defined as the systematic study of
designing, developing and evaluating instructional programs,
processes andproducts that must meet the criteria of internal
consistency and effectiveness. Berdasarkan definisi ini penelitian
pengembangan sebagaimana berbeda denga pengembangan
pembelajaran sederhana, telah didefinisikan sebagai studi
sistematis untuk merancang, Cara mengembangakan dan
mengevaluasi program pengajaran, proses dan produk yang harus
memenuhi kriteria konsistensi dan efektivitas internal.

Produk yang dihasilkan dalam penelitian pengembangan ini adalah bahan ajar

sex education berupa buku cerita bergambar di Sekolah Kharisma Makassar.

Model pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini mengadopsi

langkah-langkah pada model pengembangan ADDIE dalam Rusdi (2018) yakni


26

melalui langkah-langkah analisis (analysis), desain (design), pengembangan

(development), implementasi (implementation), dan evaluasi (evaluation).

Alasan memilih model pengembangan ADDIE dikarenakan model

pengembangan ini terdiri dari tahap yang relatif mudah (lima tahap). ADDIE

merupakan keranngka kerja yang runut dan sistematis dalam mengorganisasikan

rangkaian kegiatan penelitian desain dan pengembangan.

B. Tahap-Tahap Penelitian

Sesuai dengan model penelitian dan pengembangan multimedia pembelajaran

yang merupakan jabaran dari model ADDIE oleh Lee, W.W., dan Owens, D.L

dalam Rusdi (2018:37) seperti pada gambar berikut:

Elu
Ima
v
n eA
tio
psD
yg

Gambar 3.1 Tahap-tahap pengembangan yang di kembangan oleh Lee, W.W., dan
Owens, D.L (2004)

ADDIE dibagi kedalam 5 fase, yaitu: (1) Analysis Phase, diartikan sebagai

analisi kebutuhan program media pembelajaran, terkait permasalahan


27

pembelajaran, tujuan dan sasaran pembelajaran, (2) Design Phase, diartikan

sebagai perancangan dan pembuatan desain media pembelajaran, (3) Development

phase, diartikan sebagai pengimplementasian media pebelajaran, (4)

Implementation phase diartikan sebagai pengeimplementasian media

pembelejarana. (5) Evaluation phase, diartikan sebagai tahap evaluasi terhadap

media yang dikembangkan.

Prosedur pengembangan dibagi dalam lima tahapan yang dapat dijabarkan

seperti berikut:

1. Tahapan Analisis (Analysis)

a) Studi pustaka dan studi lapagan

Tahap ini bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai bagaimana

pendidikan seks di Sekolah Kharisma Makassar media apa yang biasa

digunakan, serta kendala apa saja yang alami dalam memberikan pendidikan

seks untuk anak usia dini. Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan untuk

mencari informasi terkait tema yang akan diangkat dan dikembangkan

menjadi bahan ajar, mencakup mengkaji teori yang didapat melalui jurnal,

buku, maupun hasil penelitian terkait pengembagan bahan ajar sex education.

b) Analisis kebutuhan

Analisis kebutuhan yang dilakukan meliputi analisis kurikulum, analisis

karakteristik mahasiswa, serta analisis pemanfaatan perangkat untuk

menggunakan bahan ajar yang akan dikembangkan.

2. Tahapan Desain (Design)

a) Melakukan analisis tugas dan konsep


28

Analisis tugas bertujuan untuk menentukan urutan-urutan materi secara

efisian berupa flowchart agar mudah dipelajari oleh peserta didik. Sedangkan

pada tahap analisis konsep, dilakukan analisis intruksional yakni

mengorganisasikan materi-materi yang dibutuhkan dalam bentuk tabel rincian

materi beserta sumber reverensi sebelum dikolaborasikan dengan flowchart

secara keseluruhan.

b) Membuat pedoman pembuatan produk

Sebelum memulai mengembangkan produk, hal yang perlu dibuat adalah

sebuah rancangan pedoman pembuatan produk yang dapat digunakan sebagai

bahan diskusi dengan pengguna dan pembimbing. Pedoman pengembangan

bahan ajar sex education di Sekolah Kharisma Makassar mengacu pada

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).

c) Merancang Media pembelajaran

Membuat gambaran dan rancangan bahan ajar berupa buku cerita

bergambar di Sekolah Kharisma Makassar yang akan dikembangakan.

