Oleh
Dr. Imam Anas Hadi, M.S.I.1
A. Pendahuluan
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah satu usaha
untukmeningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui proses pembelajaran di lembaga
pendidikan, daritingkat anak usia dini sampai pada usia pendidikan tinggi. Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan atau karakter yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. 2
Pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai, yang akan menjadi penolong dan penuntun
dalam menjalani kehidupan, dan sekaligus untuk perbaikan nasib dan peradaban umat manusia. Dengan
demikian tanpa pendidikan, generasi manusia sekarang tidak akan berbeda dengan generasi manusia
masa lampau, dan generasi yang akan datang (anak keturunan) tidak akan berbeda dengan generasi
sekarang, bahkan mungkin saja akan lebih rendah atau lebih jelek kualitasnya. 3
Proses pendidikan berlangsung terus selama hidup seseorang. 4Menurut Noeng Muhadjir
masyarakat awam mengenal adanya aktivitas pendidikan di sekolah, pesantren, dan juga di dalam
keluarga. Banyak lagi aktivitas interaktif antar manusia yang disebut pendidikan, namun juga sekaligus
banyak daerah-daerah batas yang membingungkan untuk dapat disebut aktivitas pendidikan. 5Sejalan
dengan itu menurut Ahmad Tafsir ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi
pendidikan. Kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian
yang dibina dalam kegiatan itu, masing-masing kegiatan tersebut dapat disebut pendidikan. Dengan
perkataan lain kesulitan itu disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek kepribadian
yang harus dibina oleh pendidikan.6
1
Disampaikan pada acara webinar series jurusan Tarbiyah, juruasan syariah dan jurusan dakwah STAI Brebes, 9
Agustus 2021
2
H. Moh. Solikodin Djaelani, “Peran Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal Ilmiah
Widya Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013: 100-105, Kopertis Wilayah 3, STIAKIN (Sekolah Tinggi Ilmu
Administrasi Kawula Indonesia), Jalan Raya Kalimalang No. 3Pondok Kelapa Jakarta 13450, 101-102.
3
Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2009, 1.JumriHi.TahangBasire,
“Urgensi Pendidikan Agama dalam Keluarga terhadap Pembentukan Kepribadian Anak”, Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.2,
Desember 2010:163-178, STAIN Datokarama Palu, 2010, 165-169.
4
Paul Lengrand, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Terj. Goenawan Muhammad, Jakarta: Gunung Agung,
1981, 31. Azyumardi Azra, “Pendidikan Akhlaq dan Budi Pekerti ‘Membangun kembali Anak Bangsa”, Jurnal
Mimbar Pendidikan Vol.2 No. 1/XX/2009: 24-29,Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah, 24-29.
5
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta: Rake Sarasin,
2015, 1.
6
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015, 5. Yang harus
dibina oleh pendidikan bukan sekadar membangun dimensi kognitif ansich, melainkan juga aspek budi pekerti, dan
1
Zaman yang hampir semua serba digital. Semua orang dituntut untuk menguasai
zaman dan berpartisipasi di dalamnya dengan cara tidak gagap pada teknologi. Akan tetapi,
setiap perkembangan zaman akan menjadi sebuah tantangan bagi pendidikan. Dimana
pendidikan harus mampu menyelaraskan dengan perkembangannya.
Era revolusi industri 4.0 benar-benar membuat semua lembaga pendidikan berpikir
berkali- kali untuk menjaga eksistensinya sehingga tidak tenggelam tertelan zaman.
Begitupun dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam di era revolusi industri 4.0 ini bukan
hanya bisa menyajikan materi-materi agama saja dengan kitab-kitab klasiknya akan tetapi
juga harus mampu menyertakan teknologi di dalamnya sebagai sarana yang menunjang
proses pembelajaran.
Pendidikan Islam di era revolusi industri 4.0 harus mampu menjadi pusat sentral
sebuah pendidikan yang bisa memikat mata setiap orang dan menghilangkan perspektif
orang bahwa pendidikan Islam cenderung kuno atau tradisional. Pendidikan yang hanya
berorientasi pada akhirat saja dan seolah-olah memberi label zuhud. Bahkan banyak sekali
pihak-pihak yang memberikan stigma buruk mengenai pendidikan Islam apalagi jika itu
berkaitan dengan output yang dihasilkan. Kita semua dapat menyimpulkan bahwa setiap
perubahan zaman akan membuat semua tatanan juga berubah baik perekonomian maupun
pendidikan dan tidak ada yang bisa menjamin setiap zaman akan sama seperti zaman
sebelumnya. Pendidikan pun sama, semakin hari akan semakin kompleks dengan tuntutan
masyarakat. Apalagi kita memahami bahwa pendidikan akan dikembalikan pada masyarakat
(back to social society). Oleh karena itu, kita tidak mungkin menanggalkan perubahan ini
begitu saja atau mencoba untuk menghindarinya. Maka dari itu dalam tulisan ini penulis akan
memberikan sebuah jalan atau cara apa pengertian pendidikan Agama Islam, landasan dan
tujuan? bagaimana sebuah pendidikan Islam mampu bersaing dalam era revolusi industri
4.0 ? dan bagaimana cara menjaga eksistensi pendidikan Islam agar tidak lenyap karena
sebuah zaman?. Karena sejatinya pendidikan Islam dan agama Islam adalah fleksibel, di
mana mampu disesuaikan dengan keadaan zaman tanpa menghilangkan koridor-koridor
Tuhan. Kemudian juga perlu kita tarik garis besarnya bahwa pendidikan Islam adalah
pendidikan seumur hidup (long life education) sampai seseorang itu kembali ke liang
karakter. Suardiman, “Menghidupkan Kembali Pendidikan Budi Pekerti dan Kecerdasan Emosi bagi Siswa”, Jurnal
Psikologi Vol.1 No 1Maret Tahun VII Desember 2010: 20, Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut
ISSN: 1907-932X, 20-22. EndangSoetari, “Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Anak untuk Membina
AkhlaqIslami”, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Jurnal Pendidikan Vol. 08; No. 01; 2014:
116.Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut, 116 -120. Erna Setyowati, “Pendidikan Budi Pekerti
Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah”, Jurnal Ilmu Kependidikan Jilid 39, No. 2, Desember 2009: 148. Jurusan
Teknologi Jasa dan Produksi / FT/ UNNES, 148-152.
