Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Tentang Hadanah

1. Pengertian Hadanah

Secara bahasa hadhanah berasal dari kata hidnan artinya, sesuatu yang

terletak antara ketiak sampai pusar. Hadhonah Ath- Thaa‟ir Baidhahu, berarti seekor

burung yang menghempit telornya (mengerami) di antara kedua sayap dan badannya.

Demikian juga jika seorang ibu membuai anaknya dalam pelukan atau lebih tepat jika

dikatakan memelihara dan mendidik anaknya.1 Hadhanah menurut bahasa, berarti

meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau dipangkuan. Seperti halnya ketika ibu

menyusui anaknya meletakkan anaknya dipangkuannya, seakan-akan ibu di saat itu

melindungi dan memelihara anaknya.2

Secara terminologi hadanah dapat diartikan sebagai pemeliharaan anak kecil,

orang lemah,orang gila sudah besar tapi belum mumayyiz dari apa yang dapat

memberikan mudarat kepadanya, mengusahakan pendidikannya, mengusahakan

kemaslahatannya, berupa kebersihan, memberi makan dan mengusahakan apa saja

yang menjadi kesenangannya.3

1
Syaikh Kamil Muhammad, 2006. Fiqih Wanita, terj. M. Abdul Ghofar, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar), h. 454.
2
Tihami dan Sohari Sahrani, 2010. Fikih munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers), h. 215
3
Kamal Muchtar, 1993. Asasa-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. Ke-3), h. 137

14
15

Menurut Sayyid Sabiq hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak

yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau

yang kurang akalnya, belum dapat membedakan antara yang baik dan buruk, belum

mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu

untuk kebaikannya dan memelihara dari suatu yang menyakiti dan

membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya, baik fisik maupun mental atau

akalnya agar mampu menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.4

Al Hamdani mendefenisikan hadanah adalah pemeliharaan anak laki-laki atau

perempuan yang masih kecil atau anak dungu yang tidak dapat membedakan sesuatu

dan belum dapat berdiri sendiri, menjaga kepentingan si anak, mendidik jasmani dan

rohani serta akalnya agar anak mampu berkembang dan dapat mengatasi persoalan

hidup yang akan di hadapi.5

Ulama fikih mendefinisikan hadanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-

anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar

tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,

menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani

dan akalnya.6

Hadhanah dalam istilah fikih disebut juga dengan kafalah, artinya

pemeliharaan atau “Pengasuhan. Untuk hadhonah diartikan sebagai upaya

4
Sayyid Sabiq, 2006. Fiqih Al-Sunnah III, terj. Nor Hasanuddin, (Jakarta: Pena Pundi
Aksara), h.237
5
Al- Hamdani, 1989. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Pustaka Amani), h.
260.
6
Abdul Rahman Al-Ghozali, 2008. Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Cet 3), h. 175
16

pemeliharaan anak, mengasuh dan mendidik anak yang masih kecil setelah terjadinya

perceraian.7 Hadanah dalam Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia dapat diartikan

sebagai memelihara seorang anak (baik laki-laki maupun perempuan) juga

mendidiknya sampai anak tersebut dikategorikan sebagai dewasa atau mampu berdiri

sendiri.8

Hadanah dalam Encyclopedia Islam di artikan sebagai mengasuh anak kecil

atau abnormal, yang belum atau tidak dapat hidup mandiri yakni dengan memenuhi

kebutuhan hidupannya, menjaganya dari hal-hal yang membahayakan, pendidikan

fisik maupun psikis, serta mengembangkan kemampuan intelektualnya agar sanggup

memikul tanggung jawabnya. Hadanah berbeda dengan tarbiyah, dalam hadanah

terkandung pengertian pemeliharaan anak jasmani dan rohani, disamping ada

pengertian pendidikan terhadap anak, pendidik mungkin terdiri dari keluarga si anak

dan mungkin pula bukan dari keluarga si anak dan ia mungkin pekerjaan

professional.9

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hadanah adalah

mengasuh, memelihara dan mendidik anak yang belum mampu berdiri sendiri

(mandiri), dalam memenuhi tugas-tugas perkembangan dan kebutuhannya sendiri,

secara fisik dan psikis, dengan memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohani

7
Amir Syarifudin, 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Ed.1, (Jakarta: Kencana, Cet. 3), h. 327
8
Abdurrahman, 2010. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika
Pressindo), h 113
9
Jamaan Nur, 1993. Fiqih Munakahat, (Semarang: Dina Utama), h. 119
17

sampai anak tersebut mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul

tanggung jawab.

2. Dasar Hukum Hadanah

Secara umum dalam perspektif Islam para ulama sepakat bahwa pemeliharaan

anak itu adalah wajib, adapun dasar hukumnya adalah QS. Attahrim ayat 6:

            

         

Artinya: Hai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluarga mu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya
malaikat-malaikat yang, kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkannya, kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. At-Tahrim: 6).10

Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dalam Tafsir Al-Misbah

menyebutkan secara tegas bahwa ayat enam di atas menggambarkan bahwa akwah

dan pendidikan harus bermula dari rumah. Ayat di atas walau secara redaksional

tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan bearti hanya tertuju kepada mereka.

Ayat ini tertuju kepada perempuan dan laki-laki (Ibu dan Ayah) sebagaimana ayat-

ayat yang serupa (misalnya ayat yang memerintahkan berpuasa) yang juga tertuju

kepada laki-laki dan perempuan. Ini bearti kedua orang tua bertanggung jawab

terhadap anak-anak dan juga pasangan masing-masing sebagaimana masing-masing

10
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Surabaya: Jaya Sakti, 1997), h.
190
18

bertanggung jawab atas kelakuannya. Ayah dan ibu sendiri tidak cukup untuk

menciptakan satu rumah tangga yang diliputi oleh nilai-nilai agama serta dinaungi

oleh hubungan yang harmonis.11

Aplikasi dari ayat di atas adalah kewajiban mengasuh anak terletak pada

pundak orang tua, orang tua dituntut untuk mengasuh, mendidik, agar anak bisa

berkembang sesuai dengan norma-norma yang ada dan menjauhi segala bentuk

larangan dan mematuhi perintah Allah SWT. orang tua berfungsi sebagai pendidik,

dan pengasuh anak, maka untuk mewujudkan kewajiban tersebut orang tua dituntut

untuk memahami tugas nya dalam mendidik dan pembentukan karakter anak.

Kewajiban orang tua dalam pengasuhan anak juga terdapat dalam QS. Al-

Baqarah ayat 233:

                

                 

                 

                

   

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun


penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu
dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita

11
Quraish Shihab, Tafsir Al -Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) h. 327
19

kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,


dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang
patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha melihat apa yang kamu kerjakan.12
Ayat di atas menjelaskan bahwa orang tua berkewajiban untuk menyiapkan

pertumbuhan dan perkembangan anak-anaknya serta kesehatan baik secara fisik

maupun psikis, karena masa-masa itulah sangat mempengaruhi anak dari segi

perawatan, asuhan dan pendidikan yang harus diberikan dan diperhatikan oleh kedua

orang tuanya. Hal tersebut merupakan upaya mewujudkan manusia yang berkualitas

dan berakhlak tinggi.13

Pemeliharaan dan pengasuhan seorang anak pada hakekatnya dalam ajaran

Islam mengandung misi penyelamatan, yaitu menyelamatkan kehidupan anak baik di

dunia maupun di akhirat kelak. Oleh karena itu dilihat dari aspek moralnya bahwa

misi hadanah adalah untuk kepentingan anak yang diasuh. Karena itu memelihara

dan mengasuh anak merupakan suatu kewajiban bagi orang tua, karena apabila anak

tidak dipelihara, dididik, maka anak akan celaka, apabila orang tua mengabaikan

pendidikan anak maka ia akan berdosa dan ketika masih kecil anak masih butuh pada

asuhan orang tuanya.14

12
Departemen Agama RI, Op. Cit, h. 38
13
Huzaemah Tohido Yanggo, 2000. Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia
Indonesia), h. 150
14
Muhammad Jawad Mughniyah, 1999. Fikih Lima Mazhab Alih Bahasa MAsykur AB, Afif
Muhammad, (Jakarta: Lentera), h. 612
20

