Anda di halaman 1dari 6

NAMA : NITA YULIA NURJANNAH

NIM : 202111001026
MATA KULIAH : ILMU PENDIDIKAN ISLAM

DOSEN PENGAMPU : Ika Arina Wulandari, M.Pd.I

1.
A.  Dasar Kebutuhan Anak Untuk Memperoleh Pendidikan
Secara kodrati, anak memerlukan pendidikan atau bimbingan dari orang dewasa. Dasar
kodrati ini dapat dimengerti dari kebutuhan-kebutuhan dasar yang dimiliki oleh setiap anak
yang hidup di dunia ini. Allah SWT menciptakan manusia dalam keadaan tidak mengetahui
apa-apa, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Al-Qur'an, "Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun......" (Q.S.
An-Nahl: 78). Dari ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan status manusia
sebagaimana mestinya adalah melalui pendidikan. Dalam hal ini, keharusan mendapatkan
pendidikan itu jika diamati lebih jauh sebenarnya mengandung aspek-aspek kepentingan yang
antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut;
1.    Aspek Paedagogis
Dalam aspek ini, para ahli tidak memandang manusia sebagai animal educandum: makhluk
yang memerlukan pendidikan. Dalam kenyataanya manusia dapat dikategorikan
sebagai animal, artinya binatang yang dapat didik. Sedangkan binatang pada umumnya tidak
dapat didik, melainkan hanya dilatih secara dressur, artinya latihan untuk mengerjakan
sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah. Adapun manusia dengan potensi yang dimilikinya
dapat dididik dan dikembangkan ke arah yang diciptakan, setaraf dengan kemampuan yang
dimilikinya.
2.    Aspek Sosiologis dan Kultural
Menurut ahli sosiologis, pada prinsipnya manusia adalah moscius, yaitu makhluk yang
berwatak dan berkemampuan dasar atau memiliki garizah (insting) untuk hidup
bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia harus memiliki rasa tanggung jawab sosial
yang diperlukan dalam mengembangkan hubungan timbal balik dan saling  mempengaruhi
antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup mereka. Apabila manusia sebagai
makhluk sosial itu berkembang, maka berarti merupakan makhluk yang berkebudayaan baik
oral maupun material. Diantara satu insting manusia adalah adanya kecenderungan
mempertahankan segala apa yang dimilikinya, termasuk kebudayaannya.
3.    Aspek Tauhid
Aspek tauhid ini ialah aspek pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang berketuhanan,
yang menurut istilah ahli disebut homodivinous (makhluk yang percaya adanya Tuhan) atau
disebut juga homoreligious artinya makhluk yang beragama. Adapun kemampuan dasar yang
menyebabkan manusia menjadi makhluk yang berketuhanan atau beragama adalah di dalam
jiwa manusia terdapat insting yang disebut insting religious atau garizah diniyah (insting
percaya pada agama). Itulah sebabnya, tanpa melalui proses pendidikan  insting
religious atau garizah diniyah tersebut tidak akan mungkin dapat berkembang secara wajar.
Dengan demikian, pendidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan insting
religious atau garizah diniyah  tersebut.

2. B.     JENIS-JENIS LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir (2008) mengemukakan beberapa jenis lembaga


pendidikan islam, yaitu keluarga, masjid, pondok pesantren dan madrasah.Selain yang di
ungkapkandari Abdul
MujibdanjusufMudzakkirjugaakandipaparkantentanglembagapendidikan Islam
MajelisTa’limdanPerguruanTinggi Islam (IAIN).

Keluarga Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Dalam Islam, keluarga dikenal dengan istilah usrah, nasl, ‘ali, dan nasb. Keluarga dapat
diperoleh melalui keturunan (anak, cucu), perkawinan (suami, istri), persusuan, dan
pemerdekaan.[9] Pentingnya serta keutamaan keluarga sebagai lembaga pendidikan islam
disyaratkan dalam al-Quran:[10] Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu
dan keluargamu dari api neraka”. (Q.S. al-Tahrim : 6)