2
lahat. Jadi, dunia tanpa pendidikan Islam dan Islam itu kurang bermakna karena
pendidikan dan agama Islam itu telah mengatur aspek kehidupan dengan begitu luar biasa.
B. Pembahasan
1. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Pendidikan agama yakni pendidikan agama Islam. Zahara Idris telah mengumpulkan definisi
pendidikan menurut para tokoh pendidikan. 7 Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan adalah usaha
meningkatkan diri dalam segala aspeknya.8 Syaiful Bahri Djamarah memberi pengertian juga,
pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu
kegiatan yang sadar akan tujuan, maka pelaksanaannya berada pada suatu proses yang
berkesinambungan setiap jenis dan jenjang pendidikan. 9 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menyatakan, yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, inteligensi, akhlaq mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.10
Berangkat dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk
mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu mengembangkan potensi yang ada pada setiap peserta
didik. Semuanya bermuara kepada manusia, sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan
secara wajar pada masyarakat yang berbudaya. Berdasarkan hal itu, dapat dirumuskan bahwa pendidikan
adalah suatu proses alih generasi, yang mampu mengadakan transformasi nilai-nilai pengetahuan dan
budaya kepada generasi berikutnya agar dapat menatap hari esok yang lebih baik.
Mengenai arti kata "agama" dalam Oxford Advanced Leaner's Dictionary of Current English,
dinyatakan, bahwa:
"Religion: believe in the existence of God or gods, Who has/have created the universe and given
man a spiritual nature which continuous to exist after the dead of the body"11 (agama adalah suatu
kepercayaan terhadap adanya Tuhan, atau tuhan-tuhan, yang telah menciptakan alam semesta, dan
memberikan roh kepada manusia yang akan tetap ada setelah matinya badan).
Maulana Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam menegaskan bahwa Islam
mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya
7
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, Bandung: Angkasa, 2016, 9.
8
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015, 6.
9
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 2011, 22.
10
Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Cipta Jaya,
2017.
11
As Hornby, Oxford Student's Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press, Third
Impression, 1984, 725.
3
kepada kehendak Allah.12Dengan demikian, pengertian kata "pendidikan" dan kata "agama Islam" yang
masing-masing telah diuraikan, dapat disatukan menjadi suatu pengertian pendidikan agama Islam
secara integral.
Mengenai pengertian pendidikan agama Islam banyak pakar pendidikan yang memberikan
definisi secara berbeda di antaranya: menurut Achmadi, pendidikan agama Islam ialah "usaha yang lebih
khusus ditekankan untuk mengembangkan fitrah keberagamaan (religiositas) subjek didik agar lebih
mampu memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam." Implikasi dari pengertian ini,
pendidikan agama Islam merupakan komponen yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan Islam.
Bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendidikan agama Islam berfungsi sebagai jalur
pengintegrasian wawasan agama dengan bidang-bidang studi (pendidikan) yang lain. 13
Menurut Muhaimin bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari
pendidikan Islam.14Sehubungan dengan itu, Zakiah Daradjat menjelaskan sebagai berikut.
1. Pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap
anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama
Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).
2. Pendidikan agama Islam ialah pendidikan yang dilaksanakan berdasarkan ajaran
Islam.
3. Pendidikan agama Islam adalah pendidikan melalui ajaran-ajaran agama Islam,
yaitu berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan
ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya
secara menyeluruh, serta menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi
keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak. 15
Pengertian pendidikan agama Islam secara formal dalam kurikulum berbasis kompetensi
12
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, New York: National Publication, 2010, 4.
13
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015,
29. Elfrianto, “Urgensi Keseimbangan Pendidikan Budi Pekerti di Rumah dan Sekolah” Jurnal EduTechVol .1 No 1
Maret 2015, Dosen Tetap Prodi Matematika FKIP-UMSU, 2015, 1-4.
14
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan
Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015, 6.
15
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006, 86. Dasar ideal pendidikan Islam adalah
identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu al-Qur’ān dan al-Sunnah. al-
Qur’ān sebagaimana dikatakan al-Qattan:
القران الكريم هو معجزة اإلسالم الخالدة التى اليزيدها التقدم العلمى إال رسوخا في اإلعجاز أنزله هللا على رسولنا محمد صلى هللا عليه وسلم ليخرج
الناس من الظلمات إلى النور ويهديهم إلى الصراط المستقيم
"Al-Qur’ān al-Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu
pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW. untuk mengeluarkan manusia dari suasana
yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus”., Manna Khalil al-Qattan, Mabâhis fî
Ulum al-Qur'ân, Beirut: Dâr al-Ma’rifah: Mansurat al-A'sr al-Hadîś, 1973, 1. Sejalan dengan itu, menurut al-Jazâirî:
والزيادة ومن التبديل والتغييرˆ وبقاءه حتى يرفعه إليه عند اخˆˆر أجˆˆل هˆˆذه الحيˆˆاة وذلˆˆك لألدلّˆˆة
ّ وانّه الكتابُ الوحيد الذى ضمن هللا سالمته من النّقص
النقليّة والع ْقليّة التّالية
"Bahwa al-Qur’ān adalah kitab satu-satunya yang dijamin bersih oleh Allah SWT dari kekurangan, penambahan,
pergantian, perubahan serta menjamin abadi hingga Dia mengangkatnya pada akhir usia kehidupan ini. Kaum muslimin
meyakini itu semua berdasarkan dalil-dalil naqli, dan dalil-dalil akal.”Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Minhâj al-Muslim:
Kitab 'Âqâid wa Âdâb wa Akhlâq, Kairo: MaktabahDâr al-Turas, 2004, 23.
4
dikatakan:
Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik
untuk mengenal, memahami, menghayati hingga mengimani, bertaqwa, dan berakhlaq mulia
dalam mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’ān dan al-ḥadīṡ,
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi
tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam masyarakat hingga terwujudnya
kesatuan dan persatuan bangsa.16
Dari banyak pengertian pendidikan agama Islam, pada dasarnya saling melengkapi dan memiliki
tujuan yang tidak berbeda, yakni agar peserta didik dalam aktivitas kehidupannya tidak lepas dari
pengamalan agama, berakhlaq mulia, berkepribadian utama, berwatak sesuai dengan ajaran agama
Islam. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pendidikan agama Islam yang diselenggarakan pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan menekankan bukan hanya pada pengetahuan terhadap Islam,
tetapi juga terutama pada pelaksanaan dan pengamalan agama peserta didik dalam seluruh
kehidupannya.
