Anda di halaman 1dari 16

HADHANAH

Riski Julia Pulungan


Universitas Islam Negeri Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan
riskijulia@gmail.com

Abstract
This Jumal examines in depth the concept of Hadhanah in the context of Islamic family law. Hadhanah, as a form
of guardianship of property, is the center of attention in understanding ownership and responsibility. In Islam. This
research details the definition and meaning of Hadhanah, tracing its legal basis in the Al-Quran and Hadith, as
well as presenting the valid conditions of Hadhanah that are in accordance with Islamic principles. In addition,
this journal discusses Hadhanah’s role in protecting children’s property and interests. The research method used
in this research uses the library research method, by collecting data in the form of scientific papers that are relevant
to the needs of this research. This journal provides an overview of the contribution to a better understanding of
how this concept is applied in solving property ownership and guardianship problems. The conclusion of this
research evaluates the relevance and challenges of the Hadhanah concept in contemporary society, providing a
comprehensive insight to understand the role and application of this concept in the context of Islamic family law.
Keywords: hadhanah, family law, parenting.

Abstrak
Jurnal ini mengkaji secara mendalam konsep Hadhanah dalam konteks hukum keluarga Islam. Hadhanah, sebagai
bentuk perwalian terhadap harta, menjadi pusat perhatian dalam pemahaman kepemilikan dan tanggung jawab
dalam Islam. Penelitian ini merinci definisi dan makna Hadhanah, menelusuri landasan hukumnya dalam Al-
Quran dan Hadis, serta memaparkan syarat-syarat sah hadhanah yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain
itu, jurnal ini membahas peran Hadhanah dalam melindungi harta dan kepentingan anak-anak. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode library research dengan mengumpulkan data berupa
karya tulis ilmiah yang relevan dengan kebutuhan dalam penelitian ini. Jurnal ini memberikan gambaran tentang
kontribusi pada pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana konsep ini diaplikasikan dalam penyelesaian
masalah kepemilikan dan perwalian harta. Kesimpulan dari penelitian ini mengevaluasi relevansi dan tantangan
konsep Hadhanah dalam masyarakat kontemporer, memberikan wawasan yang komprehensif untuk memahami
peran dan penerapan konsep ini dalam konteks hukum keluarga Islam.

Kata kunci: hadhanah, hukum keluarga, pengasuhan.

PENDAHULUAN
Rumah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari pendidikan. Karena bermula
dari rumah setiap manusia mendapatkan pendidikan awal. Tentunya pendidikan secara rill yang
diberikan oleh pendidik (orangtua) dalam bentuk pengasuhan (mendidik) anak yang dalam
istilah agama disebut dengan hadhanah. Yang mana hadhanah merupakan suatu bentuk kasih
sayang Allah terhadap hamba-hambaNya yaitu dengan jalan. Mengasuh anak-anak yang
terlahirkan dari rahim ibu. Karena pengasuhan anak juga merupakan satu manifestasi dari
berbagai bentuk kemulian yang diberikan Allah kepada manusia yang menjadi makhluk yang
paling mulia dan merupakan karunia-Nya atas manusia dibanding. Terhadap makhluk lainya.

1
Jadi hadhanah merupakan rahmat dari Allah SWT yang dititipkan ke dalam hati. Kedua
orangtua. Dengan peran dari kedua orang tuanya, mereka memberikan rahmat dan kasih sayang
tersebut kepada putra- putri mereka, sebagai tanda kasih-sayang. Sehingga dengan demikian
akan berdampak pula kepada putra-putri mereka untuk selalu membiasakan diri menyayangi,
mengasihi, dan berbuat baik kepada orang lain terlebih kepada orangtua mereka, sebagai
bagian dari akhlak dan etika dalam perbuatan putra- putri mereka

Dalam ranah hukum keluarga Islam, konsep Hadhanah menjadi salah satu aspek krusial
yang berkaitan dengan kepemilikan dan perwalian harta. Hadhanah, sebagai bentuk perwalian,
mengandung signifikansi besar dalam menjaga dan mengatur hak-hak serta tanggung jawab
yang berkaitan dengan harta benda. Konsep ini bukan hanya mencerminkan dimensi hukum,
tetapi juga memberikan pandangan mendalam tentang bagaimana Islam merespons dinamika
hubungan keluarga, kepemilikan, dan keadilan

