KAJIAN PUSTAKA
1. Pengertian Hadanah
Secara bahasa hadhanah berasal dari kata hidnan artinya, sesuatu yang
terletak antara ketiak sampai pusar. Hadhonah Ath- Thaa‟ir Baidhahu, berarti seekor
burung yang menghempit telornya (mengerami) di antara kedua sayap dan badannya.
Demikian juga jika seorang ibu membuai anaknya dalam pelukan atau lebih tepat jika
meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Seperti halnya ketika ibu
orang lemah,orang gila sudah besar tapi belum mumayyiz dari apa yang dapat
1
Syaikh Kamil Muhammad, 2006. Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), h. 454.
2
Tihami dan Sohari Sahrani, 2010. Fikih munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers), h. 215
3
Kamal Muchtar, 1993. Asasa-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. Ke-3), h. 137
14
15
yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau
yang kurang akalnya, belum dapat membedakan antara yang baik dan buruk, belum
mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu
akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.4
perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu
dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan si anak, mendidik jasmani dan
rohani serta akalnya agar anak mampu berkembang dan dapat mengatasi persoalan
anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani
dan akalnya.6
4
Sayyid Sabiq, 2006. Fiqih Al-Sunnah III, terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara), h.237
5
Al- Hamdani, 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani), h.
260.
6
Abdul Rahman Al-Ghozali, 2008. Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Cet 3), h. 175
16
pemeliharaan anak, mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil setelah terjadinya
mendidiknya sampai anak tersebut dikategorikan sebagai dewasa atau mampu berdiri
sendiri.8
atau abnormal, yang belum atau tidak dapat hidup mandiri yakni dengan memenuhi
pengertian pendidikan terhadap anak, pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak
dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan ia mungkin pekerjaan
professional.9
mengasuh, memelihara dan mendidik anak yang belum mampu berdiri sendiri
secara fisik dan psikis, dengan memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohani
7
Amir Syarifudin, 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Ed.1, (Jakarta: Kencana, Cet. 3), h. 327
8
Abdurrahman, 2010. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika
Pressindo), h 113
9
Jamaan Nur, 1993. Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama), h. 119
17
sampai anak tersebut mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul
tanggung jawab.
Secara umum dalam perspektif Islam para ulama sepakat bahwa pemeliharaan
anak itu adalah wajib, adapun dasar hukumnya adalah QS. Attahrim ayat 6:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluarga mu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang, kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkannya, kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6).10
menyebutkan secara tegas bahwa ayat enam di atas menggambarkan bahwa akwah
dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional
tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan bearti hanya tertuju kepada mereka.
Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki (Ibu dan Ayah) sebagaimana ayat-
ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju
kepada laki-laki dan perempuan. Ini bearti kedua orang tua bertanggung jawab
10
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Surabaya: Jaya Sakti, 1997), h.
190
18
bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk
menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi
Aplikasi dari ayat di atas adalah kewajiban mengasuh anak terletak pada
pundak orang tua, orang tua dituntut untuk mengasuh, mendidik, agar anak bisa
berkembang sesuai dengan norma-norma yang ada dan menjauhi segala bentuk
larangan dan mematuhi perintah Allah SWT. orang tua berfungsi sebagai pendidik,
dan pengasuh anak, maka untuk mewujudkan kewajiban tersebut orang tua dituntut
untuk memahami tugas nya dalam mendidik dan pembentukan karakter anak.