2. Landasan Pendidikan Agama
Dasar pendidikan agama dapat dibedakan kepada; (1) Dasar ideal, dan (2) Dasar operasional. 17
Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal
dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam
pemahaman para ulama dalam bentuk :
a. Al-Qur'an
Al-Qur'an sebagaimana dikatakan Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabâhis fî Ulum
al-Qur'an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu
pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW untuk mengeluarkan
manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang
lurus.18Semua isi Al-Qur’an merupakan syari’at, pilar dan azas agama Islam, serta dapat
memberikan pengertian yang komprehensif untuk menjelaskan suatu argumentasi dalam
menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit disanggah kebenarannya oleh siapa pun. 19
b. Sunnah (Ḥadîs)
Dasar yang kedua selain al-Qur'an adalah Sunnah Rasulullah. Amalan yang dikerjakan oleh
Rasulullah SAW dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islam
karena Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Firman Allah SWT.
16
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2015, 7
17
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2014, 54.
18
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, Mansurat al-A'sr al-Hadis, 1973, 1.
19
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan Team Titian Ilahi,
Yogyakarta: Dinamika,1996, 16.
5
ِ ِ
ْ لََق ْد َكا َن لَ ُك ْم يِف َر ُسول اهلل أ
)21 :ُس َوةٌ َح َسنَةٌ (األحزاب
"Di dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik..." (Q.S.Al-Ahzab:21). 20
Dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah SWT.
menceritakan tentang rida-Nya kepada orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum
Muhajirin, Ansar, dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah rida kepada
mereka, untuk itu Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang penuh dengan kenikmatan dan
kenikmatan yang kekal lagi abadi.23
Firman Allah SWT:
)119 :ني (التوبةِ ِ َّ يا أَيُّها الَّ ِذين آمنواْ َّات ُقواْ اهلل و ُكونُواْ مع
َ الصادق ََ ََ َُ َ َ َ
20
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI,
2010, 402.
21
Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1989, 19.
22
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI,
2016, 532.
23
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun Abu Bakar, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2003, Jilid 11, 9.
6
"Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama
dengan orang yang benar." (Q.S. Al-Taubah: 119)24
Ibnu Katsir menerangkan bahwa jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya
kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi
kalian jalan keluar dari urusan kalian.25
d. Ijtihad
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Usûl al-Fiqh mengemukakan bahwa ijtihad artinya
adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau
perbuatan. Ijtihad menurut ulama usul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh
kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah(praktis) dari dalil-dalil yang
terperinci.26 Sehubungan dengan itu, Nicolas P. Aghnides dalam bukunya, The Background
Introduction to Muhammedan Law menyatakan sebagai berikut:
The word ijtihad means literally the exertion of great efforts in order to do a thing. Technically
it is defined as "the putting forth of every effort in order to determine with a degree of
probability a question of syari'ah."It follows from the definition that a person would not be
exercising ijtihad if he arrived at an 'opinion while he felt that he could exert himself still more
in the investigation he is carrying out. This restriction, if comformed to, would mean the
realization of the utmost degree of thoroughness. By extension, ijtihad also means the opinion
rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid. and the question he is considering is
called mujtahad-fih.27
Revolusi industri pertama kali itu muncul pada akhir abad ke-18 yang ditandai dengan
pembuatan alat tenun pada tahun 1784. Ketika itu, industri menjadi sebuah sentral yang tidak bisa
dialihkan. Pekerjaan yang awalnya dilakukan oleh manusia berdalih dilakukan oleh mesin- mesin
(machines).31
28
Undang-Undang RI No. 20/ 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003, 7.
29
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2013, 121.
30
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah,Terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf,"Prinsip-Prinsip
Dasar Pendidikan Islam", Bandung: Pustaka Setia, 2003, 13.
31
Siswanto dan Yuli Anisyah, Revitalisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Pendidikan Islam Revolusi 4.0, Jurnal
8
Revolusi industri terus mengalami sebuah perkembangan yang begitu pesat hingga pada
sebuah titik revolusi industri 3.0 yang memulai menggunakan alat-alat teknologi sekitar pada
awal tahun 1970. Pada revolusi industri 3.0 ini juga muncul sebuah alat pengontrol yang
dinamakan PLC (Alat Pengontrol Logika) atau biasanya kita sebut sebagai modem yang
ditancapkan pada sebuah komputer yang dijadikan sebagai data. Sehingga membuat sebuah
mesin tidak perlu dikendalikan oleh manusia.
Seiring berjalannya waktu revolusi industri mengalami transformasi yang cepat hingga
sampailah kepada kita mengenai revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 ini memiliki sebuah
konsep yaitu pertama, interkoneksi yang menyambungkan sebuah mesin. Kedua, transparansi
yang mana lebih menggunakan aspek-aspek yang berkaitan dengan dunia digital. Ketiga,
bantuan teknis yang mana ini diisi oleh manusia (humans). Keempat, keputusan desentralisasi.
Makna dari keputusan desentraliasi sendiri adalah agar seseorang bisa dengan mudah mengambil
sebuah keputusan dan dalam konsep ini memudahkan seseorang untuk dalam mengontrol waktu.32
Revolusi industri 4.0 ini juga membawa tantangan yang sangat krusial. Wolker mengatakan
tantangan yang dihadapi adalah; (1) masalah mengenai teknologi; (2) kendala dalam mesin atau
teknologi; (3) kurangnya keterampilan dalam mengatasi revolusi industri; (4) tidak mau berpikir maju
dengan menggunakan teknologi.33 Penulis menyimpulkan dari pernyataan Wolker tersebut bahwa keempat hal
yang dikatakan oleh beliau itu sama dengan keadaan pendidikan Islam pada saat ini yaitu memiliki
permasalahan dalam menggunakan teknologi dan masih banyak yang enggan membuka pemikiran bahwa
teknologi memang sangat berpengaruh dalam dunia pendidikan.