Sebagai pendidik anak-anaknya, ayah dan ibu memiliki kewajiban dan memiliki bentuk
yang berbeda karena keduanya berbeda kodrat. Ayah berkewajiban mencari nafkah untuk
mencukupi kebutuhaan keluarganya melalui pemanfaatan karunia Allah SWT di muka bumi
(QS. Al-Jumu’ah : 10) dan selanjutnya dinafkahkan pada anak istrinya (QS. al-Baqarah: 228,
233). Kewajiban ibu adalah menjaga, memelihara dan mengelola keluarga di rumah suaminya,
terlebih lagi mendidik dan merawat anaknya. Dalam sabda Nabi SAW. dinyatakan: “Dan
perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanyai dari pimpinannya itu” (HR.
Bukhari-Muslim).[11]

Sebagai pendidikan yang pertama dan utama, pendidikan keluarga dapat mencetak anak
agar mempunyai kepribadian yang kemudian dapat dikembangkan dalam lembaga-lembaga
berikutnya, sehingga wewenang lembaga-lembaga tersebut tidak diperkenankan mengubah apa
yang telah dimilikinya, tetapi cukup dengan mengombinasikan antara pendidikan yang
diperoleh dari keluarga dengan pendidikan lembaga tersebut, sehingga masjid, pondok
pesantren dan sekolah merupakan tempat peralihan dari pendidikan keluarga.[12]

Peranan para orang tua sebagai pendidik adalah:[14]

1.      korektor, yaitu bagi perbuatan yang baik dan yang buruk agar anak memiliki kemampuan
memilih yang terbaik bagi kehidupannya;

2.      inspirator, yaitu yang memberikan ide-ide positif bagi pengembangan kreativitas anak;
3.      informator, yaitu memberikan ragam informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan kepada anak
agar ilmu pengetahuan anak didik semakin luas dan mendalam;

4.      organisator, yaitu memiliki keampuan mengelola kegiatan pembelajaran anak yang baik dan
benar;

5.      motivator, yaitu mendorong anak semakin aktif dan kreatif dalam belajar;

6.      inisiator, yaitu memiliki pencetus gagasan bagi pengembangan dan kemajuan pendidikan anak;

7.      fasilitator, yaitu menyediakan fasilitas pendidikan dan pembelajaran bagi kegiatan belajar
anak;

8.      pembimbing, yaitu membimbing dan membina anak ke arah kehidupan yang bermoral,
rasional, dan berkepribadian luhur sesuai dengan nilai-nilai ajaran islam dan semua norma
yang berlaku di masyarakat.

Masjid Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Secara harfiah, masjid adalah “tempat untuk bersujud”. Namun, dalam arti terminologi,
masjid diartikan sebagai tempat khusus untuk melakukan aktivitas ibadah dalam arti yang
luas[15]. Dalam bahasa Indonesia, masjid diartikan rumah tempat bersembahyang bagi orang
Islam. Di dalam bahasa inggris, kata masjid merupakan terjemahan dari kata mosque.[16]

Pendidikan Islam tingkat pemula lebih baik dilakukan di masjid sebagai lembaga
pengembangan pendidikan keluarga, sementara itu dibutuhkan sutau lingkaran (lembaga) dan
ditumbuhkannya. Dewasa ini, fungsi masjid mulai menyempit, tidak sebagaimana pada zaman
Nabi SAW. Hal itu terjadi karena lembaga-lembaga sosial keagamaan semakin memadat,
sehingga masjid terkesan sebagai tempat ibadah shalat saja. Pada mulanya, masjid merupakan
sentral kebudayaan masyarakat Islam, pusat organisasi kemasyarakatan, pusat pendidikan,
dan pusat pemukiman, serta sebagai tempat ibadah  dan I’tikaf.[17]

Fungsi masjid dapat lebih efektif bila di dalamnya disediakan fasilitas-fasilitas terjadinya
proses belajar mengajar. Fasilitas yang diperlukan adalah sebagai berikut:[19]

1.      Perpustakaan, yang menyediakan berbagai buku bacaan dengan berbagai disiplin keilmuan.

2.      Ruang diskusi, yang digunakan untuk berdiskusi sebelum dan sesudah shalat jamaah. Program
inilah yang dikenal dengan istilah “I’tikaf ilmiah”.