Kewajiban orang tua dalam pengasuhan anak juga terdapat dalam QS. Al-
11
Quraish Shihab, Tafsir Al -Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 327
19
maupun psikis, karena masa-masa itulah sangat mempengaruhi anak dari segi
perawatan, asuhan dan pendidikan yang harus diberikan dan diperhatikan oleh kedua
orang tuanya. Hal tersebut merupakan upaya mewujudkan manusia yang berkualitas
dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu dilihat dari aspek moralnya bahwa
misi hadanah adalah untuk kepentingan anak yang diasuh. Karena itu memelihara
dan mengasuh anak merupakan suatu kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak
tidak dipelihara, dididik, maka anak akan celaka, apabila orang tua mengabaikan
pendidikan anak maka ia akan berdosa dan ketika masih kecil anak masih butuh pada
12
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 38
13
Huzaemah Tohido Yanggo, 2000. Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia
Indonesia), h. 150
14
Muhammad Jawad Mughniyah, 1999. Fikih Lima Mazhab Alih Bahasa MAsykur AB, Afif
Muhammad, (Jakarta: Lentera), h. 612
20
Pasal 98, 105, dan 156 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 98:
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.15
Pasal 105:
Dalam hal suami istri jika terjadi perceraian maka pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya,
pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan, biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.16
Pasal 156:
15
Abdurrahman, Op. Cit. h. 19
16
Ibid. h. 138
21
Pasal 4 jo. Pasal 8 jo. Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 11 jo. Pasal 13 jo. Pasal 42
diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
jo. Pasal 2 ayat (1, 2, 3 dan 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
17
Ibid, h. 138-139
22
pendidikan, hak sosial dan hak yang bersifat khusus atau eksepsional serta seorang
kandungan atau setelah dilahirkan serta perlindungan dari lingkungan hidup yang
Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri dan yang dimaksud dengan orang tua dalam pasal 1 ayat 4
Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah ayah dan/atau ibu
kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
Perlindungan Anak, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh,
sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak jo. Pasal 1 ayat ( 1, 2 dan 4), Pasal 2 ayat 1 huruf (a), Pasal 5 dan
apabila hal tersebut dilakukan maka dapat dihukum atau dipidana sebagai bagian dari
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan Negara untuk melindungi dan
3. Syarat-syarat Hadanah
hidup mandiri baik secara fisik maupun psikis. Menjadi kewajiban bagi orang tua
anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang
tua disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut madhun atau hadinah, baik masih
dalam ikatan perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tuanya berkewajiban
untuk memelihara anaknya dengan baik. Untuk dapat menyelenggarakan hal ini
1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan
18
Salinan Pututsan Pengadilan Agama Painan Nomor 0399/Pdt.G/2019/PA.Pn, h. 60-61
24
2. Berpikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu
berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan
3. Beragama Islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur Ulama,
mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau oleh orang yang bukan
agama Islam dikhwatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebaikan dari adil dalam hal ini
1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akala dan gila, keduanya tidak
3. Mampu mendidik, karena tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta
atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk
19
Amir Syarifudin, Op. Cit, h. 328
25
4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil
baik.
5. Islam, anak kecil tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim,
7. Merdeka.20
Para Ulama sepakat bahwa dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang
yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci dri, bukan pelaku maksiat, bukan
penari, bukan peminum khamar, serta tidak mengabaikann anak yang diasuhnya.
Tujuan dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara
Syarat-syarat hadhin yang telah diuraikan diatas merupakan hal yang mutlak
ada pada diri seseorang pengasuh. Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat,
jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah hak nya untuk
melakukan hadanah. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hak hadanah
20
Sayid Sabiq, 1983. Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr), h. 289
21
Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, h. 416
26
akan kembali kepada seseorang jika persyaratan tersebut terpenuhi, hal ini
1. Ulama mazhab Maliki berpendapat, jika gugurnya hak itu karena uzur
seperti sakit, tidak mempunyai tempat tinggal atau pergi haji, kemudian
penhalang itu telah hilang, maka hal tersebut telah kembali lagi
kepadanya, tetapi jika penghalang itu berupa menikahnya ibu dengan laki-
laki lainnya yang bukan mahram anak atau bepergian dengan tanpa uzur
karena talak, fasakh, maupun meninggalnya suami atau telah kembali dari
bepergian, maka hak tersebut tidak bisa kembali lagi kepadanya, karena
idtidrari.22
bahwa jika hak hadanah itu gugur karena adanya penghalang, maka hak
lagi, bepergian atau fasiq). Apabila penghalang telah hilang maka hokum
yang dihalangi seperti semula, baik penghalang itu idtirari atau ikhtiyari.23
sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi, dan mengahalangi
terpenuhi, maka hal itu termasuk kategori tidak adanya syarat yang
lengkap, bukan termasuk adanya al-mani’ yang dapat kembali lagi, hukum
1. Anak yang menjadi objek asuhan masih bisa dikategorikan sebagai anak,
misalnya seperti orang yang idiot, sehingga ia tidak bisa berbuat sendiri
4. Masa Hadanah
perempuan akan berakhir ketika anak tidak lagi bergantung pada orang dewasa,
mencapai masa tamyiz dan sudah bisa mandiri., yakni dapat mengerjakan sendiri
(mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada usia tertentu, malainkan
ukurannya adalah tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama anak kecil sudah
24
Inid, h. 183
25
Amir Syarifudin, Op. Cit, h. 329
28
mumayyiz dan tidak lagi bergantung dengan orang lain, serta dapat mengerjakan
Masa atau batas usia hadanah tidak ada diatur dalam Al- Qur’an maupun
hadist, namun mengenai hal ini para ulama berijtihad untuk menentukannya.
