Anda di halaman 1dari 15

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Alfylda Febrinisany (1212100004), Dita Rizky Oktaviani (1212100020),


Lulu Najla Amaratunnisa (1212100035), dan Salsabila Hurun’in (1212100)
email: alfyldafebrianisany@gmail.com, ditaoktaviani826@gmail.com,
lulunazlaamaratunnisa@gmail.com, saabilahurun@gmail.com
Jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Gunung Djati Bandung

ABSTRAK
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik
secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di
akhirat kelak. Tujuan penulisan ini ialah untuk mengetahui tentang peserta didik dalam
pendidikan Islam. Metode dalam penulisan ini ialah metode library research, yaitu studi
kepustakaan yang bersumber pada buku, jurnal, surat kabar, dokumen pribadi dan lain
sebagainya. Hasil pembahasan dapat dikatakan bahwa peserta didik merupakan orang yang
membutuhkan pengetahuan, ilmu, bimbingan serta pengarahan. (a) ilmu pendidikan Islam
ialah teori pendidikan Islam yang harus dipedomani oleh orang Islam yang menjadi
sumbernya ialah al-Quran dan Hadis; (b) tujuan akhir pendidikan islam yaitu menciptakan
pribadi yang patuh dan taqwa kepada Allah untuk melaksanakan semua tugas tugasnya di
dunia sebagai rangka pengabdiannya kepada Allah; dan (c) ilmu pendidikan Islam mempunyai
ruang lingkup yang sangat luas, karena didalamnya banyak pihak-pihak yang ikut terlibat baik
secara langsung atau tidak langsung.

Kata Kunci: Peserta Didik, Pendidikan Islam.

PENDAHULUAN
Peserta didik merupakan orang yang membutuhkan pengetahuan, ilmu, bimbingan serta
pengarahan. Islam berpandangan jika hakikat suatu ilmu itu berasal dari Allah SWT,
sebaliknya proses perolehannya dicoba lewat belajar kepada pendidik. Dalam Islam, peserta
didik merupakan tiap manusia yang selama hidupnya senantiasa terletak dalam pertumbuhan,
jadi peserta didik bukan hanya anak- anak yang tengah dalam masa pengasuhan serta
pengasuhan orang tuanya saja, bukan pula anak- anak dalam usia sekolah, namun mencakup
segala manusia baik selaku orang ataupun kelompok, baik manusia yang beragama Islam
ataupun tidak.
Abu Ahmadi juga pernah menuliskan mengenai pengertian dari peserta didik, jadi
peserta didik ialah anak yang belum dewasa, yang dimana anak tersebut masih memerlukan
usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan
tugasnya baik itu sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat manusia, sebagai warga negara, atau
pun sebagai anggota masyarakat dan sebagai suatu pribadi atau individu. (Hamadi, 2001)

1
Pendidikan merupakan salah satu dari upaya untuk membantu manusia memperoleh
kehidupan yang bermakna, sehingga diperoleh suatu kebahagiaan hidup baik secara individu
maupun kelompok. Sebagai proses, pendidikan memerlukan sebuah sistem yang terprogram
dan mantap, serta tujuan yang jelas agar arah yang dituju mudah dicapai (Jalaludin 2003).
Pendidikan Islam merupakan usaha pembinaan serta pengembangan kemampuan
manusia secara maksimal sesuai dengan statusnya, dengan berpedoman kepada syari’at Islam
yang diinformasikan oleh Rasulullah supaya manusia bisa berfungsi sebagai pengabdi Allah
yang setia dengan seluruh aktivitasnya guna terbentuk sesuatu keadaan kehidupan Islami yang
sempurna, selamat, nyaman, sejahtera, serta bermutu dan mendapatkan jaminan
(kesejahteraan) hidup di dunia serta jaminan untuk kehidupan yang baik di akhirat nanti
(Jalaluddin, 2001: 74).