Penting untuk memahami dan merinci konsep Hadhanah, mengingat perannya yang tak
terbantahkan dalam menjaga hak-hak keluarga dan keberlanjutan nilai-nilai Islam.
Keberlanjutan pernikahan dan ketentraman dalam keluarga sering kali bergantung pada
pemahaman dan implementasi yang benar terhadap konsep Hadhanah. Penelitian ini bertujuan
untuk memberikan pemahaman mendalam mengenai konsep Hadhanah dalam hukum keluarga
Islam. Dengan menganalisis definisi, landasan hukum, dan aplikasi praktisnya, kita dapat
membuka wawasan baru terhadap bagaimana Islam memberikan arahan konkret dalam
mengelola kepemilikan dan perwalian harta. Dalam merinci konsep Hadhanah, penelitian ini
akan memanfaatkan metode analisis literatur dan pendekatan hukum perbandingan. Dengan
melibatkan sumber-sumber primer seperti Al-Quran dan Hadis, juga ditopang oleh penelitian
empiris, kita dapat membentuk pemahaman yang komprehensif. Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan kontribusi pada pemahaman teoritis dan aplikatif terhadap konsep
Hadhanah dalam praktik hukum keluarga Islam. Implikasinya dapat dirasakan dalam rangka
memberikan panduan yang lebih efektif dan sesuai dengan nilai-nilai Islam dalam konteks
keluarga.

METODE PENELITIAN

Kajian ini merupakan penelitian library research atau kepustakaan yang menggunakan
metode jenis kualitatif. Kajian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data berupa
karya tulis ilmiah yang relevan dengan mengumpulkan, membaca, dan menelaah buku-buku

2
yang terkait dengan pembahasan ini. Di mana datanya dihimpun dari berbagai sumber
kepustakaan (buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar, dan sebagainya).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Definisi dan Makna Hadhanah dalam Perspektif Hukum Islam

Secara bahasa, hadanah berasal dari al-hidinu yakni berkumpul di Secara istilah,
hadanah adalah mendidik anak yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk mendidik’ atau
‘mendidik dan menjaga orang yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri dari hal-hal yang dapat
menyakiti dirinya karena tidak tamyiz, seperti anak kecil, orang tua, serta orang gila
(Muzammil, 2019). Setiap anak mutlak mendapatkan dan menikmati hak asuh dari kedua orang
tuanya. Mengasuh anak atau pengasuhan anak dalam hukum Islam disebut “Hadhanah”.
Hadhanah itu juga memiliki arti etimologis berasal dari hadhana-yahdhunu- hadhnan yang
memiliki arti kepedulian anak atau memeluk anak. Hadhanah adalah sesuatu yang bermanfaat
baginya dan mencegahnya dari bahaya, termasuk membesarkan anak dan membantu
membersihkan tubuhnya, mencuci pakaiannya, meminyaki rambutnya, juga menggendong
anak dalam buaian dan mengayunkannya.

Hak asuh anak dalam hukum Islam adalah lazim pengasuhan anak disebut hadhanah.
Hadhanah berarti menekankan pada upaya mengasuh anak, memberi makan dan merawatnya.
Hukum Islam yang berlaku dalam hak asuh, hadhanah adalah upaya memelihara, merawat,
mendidik dan mengasuh anak di bawah dari usia dua belas tahun. Diketahui bahwa anak pada
usia itu masih belum mengetahui cara membedakan dan memilih dengan benar, baik dan buruk
dalam hidupnya. Oleh karena itu, anak-anak membutuhkan kehadiran kedua orang tua untuk
merawat mereka. Kedua orang tua baik ayah maupun ibu memiliki hak asuh dengan anak-
anaknya meskipun dalam kondisi yang sangat sulit seperti saat keduanya mengalami
pernikahan baru atau bercerai. Kedua orang tua memiliki tanggung jawab yang sama dalam
pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya. Hal itu harus diperkuat pada hak anak untuk tidak
dipisahkan dari orang tuanya dengan alasan apapun, agar anak-anak tidak hidup terlantar dan
dapat menikmati seluruh hak anak dari kedua orang tuanya

Hadhanah adalah sikap mengasuh anak yang masih kecil, laki-laki atau perempuan,
yang belum mengetahui antara yang baik dan yang buruk, yang belum sempat melakukannya
sendiri dan belum mengetahui cara melakukan sesuatu, dan kepadanya sebelum sesuatu.