1. Menurut mazhab Hanafi, hadanah anak laki-laki berakhir pada saat anak
tahun dan bagi anak perempuan berakhir bila telah datang masa haid
2. Menurut mazhab Maliki, masa hadanah anak laki-laki itu berakhir dengan
berakhir sampai usia menikah. Jika anak perempuan tersebut telah sampai
usia menikah, sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ibu lebih berhak
terhadap anak perempuannya sampai sang ibu menikah (lagi). Jika tidak
sedang demikian, maka anak itu dititipkan kepada ayahnya atau jika
walinya.28
26
Sayid Sabiq, Op. Cit, h. 537
27
Abdul Rahman Al-Ghozali, Op. Cit, h. 185
28
Huzaemah Tahido Yanggo, 2010. Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia
Indonesia), hal. 186
29
perempuan, berakhir ketika sampai usia 7 tahun atau 8 tahun. Jika telah
dipersilakan untuk memilih antara ayah atau ibunya. Anak tersebut berhak
4. Menurut mazhab Hambali, hadanah anak itu berakhir sampai anak itu
ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih baginya.30
Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam menentukan masa hadanah ini,
sebagian mengatakan anak laki-laki tidak memerlukan hadanah, namun ada yang
kemaslahatan anak ini tetap tinggal dalam asuhan seorang wanita, maka ia boleh
memutuskan demikian sampai usia 9 tahun bagi laki-laki dan 11 tahun bagi
perempuan. Akan tetapi apabila hakim menganggap bahwa kemaslahatan anak ini
29
Ibid, h. 187
30
Ibid, h. 188
31
Slamet Abidin, Op. Cit, h. 184
30
masa hadanah akan berakhir jika anak yang diasuh telah dapat hidup mandiri
(tamyiz) dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dan dianggap telah mampu
mengatasi segala bentuk kemaslahatan yang akan timbul pada dirinya. Tidak ada
batasan usia tertentu yang dapat diterapkan dalam masa hadanah, akan tetapi
berkhirnya hadanah.
Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia menjelaskan dalam hal suami
istri jika terjadi perceraian maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz
diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang
oleh:
b. Ayah
32
Abdurrahman, Op. Cit, h. 138
31
2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi,
hadanah pula.
4. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut
padanya.33
Ulama ahli fiqh berpendapat dalam hal menangani hadanah, kerabat ibu lebih
masing-masing keluarganya ibu dan ayah. Ibu adalah orang pertama atas hak
33
Ibid, h. 138-139
32
hadanah, jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan (adanya
syarat-syarat yang tidak terpenuhi), maka berpindahlah hak hadanah, dengan urutan
sebagai berikut:
2. Ayah
34
Sayid Sabiq, Op. Cit, h. 239
33
Imam Syafi’i berpendapat orang yang hak atas pemeliharaan anak adalah
sebagai berikut:
1. Ibu
4. Saudara perempuan
8. Bibi dari pihak ayah dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak
warisan.35
1. Ibu kandung
35
Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, h. 417
34
13. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kerabat
terdekat.36
6. Mumayyiz
Mumayyiz adalah anak yang sudah mencapai usia dimana seorang anak sudah
mulai bisa membedakan mana hal yang bermanfaat baginya dan mana hal yang
membahayakan dirinya, sebagian ulama' menyatakan bahwa pada usia ini seorang
anak memiliki kemampuan dalam otaknya untuk bisa menggali arti dari suatu hal.