Dasar-dasar hukum hadanah dalam hukum positif di Indonesia terdapat dalam

Pasal 98, 105, dan 156 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:

Pasal 98:

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum
pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan.
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang
mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu.15

Pasal 105:

Dalam hal suami istri jika terjadi perceraian maka pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya,
pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan, biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.16

Pasal 156:

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,


kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh:
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan
5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah
dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah

15
Abdurrahman, Op. Cit. h. 19
16
Ibid. h. 138
21

dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan


Agama dapat memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadanah pula.
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan
(d).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.17

Pasal 45 sampai 49 Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan:

1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak sebaik-


baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Selanjutnya
kewajiban itu berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus.
2. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,
berada dibawah kekuasaan kedua orang tuanya, selama mereka tidak
dicabut kekuasaannya.
3. Orang tua mewakili anak tersebut, mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan, (3) Orang tua boleh memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang yang dimiliki anak-anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah kawin sebelumnya, kecuali kalau
untuk kepentingan anak itu menghendaki.
4. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut terhadap
seorang anak atau lebih, untuk waktu tertentu atas permintaan orang lain,
keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang.

Pasal 4 jo. Pasal 8 jo. Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 11 jo. Pasal 13 jo. Pasal 42

sampai dengan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah

diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

jo. Pasal 2 ayat (1, 2, 3 dan 4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang

17
Ibid, h. 138-139
22

Kesejahteraan Anak, yang pada pokoknya telah memberikan jaminan dan

perlindungan terhadap hak-hak keperdataan seorang anak terhadap agama, kesehatan,

pendidikan, hak sosial dan hak yang bersifat khusus atau eksepsional serta seorang

anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan berdasarkan kasih sayang,

pelayanan untuk berkembang, pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam

kandungan atau setelah dilahirkan serta perlindungan dari lingkungan hidup yang

menghambat perkembangan dan pertumbuhan anak.

Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh

orang tuanya sendiri dan yang dimaksud dengan orang tua dalam pasal 1 ayat 4

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah ayah dan/atau ibu

kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

Pasal 26 ayat 1 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh,

memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

Pasal 77 sampai dengan Pasal 90 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

Perlindungan Anak jo. Pasal 1 ayat ( 1, 2 dan 4), Pasal 2 ayat 1 huruf (a), Pasal 5 dan

Pasal 44 sampai dengan Pasal 50 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang


23

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, seseorang ataupun lembaga dilarang

mengabaikan atau melanggar hak-hak seorang anak sebagaimana tersebut di atas,

apabila hal tersebut dilakukan maka dapat dihukum atau dipidana sebagai bagian dari

kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan Negara untuk melindungi dan

menjamin keberadaan dan keberlangsungan hak-hak anak tersebut.18

3. Syarat-syarat Hadanah

Hadanah pada prinsipnya bertujuan untuk mempersiapkan anak agar bisa

hidup mandiri baik secara fisik maupun psikis. Menjadi kewajiban bagi orang tua

yang mengasuh untuk menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak yang di

asuhnya dengan memperhatikan kemaslahatan anak. Pemeliharaan atau pengasuhan

anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang

tua disebut hadhin dan anak yang diasuh disebut madhun atau hadinah, baik masih

dalam ikatan perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tuanya berkewajiban

untuk memelihara anaknya dengan baik. Untuk dapat menyelenggarakan hal ini

diperlukan cara-cara tertentu yang harus dimiliki oleh pelaku hadanah.