Adanya revolusi industri 4.0 menjadikan manusia yang telah dibekali akal dan otak semakin
berpikir keras untuk membangun sebuah pendidikan yang sesuai namun tidak menghilangkan nilai-nilai Islam
yang telah mengakar. karena di sini revolusi industri bukan hanya sekadar transformasi dari manusia ke
teknologi tetapi juga perubahan yang akan membawa cara hidup orang Barat (life style). Sebelumnya kita
juga telah mengetahui bahwa konsep hidup orang Barat adalah liberalisme, kapitalisme dan hedonisme.
Liberalisme adalah suatu gaya hidup dengan padangan yang sangat bebas atau cendurung kurang
mengindahkan sesuatu mengenai sebuah nilai. Sementara kapilatisme adalah sebuah paham yang hanya
memikirkan mengenai ekonomi saja atau cenderung pada materialis dan hedonisme adalah sebuah budaya
yang sejatinya sangat dihindari oleh para pelopor pendidikan Islam. Maka, ketiga hal tersebutlah yang
menjadi titik merenung bagi para pemikir pendidikan Islam apakah teknologi ini layak dalam agama Islam
10
benar mengawasi perkembangan dari peserta didik. Sementara pengertian secara utuh mengenai
pendidikan itu sebenarnya berbeda-beda, namun di sini penulis akan diambil makna yang dekat
bahwa sebuah pendidikan itu adalah perbuatan yang dilakukan oleh pendidik dengan sadar untuk
mendidik peserta didik secara bertahap guna mengembangkan aspek kognitif, afektif maupun
psikomotorik dari seseorang sehingga peserta didik itu mampu mencapai tujuan yang mereka
inginkan.34
Filsafat pendidikan Islam pun turut membuat kalimat pertanyaan yang menohok untuk
membuat manusia berpikir secara mendalam mengenai sebuah pendidikan. Pertanyaan itu meliputi
hakikat pendidikan Islam itu untuk apa dan siapa, apakah tujuan pendidikan Islam hanya untuk peserta
didik atau masyarakat?, dan yang paling membuat penulis berpikir panjang adalah siapa yang
bertanggung jawab atas pendidikan Islam?. Terlepas dari semua pertanyaan-pertanyaan tersebut
aliran humanismtik juga menawarkan sebuah konsep besar bahwa pendidikan itu adalah
memanusiakan manusia. Konsep pendidikan humanistik ini sangat tepat jika disandingkan dengan
konsep pendidikan dalam Islam. Dari uraian sebelumnya, sejatinya konsep pendidikan Islam
sudah mampu menjawab paradigma-paradigma tersebut. Pendidikan Islam itu merupakan tawaran
pendidikan yang solutif di era modern ini. Pendidikan Islam itu bukan sekadar menyalurkan ilmu
pengetahuan saja akan tetapi juga menyalurkan konsep untuk mengatur hubungan dengan Allah,
manusia, alam dan dirinya sendiri dan bila dibandingkan dengan pendidikan Barat yang telah
memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan dikarenakan mengalami trauma pada masa yang
disebut masa kegelapan atau lebih familiar sebagai drak eigh.
Masa kegelapan tersebut menjadikan bangsa Barat kurang percaya terhadap agama,
dikarenakan dahulu gereja memimpin abad itu dengan ketidak adilan dan memperburuk keadaan.
Inilah alasan yang paling kuat mereka tidak mau menyatukan ilmu pengetahuan dengan agama.
Padahal antara ilmu pengetahuan dan agama itu tidak bisa dipisahkan karena agama itu
membimbing sebuah ilmu pengetahuan tersebut. Maka hakikat dari pendidikan Islam itu memiliki
kedudukan yang tinggi dibandingkan pendidikan lain.
Berbicara mengenai hakikat maka akan dekat sekali dengan pembahasan tujuan pendidikan
Islam itu sendiri. Jadi tujuan dari pendidikan Islam menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly adalah
(a) memperjelas bahwa manusia adalah makhluk Allah dan bertanggung jawab atas sebuah kehidupan
yang dialami; (b) manusia harus sadar sebagai makhluk sosial yang bertanggung jawab atas
kehidupan bermasyarakat; (c) menjelaskan manusia harus mempunyai konsep hubungan dengan
alam dengan menjaga dan melestarikan.35
Pendidikan Islam selain itu juga merupakan sebuah sistem yang berkesinabumbang dan
34
Ramayulis dan Samsul Nizal, 2009, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran
serta Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia, hlm. 112.
35
Nur Hidayat, Peran dan Tantangan Pendidikan Islam di Era Global, Jurnal El-Tarbawy Vol 8, No 2, 2015,
https://journal.uii.ac.id/Tarbawi/article/view/5489, diakses pada tanggal 12 Maret 2020.
11
memiliki keududukan yang sangat istimewa. Oleh karena itu pendidikan Islam diperlukan karena;
(a) pendidikan Islam adalah suatu upaya untuk membentuk pribadi manusia yang sempurna dalam
jangka panjang. Lain lagi ketika membentuk sebuah benda mati yang bisa dibentuk dengan instan.
Pembentukan pribadi dalam jangka panjang ini agar manusia yang dibentuk memiliki karakter yang
mengakar yaitu karakter Islami; (b) pendidikan Islam bersumber dari nilai-nilai yang terkandung di
dalam ajaran agama Islam. Nilai-nilai tersebut akan membentuk kehidupan manusia lebih religius;
(c) Islam merupakan agama yang berlandaskan wahyu yang memiliki tujuan untuk meemuliakan
dan menyejahterakan manusia. Oleh karena itu, teori-teori pendidikan Islam sejatinya telah
dikemas secara sistematis sebagai kompas bagi manusia agar tidak salah dalam mengambil arah; (d)
ruang lingkup pendidikan Islam itu sangat sempurna yaitu mengajarakan hubungan baik antara
Tuhan. Manusia yang merupakan seorang hamba diajarkan untuk taat dan menjalankan tugasnya
sebagai seorang khalifatul fil ardh dengan baik.36
2. Perubahan Secara Umum Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0
Perubahan zaman menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan. Dunia pendidikan
mau tidak mau harus mengubah cara dalam menyajikan pendidikan agar tidak tertinggal di era
revolusi 4.0 tersebut. Pada hal ini, dunia pendidikan akan disibukkan dan berpikir untuk memodofikasi
strategi, pola ajar, media pembelajaran dan khususnya teknologi juga.