Dalam kenyataannya, pada masa ini seorang anak sudah mampu untuk melakukan
beberapa hal secara mandiri, seperti makan sendiri, minum sendiri, dan lain lain.37
Mumayyiz dapat dikatakan sebagai mukallaf, bersumber dari kata kallafa yang
berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, mukallaf adalah orang yang
36
Ibid, h. 418
37
Siroj Munir, 2007. Perbedaan antara Mumayyiz dan Baligh, (Jakarta : Pustaka Karya), h.
135
35
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah
Mukallaf adalah subjek hukum, yaitu orang-orang yang dibebani hukum, atau
disebut juga dengan mahkum ‘alaih, yaitu orang-orang yang kepadanya diperlakukan
hukum.39 Seseorang baru ditetapkan sebagai mukallaf, apabila pada diri orang
akal.
mimpi melakukan hubungan seks bagi laki-laki dan telah mengalami haid
bagi wanita. Apabila kedua tanda ini belum ditemukan, maka tanda
kedewasaannya dilihat dari segi usia. Dalam hal ini, jumhur ulama
38
Syafi’e Rahmat, 2010. Ilmu Ushul Fiqh edisi keempat, (Bandung:Cv Pustaka Setia),, h. 334
39
Amir Syarifuddin, Op. Cit, h.132
36
seperti gila, idiot, lupa, tertidur, terpaksa, tidak tahu dan lain-lain.40
anak tersebut mengetahui cara berhitung secara global, sehingga dapat melakukan
transaksi jual beli. Oleh karena itu ahli fiqih mengatakan bahwa yang termasuk ciri–
ciri tamyiz adalah anak itu mengetahui bahwa menjual berarti mengeluarkan sesuatu
yang dimilikinya dan membeli itu memasukkan sesuatu menjadi miliknya. Sementara
ahli fiqih lainnya mendefinisikan tamyiz dengan batasan umur, yaitu berumur 7
tahun. Sehingga anak yang belum berumur 7 tahun dikatakan belum tamyiz dan jika
yang telah mampu hidup mandiri (tamyiz) dalam memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya, dan dianggap telah mampu mengatasi segala bentuk kemaslahatan yang
akan timbul pada dirinya. Batasan umur seorang anak dapat dikatakan sudah
mumayyiz jika merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam Pasal 98, yaitu batas usia
anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
berpendapat, usia dewasa adalah 15 tahun, sedangkan menurut mazhab Hanafi adalah
40
Abd. Rahman Dahlan, 2014. Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah), h. 101
41
Imam Muhamad Abu Zahrah, 2007. Al-Jarimah wa-Al-Uqubah fi al-Fiqhil Islami, (Dar al-
Fark al-Arabi), h. 478
37
yang eksistensinya sangat menentukan akan masa depan suatu kehidupan keluarga.
Merupakan suatu wadah dan tempat persemaian tumbuh dan berkembangnya anak-
anak (keluarga) secara keseluruhan. Oleh karena itu, suatu kehidupan keluarga inti
yang terdiri dari seorang ayah bersama isterinya merupakan pusat paling awal dan
kepribadian anak sejak dini, bahkan sejak masih dalam kandungan sekalipun. Di
sinilah anak pertama kalinya memperoleh pengalaman dan sentuhan pendidikan, baik
secara fisik maupun secara moral spiritual, yang pada gilirannya pengalaman-
selanjutnya. Karena segala sesuatu yang pernah di alami oleh anak semasa kecil
(dalam kandungan) itu akan tertanam di dalam jiwanya (rohaninya) sedemikian kuat.