METODE PENULISAN
Metode dalam penulisan ini ialah metode library research, yaitu studi kepustakaan yang
bersumber pada buku, jurnal, surat kabar, dokumen pribadi dan lain sebagainya yang dapat
mendukung dalam proses penulisan. Menurut (Nazir: 1998) dalam (Purwoko) pernah
mengemukakan bahwasannya studi kepustakaan itu adalah sebuah teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara melaksanakan penelaahan buku, catatan, literatur, dan berbagai
jenis laporan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang nantinya akan dipecahkan. Studi
kepustakaan juga diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dengan metode mengumpulkan
data pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian (Mestika Zed, 2003).
Sedangkan menurut (Sarwono: 2006) dalam (Purwoko) mengemukakan bahwa studi
kepustakaan juga dapat dilakukan dengan mempelajari berbagai buku referensi serta hasil
penelitian sebelumnya yang berupa jurnal ilmiah yang berguna untuk dijadikan landasan teori
mengenai masalah yang akan diteliti. Menurut para ahli lainnya, studi kepustakaan ini
merupakan kajian teoritis, literatur ilmiah, dan referensi lainnya yang berkaitan dengan budaya,
norma, serta nilai yang berkembang pada situasi sosial yang diteli (Sugiyono: 2017 dalam
Purwoko).

2
PEMBAHASAN
PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Peserta didik dalam etimologi pada bahasa arab disebut dengan Tilmidz yang
merupakan jamaknya adalah Talamid artinya adalah “murid”, maksudnya adalah “orang-
orang yang menginginkan pendidikan”. Selain itu pada bahasa arab dikenal istilah lain
juga dengan Thalib jamak dari Thullab yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah
“orang-orang yang mencari ilmu”. (Saputra, 2015)
Sementara secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang
masih berubah perkembangannya sehingga masih membutuhkan bimbingan dan arahan
agar terbentuknya kepribadian serta sebagai bagian struktural dari proses pendidikan.
Selian itu peserta didik dapat dikatakan merupakan seorang individu yang sedang berada
pada fase perkembangan maupun pertumbuhan dalam hal fisik dan mental ataupun fikiran.
Menurut pasal 1 ayat 4 UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional, peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya
melalui proses pendidikan pada jalur jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Dengan begitu dari pemahaman tersebut amat sangat jelas peserta didik itu memiliki
makna tidak hanya pada pendidikan formal saja, juga tidak adanya batasan usia untuk
peserta didik, dan bahkan tekanannya sangat beragam dengan tidak melihat bentuk
perbedaan karena mengacu kepada sebuah kesadaran akan keberagaman bangsa Indonesia
itu sendiri. Namun yang terpenting pada pengertian yang terdapat pada UU adanya kata
istilah“berusaha mengembangkan potensi”, yang artinya dengan menempuh pendidikan
atau terarahnya proses pembelajaran positif diharapkan dapat mengoptimalkan potensi
para peserta didik, baik dalam wilayah pendidikan formal maupun non formal, dan juga
informal serta pada tataran jenis dan bentuk pendidikannya.
Abu Ahmadi berpendapat bahwa pengertian peserta didik ialah belum dewasanya
seorang anak dimana masih memerlukan usaha, bantuan, unntuk menjadi dewasa
memerlukan bimbingan orang lain, agar dapat menjalankan tugasnya sebagai makhluk
Tuhan, sebagai umat manusia, sebagai warga negara, sebagai anggota masyarakat dan
sebagai suatu pribadi atau individu.(Hamadi, 2001)
Dara pengertian tersebut yang dimaksud dengan peserta didik adalah anggota
masyarakat yang belum dewasa yang memiliki fitrah (Potensi), baik secara fisik atau
psikisnya, memerlukan usaha, bantuan serta bimbingan orang lain yang lebih dewasa,

3
untuk tujuan mengembangan dirinya dengan menempuh proses pendidikan pada jalur
jenjang dan jenis pendidikan tertentu. (Saputra, 2015)
Dalam perspektif falsafah Pendidikan Islam, semua makhluk pada dasarnya adalah
peserta didik. Sebab dalam Islam, sebagai murabbi, mu’allim, atau muaddib, Allah Swt
pada hakikatnya adalah pendidik bagi seluruh makhluk ciptaan-Nya. Dialah yang mencipta
dan memelihara seluruh makhluk. Pemeliharaan Allah Swt mencakup sekaligus
kependidikan-Nya, baik dalam arti tarbiyah, ta’alim, maupun ta’adib. Karenanya, dalam
perspektif falsafah Pendidikan Islam, peserta didik itu mencakup seluruh makhluk Allah
Swt, seperti malaikat, jin, manusia, tumbuhan, hewan, dan sebagainya. (al-rasyidin, 2008)