Revolusi industri 4.0 ini memberikan ciri pendidikan yang menggunakan teknologi
(cyber system) di mana peserta didik disibukkan dengan berbagai teknogi yang ada. Selain itu,
pada fase ini seorang pendidik dituntut untuk paham dalam teknologi agar tidak terjadi timpang
tindih dengan pembelajaran yang ada. Tetapi, ketika penulis mengaitkan dengan realita yang ada
masih banyak sekali lembaga-lembaga pendidikan yang jauh tertinggal atau terkesan sangat
tradisionalis, namun stigma ini hanya berlaku bagi pesantren dan madrasah yang menutup diri
perkembangan yang ada. Para pemikir pendidikan Islam juga mengakui tentang kekurangan ini.
Anggapan-anggapan di atas mengenai pendidikan Islam yang seolah tidak bisa berbaur dengan
zaman bisa dianggap benar dan tidak. Pada abad ke-19 sebenarnya sebuah pembaharuan telah
hadir di tengah-tengah dunia Islam. Konsep pembaharuan ini ditawarkan oleh Muhammad Abduh,
Jamaluddin al-Afghani, Fazlurrahman, dan banyak intelktual muslim lainnya. Mereka semua
mengajak agar manusia mampu terbuka oleh zaman yang terus berkembang.
Di negera Indonesia sendiri, perubahan dalam pendidikan baik umum maupun Islam
sangat mengalami masa yang panjang. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan pun
tidak bisa terlepas dari faktor ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan yang berlangsung saat itu.
Khususnya dalam pendidikan Islam, telah banyak asam garam yang dilalui mulai dari masa
Belanda sampai orde baru. Masa-masa itu menjadi saksi pendidikan Islam mempertaruhkan diri
demi masyarakat dan kehidupan yang penuh religius. Banyak sekali diskrimanasi yang terjadi
36
Fauti Subhan, Memahami Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam Vol 7, No 1, April 2013,
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/Nadwa/article/view/547, diakses pada tanggal 16 Mei 2020.
12
dalam tubuh pendidikan Islam, hingga munculnya pembatasan dalam pengajaran pendidikan
Islam dan guru yang mengajar. Oleh karena itu, pendidikan Islam masih sangat lemah sekali dan
berupaya berprogres dari masa ke masa.37
Pada tulisan ini akan disinggung sedikit mengenai kebijakan pada masa orde baru yang
membuat pendidikan Islam sedikit bernafa lega. Keluarnya TAP MPRS nomor XXVII /MPRS 1966
telah mengatur pendidikan agama dimulai dari sejak Sekolah Dasar (SD) sampai ke jenjang
Perguruan Tinggi (PT). Selanjutnya pada era reformasi, pendidikan Islam semakin memiliki
kesempatan yang lebih terbuka lagi karena berbagai kebijakan membuat pembinaan terhadap
pendidikan Islam baik dari pengelolaan lembaga, input, output yang dihasilkan dan ini telah
ditetapkan di dalam Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah.38
Maka dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa semua pendidikan harus
mampu terbuka dengan adanya pendidikan yang sudah dirancang di era revolusi industri ini.
Pendidikan pada revolusi industri 4.0 ini memiliki ciri dalam mencapai sebuah pendidikan yang
baik dan mampu menjawab tantangan zaman yaitu:
a. Berpikir kritis (critical thinking) dan memcahkan masalah (problem solving), yaitu peserta
didik harus mampu mengasah dirinya untuk menalaah hal-hal yang baru dan mencoba
memecahkan masalah yang ada dengan cara menelaah informasi, menguraikan, menemukan
jalan keluar dan menyimpulkan. Jadi peserta didik tidak memiliki kesan yang pasif dan acuh
kepada pembelajaran yang sedang berlangsung serta dituntut untuk menjadi pribadi yang
dewasa.
b. Kolaborasi (collaboration), yaitu pembelajaran itu harus menggunakan teknologi yang ada.
Pendidik harus bisa menyajikan pembelajaran yang menarik (meaning full) agar peserta didik
mampu berkolaborasi dengan media atau teknologi yang ada sehingga mereka tidak menjadi
generasi yang gagap IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Pada tahap ini seorang
pendidik harus bekerja dengan keras.
c. Komunikasi (communication), yaitu pendidik dan peserta didik harus mampu memiliki
komunikasi yang baik agar pembelajaran berjalan lebih sempurna dan mencapai sebuah
tujuan yang telah ditetapkan.
3. Kreativitas (creativity), yaitu pendidikan itu bukan hanya mengenai ilmu saja tanpa pengamalan.
Pada era revolusi industri 4.0 ini peserta didik dan pendidik dituntut menjadi manusia yang memiliki
kreativitas. Bahkan peserta didik juga dituntut untuk mempunyai soft skill dan ilmu yang mumpuni.
Karena ilmu itu tidak akan cukup jika tidak didampingi dengan soft skill. Problematika dalam
Pendidikan Islam di Era Revolusi Industri 4.0
37
Arif Rahman, Reformasi dan Arah Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Literasi Vol 7, No
2, Desember 2017, http://almaata.ac.id/ejournal1532/index.php/LITERASI/article/view/379, diakses pada tanggal 16
Mei 2020.
38
Hasniyati Ghani, Kebijakan Pemerintah Terhadap Pembinaan Pendidikan Islam, Jurnal Ta’dib Vol 8, No 2,
Juli 2015, http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-tadib/article/view/413, diakses pada tanggal 17 Mei 2020.
13
a. Analisa pendidikan pada dinasti Abbasiyah
Semua penulis sejarah telah sepakat bahwa kejayaan Islam itu mencapai puncaknya ketika di
bawah pimpinanan dari dinasti Abbasiyah yang didirikan oleh Abu al-Abbas as-Shaffah (750
– 754 M). Pendidikan pada masa dinasti Abbasiyah mengalami kemajuan yang begitu pesat.
Banyak sekolah- sekolah dibangun dan pendidikan sangat diperhatikan di masa tersebut dan
pemuda-pemuda banyak yang berlomba-lomba mencari ilmu sehingga meninggalkan kampung
halaman mereka. Khalifah- khalifah yang mashur pada masa dinasti Abbasiyah adalah Abu al-
Abbas as-Shaffah, Abu Ja’far al- Mansur, Harun ar-Rasyid, Al-Makmun dan al-Watsiq.