‘kesan-kesan yang diperoleh anak ketika masih kecil akan tertanam secara mendalam
Keluarga mempunyai peranan yang tidak kecil dalam membentuk jiwa dan
kepribadian seorang anak, karena baik buruknya pribadi dan jiwa anak sangat
tergantung dari keluarga atau kedua orang tuanya. Kalau keluarga selalu
42
Imam Bawani, 1990. Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Knteks Pendidikan Islam, edisi 1,
(Surabaya : PT. Bina Ilmu), h. 52
38
menanamkan nilai-nilai yang baik ke dalam jiwa anak, tentu anak cepat atau lambat
akan pasti memiliki pribadi dan jiwa yang baik pula, sebaliknya kalau keluarga tidak
menanamkan nilai-nilai yang baik, maka pribadi dan jiwa anak akan menjadi tidak
baik pula.43
Keluarga merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kelangsungan
kehidupan anak dan merupakan lingkungan atau rumah yang pertama sekali dikenal
oleh sang-anak. Keluargalah (kedua orang tua) yang bertanggung jawab memenuhi
segala tuntutan dan kebutuhan anak, baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan
psikologis. Suasana aman, tenteram, bahagia dan damai serta keserasian hubungan
lingkungan ini, karena dengan suasana demikianlah ana-anak akan dapat memperoleh
rasa kasih sayang dan sentuhan perhatian yang diharapkannya. Dengan tanpa
perhatian yang serius dan kasih sayang yang penuh dari kedua orang tua terutama,
maka tentu pada gilirannya akan sulit terjadi pertumbuhan dan perkembangan jiwa
dan mental anak yang sehat dan normal, yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap
Keluarga merupakan lingkungan hidup pertama dan utama bagi setiap anak.
Di dalam keluarga anak mendapat rangsangan, hambatan, dan pengaruh yang pertama
dalam keluarga anak juga mempelajari norma aatu aturan hidup dalam
43
Ibid, h. 52
44
Mustafa Fahmi, 1977. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Jilid 1, alih
bahasa Zakiah Daradjat, (Bandung: Bulan Bintang), h. 72
39
mengenal norma tetapi juga menghargai dan mengikuti norma tetapi juga menghargai
anak mengenal dan meniru model-model dari orang tua sebagai anggota
masyarakat.45
kebutuhan individu dari maslow, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang
dapat memenuhi kebutuhan terebut melalui perawatan dan pelakuan yang baik dari
orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Apabila anak telah
memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga dirinya, maka anak dapat
Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan
berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan
orang tua adalah suatu hal yang sering anak lakuakan, karena memang pada masa
perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua lakukan. Anak
45
Kartini Kartono, 1992. Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak, (Jakarta: Raja Wali Press), h.
27
46
Syamsu Yusuf, 2008. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda
karya), h. 37-38
40
selalu ingin meniru ini dalam pendidikan dikenal dengan istilah anak belajar melalui
imitasi.47
Tindakan dan perlakuan kedua orang tua terhadap anak-anak dan saudara
keluarganya di kemudian hari. Tindakan dan perlakuan orang tua yang sesuai dengan
hidup dalam jiwa anak yang sesuai dengan agama, yang kemudian akan tumbuh dan
tua merupakan idola bagi anak, di mana anak perempuan akan mengidolakan ibunya,
sedangkan anak laki-laki akan mengidolakan bapaknya. Sehingga kalau figur ayah
dan ibunya baik dan bermoral tinggi, maka kesan yang diterima anak akan baik pula,
namun sebaliknya bila figur ayah dan ibunya kurang baik dan kurang bermoral, maka
kesan yang diterima anak akan kurang baik pula. Seorang anak yang dibesarkan,
dipelihara dan dididik dalam rumah tangga yang aman tenteram, penuh dengan kasih
saying akan bertumbuh dan berkembang dengan baik dan pribadinya akan terbina
dengan baik pula. Lebih-lebih lagi apabila ibu bapaknya mengerti agama dan
menjalankannya dengan ta’at dan tekun. Setiap gerak, sikap dan pelakuan yang