B. Kebutuhan – Kebutuhan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam


Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta
didik untuk mendapat kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi
atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut buku yang ditulis oleh
Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kebutuhan Fisik
Fisik seorang anak didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses
pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan :
a. Peserta didik pada usia 0 – 7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami
masa kanak-kanak
b. Peserta didik pada usia 7 – 14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah
mengalami masa sekolah yang didukung dengan peraihan pendidikan formal
c. Peserta didik pada 14 – 21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami
masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.
Pada masa perkembangan ini lah seorang pendidik perlu memperhatikan
perubahan dan perkembangan seorang siswa. Karena diusia ini peserta didik
mengalami masa yang penuh dengan pengalaman (terutama pada masa pubertas) yang
secara tidak langsung dapat membentuk kepribadian peserta didik itu sendiri.
Disamping memberikan memperhatikan hal-hal diatas, seorang pendidik harus
memberikan bimbingan, arahan, dan mampu menuntun peserta didik menuju arah
kedewasaan yang pada akhirnya bisa menciptakan peserta didik yang mampu
mempertanggungjawabkan mengenai ketentuan yang telah ia tentukan dalam
perjalanan hidupnya dalam lingkungan masyarakat.

4
2. Kebutuhan Sosial
Secara etimologis, Sosial adalah lingkungan hidup. Pada dasarnya, kata sosial selalu
dikaitkan dengan lingkungan transenden oleh siswa dalam proses pendidikan. oleh
karena itu kebutuhan sosial adalah kebutuhan yang berhubungan langsung dengan
masyarakat, sehingga siswa dapat berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya,
seperti diterima oleh teman-temannya. Demikian juga dapat diterima oleh orang-orang
lebih tinggi darinya, seperti orang tuanya, gurunya, dan pemimpinnya. Kebutuhan ini
perlu dipenuhi agar siswa dapat memperoleh posisi dan baik dalam pendidikan.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa kebutuhan sosial adalah digunakan
untuk memberi pengakuan pada seorang peserta didik yang pada hakekatnya adalah
seorang individu yang ingin diterima eksistensi atau keberadaannya dalam lingkungan
masyarakat sesuai dengan keberadaan dirinya itu sendiri.
Seperti pada firman Allah pada surat Al – Hujarat : 13

‫ارفُوا ۚ ِإ َّن‬ ُ ‫اس ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن ذَ َك ٍر َوأ ُ ْنث َ ٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم‬
َ ‫شعُوبًا َوقَبَائِ َل ِلت َ َع‬ ُ َّ‫يَا أَيُّ َها الن‬
َّ ‫َّللاِ أَتْقَا ُك ْم ۚ إِ َّن‬
ٌ ِ‫َّللاَ َع ِلي ٌم َخب‬
‫ير‬ َّ َ‫أ َ ْك َر َم ُك ْم ِع ْند‬

“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku – suku supaya kamu
saling kenal-mengenal.” (Q.S. Al-Hujarat, 49:13)
3. Kebutuhan untuk Mendapatkan Status
Kebutuhan peserta didik dalam mendapatkan status ialah sesuatu yang dibutuhkan oleh
peserta didik untuk bisa memperoleh tempat di suatu lingkungan. Ini sangat dibutuhkan
oleh peserta didik terutama pada masa pubertas dengan tujuan untuk menumbuhkan
sikap kemandirian, identitas dan menumbuhkan rasa kebanggaan diri dalam lingkungan
masyarakat. Dalam proses memperoleh kebutuhan ini biasanya seorang peserta didik
ingin menjadi orang yang bisa dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar –
benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam lingkungan masyarakat.
4. Kebutuhan Mandiri
Saat peserta didik sudah melewati masa anak lalu memasuki masa keremajaan, maka
peserta didik perlu mendapat sikap pendidik yang memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk membentuk kepribadian berdasarkan pengalaman. Hal ini
dikarenakan ketika peserta sudah menjadi seorang remaja, dia akan memiliki ambisi

