Anda di halaman 1dari 14

PENDIDIKAN PESANTREN BAGI ANAK USIA SEKOLAH DASAR

LAPORAN PENELITIAN
DISUSUN UNTUK MEMENUHI SALAH SATU TUGAS PADA
MATAKULIAH SEMINAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

dengan dosen pengampu:


Prof. Dr.H. Endis Firdaus, M.Ag
Himan Taufiq A, M.Pd

Oleh:
Flola Febiola NIM. 1701359
Sarah Maulida Lestari NIM. 1705773
Uluwul Himah A NIM. 1705591

DEPARTEMEN PENDIDIKAN KHUSUS


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
2020
ABSTRAK
Pendidikan pesantren merupakan salah satu sitem pendidikan yang sudah menjadi
layanan pendidikan yang dipilih oleh masyarakat Indonesia, telebih dengan nilai
keislaman yang khas dimiliki oleh pendidikan pesantren. Pendidikan pesantren
diselenggarakan untuk kelompok belajar dari pendidikan dasar hingga perguruan
tinggi. Salah satu permasalahan muncul ketika pendidikan pesantren diberikan
kepada anak usia sekolah dasar, yakni memunculkan ausmsi mengenai kesiapan
perkembangan anak yang belum matang, maupun berkurangnya fungsi keluarga.
Hasil penelitian menggunakan kuisioner menunjukkan sebagian besar responden
dalam penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan pesantren tidaklah efektif jika
dibeirkan kepada anak usia sekolah dasar.

Kata Kunci: anak, pendidikan, pesantren, fungsi keluarga

A. Pendahuluan
Islam memandang seorang anak merupakan amanah dari Allah yang
diberikan kepada keluarga agar menjadi sebaik-baiknya makhluk. Anak
akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan tugas perkembangannya, dan
dalam proses tersebut membutuhkan praktik pendidikan di dalamnya.
Pendidikan tersebut dapat dilakukan dari pendidikan informal, nonformal,
maupun pendidikan formal.
Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan
pendidikan, terlebih dengan nuansa keislaman. Hal itu tercermin dengan
adanya sekolah berbasis Islam atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai
pesantren. Pendidikan pesantren diberikan kepada peserta didik dari jenjang
sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Permasalahan muncul ketika
pendidikan pesantren diberikan kepada anak usia sekolah dasar. Hal
tersebut memunculkan asumsi tentang kesiapan anak yang belum matang,
dan berkurangnya keluarga dalam menjalankan fungsinya.
Oleh karena permasalahan di atas, penulis bertujuan untuk mengkaji
mengenai pendidikan pesantren bagi anak usia sekolah dasar ditinjau dari
konsep pesantren, fungsi keluarga dalam perspektif Islam, dan
perkembangan anak usia sekolah dasar. Harapannya, karya tulis ini dapat
menjadi salah satu pencerahan bagi pembaca mengenai permasalahan yang
sudah disebutkan di atas.
A. Konsep Pesantren
Dalam kamus besar bahas Indonesia, pesantren diartikan sebagai
asrama, tempat santri, atau tempat murid-murid belajar mengaji. Sedangkan
secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam, dimana para
santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-
kitab klasik dan kitab-kitab umum, bertujuan untuk menguasai ilmu agama
Islam secara detail, serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup
keseharian dengan menekankan pentingnya moral dalam kehidupan
bermasyarakat. (KBBI, 2016)
B. Santri Usia Sekolah Dasar
1. Santri
Santri berasal dari bahasa India, yakni shastri, yang artinya orang-
orang yang mengetahui kitab-kitab suci orang hindu. kata santri juga
berasal dari kata shastra yang berarti buku suci tentang ilmu pengetahan.
Apabila direnungkan dengan seksama, istilah santri diambil dari kata-
kata yang berasal dari India dapat diterima rasional karena penyebaran
agama Islam di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Gujarat India.
Akan tetapi sekarang, konseppesantren dimaknai sebagai asrama
dan tempat murid-murid mengaji. Menurut (Khusna, 2015, hlm.22)
Santri dalam arti sempit adalah seorang pelajar sekolah agama yang
bermukim di suatu tempat yang di sebut pondok pesantren. Jadi dapat
dikatakan bahwa santri adalah seseorang yang mukim di pondok
pesantren yang menimba ilmu-ilmu agama di suatu asrama atau pondok-
pondok tertentu.
2. Usia Sekolah Dasar
Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6
tahun dan selesai 12 tahun. Kalau melihat pada pembagian tahapan
perkembangan anak, berarti anak usia sekolah dasar dalam dua masa
perkembangan yaitu masa kanak-kanak (6-9 tahun), dan masa kanak-
kanak akhir (10-12 tahun).
c. Tahap-tahap Pendidikan Karakter.