3
Melindungi yang sakit dan sakit. Melatihnya secara fisik dan secara mental dan intelektual
mampu menjalani kehidupan yang penuh dan bertanggung jawab. Tujuan membesarkan anak
merupakan tugas mulia dan luhur seperti pada penjelasan pembahasan sebelumnya, tentu
implementasinya yang secara sadar dilakukan oleh mereka yang kurang mampu sulit tercapai.
Oleh karena itu, persyaratan tersebut menjadi pedoman untuk menentukan tanggungan anak.

Tentu tempat patut diperhatikan karena memiliki anak yang tumbuh besar dan tumbuh
dewasa. Lingkungan yang baik, religius dan sarat dengan nilai-nilai Islami pasti akan
mempengaruhi perkembangan spiritual anak. Bahkan ada persyaratan sehubungan dengan
syarat pemegang hak hadhanah ini bahwa ia harus memiliki kafaah atau martabat yang sesuai
dengan kedudukan anak itu. Artinya, Orang tua sebagai pengasuh dapat memberikan
pendidikan yang layak kepada anak, sehingga kondisi anak membaik secara mental dan fisik,
harus jelas bahwa orang yang tidak cerdas atau tidak waras tidak dapat membesarkan anak
karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Jadi akal sehat adalah persyaratan utama
( Fikri & Agus Muchsin, 2022).

Dari segi terminologi, hadhanah memiliki definisi yang variatif, seperti yang diutarakan
dari beberapa mazhab:

1. Fukaha Hanafiah mendefinisikan hadhanah sebagai usaha mendidik anak yang


dilakukan oleh seorang yang mempunyai hak mengasuh.
2. Ulama Syafi’iyah, hadhanah adalah mendidik orang yang tidak dapat mengurus
diriya sendiri dengan apa yang bermaslahat baginya dan memeliharanya dari apa
yang membahayakannya, meskipun orang tersebut telah dewasa. Seperti membantu
dalam hal membersihkan jasadnya, mencucikan pakaiannya. Meminyaki
rambutnya, dan lain- lainnya. Demikian pula menggendong anak dalam buaian dan
mengayun-ngayunkannya supaya cepat dapat tidur.
3. Sedangkan Sayyid Sabiq mengungkapkan bahwa Hadhanah adalah suatu sikap
pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang
kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu
dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk
kebaikan, dan menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya,
mendidik serta mengasuhnya, baik fisik. Mental, maupun akal, agar mampu
menegakan kehidupan yang sempurna dan bertanggung jawab. Definisi terminologi

4
tentang hadhanah kurang lebih seperti tersebut diatas, tentang pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz (Muhajir, 2017).

Landasan Hukum Hadhanah: Tinjauan Al-Quran dan Hadis

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana
wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Ada- pun dasar hukumnya
mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah:

‫َو َعلَى الْ َم ْولُود لَهُ رْزقُ ُهن َوك ْس َو ُُتُن ِبلْ َم ْع ُروف‬

“Adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya.”
(QS. Al-Baqarah: 233).

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan
ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya
perceraian.

‫اس َوا ْْل َج َارةُ َعلَْي َها َم ََلئ َكة غ ََلظ‬


ُ ‫ود َها الن‬
ُ ُ‫ين َآمنُوا قُوا أَنْ ُف َس ُك ْم َوأ َْهلي ُك ْم ََن ًرا َوق‬
َ ‫َي أَيُّ َها الذ‬
‫صو َن هللا َما أ ََمَرُه ْم َويَ ْف َعلُو َن َما يُ ْؤَم ُرو َن‬
ُ ‫ش َداد َل يَ ْع‬

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-Malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu menger- jakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim; 6)

Pada Ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari
api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-
perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini
adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah
dan ibu ma- sih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.
Sebagaimana sabda Rasul- Allah SAW: Yang Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mah-
mud bin Khalid As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari Abu Amr Al-Auza’i,
telah menceritakan kepadaku Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin
Amr baltwa seorang wanita berkata, wahai Rasulallah, sesungguhnya anakku ini, perutku

5
adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah
rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku.
Kemudian Rasulullah Sate berkata kepadanya, engkau lebih berhak ter- hadapnya selama
engkau belum menikah.” (HR. Abu Daud).

Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran,


kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan mengeluh
dalam menghadapi berbagai persoalan mereka; bahkan Rasulallah SAW sangat mengecam
orang-orang yang merasa bosan dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka. Hal ini
sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis: “Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa orang
anak perempuan dan saya mendoakan agar maut menemui mereka, Rasulullah SAW bersabda
“Wahai Ibnu Sa’dah (panggilan bagi Aus) jangan kamu berdo’a seperti itu, karena anak-anak
itu membawa berkat, mereka akan membawa berbagai nikmat, mereka akan membantu apa-
bila terjadi musibah, dan mereka merupakan obat diwaktu sakit dan rezeki mereka datang dari
Allah SWT” (HR. Muslim dan Abu Daud) (Efendi, 2019).

Konsep Hadhanah dalam Praktik Hukum Keluarga Islam

BAB XIV

PEMELIHARAAN ANAK

Pasal 98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang
anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belun pemah melangsungkan
perkawinan.
(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan di luar Pengadilan.
(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal 99

Anak yang sah adalah:

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

6
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal 100

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya.

Pasal 101

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya,
dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an.

Pasal 102

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari
lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu
mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang
memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima

Pasal 103

(1) Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti
lainnya.
(2) Bila akta kelahiram alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak
setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti yang sah.
(3) Atas dasar ketetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat
Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pasal 104

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggung-jawabkan kepada ayahnya. Apabila


ayahya setelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang
yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.
(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan
dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

7
Pasal 105

Dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya:
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal 106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang
belum dewasa atau di bawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau
suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.
(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena
kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1) (Kompilasi
Hukum Islam Di Indonesia, 2018).

Syarat-syarat Sah Dalam Hadhanah

Disyaratkan beberapa syarat agar hak asuh dapat diberikan kepada pihak yang ingin
mengasuh anak, diantaranya:

a. Muslim

Anak yang berasal dari keluarga muslim, atau salah satu dari kedua orang tuanya adalah
muslim, wajib dirawat oleh hadhin yang juga seorang muslim. Sebab penjagaan atas Agama
mahdhun merupakan kebutuhan yang paling mendasar dari pada kebutuhan lainnya.

b. Aqil Baligh

Para Ulama sepakat bahwa aqil baligh merupakan syarat seseorang dapat menjadi
hadhin atas orang lain. Sebab, seseorang yang tidak sempurna akalnya atau belum berumur
baligh, tentunya tidak dapat mengurus dirinya sendiri, apalagi mengurus kebutuhan orang lain.

c. Tidak Fasiq

8
Para ulama juga sepakat bahwa seorang hadhin bukanlah orang yang fasiq. Sebab orang
yang fasiq tidak dapat dipegang baik ucapan mapun perbuatannya. Dan. Pemeliharaan
mahdhun di tangan orang fasiq, dapat berakibat bahaya atas agama dan masa depannya. Yang
dimaksud fasiq adalah orang-orang yang dikenal dan diketahui secara khalayak sebagai pelaku
maksiat. Seperti seorang pezina, peminum, pencuri, tidak sholat dan beragam maksiat lainnya.

d. Mampu

Seorang hadhin disyaratkan kemampuan dalam melakukan pemeliharaan atas


kebutuhan mahdhun. Di mana jika tidak mampu karena fakktor tertentu, maka seseorang tidak
boleh menjadi hadhin. Seperti jika. Seorang hadhin dalam kondisi cata (buta, lumpuh) yang
pada umumnya membuat seseorang tidak mampu memenuhi semua kebutuhan dari mahdhun.

e. Rosyid

Malikiyah dan Syafi’iyah menetapkan syarat lainnya atas hadhin, yaiti bersifat rosyid.
Maka seorang hadhin tidak boleh bersifat safih. Rosyid bermakna seorang yang mampu
mengelola hartanya dengan cara yang baik. Sedangkan kebalikannya adalah safih, yaitu
seseorang yang senantiasa lalai dalam menggunakan hartanya, seperti orang yang suka
memubadzirkan harta untuk keperluan tidak penting.

f. Mahrom

Jika mahdhun tersebut seorang wanita, maka disyaratkan atas hadhin adalah termasuk
mahromnya. Maka sepupu tidak boleh menjadi hadhin atas sepupu wanitanya, karena antara
keduanya tidak berlaku kemahroman. Syarat ini ditetapkan atas dasar kekhawatiran akan.
Timbulnya pelanggaran syariat jika antara hadhin dan mahdhun tidak memiliki hubungan
kemahroman. Seperti jika mereka berdua melakukan khalwat atau perbuatan-perbuatan yang
bisa mengarah kepada zina (Amin, 2021).