5
atau cita-cita yang mulai diperlihatkan dan terfikir oleh peserta didik, inilah yang akan
menuntun peserta didik untuk dapat memilih langkah yang dipilihnya.
Karena pembentukan kepribadian yang berdasarkan pada pengalaman itulah
yang menyebabkan para peserta didik harus bisa bersikap mandiri, dimulai dengan cara
pandang mereka terhadap masa depan sampai bagaimana ia bisa mencapai ambisinya.
Kebutuhan mandiri pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk menghindari sifat
pemberontak pada diri peserta didik, dan menghilangkan rasa tidak puas akan
kepercayaan dari orang tua atau pendidik, karena ketika seorang peserta didik terlalu
mendapat kekangan akan sangat menghambat daya kreatifitas dan kepercayaan diri
untuk berkembang.
5. Kebutuhan untuk Berprestasi
Untuk bisa mendapatkan kebutuhan ini, peserta didik harus mampu mendapatkan
kebutuhan mendapatkan status dan kebutuhan mandiri terlebih dahulu. Karena
keduanya sangat erat kaitannya dengan kebutuhan berprestasi. Ketika peserta didik
telah mendapatkan kedua kebutuhan tersebut, maka peserta didik akan mampu
mendapatkan rasa kepercayaan diri dan kemandirian, kedua hal ini lah yang akan
menuntutnun langkah peserta didik untuk mendapatkan prestasi.
6. Kebutuhan Ingin Disayangi dan Dicintai
Kebutuhan ini sangat penting bagi peserta didik, karena kebutuhan ini sangat
berpengaruh pada pembentukan mental dan juga prestasi dari peserta didik. Dalam
penelitian membuktikan bahwa sikap kasih sayang dari orang tua dapat sangat
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mendapatkan prestasi, dibandingkan
dengan sikap yang kaku dan pasif malah akan menghambat proses pertumbuhan dan
perkembangan sikap mental peserta didik. Di dalam agama Islam, umat islam
mempercayai dan meyakini bahwa kasih sayang paling indah ialah kasih sayang dari
Allah. Oleh karena itu umat muslim berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan kasih
sayang dan kenikmatan dari Allah. Sehingga manusia tersebut mendapat jaminan hidup
yang baik. Hal ini yang diharapkan para pakar pendidikan akan pentingnya kasih
sayang bagi peserta didik.
7. Kebutuhan untuk Curhat
Saat peserta didik menghadapi fase pubertas, maka mereka tengah mulai mendapatkan
problema-probelama keremajaan. Kebutuhan curhat ini biasanya ditujukan untuk
mengurangi beban masalah yang sedang dihadapi. Pada hakekatnya ketika seorang
yang tengah menglami fase pubertas membutuhkan seorang yang dapat diajak berbagi

6
atau curhat. Tindakan ini dapat membuat seorang peserta didik merasa bahwa apa yang
dia rasakan dapat dirasakan oleh orang lain. Namun ketika dia tidak memiliki
kesempatan untuk berbagi atau curhat masalahnya dengan orang lain, hal ini dapat
membentuk sikap tidak percayadiri, merasa dilecehkan, beban masalah yang makin
menumpuk yang kesemuanya itu akan memacu emosi seorang peserta didik untuk
melakukan hal-hal yang berjalan ke arah keburukan atau negatif.
8. Kebutuhan untuk Memiliki Filsafat Hidup
Pada hakekatnya setiap manusia memiliki filsafat walaupun terkadang ia tidak
menyadarinya. Begitu juga dengan peserta didik ia memiliki ide, keindahan, pemikiran,
kehidupan, tuhan, rasa benar, salah, berani, takut. Perasaan itu yang dimaksud dengan
filsafat hidup yang dimiliki manusia. Karena terkadang peseta didik tidak menyadari
adanya ikatan filsafat pada dirinya, maka terkadang peserta didik tidak menyadari
bagaimana dirinya bisa mendapatkan itu dan bagaimana caranya. Filsafat hidup sangat
erat berkaitan dengan agama, karena agama lah yang akan membimbing manuasia
untuk bisa mendapatkan dan mengetahui apa sebenarnya tujuan dari filsafat hidup.
Sehingga tidak seorangpun yang tidak membutuhkan agama.
Agama ialah fitrah yang diberikan Allah SWT dalam kehidupan manusia,
sehingga ketika peserta didik mengalami masa kanak-kanak, ia sudah memiliki rasa
iman. Tetapi rasa iman ini akan berubah seiring dengan perkembangan usia peserta
didik. Ketika seorang peserta didik keluar dari masa kanak-kanak, maka iman tersebut
akan berkembang, ia mulai berfikir siapa yang menciptakan saya, siapa yang dapat
melindunginya, siapa yang bisa memberikan perlindungan kepadanya. Tetapi iman ini
dapat menurun tergantung bagaimana ia beribadah. (Ramayulis, 2007)
Pendidikan agama disamping memperhatikan kebutuhan biologis dan psikologis atau
kebutuhan primer maupun skunder, maka penekanannya adalah pemenuhan kebutuhan
anak didik terhadap agama karena ajaran agama yang sudah dihayati, diyakini, dan
diamalkan oleh anak didik, akan dapat mewarnai seluruh aspek kehidupannya.