Tahapan ini meliputi desain tampilan juga materi yang akan di tampilkan

dalam buku cerita bergambar..

d) Mengumpulkan sumber-sumber

Tahap ini mencakup semua bahan maupun informasi yang mendasar dan

dibutuhkan untuk membantu proses pengembangan. Terdapat dua jenis

sumber/bahan, yakni: 1) segala yang relevan dengan materi; dan 2) segala

yang relevan dengan penggunaan buku cerita bergambar.

e) Membuat storyboard dan prototipe produk


29

Membuat storyboard yang nantnya akan dibuat menjadi prototipe yang

merupakan bentuk awal produk yang dirancang dan menjadi contoh baku

produk yang sesungguhnya.

3. Tahapan Pengembangan (Development)

a) Produksi media

Pembuatan produk yaitu bahan ajar berupa buku cerita bergambar sex

education untuk anak usia dini. gambar dibuat menggunakan aplikasi

CorelDraw. Materi yang ditampilkan merupakan materi tentang pendidikan

seks untuk anak usia dini.

b) Validasi produk

Tahapan validasi terdiri dari dua tahap validasi yaitu validasi materi dan

validasi media. Validasi materi dilakukan oleh ahli materi tujuannya untuk

mendapatkan penilaian dari ahli materi mengenai materi yang telah paparkan.

Sedangkan validasi media dilakukan oleh ahli media yang bertujuan untuk

mendapatkan penilaian dari ahli media terkait media yang dikembangkan.

4. Tahapan Implementasi (Implemantation)

Tahap implementasi, yaitu media yang telah di buat kemudian

diimplementasikan dalam proses pembelajaran. Tujuan dilakukannya

implemantasian ini adalah agar mengtahui keefektifan dari media yang telah

dibuat dalam proses pembelajaran.

5. Tahapan Evaluasi (Evaluation)


30

Hasil evaluasi digunakan sebagai acuan apakah media sudah tidak

memerlukan revisi lagi dan layak untuk digunakan dalam sekala luas serta sudah

bisa dikatakan produk akhir.

C. Uji Coba Produk

Tahapan dalam uji coba produk yang diterapkan dalam pengembang media

ini adalah uji alpha dan uji betha. Uji alpha yaitu Uji ahli, dilakukan oleh ahli

media serta ahli isi/materi pembelajaran. Kegiatan ini dilakukan agar pembuat

media mendapatkan perbaikan secara konseptual yang diperoleh melalui validasi

ahli. Uji betha yaitu Uji coba perorangan, uji coba kelompok kecil, dan uji coba

kelompok besar. Uji coba perorangan dilakukan dengan melibatkan siswa Sekolah

Kharisma Makassar.

D. Lokasi penelitian

Penelitian ini berlokasi di Sekolah Kharisma Makassar. Peneliti telah

melakukan observasi dilokasi tersebut dan menemukan masalah yang dianggap

perlu untuk diteliti seperti yang telah dibahas pada latar belakang.

E. Subjek dan objek penelitian

Adapun subjek dalam penelitian ini adalah 2 orang validator yaitu ahli media

pembelajaran, ahli isi atau materi pembelajaran dan peserta didik di Sekolah

Kharisma Makassar berjumlah 19 orang. Sedangkan objek penelitian yang diteliti

disini adalah pengembangan bahan ajar berupa buku cerita bergambar.