Dinasti Abbasiyah memiliki kekuasaan dalam rentang waktu yang panjang. Periode ini
terbagi menjadi lima periode yaitu pertama, periode I (750 M – 847 M) dan ini adalah masa
pengaruh Turki. Kedua, periode II (847-945 M) dan disebut sebagai masa pengaruh Persia. Ketiga,
periode III (945 – 1055 M) dan disebut sebagai pengaruh Persia yang kedua. Keempat, periode IV
( 1055 – 1194 M) ini disebut sebagai pengaruh Turki kedua. Kelima, periode V (1104 – 1250
M) disebut sebagai masa kebebasan dari pengaruh dinasti lain.39
Pendidikan dan ilmu pengetahuan semakin maju pada masa khalifah Harun al-Rasyid (786
– 809 M) dan putranya yaitu al-Makmun (813 – 833 M) dari kota baghdad sinar keilmuan saat itu
benar- benar terpancar dan berbeda jauh dengan pendidikan saat ini. Banyak juga buku filsafat yang
dianggap tidak mampu diterjemahkan oleh orang-orang sebelumnya diangkat kembali dan
melakukan gerakan penerjemah buku. Perpustakaan Bait al-Hikmah adalah tempat buku-buku
pengetahuan disimpan dengan rapi oleh al-Makmun dan menjadi sebuah institusi. Oleh al-
Makmun, al-Khawarizmi dipekerjakan di sana yaitu ulama yang ahli dalam bidang astronomi
dan al-jabar tersebut.
Adapun ulama-ulama yang lahir dari dinasti Abbasiyah adalah; (1) Al-Khawarizmi
ahli matematika, al-jabar dan astronomi; (2) Al-Kindi ahli filosof Arab yang pertama; (3) Al-
Razi ahli filsafat, kedokteran dan fisika; (3) Tiga pendiri madzhab dalam Islam yaitu Abu Hanifah,
Imam Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal; (4) Imam Abu Hamid al-Ghazali ahli hujjah Islam.
Mereka semua adalah ulama-ulama yang mahsur. Mereka orang-orang yang pintar dalam ilmu
agama maupun ilmu di luar agam Islam.
Maka, dari analisa terhadap pendidikan Islam di masa dinasti Abbasiyah bisa
disimpulkan bahwa kemajuan dinasti Abbasiyah dikarenakan tidak tertutup oleh zaman dan
terus berupaya membuka pintu-pintu ijtihad agar melahirkan sesuatu yang baru. Dinasti Abbasiyah
juga terkenal tidak membatasi sebuah pemikiran dan kemajuan selama masih dalam koridor
agama Islam, tidak pula memisahkan antara ilmu agama dan ilmu umum.
b. Masalah-masalah dalam pendidikan Islam
39
Maryamah, Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah, Jurnal Tadrib Vol 1, No 1, Juli 2015,
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/conciencia/article/view/2439, diakses pada tanggal 16 Mei 2015.
14
Setelah kita membahas mengenai pendidikan Islam di masa dinasti Abbasiyah. Maka
penulis akan menguraikan masalah yang harus diperbaiki dalam pendidikan Islam di era revolusi
industri 4.0 ini. Sebenarnya yang perlu kita ketahui masalah yang mencolok dalam pendidikan
Islam adalah adanya disharmonis antara input dengan output yang dihasilkan. Peserta didik
yang dihasilkan dari pendidikan Islam cenderung memiliki pemikiran yang kuno dan hanya
berorientasi kepada akhirat dan seolah acuh kepada perkembangan zaman yang semakin
kompleks.
Jauh dari revolusi industri 4.0 semua orang sepakat bahwa antara pendidikan Islam dan
pendidikan umum harus terpisah. Pendidikan Islam dengan nuasa religius dan berberbagi ilmu
agamanya, sementara pendidikan umum lebih bernuasa kepada ilmu-ilmu umumnya. Hal inilah
yang menjadi awal kemorosotan dalam dunia pendidikan sendiri khususnya pendidikan Islam.
Orang-orang yang telah lulus dari madrasah, dan pesantren bahkan Perguruan Tinggi seolah
bingung dihadapkan dengan realita masyarakat yang ada mengenai kebutuhan masyarakat.
Sementara kita tahu di zaman Abbasiyah tidak pernah memisahkan antara ilmu umum dan
ilmu agama.
Dunia pendidikan Islam semakin getir menghadapi zaman ini. Entah bagaimana dan siapa
yang harus disalahkan atas kekeliruan sistem pendidikan ini. Kurikulum dalam pendidikan Islam
masih bisa dibilang kurang relevan dengan perkembangan zaman apalagi di era revolusi industri
4.0 yang serba digital, padahal salah satu prinsip kurikulum sendiri adalah revelansi terhadap
zaman. Peserta didik seharusnya tidak hanya mampu menguasai kognitif saja tetapi juga aspek
lainnya sebab pada zaman ini kepintaran tanpa kemahiran tidak akan bisa diterima dalam
masyarakat.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu pendidikan Islam di Indonesia sudah mulai
mencoba terobosan baru yaitu misalnya adanya Universitas Islam Negeri atau UIN yang di
dalamnya sudah mengintegrasikan antara ilmu dan teknologi. Hal itu sangat menarik dan patut
diapresiasi. Akan tetapi hal yang dipermasalahkan masih sama yaitu outputnya yang masih tidak bisa
diterima masyarakat. Meskipun peserta didik tersebut mengambil ilmu kedokteran, yang lebih
dipercaya adalah Universitas Negeri Umum (UN). Masyarakat seolah memberikan stigma yang
begitu buruk dan bertubi-tubi. Menurut Syamsul Arifin adalah pendidikan Islam masih sangat
memprihatinkan dan tidak seimbang saat ini. Islam tidak lagi seperti zaman Dinasti Abbasiyah di mana
pendidikan Islam menjadi pusat perhatian bangsa-bangsa Barat. Namun saat ini realita yang terjadi
bahwa pendidikan Islam malah mengekor bangsa Barat bukan lagi menjadi pelopor.40
Pada kasus lain, kurikulum 2013 telah memberikan pembatasan peneriman bahasa Inggris
di sekolah MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan menghilangkan pelajaran TIK (Teknologi, Informasi
dan Komunikasi). Meskipun dalam realitanya proses pemberian pembelajaran tersebut masih
40
Sigit Priatmoko, Memperkuat Eksistensi Pendidikan Islam di Era 4.0, Jurnal Pendidikan Islam Vol 1, No 2,
Juli 2018, http://www.e-jurnal.unisda.ac.id/index.php/talim/article/view/948, diakses 11 Maret 2020.