7
C. Karakteristik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam
Beberapa hal yang perlu dimengerti mengenai karakteristik peserta didik yaitu:

1) Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, dia memiliki dunia sendiri, sehingga tata
cara belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa
tidak pantas mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi seluruh ketentuan
serta keinginannya, sehingga peserta didik kehabisan dunianya.

2) Peserta didik mempunyai kebutuhan dan menuntut guna pemenuhan kebutuhan itu
semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, bagi Abraham Maslow, ada lima hierarki
kebutuhan yang dikelompokkan dalam 2 jenis, ialah: (1) kebutuhan-kebutuhan tahap
bawah (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa nyaman serta terjamin, cinta
serta turut mempunyai (sosial), dan harga diri; dan (2) meta kebutuhan-meta kebutuhan
(meta needs), meliputi apa saja yang tercantum dalam aktualisasi diri, semacam
keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun
demikian, masih terdapat kebutuhan lain yang tidak terjangkau kelima hierarki
kebutuhan itu, ialah kebutuhan akan transendensi kepada Allah. Orang yang
melaksanakan ibadah sebetulnya tidak bisa dipaparkan dengan kelima hierarki
kebutuhan tersebut, karena akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan serta ridha dari
Allah SWT.

3) Peserta didik mempunyai perbandingan antara individu dengan individu yang lain, baik
perbandingan yang diakibatkan dari faktor endogen (fitrah) ataupun eksogen
(lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, atensi, serta
lingkungan yang mempengaruhinya. Peserta didik dipandang selaku kesatuan sistem
manusia. Cocok dengan hakikat manusia, peserta didik selaku makhluk monopluralis,
hingga individu peserta didik walau terdiri dari dari banyak segi, menggambarkan satu
kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa).

4) Peserta didik adalah subjek serta objek sekaligus dalam pembelajaran yang
dimungkinkan bisa aktif, kreatif, dan produktif. Tiap peserta didik mempunyai kegiatan
sendiri (swadaya) serta kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pembelajaran
tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima,
mencermati saja. Selaku makhluk, anak didik memiliki ide serta kecerdasan yang
menggambarkan kemampuan serta kelebihan dibanding dengan makhluk-makhluk lain
(Moch Tolchan : 2015).

8
Dengan sifatnya yang dinamis, aktif, kreatif dan dengan kecerdasannya, seorang
anak didik mempunyai bekal guna menghadapi serta memecahkan permasalahan.
Sehubungan dengan hal ini, usaha untuk meningkatkan kecerdasan adalah ialah tugas
utama dalam arena pendidikan (Imam Barnadib : 1996). Anak didik mesti dipandang
tidak hanya selaku kesatuan antara jasmani serta rohani saja, tetapi juga manifestasinya
sebagai tingkah laku serta perbuatannya yang berada dalam pengalamannya tersebut.
Paling utama pada kecerdasannya, sangat perlu untuk difungsikan dalam diri anak didik
yang aktif serta berguna sepenuhnya dalam lingkungan. Anak didik sangat perlu
memperoleh kesempatan yang sangat layak serta sangat bebas juga sebanyak-
banyaknya untuk mengambil bagian dalam kejadian-kejadian yang ada disekitarnya.
Terutama peristiwa yang berhubungan dengan peristiwa pada kebudayaan. Anak didik
butuh memperluas pengetahuannya, sebab pada masa kanak- kanak otak mereka masih
mampu untuk merekam segala yang mereka amati ataupun dengar maupun mereka
jalani, atau pada masa saat ini disebut dengan masa keemasan.