Untuk kepentingan anak dan pemeliharaanya diperlakukan syarat- syarat bagi hadhinah
dan hadhin

1) Tidak terkait dengan suatu pekerjaan yang menyebabkan ia tidak melakukan hadhanuh
dengan baik, seperti hadhanah terkait dengan pekerjaan yang berjauhan tempatnya dengan
tempat si anak, atau hampir seluruh waktu dihabiskan untuk bekerja.
2) Hendahlah ia orang yang mukalaf, yaitu orang yang telah balig, berakal, dan tidak
terganggu ingatannya. Hadhanah suatu pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab,

9
sedangkan orang yang bukan mukalaf adalah orang yang tidak dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
3) Hendaklah mempunyai kemampuan melakukan hadhanah
4) Hendaklah dapat menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak, terutama yang
berhubungan budi pekerti. Orang yang dapat merusak budi pekerti anak, seperti pezina dan
pencuri, tidaklah pantas melakukan hadhanah.
5) Hendaklah hadhinah tidak bersuamikan laki-laki yang tidak hubungan mahram dengan si
anak. Jika ia kawin dengan laki-laki yang ada hubungan mahram dengan si arak, maka
hadhinah berhak melakukan hadhanah, seperti ia kawin dengan paman si anak dan
sebagainya.
6) Hadhamah hendaklah orang yang tidak membenci si anak. Jika hadhimah orang yang
membenci sianak dikhawatirkan berada dalam kesengsaraan

Persamaan agama tidaklah menjadi syarat bagi hadhinah kecuali jika dikhawatirkan ia
akan memalingleam si anak dari agama Islam. Sebab, hal yang penting dalam hadhanah ialah
kadhinah mempunyai rasa cinta dan kasih kepada anak serta bersedia memelihara anak dengan
sebaik baiknya. Jika pendidikan dan pemelihara itu anak laki-laki disyariatkan sama agama
antara anak dan si hadhin. Sebab, laki-laki yang boleh sebagai hadhin laki-laki yang ada
hubungan saling mewarisi dengan si anak (Attamimi, 2010).

Orang yang Berhak dalam Hadanah

Hadhanah terbagi dua: pertama, legal custady yaitu yang berkaitan dengan kepentingan
anak seutuhnya yang dilindungi hukum. Legal custady menjadi kewajiban. Salah satu dari ayah
atau ibunya yang telah bercerai mana yang paling mampu memenuhi kebutuhan terbaik anak.
Kedua, Fisical custady berkaitan dengan kepentingan anak yang belum mampu merawat
dirinya sendiri. Anak yang di bawah umur 12 tahun belum mampu merawat dirinya sendiri
memerlukan bantuan orang lain. Dalam mempertimbangkan hak-hak anak di pengadilan,
hakim tidak melihat siapa baik suami atau isteri yang mempunyai penghasilan lebih banyak,
maka biaya hadhanah tetap dibabankan kepada ayah walaupun anak ikut ibu.

Kewajiban bapak dalam memberi nafkah terhadap anak terbatas pada kemampuannya,
sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (QS. At-Thalaq (65); 7:

10
‫ف اّللُ نَ ْف ًسا إل‬
ُ ‫لينفق ذو سعة من َس َعته َوَمن قُد َر َعلَْيه رْزقُهُ فَلْيُنفق مبا وهللا هللا ل يُ َكل‬
‫َما َعاتَتَ َها َسيَ ْج َعلُ هللاُ بَ ْع َد عُسر يسرا‬

“Hendaklah orang (ayah) yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan
orang (ayah) yang rezekinya sempit hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah
berikan kepadanya, Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”

Terdapat beberapa pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan tentang


kewajiban orang tua terhadap anaknya.