15
berjalan. Pembatasan bahasa Inggris di sekolah Islam sebenarnya memiliki sisi baik dan buruk.
Jika sisi baiknya, peserta didik tidak akan terbebani dengan pembelajaran yang ada. Apalagi dalam
sekolah Islam mereka telah terbiasa dengan bahasa Arab dan akan kesulitan memahami bahasa
Inggris. Tetapi alasan yang demikian itu kurang tepat melihat perkembangan zaman yang semakin
kompleks.
Sayyidina Umar bin Khattab pernah mengatakan, “pelajarilah bahasa Arab karena itu bagian
dari agama kalian”. Hal ini juga tidak boleh diabaikan, karena kitab suci kita adalah berbahasa Arab.
Namun bukan berarti kita menutup bahasa Asing apalagi bahasa Inggris termasuk dalam bahasa
internasional yang diakui oleh berbagai negara.
Jika bahasa Inggris diterapkan dalam sekolah Islam para pemikir pendidikan sebagian
mengatakan akan membawa budaya yang buruk bagi karakter bangsa Indonesia yang berbudi
luhur. Memang benar, bahwa bahasa itu simbol kebudayaan yang agung. Sementara kita tahu
bahwa bahasa Inggris berasal dari negara yang diliputi dengan hidup yang bebas. Tetapi, pemikiran
yang sedemikian ini perlu diluruskan juga, kita tidak perlu mengambil kebudayaannya dan cukup
mempelajari bahasanya saja. Misi dari agama Islam sendiri adalah ramhat bagi seluruh alam. Ketika
peserta didik mampu menguasai banyak bahasa, maka komunikasi akan lebih mudah dengan orang-
orang asing. Terlebih jika ini dijadikan sebagai syiar agama Islam. Peserta didik mampu menjadi ahli
agama dan ahli bahasa seperti ulama-ulama sebelumnya.
Masalah lain yang perlu diluruskan adalah mengubah stigma masyarakat yang buruk
terhadap pendidikan Islam dan berupaya untuk melakukan sebuah rekonstruksi agar pendidikan
Islam diakui di kancah internasional.
4. Pengembangan Soft Skill Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
a. Mengintegrasikan teknologi dan nilai-nilai qurani dalam pendidikan
Penulis telah membahas sebelumnya bahwa pendidikan itu memerlukan sebuah
teknologi sebagai penunjang dalam pembelajaran. Begitupun dengan pendidikan Islam yang
harus mengembangkan beberapa media dalam pembelajaran juga misalnya mengintegrasikan
media audio dalam kisah-kisah para Nabi atau bisa menggunakan powerpoint dalam
pembelajaran yang didesain dengan menarik.
Pada hal ini juga sering disebut sebagai blanded learning. Blanded learning
ini adalah memanfaatkan teknologi dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan
karakteristik peserta didik yang merupakan generasi milenial. Blanded learning ini
bisa diterapkan dengan pembelajaran yang bersifat e-learning atau online. Media
yang dapat digunakan itu seperti whatapss, facebook, youtube dan path. Dalam hal
ini juga bisa disimpulkan bahwa seorang pendidik juga harus mahir dalam
41
menggunakan teknologi. Pada hal ini seorang pendidik juga diharapkan mampu
41
Helaluddin, Redesain Kurikulum Pendidikan Islam dalam Menyonsong di Era Revolusi 4.0, Jurnal
16
mengikuti perkembangan media untuk pembelajaran agar proses pembelajaran tidak lagi
ketinggalan zaman. Mungkin untuk penggunaan media harus tetap diarahkan agar tidak
terjerumus dalam konten-konten yang negatif. Selain itu, biasanya dalam Perguruan Tinggi
(PT) peserta didik membuat pembelajaran yang lebih mandiri dengan menggunakan power
point dan memusatkan pendidikan bukan lagi pada guru (teacher centered).
b. Menerapkan metode-metode pembelajaran baru
Metode itu adalah sebuah alat yang digunakan untuk menunjang proses pembelajaran.
Metode itu sangatlah banyak namun yang paling familiar di kalangan pendidikan Islam
adalah metode ceramah. Metode ceramah ini biasanya cenderung digunakan di pesantren,
namun marak digunakan di pendidikan lain juga. Sebenarnya penggunaan metode ceramah ini
tidak bisa dilepaskan dari dunia pendidikan di Indonesi dan seolah mendarah daging.
Kelebihan dari metode ceramah memang memberikan keluwesan guru dalam menyampaikan
materi agar tidak menjadi parsial-parsial. Akan tetapi kita tahu bahwa tidak semua gaya belajar
siswa adalah audio, di mana harus mendengar guru dan menjadi murid pasif. Maka,
pendidikan Islam ini perlu melakukan inovasi agar pendidikan itu menjadi lebih mengena
dengan metode jigsaw, tanya jawab, diskusi, dll.
Pendidik yang memberikan sebuah metode yang baik itu akan menjadikan
pembelajaran lebih berarti. Hal ini selaras dengan kata “ al-thariqah ahammu minal
madah” yatu metode itu lebih penting dari sebuah materi. Seorang pendidik harus
mampu memberikan metode yang tidak terlepas dari zaman saat ini. Pendidik juga
mampu menganalisa kelebihan dan kekurangan dari metode yang diterapkan kepada
peserta didik.
c. Menjaga akidah Islamiyyah dalam memanfaatkan IPTEK
Meskipun pendidikan Islam menggunakan IPTEK yang perlu digaris bawahi
adalah harus bisa mengendalikan diri karena IPTEK akan memberikan dampak yang
negatif apabila tidak bisa mengendalikan secara bijak. Selain itu juga harus menjaga
karakter sebagai seorang muslim sehingga ketika nanti dihadapkan pada dunia kerja
dia akan tetap menjaga amanah sebagai seorang hamba yang harus menyeimbangkan
hubungan dengan Allah, manusia dan alam.
d. Membekali peserta didik dan pendidik dengan jiwa kepemimpinan
Peserta didik bukan hanya kuat dalam kognitif saja, akan tetapi pada masa ini
diperlukan juga semangat dalam kepemimpinan agar mampu memimpin dirinya
dalam menghadapi revolusi industri yang kelak pasti akan mencapai klimaks. Jadi,
Daftar Pustaka
42
Ahmad Mukhlasin, Kepemimpinan Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Tawadhu Vol 3 no 1,
2019, https://ejournal.iaiig.ac.id/index.php/TWD/article/view/130, diakses pada 16 Mei 2020.