5) Peserta didik mengikuti periode-periode pertumbuhan tertentu dalam memiliki pola


pertumbuhan dan tempo serta iramanya. Implikasi dalam pendidikan yaitu bagaimana
proses pembelajaran itu bisa disesuaikan dengan pola serta tempo, dan irama
pertumbuhan peserta didik. Kadar keahlian peserta didik sangat ditentukan oleh usia
serta periode perkembangannya, sebab usia itu dapat menentukan tingkatan
pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi
biologis, psikologis, ataupun didaktis (Abdul Mujib : 2008).

D. Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam


Dalam sebuah usaha dalam menggapai suatu tujuan pendidikan Islam pendidik seharusnya
memahami potensi, dimensi dan kebutuhan peserta didik. Begitu pula dengan peserta didik
hendaknya dituntut untuk memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam diri dan
kepribadiannya. Imam Al-Ghazali pernah merumuskan sebelas kode etik yang harus
dimiliki oleh peserta didik yaitu:
1. Belajar dengan nilai ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT. Sehingga dalam
kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak
yang rendah dan watak yang tercelah dan mengisi dengan akhlak yang terpuji.
2. Mengurangi kecenderungan kepada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi.
Maksudnya adalah belajar tak hanya semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi

9
belajar karena ingin berjihad melawan kebodohan demi tercapainya derajat
kemanusiaan yang tinggi baik dihadapan manusia dan Allah SWT.
3. Bersikap tawadhu (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk
kepentingan pendidikannya sekalipun ia cerdas.
4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia
terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam
belajar.
5. Mempelajari ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun ilmu agama
6. Belajar dengan bertahap dan berjenjang.
7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
8. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
9. Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang dapat
membahagiakan serta memberi keselamatan dunia akhirat.
11. Harus tunduk dan patuh pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit
terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode mazhab yang dianjurkan
pendidik pada umumnya.
Uraian kode etik peserta didik tersebut adalah bertujuan sebagai standar tingkah laku
yang dapat dijadikan pedoman bagi peserta didik dalam belajar, disisi lain berkaitan pula
dengan etika peserta didik dalam hubungannya dengan sesama peserta didik harus tunduk
dan patuh pada nasehat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya,
mengikuti segala prosedur dan metode mazhab yang dianjurkan pendidik pada umumnya
Uraian kode etik peserta didik tersebut adalah bertujuan sebagai standar tingkah laku yang
dapat dijadikan pedoman bagi peserta didik dalam belajar, disisi lain berkaitan pula dengan
etika peserta didik dalam hubungannya dengan sesama peserta didik.
Seorang pendidik harus memahami seluruh karakteristik peserta didiknya, yaitu;
Potensi atau dimensi – dimensi peserta didik, kebutuhan peserta didik, dan sifat – sifat
peserta didik. Adapun sifat – sifat yang harus dimiliki oleh peserta didik diantaranya:
a. Membersihkan hati dari penyakit hati sebelum nya melakukan menuntut ilmu.
b. Mempunyai tujuan yang jelas dalam menuntut ilmu .
c. Tabah dalam memperoleh ilmu yang di dapat.
d. Ikhlas dalam melakukan atau dalam menuntut ilmu dan menghormati pendidik atau
guru.

10
E. Tantangan dan Peluang Peserta Didik
1. Tantangan
a. Perilaku yang menyimpang dari nilai nilai akademik. Melalui media cetak
ataupun media elektronik kita selalu mendapati berita yang menunjukkan
berbagai perilaku peserta didik yang jauh dari nilai nilai akademik. Misalnya
saja banyak siswa yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa amoral, seperti kasus
video porno, aksi tawuran, perkelahian, tindak kriminalitas yang tinggi
(Pradana,2018)
b. Lingkungan
Lingkungan berada harus juga dijadikan perhatian pendidik yang
bersangkutan dalam arti lingkungan sosio-kulturilnya; yang menjadi persoalan
dalam hubungan ini ialah: apakah pendidik dan peserta didiknya harus
menyesuaikan diri secara alloplastics atau secara autoplastis? Juga masih dalam
masalah lingkungan yaitu yang langsung berpengaruh pada peserta didik dalam
lingkungan pendidikannya, atau bahkan dalam kelas perlu diciptakan
religious environment seperti adanya musholla dalam lingkungan pendidikan,
peringatan-peringatan hari besar Islam, tata susila dalam pergaulan, berpakaian,
bertingkah laku sopan, dan sebagainya.
Pendidikan memberikan kepada anak didik dorongan dan rasa
berprestasi melalui penguasaan pelajaran dengan sebaik-baiknya. Prestasi
akademis yang mereka capai, pada gilirannya, juga mendorong munculnya
rasa elitisme, yang kemudian memunculkan sikap dan gaya hidup tersendiri,
termasuk dalam kehidupan politik. Semakin terpisah lingkungan sekolah dari
lingkungan masyarakat pada umumnya, maka semakin tinggi pula sikap
elitisme tersebut. Elitisme yang bersumber dari sekolah ini kemudian
memunculkan elitisme “terpisah” dari masyarakat; tetapi pada saat yang
bersamaan, mereka memegangi pendapat bahwa dengan keunggulan dan
priveleges yang mereka miliki, mereka mempunyai“hak” alamiah huntuk
memerintah masyarakat. (Ramdhani, 2017)