F. Sumber Data

Data-data yang dikumpulkan melalui angket dikelompokkan menjadi empat

bagian, yaitu: (1) data evaluasi tahap pertama berupa data hasil uji ahli media dan
31

desain pembelajaran dan uji ahli isi/materi media pembelajaran, (2) data evaluasi

tahap kedua berupa data hasil uji coba perorangan, (3) data hasil uji coba

kelompok kecil, (4) data hasil uji coba kelompok besar dan (5) tanggapan guru

mata pelajaran.

Seluruh data yang diperoleh dikelompokkan menurut sifatnya menjadi data

kualitatif. Data kualitatif diperoleh melalui angket tanggapan dan wawancara dari

hasil review ahli media dan desain pembelajaran, hasil review ahli isi mata kuliah,

hasil review uji coba perorangan, hasil review uji coba kelompok kecil, hasil

review uji coba kelompok besar dan hasil review guru mata pelajaran.

G. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini dikelompokkan menurut sifatnya menjadi data

kualitatif dan data kuantitatif. Pada data kuantitatif akan diperoleh dari hasil

penilaian 19 orang peserta didik di Sekolah Kharisma Makassar.

H. Tehnik Pengumpulan Data

Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam pebelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Observasi

Emzir (2016:37) “observasi atau pengamatan dapat didefinisikan

sebagaiperhatian yang terfokus terhadap kejadian, gejalah, atau sesuatu”.

Observasi dilakukan guna mengumpulkan data awal agar peneliti dapat

memperhatikan secara langsung mengenai fenomena yang terjadi.

2. Kuisioner (Angket)
32

Maolani dan Cahyana (2015:153) “Kuisioner merupakan tehnik

pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberikan seperangkat

pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden (sumber data)”. Dalam

penelitian ini angket yang digunakan terdiri atas angket validasi materi,

validasi media, dan angket uji coba peserta didik. Angket validasi materi

berisi tentang aspek penilaian yang terdiri dari aspek isi dan keterbacaan

materi. Sedangkan angket validasi media berisikan aspek penilaian terhadap

tampilan, dan unsur media. Angket peserta didik meliputi perspektif peserta

didik terhadap bahan ajar yang sudah dibuat.

3. Wawancara

Wawancara dilakukan melalui tatap muka atau face to face sesudah

penerapan media. Pada penelitian ini peneliti menggunakan pedoman

wawancara yang telah disusun oleh peneliti.

I. Intrumen Pengumpulan Data

Intsrumen pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan angket.

Angket atau kuisioner adalah teknik pengumpulan data melalui formulir-formulir

yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara tertulis kepada guru,

peserta didik, dan ahli media dan ahli materi/isi untuk mendapatkan jawaban atau

tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti. Fungsi dari angket ini

untuk mengetahui kelayakan dan menarik atau tidaknya bahan ajar buku cerita

bergambar yang dikembangkan oleh peneliti. Angket yang dibuat berupa angket

identifikasi kebutuhan peserta didik, angket ahli media pembelajaran, angket ahli

isi/materi media pembelajaran, angket uji coba kelompok kecil, angket uji coba
33

kelompok besar dan angket penilaian/tanggapan guru mata pelajaran di Sekolah

Kharisma Makassar terhadap produk bahan ajar buku cerita bergambar.

J. Analisis Data

Analsisi data dilakukan setelah data telah terkumpul dari hasil penelitian. Hal

ini dilakukan selama pengumpulan data berlangsung dan setelah pengumpulan

data.

Penelitian pengembangan ini menggunakan dua teknik analisis data, yaitu

teknik Analisis deskriptif kualitatif dan analisis statik deskriptif.

1. Analisis deskriptif kualitatif

Analisis deskriptif kualitatif ini digunakan untuk mengolah data hasil

review materi/isi dan ahli media pembelajaran. Teknik analisis data ini

dilakukan dengan mengelompokkan informasi-informasi dari data kualitatif

berupa masukan, tanggapan, kritik dan saran perbaikan yang terdapat pada

angket dan hasil wawancara kepada para ahli media dan desain serta ahli isi

materi pembelajaran, uji coba perorangan, uji coba kelompok kecil, uji coba

kelompok besar dan tanggapan guru. Hasil analisis data ini kemudian

digunakan untuk merevisi produk media pembelajaran.