Piaget (dalam Khusna, 2015, hlm.41) merumuskan bahwa


perkembangan kesadaran dan pelaksanaan aturan dengan membagi
menjadi beberapa tahapan dalam dua domain yakni kesadaran mengenai
aturan dan pelaksanaan aturan.
1) Tahapan pada domain kesadaran aturan
a) Usia 0-2 tahun : aturan diraskan sebagai hal yang tidak bersifat
memaksa.
b) Usia 2-8 tahun: aturan disikapi bersifat sakral dan diterima tanpa
pemikiran.
c) Usia 8-12 tahun: aturan diterima sebagai hasil kesepakatan.
2) Tahapan pada domain pelaksanaan aturan
a) Usia 0-2 tahun: aturan dilakukan hanya bersifat motorik
b) Usia 2-6 tahun: aturan dilakukan dengan orientasi diri sendiri.
c) Usia 6-10 tahun: aturan dilakukan sesuai kesepakatan
d) Usia 10-12 tahun dilakukan karena sudah dihimpun.

C. Tahapan Pendidikan Agama dalam Perspektif Islam

Dalam pandangan islam tahapan-tahapan pengembangan dan


pembentukan karakter sebagai berikut:
1) Tauhid (dimulai usia 0-2 tahun)
Menurut ibnu Qayyim (dalam Khusna, 2015, hlm.43) dalam kitabnya
Ahkam al-Maulad, apabila anak telah mampu mengucapkan kata-kata,
maka ditekankan pada mereka kalimat “La Ilaha Illallah’, Muhammad
Rasulullah”. Dan jadikan suara pertama kali didengar oleh anak berupa
pengetahuan tentang keesaan Allah.
2) Adab (usia 5-6 tahun)
Menurut Hidayatullah (dalam Khusna, 2015, hlm.43) pada fase ini,
hingga berusia 5-6 tahun anak dididik budi pekerti, terutama yang
berkaitan dengan nilai-nilai karakter sebagai berikut: a) Jujur, tidak
berbohong b) Mengenal mana yang benar dan salah c) Mengenal mana
yang baik dan mana yang buruk d) Mengenal mana yang diperintah
(yang dibolehkan) dan mana yang dilarang (yang tidak boleh
dilakukan).
3) Tanggung Jawab diri (usia 7-8 tahun)
Perintah agar anak usia 7 tahun mulai menjalankan shalat bahwa anak
mulai dididik untuk bertanggung jawab, terutama dididik untuk
bertanggung jawab pada diri sendiri. Hal lain seperti mandi sendiri
berpakaian sendiri, disiplin serta beranggung jawab dan lain sebagainya.
(Khusna, 2015, hlm 43)
4) Peduli (usia 9-10 tahun)
Pada usia ini anak dididik untuk mulai peduli pada orang lain, terutama
teman-teman sebaya yang setiap hari bergaul. Menghargai orang lain
(hormat kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih
muda), menghormati hak-hak orang lain bekerja sama diantarateman-
temannya, membantu dan menolong orang lain dan lain sebagainya.
5) Kemandirian ( usia 11-12 Tahun)
Pada fase kemandirian ini anak telah mampu menerapkan terhadap hal-
hal yang menjadi perintah atau yang diperintahkan dan hal-hal yang
menjadi larang atau yang dilarang, serta sekaligus memahami
konsekuensi resiko jika melanggar aturan. (Khusma, 2015, hlm.43)
D. Fungsi Keluarga dalam Perspektif Islam
1. Konsep Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi anak yang
memberikan sumbangan bagi perkembangan dan pertumbuhan mental
maupun fisik anak dalam kehidupannya. Menurut KBBI, keluarga
adalah satuan kerabat yang sangat mendasar dalam masyarakat.
Islam sendiri memandang keluarga sebagai tempat fitrah yang sesuai
dengan keinginan Allah bagi kehidupan manusia sejak keberadaan
khalifah, sebagaimana firman Allah swt yang artinya “Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul sebelummu dan Kami
menganugerahkan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. (Q.S ar-
Ra’d [13]: 38)
Sehingga bisa dikatakan Islam mendorong umatnya untuk
membentuk sebuah keluarga. Islam mengajak manusia untuk hidup
dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti gambaran kecil dalam
kehidupan stabil yang menjadi pemenuhan keinginan tanpa
menghilangkan kebutuhannya. Manusia secara individu tidak dapat
melakukan segalanya secara sendiri, sehingga dengan adanya keluarga
ia mampu memenuhi segala kebutuhannya. Fitrah kebutuhan manusia
mengajaknya untuk berkeluarga sehingga mencapai kerindangan dalam
tabiat kehidupannya.
Quraish Shihab (dalam Munawaroh, 2018, hlm.55) mengatakan