Pasal 45:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya.
2. Kewajiban orang tua di maksud di dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan anara kedua orang tua putus.

Pasal 47:

1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selam mereka tidak dicabut kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan.

Semua Imam Mazhab sepakat bahwa orang yang memberi nafkah itu harus. Orang yang
berkecukupan, kecuali Imam Hanafi yang mengatakan bahwa persyaratan orang yang memberi
nafkah itu harus kaya hanya berlaku terhadap kaum kerabat yang terletak pada jalur pokok atau
cabang. Sedangkan kewajiban orang tua untuk memberi nafkah kepada anaknya atau
sebaliknya anak menafkahi salah seorang di antara kedua orangtuanya, tidaklah disyarat kaya.
Persyaratannya adalah mampu atau bisa bekerja. Seorang ayah yang mampu bekerja, wajib
memberi nafkah terhadap anaknya, begitu juga sebaliknya anak menafkahi ayahnya, kecuali
bila ayah dan ank sama-sama miskin dan tidak mampu bekerja, misalnya buta dan sebagainya
(Ramlah, 2021).

11
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 105 dinyatakan bahwa “Dalam hal terjadinya
perceraian, maka:

a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
c) biaya pemeliharaan ditanggung ayahnya”.

Beberapa penjelasan ini juga sesuai sebagaimana Hadis yang dikutip oleh Rahmad
Hidayanto: Dari Abdullah Ibnu Amar bahwa ada seorang perempuan berkata: Wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku ini perutkulah yang mengandungnya, susuku yang
memberinya minum, dan pangkuanku yang melindunginya. Namun ayahnya yang
menceraikanku ingin merebutnya dariku. Maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya “Engkau
lebih berhak terhadapnya selama engkau belum nikah HR. Ahmad dan Abu Dawud.

Sabda Rasulullah Saw. Tersebut bisa ditafsirkan bahwa anak tersebut belum baligh yang
masih membutuhkan belaian kasih sayang ibu dan sangat membutuhkan untuk hidup dekat
dengan ibunya. Apabila seorang suami men- ceraikan istri sedangkan ia memiliki seorang anak
darinya, maka sang istri lebih berhak untuk memelihara anak tersebut sampai anak baligh dan
selama ia tidak menikah dengan laki-laki lain. Apabila sudah berusia tujuh tahun, maka ia
disuruh memilih antara ikut ayahnya atau ibunya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah saw:
“Dari Abu Hurairah ra. Bahwa seorang perempuan berkata: Wahai Rasulullah, suamiku ingin
pergi membawa anakku, padahal ia berguna untukku dan meng- ambilkan air dari sumur Abu
Inabah untukku. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai anak laki, ini ayahmu
dan ini ibumu, peganglah tangan siapa dari yang engkau kehendaki.” Lalu ia memegang
tangan ibunya dan ia membawanya pergi.” (HR Ahmad dan Imam Empat).

Jadi hak pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai, ketentuannya adalah:

(4) Apabila ia masih kecil (belum baligh), maka yang a berhak untuk memeliharanya
adalah ibunya.
(5) Apabila ia sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka
si anak berhak untuk menentukan dengan siapa ia akan ikut.

Berdasarkan dua runtutan di atas, maka ibu tetap mendapatkan prioritas utama dalam
pengasuhan anak selama anak tersebut belum mumayyiz dan semua biaya pemeliharaan
menjadi tanggung jawab ayahnya. Apabila si anak sudah mumayyiz maka anak berhak memilih

12
untuk ikut ibu atau ayahnya. Namun, kenyataan yang berkembang di masyarakat prinsip
musyawarah tetap harus diutamakan sehingga baik suami maupun istri mempunyai kesempatan
yang sama dan anak tetap mendapatkan perhatian dari ke- dua orang tuanya pasca perceraian
(Aziz, dkk, 2015).