18
Abdul Rachman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2015.
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi. Minhâj al-Muslim: Kitab 'Âqâid wa Âdâb wa Akhlâq, Kairo:
MaktabahDâr al-Turas, 2004.
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
Ahmad Mukhlasin, Kepemimpinan Pendidikan di Era Revolusi Industri 4.0, Jurnal Tawadhu Vol 3
no 1, 2019, https://ejournal.iaiig.ac.id/index.php/TWD/article/view/130
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2015.
Arif Rahman, Reformasi dan Arah Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Literasi Vol
7, No 2, Desember 2017,
http://almaata.ac.id/ejournal1532/index.php/LITERASI/article/view/379
As Hornby, Oxford Student's Dictionary of Current English, New York: Oxford University Press,
Third Impression, 1984.
Azyumardi Azra, Pendidikan Akhlaq dan Budi Pekerti Membangun kembali Anak Bangsa, Jurnal
Mimbar Pendidikan Vol.2 No. 1/XX/2009: 24-29,Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah.
Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta:
Cipta Jaya, 2017.
Elfrianto, Urgensi Keseimbangan Pendidikan Budi Pekerti di Rumah dan Sekolah, Jurnal
EduTechVol .1 No 1 Maret 2015, Dosen Tetap Prodi Matematika FKIP-UMSU, 2015.
Endang Soetari, Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Anak untuk Membina AkhlaqIslami, Guru
Besar UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Jurnal Pendidikan Vol. 08; No. 01; 2014:
116.Fakultas Pendidikan Islam dan Keguruan Universitas Garut, 116 -120.
Erna Setyowati, Pendidikan Budi Pekerti Menjadi Mata Pelajaran di Sekolah, Jurnal Ilmu
Kependidikan Jilid 39, No. 2, Desember 2009: 148. Jurusan Teknologi Jasa dan Produksi /
FT/ UNNES, 148-152.
Fauti Subhan, Memahami Pendidikan Islam, Jurnal Pendidikan Islam Vol 7, No 1, April 2013,
http://journal.walisongo.ac.id/index.php/Nadwa/article/view/547
Hasniyati Ghani, Kebijakan Pemerintah Terhadap Pembinaan Pendidikan Islam, Jurnal Ta’dib Vol
8, No 2, Juli 2015, http://ejournal.iainkendari.ac.id/al-tadib/article/view/413
19
Helaluddin, Redesain Kurikulum Pendidikan Islam dalam Menyonsong di Era Revolusi 4.0, Jurnal
Mudarrisuna Vol 8, No 2, 2018, https://jurnal.ar-
raniry.ac.id/index.php/mudarrisuna/article/view/3224
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, terj. Bahrun Abu Bakar,
Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003, Jilid 11.
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Jilid 11.
JumriHi.Tahang Basire, Urgensi Pendidikan Agama dalam Keluarga terhadap Pembentukan
Kepribadian Anak, Jurnal Hunafa, Vol. 7, No.2, Desember 2010:163-178, STAIN
Datokarama Palu, 2010, 165-169.
Manna Khalil al-Qattan, Mabâhis fî Ulum al-Qur'ân, Beirut: Dâr al-Ma’rifah: Mansurat al-A'sr al-
Hadîś, 1973.
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, Mansurat al-A'sr al-Hadis, 1973.
Mansur, Diskursus Pendidikan Islam, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2009,
Maryamah, Pendidikan Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah, Jurnal Tadrib Vol 1, No 1, Juli 2015,
http://jurnal.radenfatah.ac.id/index.php/conciencia/article/view/2439
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, New York: National Publication, 2010.
Moh. Solikodin Djaelani, “Peran Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga dan Masyarakat”,
Jurnal Ilmiah Widya Volume 1 Nomor 2 Juli-Agustus 2013
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah,Terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf,
Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003.
Muhammad Ghifari, Al-Qur’an Sebagai Weltanschauung Revolusi Industri 4.0 dalam Menghadapi
Tantangan Barat Pada Abad Ke-21, Jurnal Nun Vol 5, No 2, 2019,
http://ejournal.aiat.or.id/index.php/nun/article/view/95
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2013.
Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New York: Published
by The Ab. Sitti Sjamsijah, Publishing Coy Solo, Java, with the authority-license of
Columbia University Press, 95
20
Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial Suatu Teori Pendidikan, Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2015.
Nur Hidayat, Peran dan Tantangan Pendidikan Islam di Era Global, Jurnal El-Tarbawy Vol 8, No
2, 2015, https://journal.uii.ac.id/Tarbawi/article/view/5489
Paul Lengrand, Pengantar Pendidikan Sepanjang Hayat, Terj. Goenawan Muhammad, Jakarta:
Gunung Agung, 1981.
Ramayulis dan Samsul Nizal, 2009, Filsafat Pendidikan Islam Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran serta Tokohnya, Jakarta: Kalam Mulia
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2014.
Sigit Priatmoko, Memperkuat Eksistensi Pendidikan Islam di Era 4.0, Jurnal Pendidikan Islam Vol
1, No 2, Juli 2018, http://www.e-jurnal.unisda.ac.id/index.php/talim/article/view/948
Siswanto dan Yuli Anisyah, Revitalisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Pendidikan Islam Revolusi 4.0,
Jurnal Studi Islam Vol 5, No 2, Desember 2018,
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/islamuna/article/view/2076
Suardiman, Menghidupkan Kembali Pendidikan Budi Pekerti dan Kecerdasan Emosi bagi Siswa,
Jurnal Psikologi Vol.1 No 1Maret Tahun VII Desember 2010: 20, Fakultas Pendidikan
Islam dan Keguruan Universitas Garut ISSN: 1907-932X, 20-22.
Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta,
2011.
Undang-Undang RI No. 20/ 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: BP. Cipta Jaya,
2003
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan Team Titian Ilahi,
Yogyakarta: Dinamika,1996.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Depag RI, 2010.
Zahara Idris, Dasar-dasar Kependidikan, Bandung: Angkasa, 2016.
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
21