47
Syaiful Bahri Djamarah, 2004. Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dalam Keluarga,
(Jakarta: PT Rineka Cipta), h. 24-25
48
Zakiah Daradjat, 1990. Ilmu Jiwa Agama, edisi 12, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 110
41
diterima oleh anak dalam keluarganya akan menemukan corak pribadinya yag akan
bertumbuh nanti. Dalam hal ini tertama sekali dari pihak ibu dituntut untuk lebih aktif
berperan, karena ibu biasanya memiliki sikap yang lebih lembut, sabar dan perhatian
pertumbuhan yang sedang dialami oleh anaknya, dan tekun menjalankan agama serta
dapat melatih anaknya untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditentukan
oleh agama, dan tahu pula sekedarnya psikologi anak dalam segala tingkat usia
dengan ciri dan problemanya masing-masing, maka ia akan dapat membina moral
bahwa peran kedua orang tua dalam keluarga sebagai pembina sekaligus pendidik
utama dan pertama dalam suatu kehidupan keluarga, sangat besar pengaruhnya,
bahkan sangat menentukan perilaku kehidupan jiwa dan kepribadian anak dan
keluarga. Oleh karena itu, baik buruknya akhlak, perangai, perilaku atau pribadi sang-
anak dan keluarga, banyak ditentukan oleh sistem pola pembinaan, latihan dan
pendidikan yang diberikan oleh sang-orang tua terutama dan lingkungan keluarga, di
pendidikan, terutama pendidikan moral spiritual misalnya yang kuat dari keluarganya,
49
Zakiah Daradjat, 1982. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, edisi 4, (Jakarta : PT.
Bulan Bintang), h. 78-79
42
C. Penelitian Relevan
Skripsi yang berjudul Ayah Sebagai Pengasuh Bagi Anak Yang Belum
oleh Syahbana Arief, Nim 1110044100043, Program Studi Hukum Keluarga Islam,
Konsentrasi Peradilan Agama dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas
memutuskan hak asuh anak diberikan kepada ayah, dengan pertimbangan Majelis
yang secara normatif paling berhak, sekalipun sianak belum berumur 12 tahun
(mumayyiz).
Agama Sarolangun) yang dituis oleh Yunizar Hidayati Nim: MHI. 14.2031, Program
diajukan oleh ayah si anak pasca perceraian, karena ayah anak tersebut tidak rela jika
anaknya diasuh oleh ibu si anak yang telah kembali ke agama semula sebelum
menikah, yaitu Kristen Katholik. Sehingga Majelis Hakim memutus perkara Nomor
manfaat dan menolak mudarat. Karena anak yang lahir dalam akad perkawinan yang
dilakukan menurut hukum Islam, harus dijaga agamanya. Hal tersebut telah sesuai
Indonesia.
Skripsi selanjutnya berkaitan dengan skripsi yang dibuat oleh Baharudin Syah
Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Dengan judul Hak Asuh Anak Yang Dibebankan Kepada Ayah Akibat Perceraian.
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jambi). Kesimpulan dari penelitian ini adalah
tentang hak asuh anak atau hadanah terhadap anak yang berada dibawah umur, yang
dalam hal ini berusia 4 tahun dan 1,5 tahun, oleh Majelis Hakim ditetapkan jatuh
kepada ayahnya. Hasil penelitian telah menunjukkan, bahwa hak asuh atau hadanah
yang dimiliki oleh seorang ibu dapat dialihkan apabila si ibu tersebut tidak
mempunyai tabiat yang baik dan kapasitas dalam mendidik. Selain itu pasal 105
Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang hak asuh anak atau hadanah anak di
bawah umur 12 tahun merupakan hak ibu tersebut dapat dikesampingkan jika si ibu
tidak memenuhi syarat-syarat dalam memegang hak asuh anak atau hadanah. Hal ini
sesuai dengan aturan yang terdapat dalam pasal 49 ayat (1) huruf a dan b Undang-
penulis lakukan ini, ibu dari sianak telah meninggal dunia ketika melahirkannya, dan
anak telah diasuh oleh neneknya semenjak lahir, sementara pada penelitian-penelitian
diatas ibu dari sianak masih hidup. Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik untuk
hukum Islam tentang hadanah anak yang belum mumayyiz oleh Majelis Hakim dalam
memberikan hadanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah dengan pertimbangan