Upah Hadhanah

Seorang ibu tidak berhak menerima upah hadhanah dan menyusui, selama ia masih
menjadi isteri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa Iddah. Karena dalam
keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai isteri atau nafkah masa Iddah. Hal ini
berdasarkan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 233:

ُ‫اعةَ َو َعلَى الْ َم ْولُود لَه‬


َ‫ض‬ َ ‫ات يُْرض ْع َن أ َْوَل َد ُهن َح ْولَ ْي َكاملَ ْي ل َم ْن أ ََر َاد أَن يُتم الر‬
ُ ‫َوالَْوال َد‬

ُ‫ف نَ ْفس إل ُو ْس َع َها َل تضار وال َدة ب َولَد َها َوَل َم ْولُود لَه‬
ُ ‫رْزقُ ُهن َوك ْس َو ُُتُن ِبلْ َم ْع ُروف َل تُ َكل‬
‫اح َعلَْيه َما‬
َ َ‫ص ًال َعن تَ َراض مْن ُه َما َوتَ َش ُاور فَََل ُجن‬
َ ‫ك فَإ ْن أ ََر َادا ف‬
َ ‫ َو َعلَى الَْوارث مثْلُ َذل‬،‫ب َولَده‬

َ‫اح َعلَْي ُك ْم إ َذا َسل ْمتُم ما ءَاتَ ْي تُم ِبلْ َم ْع ُروف َوات ُقوا اّلل‬ ُّْ ‫َوإ ْن أ ََر‬
َ َ‫دّت أَن تَ ْس َ َْتضعُوا أ َْوَل َد ُك ْم فَََل ُجن‬
‫َو ْاعلَ ُموا أَن اّللَ مبَا تَ ْع َملُو َن بَصي‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh, yaitu bagi yang
ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang makruf.” (QS. AL-Baqarah: 233).

Adapun sesudah masa Iddahnya, maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada
upah menyusui, Allah SWT, berfirman dalam QS. At-Thalaq/65: 6

13
‫ث َسكنتُم من ُو ُجد ُك ْم َوَل َوإن ُكن أ ُْوَلت‬
ُ ‫وهن م ْن َحْي‬
ُ ُ‫صبَ ُقوا َعلَْيهن أسكن‬
ْ َ‫وهن لت‬
ُ ‫ض ُار‬
َ ُ‫ت‬

‫ورُهن َوأََُت ُروا بَْي نَ ُكم‬


َ ‫ُج‬
ُ ‫وهن أ‬
ُ ُ‫ ات‬. ‫ض ْع َن لَ ُك ْم ف‬
َ ‫ض ْع َن ََحْلَ ُهن فَإ ْن أ َْر‬
َ َ‫ََحْل فَأَنف ُقوا َعلَْيهن َحّت ي‬

‫ُخَرى‬
ْ ‫اس ْرُّْت فَ َس َُْتض ُع لَهُ أ‬
َ ‫مبَْع ُروف َوإن تَ َع‬
“Maka berikanlah upah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain
boleh menyusukan anak itu, untuknya.” (QS. AT-Thalaq).

Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan kedua orang tuanya
suadah bercerai, KHI menjelaskan. Dalam pasal 105 dalam hal terjadinya perceraian:

1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum. Berumur 12 tahun adalah
hak ibunya.
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
di antara ayah atau ibunya. Sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
3. Biaya pemeliharaan di tanggung oleh ayahnya. Pasal 106: Orang tua berkewajiban
merawat dan mengembangkan.

Harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampuan, dan tidak di
perbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak
jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak
dapat dihindari lagi (Basri, 2020).

KESIMPULAN
Bahwa hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak yang masih kecil, baik laki- laki
atau perempuan atau yang sudah besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari siapapun sampai
mereka dewasa. Hadhanah merupakan tang- gung jawab kedua orang tua (ibu dan ayah).
Apabila berpisah maka anak sebaiknya diprioritaskan. Hadhanah adalah Memberikan
penjagaan atas orang-orang yang tidak mampu mengurus dirinya, serta memberikan didikan
yang baik baginya. Dasar hukumnya dapat ditemukan dalam Hadits yang mengatakan bahwa
ibu adalah yang paling berhak mengasuh anak jika bercerai, selama belum menikah lagi.