3.      Ruang kuliah, baik digunakan untuk traning (tadrib) remaja masjid, atau juga untuk
Madrasah Diniyah. Omar Amin Hoesin memberi istilah ruang kuliah tersebut dengan Sekolah
Masjid. Kurikulum yang disampaikan khusus mengenai materi-materi keagamaan untuk
membantu pendidikan formal, yang proporsi materi keagamaannya lebih minim dibandingkan
dengan proporsi materi umum.

4.      Apabila memungkinkan, teknik ceramah dapat diubah dengan teknik komunikasi


transaksi, yakni antara penceramah dengan para audien, terjadi dialog aktif satu sama lain,
sehingga situasi dalam ceramah menjadi semakin aktif dan tidak monoton.

Pondok Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam

Kehadiran kerajaan Bani Umaiyah menjadikan pesatnya ilmu pengetahuan, sehingga


anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di masjid tetapi juga pada lembaga-lembaga
yang ketiga, yaitu “kuttab” (pondok pesantren). Kuttab, dengan karateristik khasnya,
merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis
dengan sistem halaqah (sistem wetonan). Pada tahap berikutnya kuttab mengalami
perkembangan pesat karena didukung oleh dana dari iuran masyarakat serta adanya rencana-
rencana yang harus dipatuhi oleh pendidik dan peserta

3. Dalam perspektif pendidikan Islam, tanggung jawab pendidikan Islam


dilaksanakan oleh kedua orang tua, guru, sekolah, lingkungan sekitar,
pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan dalam dunia pendidikan.

4. Yang harus dipersiapkan oleh calon guru Pendidikan Agama Islam agar mampu
mengembangkan kajian pendidikan Islam pada persaingan global adalah dengan
mematangakan setiap materi yang berkaitan dengan Pendidikan Agama Islam itu sendiri
dengan begitu guru akan benar-benar menguasai materi apa yang akan disampaikannya nanti
dan bila ada pertanyaan dari murid, guru akan lebih cepat dan tepat, dan dalam
menyampaikan materi yang mengikuti zaman global ini, guru harus dapat mengemas materi
menjadi lebih menarik, sehingga dapat Menumbuhkan MINAT belajar peserta didik, yang
akhirnya akan menimbulkan rasa penasaran pada materi tersebut dan dapat menumbuhkan
rasa semangat tinggi untuk terus mendalami Pendidikan Agama Islam.

5. Pola pikir dan sikap yang seharusnya diterapkan supaya komponen etnis lokal tidak lebur
adalah dengan berpikir bahwa toleransi dalam menyikapi perbedaan suku dan bangsa adalah
bentuk pe
Persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian

Disimpulkan pendidikan Islam terkukung Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem
pendidikan
nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap
melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan”
hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau
miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada
tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap
berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya
beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat
berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru
dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan
Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak
kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat
banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah
ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi
pendidikan Islam.
Hal ini, merupakan suatu kenyataan yang selama ini dihadapi
oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Olah karena itu,
muncul tuntutan masyarakat sebagai pengguna pendidikan Islam
agar ada upaya penataan dan modernisasi sistem dan proses
pendidikan Islam aga menjadi pendidikan yang bermutu, relevan,
dan mampu menjawab perubahan untuk meningkatkan kualitas
manusia Indonesia. Dengan demikian, penataan model, sistem dan
proses pendidikan Islam di Indonesia merupakan suatu yang tidak
terelakkan, untuk menjawab permintaan dari arus globalisasi yang
tidak dapat dibendung lagi (Proposal Jurnal Pendidikan Islam PAI FIAI
UII : 2008) dan menjawab predikat keterbelakangan dan kemunduran
yang selalu melekat pada pendidikan Islam. Hemat penulis, strategi
pengembangan pendidikan Islam hendaknya dipilih dari kegiatan
pendidikan yang paling mendesak, berposisi senteral yang akan
menjadi modal dasar untuk usaha penataan dan pengembangan
selanjutnya. Katakan saja, perubahan paradigama, visi, misi, tujuan,
dana, dan sampai pada program-program pendidikan yang sesuai
dengan tuntutan perubahan kehidupan dalam negeri ini, seperti:
perubahan kurikulum pendidikan secara terarah dan kontinu agar
dapat mengikuti perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Anda mungkin juga menyukai