bahwa: “keluarga adalah jiwa masyarakat dan tulang punggungnya.
Kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati suatu bangsa, atau
sebaliknya, kebodohan dan keterbelakangannya, adalah cerminan dari
keadaan keluarga-keluarga yang hidup pada masyarakat bangsa
tersebut.”
Menurutnya, hakikat tersebut adalah kesimpulan pandangan dari
seluruh pakar dari berbagai disiplin ilmu, termasuk pakar-pakar agama
Islam. Itulah antara lain yang menjadi sebab sehingga agama Islam
sangat memberikan perhatian besar terhadap pembinaan sebuah
keluarga, perhatian yang sepadan dengan perhatiaannya terhadap
kehidupan individu serta kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
Keluarga juga merupakan tempat pengasuhan alami yang
melindungi serta merawat anak mulai dari awal ia tumbuh, serta
mengembangkan fisik, akal, dan spiritualitasnya. Dalam naungan
keluarga, perasaan cinta, empati dan solidaritas berpadu dan menyatu
dalam anggota-anggota di dalamnya. Anak-anak pun akan bertabiat
dengan tabiat yang biasa ia lekati sepanjang hidupnya. Lalu dengan
petunjuk dan arahan dari keluarga, anak-anak mampu menyongsong
hidup, memahami makna-makna dari kehidupan dan tujuan-tujuannya,
serta mengetahui bagaimana berinteraksi dengan makhluk hidup
2. Fungsi dan Ruang Lingkup Pendidikan Keluarga
Tujuan pendidikan keluarga adalah memelihara, melindungi anak
sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Keluarga
merupakan kesatuan hidup bersama yang utama dikenal oleh anak
sehingga disebut lingkungan pendidikan utama. Proses pendidikan awal
di mulai sejak dalam kandungan. Latar belakang sosial ekonomi dan
budaya keluarga, keharmonisan hubungan antar anggota keluarga,
intensitas hubungan anak dengan orang tua akan sangat mempengaruhi
sikap dan perilaku anak. Keberhasilan anak di sekolah secara empirik
sangat dipengaruhi oleh besarnya dukungan orang tua dan keluarga
dalam membimbing anak
Berikut adalah beberapa fungsi keluarga bagi seorang anak:
a. Fungsi edukatif adalah yang mengarahkan keluarga sebagai wahana
pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar dapat
menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai
dengan tuntutan kebutuhan pembangunan yang semakin tinggi.
b. Fungsi sosialisasi anak adalah keluarga memiliki tugas untuk
mengantarkan dan membimbing anak agar dapat beradaptasi dengan
kehidupan sosial (masyarakat), sehingga kehadirannya akan
diterima oleh masyarakat luas.
c. Fungsi proteksi (perlindungan) adalah keluarga berfungsi sebagai
wahana atau tempat memperoleh rasa nyaman, damai dan tentram
seluruh anggota keluarganya.
d. Fungsi afeksi (perasaan) keluarga sebagai wahana untuk
menumbuhkan dan membina rasa cinta dan kasih sayang antara
sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya.
e. Fungsi religius keluarga sebagai wahana pembangunan insaninsan
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bermoral,
berahlak dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan ajaran agamanya.
f. Fungsi ekonomi adalah keluarga sebagai wahana pemenuhan
kebutuhan ekonomi fisik dan materil yang sekaligus mendidik
keluarga untuk hidup efisien, ekonomis dan rasional.
g. Fungsi rekreasi, keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman,
menyenangkan, cerah, ceria, hangat dan penuh semangat.
h. Fungsi biologis, keluarga sebagai wahana menyalurkan kebutuhan
reproduksi sehat bagi semua anggota keluarganya.

3. Ruang Lingkup Pendidikan Keluarga

Sejak anak dalam kandungan, orang tua sudah bertanggung jawab


penuh atas keselamatan dan perkembangan anak. Tanggung jawab
orang tua terhadap perkembangan dan pendidikan anaknya tampaknya
lebih berpangkal pada tanggung jawab instingtif dan moral. Dan akan
bertambah ringan, apabilaanak sudah mampu berdiri sendiri karena
pada akhirnya orang tua harus “melepaskan“ anaknya, supaya mampu
berdiri dan tidak lagi tergantung kepada orang tuanya.