11
2. Peluang Peseserta Didik dalam Pendidikan Islam
Berdasarkan pada tantangan dan permasalahan yang telah sebutkan maka
membuat dorongan kepada pihak-pihak yang peduli akan pendidikan untuk
melakukan terobosan baru diantaranya:
a. Paradigma Baru Dalam Pembelajaran Pendidikan Agama.
Muhaimin dalam Rekon-struksi Pendidikan Islam memaparkan tentang
perbedaan model-model pengembangan PAI dilingkungan pendidikan.
Perbedaan model ini muncul karena adanya perbedaan pemikiran dalam
memahami aspek-aspek kehidupan. Apakah agama merupakan bagian dari
aspek kehidupan, sehingga hidup beragama berarti menjalankan salah satu
aspek dari berbagai aspek kehidupan, ataukah agama merupakan sumber nilai-
nilai dan operasional kehidupan, sehingga agama akan mewarnai segala aspek
kehidupan itu sendiri? Makadalam konteks ini muncullah model dikotomis,
model mekanisme dan modelorganism/sistemik.(Muhaimin,2002).
Model dikotomis memandang segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi
yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan
tidak bulat, pendidikan agama dan pendidikan non agama, demikian
seterusnya. Pandangan dikotomis tersebut pada gilirannya dikembangkan
dalam memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan
rohani, sehingga pendidikan agama Islam hanya diletakkan pada aspek
kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.(Muhaimin,2002)
Adapun model mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai
aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan
seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan
menurut fungsinya, bagaikan sebuah mesin yang terdiri dari beberapa
komponen atau elemen-elemen,yang masing-masing menjalankan fungsinya
sendiri-sendiri, dan antara satu dengan lainnya bisa saling berkonsultasi atau
tidak. Modelorganism/sistemik dalam konteks penddikan Islam bertolak dari
pandangan bahwa aktifitas kependidikan merupakan suatu system yang terdiri
atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara
terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religious atau
dijiwai oleh ajaran dannilai-nilai agama.(Mohamad&Salleh, 2009)

12
Pandangan semacam itu menggaris bawahi pentingnya kerangka
pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrine dan fundamental value
yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan al-sunnahash-shahihah
sebagai sumber pokok. Ajaran dan nilai-nilai Ilahi/agama/wahyudi dudukkan
sebagai sumber konsultasi yang bijak.
b. Integrasi Inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam.
Paradigma yang juga bisa dikembangkan ialah dalam bentuk integrasi
inklusivitas Islam dalam Pendidikan Agama Islam. Pemaparannya dalam hal
ini yaitu: Jika masih ingin eksis dan survive, semangat inklusivitas ajaran
Islam harus benar-benar integral dalam materi ajar dalam kurikulum
Pendidikan Agama Islam. Namun yang perlu menjadi catatan jangan sampai
terjebak oleh inklusivitas menurut retorika Barat dalam hal-hal teori tentang
pluralisme, HAM dan lain-lainnya karena semua itu harus dikembalikan
kepada sumbernya yang asliyaitu al-Qur’an dan as-Sunnah meskipun tetap
dengan semangat yang mengkritisi setiap interpretasi terhadap kedua sumber
tersebut.(Amin & others, 2015).
Sikap Islam terhadap pluralitas misalnya, merupakan sikap pertengahan
diantara dua kutub ekstrim pandangan manusia terhadap pluralitas: yang
menolak pluralitas mentah-mentah dan yang menerima pluralitas mentah-
mentah. Pandangan manusia yang menolak pluralitas mentah-mentah adalah
pandangan yang menganggap pluralitas sebagai sebuah bencana yang
membawa pada perpecahan sehingga pluralitas harus dihilangkan dan
keseragaman mutlak harus dimunculkan. Hal tersebut dapat dilihat pada
totaliterisme Barat yang diwakili oleh Uni Soviet saat itu. Pandangan
manusia yang menerima pluralitas mentah-mentah adalah pandangan yang
menganggap pluralitas sebagai sebuah bentuk kebebasan individu yang tidak
ada keseragaman sedikit pun. Hal ini terlihat pada model“liberalisme Barat”
dibanyak negara. Sikap Islam yang moderat, yang menerima pluralitas
sekaligus menerima keseragaman, dapat dilihat dari penerimaan Islam
terhadap beragam mazhab fikih, tetapi tetap dalam kerangka kesatuan atau
keseragaman syariatIslam.(Dzakie,2014).