14
Adapun syarat hadhin adalah; muslim, aqil baligh, tidak fasiq, mampu, rosyid, mahrom.
Menurut Madzhab Hanafi, hadhonah anak laki-laki berakhir saat sang anak tidak lagi
membutuhkan penjagaan dan sudah bisa mengurus keperluannya sehari-hari seperti makan,
minum dan membersihkan pakaian sendiri. Sedangkan Madzhab Maliki berpendapat bahwa
batas usia masa hadhonah anak laki- laki adalah sejak dilahirkan sampai bermimpi (baligh),
sedangkan untuk anak perempuan sampai ia menikah. Dalam pandangan Madzhab Syafi’i,
tidak ada batasan yang baku tentang masa hadhonah anak. Anak tetap tinggal bersama sang ibu
sampai ia dapat menentukan pilihan. Apakah tetap tinggal bersama ibu atau ayahnya. Madzhab
Hanbali berpendapat bahwa batas masa hadhonah anak laki-laki maupun perempuan adalah 7
tahun. Jika anak tersebut telah mencapai usia ini dan ia seorang laki-laki, maka ia bisa memilih
di antara kedua orangtuanya, tetapi jika anak itu wanita, maka ayahnya lebih berhak atasnya,
dan tidak ada hak memilih baginya.

Melalui eksplorasi mendalam terhadap konsep Hadhanah dalam hukum keluarga Islam,
dapat disimpulkan bahwa Hadhanah bukan sekadar aspek teknis perwalian harta, melainkan
juga bentuk implementasi nilai-nilai keadilan dan keberlanjutan dalam Islam. Analisis terhadap
definisi, landasan hukum, dan penerapan praktis konsep ini menghasilkan temuan yang
signifikan dalam konteks penyelesaian konflik dan pemeliharaan hak-hak keluarga. Konsep
Hadhanah, dalam aplikasinya, dapat dianggap sebagai instrumen keadilan yang mengatur
distribusi hak dan tanggung jawab di antara anggota keluarga. Dalam hal ini, hadhanah menjadi
sarana untuk mewujudkan keseimbangan yang adil. Landasan hukum yang kuat dalam Al-
Quran dan Hadis memberikan otoritas dan legitimasi pada konsep Hadhanah. Ini menciptakan
dasar yang kuat untuk pengambilan keputusan dan penyelesaian konflik dalam kerangka ajaran
Islam. Hadhanah, ketika diimplementasikan secara benar, dapat berperan positif dalam
menciptakan kesejahteraan keluarga. Hal ini tercermin dalam pemeliharaan hak-hak individu
dan ketenangan batin anggota keluarga. Dengan demikian, konsep Hadhanah membuka ruang
yang luas bagi pemahaman mendalam tentang nilai-nilai Islam yang mengatur kepemilikan dan
perwalian harta dalam konteks keluarga. Kesimpulan ini memberikan landasan untuk
menghargai pentingnya Hadhanah sebagai instrumen hukum yang berarti dalam mewujudkan
keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan dalam kehidupan keluarga Muslim.

15
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Faris El. 2021. Fikih Munakahat 2. Jawa Timur: Duta Media Publishing.
Attamimi, Nazhifah. 2010. Fikih Munakahat. Jakarta Selatan: Hilliana Press.
Aziz, Abdul, dkk. 2015. Buku Saku Gender, Islam dan Budaya. Surabaya: LP2M Uin Sunan
Ampel Surabaya.
Basri, Rusdaya. 2020. Fikih Munakahat 2. Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press.
Efendi, Zulfan. 2019. Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak (Hadhanah) Terhadap Isteri Yang
Keluar Dari Agama Islam (Murtad). Riau: Stain Sultan Abdurrahaman Press.
Fikri & Agus Muchsin. 2022. Hak-hak Anak Dalam Hukum Keluarga Islam Pendekatan
Yurisprudensi Di Pengadilan Agama. Sulawesi Selatan: IAIN Parepare Nusantara
Press.
Kompilasi Hukum islam Di Indonesia. 2018. Kementerian Agama RI Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah. Jakarta.
Muhajir, Achmad. 2017. Hadhanah Dalam Islam (Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah). Vol. 2. Jurnal SAP. No. 2.
Muzammil, Iffah. 2019. Fiqh Munakahat (Hukum Pernikahan dalam Islam). Tangerang: Tira
Smart Anggota Ikapi.
Ramlah. 2021. “Tanggungjawab Orang Tua Terhadap Hak Hadhanah Dan Nafkah Anak Pasca
Perceraian: Perspektif Hukum Islam dan Putusan Pengadilan Agama”. Vol. 1. Jurnal
Studi Gender dan Anak. No. 1.

16

Anda mungkin juga menyukai