4. Pentingnya pendidikan dalam keluarga

Urgensi dan strateginya penguatan institusi keluarga sebagai


wahana pengembangan sumber daya manusia. Sejak dulu keluarga
menjadi wahana pembentukan karakter dan keterampilan dasar
manusia. Keluarga yang tangguh bersama lembaga keagamaan dan
politik akan menjadi pilar penyangga terbentuknya civil society.

Betapa pentingnya pendidikan keluarga bagi anak-anak yang sedang


berkembang. Pentingnya pembentukan sumber daya manusia berbasis
keluarga juga bisa dilihat dari konsep investment in children memahami
perlunya penguatan keluarga sebagai wahana pengembangan sumber
daya manusia dari sudut pandang orientasi nilai dan perkembangan daya
nalar anak.
E. Pendidikan Pesantren bagi Anak Usia Sekolah Dasar
Dalam pelaksanaan mini riset ini, peneliti melakukan beberapa
tahapan untuk menjelaskan kesesuaian pendidikan pesantren bagi anak
sekolah dasar, diantaranya, menganalisis fenomena di lapangan yang
kemudian diangkat menjadi permasalahan dalam penelitian ini, menyusun
instrumen kuesioner sesuai dengan fenomena lingkungan, menyebarkan
kuesioner dengan memanfaatkan aplikasi google form kepada mahasiswa
dan masyarakat umum, dan menganalisis jawaban dari responden
kuesioner.
1. Pemaparan hasil riset
Sebanyak 22 responden telah mengisi kuisioner, yang terdiri dari
mahasiswa dan masyarakat umum yang telah memiliki anak. Kuisioner
dibagikan kepada responden tersebut berdasarkan asumsi peneliti bahwa
budaya pendidikan pesantren sudah dikenal oleh khalayak. Berikut
merupakan pemaparan hasil kuisioner:
a. Menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren menjadi solusi
ketidakmampuan orang tua untuk merawat anak Sebanyak 52%
responden tidak setuju, 42,9% setuju, dan 4,8% di antara keduanya.

b. Menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren merupakan


solusi terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah pergaulan bebas.
Hasilnya menunjukkan 47,6% tidak setuju, 42%,8% setuju, 9,6%
kurang setuju
c. Menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren merupakan
sebuah usaha orang tua yang awam terhadap agama dalam
memberikan pembekalan agama bagi anak. Hasilnya menunjukkan
61,9% responden setuju, 28,6% tidak setuju 4,8% kurang setuju, 4,8%
kurang setuju

d. Dengan menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pendidikan


pesantren akan membuat anak merasa kehilangan peran keluarga
dalam mendukung tumbuh kembang mereka. Hasilnya menunjukkan
65% setuju 30% tidak setuju 5% ragu
e. Sekolah di pendidikan pesantren bagi anak usia sekolah dasar akan
membuat anak terbatasi dalam melakukan eksplorasi terhadap minat
dan bakatnya. Hasilnya menunjukan 47,6 setuju 47,6% tidak setuju,
4,8% ragu