2. Analisis Statistik Deskriptif

Teknik analisis ini digunakan untuk mengolah data yang diperoleh

melalui angket dalam bentuk deskriptif persentase. Rumus yang digunakan

untuk menghitung persentase dari masing-masing subyek adalah :

∑ (Jawaban × bobot tiap pilihan)


Presentase = × 100 %
N × bobot tertinggi
34

Keterangan :

∑ = jumlah

N= jumlah seluruh item angket

Selanjutnya untuk menghitung presentase keseluruhan subyek digunakan

rumus:

Persentase = F : N

Keterangan : F = jumlah persentase keseluruhan subyek

N = banyak subyek

Untuk dapat memberikan makna dan pengambilan keputusan digunakan

ketetapan sebagai berikut:

Tabel 3.1 Konversi Tingkat Pencapaian dengan Skala 5


3.

Tingkat Pencapaian Kualifikasi Keterangan


90% - 100% Sangat Baik Tidak Perlu Direvisi
75% - 89% Baik Tidak Perlu Direvisi
65% - 74% Cukup Direvisi
55% - 64% Kurang Direvisi
0% - 54% Sangat Kurang Direvisi
Sumber: Arikunto (2007)

Pada tabel 3.1, menjelaskan konversi tingkat pencapaian dengan skala 5

untuk mengukur hasil validasi dan uji coba media yang dikembangkan. Mulai

tingkat pencapaian 0% hingga 74%, maka media yang dikembangkan perlu

direvisi dan pada tingkat pencapaian 75% hingga 100%, maka media yang

dikembangkan tidak perlu direvisi.


35

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A. 2007. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada


______ . 2012. Kreatif Mengembangkan Media Pembelajaran. Jakarta: Referensi
______ . 2013. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Pers.
Chomaria, Nurul. 2012. Pendidikan Seks untuk Anak. Solo: Aqwam
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
Djamarah, Bahri Syaiful & Zain Aswan. 2010. Stategi Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineka Cipta
Hana, Bunda. 2009. Ayo Ajarkan Anak Seks. Jakarta: Kompas Gramedia
______ . 2014. Right From The Start. Jakarta: Kompas Gramedia.
Hidayatullah, Priyanto, Rahim, Zaki, Amarullah, M. Akbar. 2011. Animasi
Pendidikan Menggunakan Flash. Informatika: Bandung
Ilmawati, Zulia. 2014. Bagaimana Pendidkan Seks dalam Perspektif Islam?
http://id.theasianparent.com/pendidikan-seks-dalam-perspektif-islam/,10
julii 2019
Izzaty, Rita Eka dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY
Press
Madani, Prof. Yousef. 2014. Pendidikan Seks Usia Dini Bagi Anak Muslim:
Panduan Bagi Orang Tua dan Guru Agar Anak Tidak Menjadi Korban.
Jakarta: Zahra
Nurdin, Syafruddin & Adriantoni. 2016. Kurikulum Pembelajaran. Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada
Nusa. 2015. Reserarch & development (penekitian dan pengembangan) suatu
pengantar. Jakarta: rajawali Pers.
Prastowo, Andi. 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.
Yogyakarta: Diva Press.
Sumantri, Mohamad Syarif. 2015. Strategi Pembelajaran (Teori Praktik Di
Tingkat Pendidikan Dasar). Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Sunaryo, Soenarto. 2012. Media Pembelajaran Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan. Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta.
Suyadi dan Ulfah, Maulidya. 2013. Konsep Dasar Paud. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Syarifah, Fauzi’ah. 2016. Faktor Penyebab Pelecehan Seksual Terhadap Anak.
Jurnal An-Nisa’, IX, 81-101
36

Anda mungkin juga menyukai