13
SIMPULAN
Peserta didik dalam etimologi pada bahasa arab disebut dengan Tilmidz yang merupakan
jamaknya adalah Talamid artinya adalah "murid", maksudnya adalah "orang-orang yang
menginginkan pendidikan". Selain itu pada bahasa arab dikenal istilah lain juga dengan Thalib
jamak dari Thullab yang artinya adalah "mencari", maksudnya adalah "orang-orang yang
mencari ilmu". (Saputra, 2015) Sementara secara terminologi peserta didik adalah anak didik
atau individu yang masih berubah kembangan sehingga masih membutuhkan bimbingan dan
arahan agar terbentuknya kepribadian juga sebagai bagian struktural dari proses pendidikan.
Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang wajib diberikan oleh pendidik
agar peserta didik mendapat kedewasaan ilmu. Karakteristik peserta didik adalah sebagai
subjek serta objek sekaligus dalam pembelajaran yang dimungkinkan bisa aktif, kreatif, dan
produktif. Peserta didik dituntut untuk memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam
diri dan kepribadiannya. Terdapat pula kode etik peserta didik yang bertujuan sebagai standar
tingkah laku yang dapat dijadikan pedoman bagi peserta didik dalam belajar.

14
DAFTAR PUSTAKA

Al-Rasyidin. (2008). Falsafah Pendidikan Islam: Membangun Kerangka Ontologi. Bandung:


Pustaka Media Perintis.
Amin, A. R. (2015). Sistem Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi
Umum. Deepublish.
Barnadib, I. (1996). Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspetif Beberapa
Teori Pendidikan. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Dzakie, F. (2014). Meluruskan Pemahaman Pluralisme Dan Pluralisme Agama Di Indonesia.
Al - Adyan .
Hamadi, A. (2001). Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Harahap, M. (2016). Esensi Peserta Didik dalam Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Al-
Thariqah, 140-155.
Irawan. (2017). Dimensi Kebutuhan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Islamika: Jurnal
Agama, Pendidikan dan Sosial Budaya .
Jalaluddin. (2001). Theologi Pendidikan . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mohamad, B., & Salleh, M. (2009). Kepimpinan Pendidikan Dalam Pembangunan Modal
Insan. Seminar Pembangunan Modal Insan 2009.
Muhaimin. (2002). Paradigma Pendidikan Islam. In Livestock Research for Rural
Development.
Mujib, A. (2008). Ilmu Pendidikan Islam . Jakarta: Kencana.
Pradana, A. P. (2018). Peran Media Sosial Terhadap Perubahan Perilaku Mahasiswa.
Solidaritas.
Ramayulis. (2007). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulya.
Ramdhani, M. A. (2017). Lingkungan pendidikan dalam implementasi pendidikan karakter.
Jurnal Pendidikan UNIGA.
Rohmaniyah, V. (2021). Peserta Didik dalam Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan. Retrieved
from https://doi.org/10.31219/osf.io/dfq4z
Saputra, M. I. (2015). Hakekat Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidik Islam. Al-
Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam, 231-251.
Tolchah, M. (2010). Dinamika Pendidikan Islam Pasca Orde Baru. Yogyakarta: LKIS Pelangi
Aksara .

15

Anda mungkin juga menyukai