2. Analisis Hasil Riset


Berdasarkan hasil data yang dipaparkan di atas, hal tersebut menunjukan
bahwa sebagian besar responden menunjukan ketidaksetujuannya mengenai
pemberian pendidikan pesantren bagi anak usia sekolah dasar. Hal tersebut
seperti dipaparkan dalam pertanyaan pertama dalam kuisioner yakni
“menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren menjadi solusi
ketidakmampuan orang tua untuk merawat anak” sebagian responden tidak
setuju dengan hal tersebut. Seperti teori yang sudah dijelaskan sebelumnya
bahwa keluarga memiliki fungsi pendidikan, religius, dan proteksi. Dengan
menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren dapat mengurangi fungsi
tersebut salah satunya yakni untuk merawat anak.
Selanjutnya, pertanyaan kedua yakni “menyekolahkan anak usia
sekolah dasar di pesantren merupakan solusi terbaik yang bisa dilakukan
untuk mencegah pergaulan bebas” pun sebagian responden tidak setuju. Hal
tersebut karena fondasi utama seharusnya dibentuk dari dalam rumah, karena
rumah merupakan lingkungan pendidikan informal utama dan pertama bagi
anak.
Ketiga, yakni “menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren
merupakan sebuah usaha orang tua yang awam terhadap agama dalam
memberikan pembekalan agama bagi anak” sebagian besar responden setuju
akan pernyataan tersebut, hal tersebut mendukung pernyataan bahwa
pesantren menjadi alternatif lain ketika fungsi keluarga dalam mendidik anak
sudah berkurang.
Keempat, yakni “dengan menyekolahkan anak usia sekolah dasar di
pendidikan pesantren akan membuat anak merasa kehilangan peran keluarga
dalam mendukung tumbuh kembang mereka” sebagian besar responden setuju
dengan pernyataan ini. Hal tersebut sesuai dengan teori perkembangan yakni
keluarga merupakan lingkungan mikrosistem, yakni lingkungan terdekat bagi
anak yang seharusnya memberikan dukungan penuh dalam proses tumbuh
kembang anak.
Terakhir, yakni “sekolah di pendidikan pesantren bagi anak usia sekolah
dasar akan membuat anak terbatasi dalam melakukan eksplorasi terhadap
minat dan bakatnya” untuk pernyataan ini, responden yang menolak dan
menyetujui sama banyak jumlahnya. Sehingga tidak dapat disimpulkan
kemungkinan mana yang lebih besar akan terjadi
F. Kesimpulan
Pendidikan merupakan hak setiap individu untuk mendukung tumbuh
kembangnya selama menjalankan kehidupan. Keluarga memiliki beberapa
fungsi di antaranya fungsi pendidikan, fungsi religius, dan fungsi proteksi. Setiap
anak yang tumbuh dalam keluarga berhak mendapatkan seluruh fungsi keluarga
tersebut. Pendidikan agama hendaknya diberikan sedini mungkin, penguatan
tersebut dapat diberikan dari lingkungan terdekat yakni lingkungan keluarga.
Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat erat kaitannya dengan
pendidikan, terlebih dengan nuansa keislaman. Hal itu tercermin dengan adanya
sekolah berbasis Islam atau yang lebih dikenal masyarakat sebagai pesantren.
Pendidikan pesantren diberikan kepada peserta didik dari jenjang sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Permasalahan muncul ketika pendidikan pesantren
diberikan kepada anak usia sekolah dasar. Hal tersebut memunculkan asumsi
tentang kesiapan anak yang belum matang, dan berkurangnya keluarga dalam
menjalankan fungsinya.
Dalam karya tulis ini dibahas mengenai pro kontra mengenai permaslahan
tersebut dengan melakukan riset yang dilakukan dengan studi literatur dan
pembagian kuisioner. Hasil dari proses studi literatur menunjukan bahwa
pendidikan pesantren untuk anak usia sekolah dasar dirasa kurang efektif karena
mengurangi fungsi keluarga yakni fungsi pendidikan, religius, dan proteksi.
Hasil kuisioner pun menunjukan bahwa dari 22 responden, sebagian besar dari
mereka kurang setuju dengan pemberian pendidikan pesantren bagi anak sekolah
dasar.

G. DAFTAR PUSTAKA
Al Gazali (1977) Jilid III. Dar-al Mishri:Beirut.
Hadari N.(1990).Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2016. Diakses dari: http://kbbi.online.html
Khusna, N. (2019) Upaya Membentuk karakter mandiri santri usia sekolah dasar
(studi kasus di pondok pesantren Qur’an Al Falah Mlaten Geger Madiun)
diakses dari:
http://etheses.iainponorogo.ac.id/7213/1/SKRIPSI.UPLOAD.pdf
Mukti Ali (1999). Perjuangan dan pemikirannya. Yogyakarta:LkiS.
Muntomimah, S. 2017. Model Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Di Pondok
Pesantren Al Hikam Kota Malang. JIP, Vol 7 No 1 Edisi Januari 2017, hal:
43-51. Diakses dari:
http://ejournal.unikama.ac.id/index.php/jrnspirasi/article/download.pdf
RidhaR (tt)Tafsir al-Manar, Jilid II Mesir:Maktabah al-Qahirah.
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989. Diakses online dari:
http://jdih.kemenkeu.go.id/fullText/1989/2TAHUN~1989UU.html
LAMPIRAN KUESIONER

1. Menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren menjadi solusi


ketidakmampuan orang tua untuk merawat anak
2. Menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren merupakan solusi
terbaik yang bisa dilakukan untuk mencegah pergaulan bebas
3. Menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pesantren merupakan sebuah
usaha orang tua yang awam terhadap agama dalam memberikan
pembekalan agama bagi anak
4. Dengan menyekolahkan anak usia sekolah dasar di pendidikan pesantren
akan membuat anak merasa kehilangan peran keluarga dalam mendukung
tumbuh kembang mereka
5. Sekolah di pendidikan pesantren bagi anak usia sekolah dasar akan
membuat anak terbatasi dalam melakukan eksplorasi terhadap minat dan
bakatnya

Anda mungkin juga menyukai