Adapun syarat-syarat hadhin adalah sebagai berikut:

1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan

tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan

tindakan yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.

18
Salinan Pututsan Pengadilan Agama Painan Nomor 0399/Pdt.G/2019/PA.Pn, h. 60-61
24

2. Berpikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak mampu

berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tentu tidak akan

mampu berbuat untuk orang lain.

3. Beragama Islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh Jumhur Ulama,

karena tugas mengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan

mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau oleh orang yang bukan

agama Islam dikhwatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.

4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan

dosa besar dan menjauhi dosa kecil. Kebaikan dari adil dalam hal ini

disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang

komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak

yang masih kecil.19

Pendapat yang sama tentang syarat-syarat hadhin dikemukakan oleh Sayid

Sabiq, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akala dan gila, keduanya tidak

boleh menangani hadanah.

2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap

membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya.

3. Mampu mendidik, karena tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta

atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk

19
Amir Syarifudin, Op. Cit, h. 328
25

mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut yang bahkan ia

sendiri perlu diurus.

4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil

dan tidak dapat dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan

baik.

5. Islam, anak kecil tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim,

sebab hadanah merupakan masalah perwalian, sedangkan Allah tidak

membolehkan orang mukmin dibawah perwalian orang kafir.

6. Ibunya belum kawin lagi.

7. Merdeka.20

Para Ulama sepakat bahwa dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa orang

yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci dri, bukan pelaku maksiat, bukan

penari, bukan peminum khamar, serta tidak mengabaikann anak yang diasuhnya.

Tujuan dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut diatas adalah untuk memelihara

dan menjamin kesehatan anak dan perkembangan moralnya.21

Syarat-syarat hadhin yang telah diuraikan diatas merupakan hal yang mutlak

ada pada diri seseorang pengasuh. Mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat,

jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka gugurlah hak nya untuk

melakukan hadanah. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hak hadanah

20
Sayid Sabiq, 1983. Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr), h. 289
21
Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, h. 416
26

akan kembali kepada seseorang jika persyaratan tersebut terpenuhi, hal ini

dapatdilihat pada uraian berikut ini:

1. Ulama mazhab Maliki berpendapat, jika gugurnya hak itu karena uzur

seperti sakit, tidak mempunyai tempat tinggal atau pergi haji, kemudian

penhalang itu telah hilang, maka hal tersebut telah kembali lagi

kepadanya, tetapi jika penghalang itu berupa menikahnya ibu dengan laki-

laki lainnya yang bukan mahram anak atau bepergian dengan tanpa uzur

kemudian penghalang itu hialng, yakni dengan adanya perceraian baik

karena talak, fasakh, maupun meninggalnya suami atau telah kembali dari

bepergian, maka hak tersebut tidak bisa kembali lagi kepadanya, karena

menurut mzhab ini penghalang dalam hadanah adalah unsur yang

idtidrari.22

2. Jumhur ulama (Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambaliyah) berpendapat,

bahwa jika hak hadanah itu gugur karena adanya penghalang, maka hak

itu kembali lagi kepadanya ikhtiyar (dapat diusahakan seperti menikah

lagi, bepergian atau fasiq). Apabila penghalang telah hilang maka hokum

yang dihalangi seperti semula, baik penghalang itu idtirari atau ikhtiyari.23

3. Menurut ulama ushul fiqh, al-mani’(penghalang) adalah sesuatu ketika

sebab itu telah jelas dan syarat telah terpenuhi, dan mengahalangi

timbulnya akibat atas sebabnya, jadi ketiadaansyarat menurut istilah


22
Muchlis Usman, 1999. Kaidah-Kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyyah Cet Ke-3, (Jakarta:
Grafindo Persada), h. 181
23
Ibid, h. 182
27

mereka tidak disebut al-mani’. Meskipun dapat menghalangi timbulnya

sebab atau akibat. Dengan demikian apabila syarat-syarat di atas tidak

terpenuhi, maka hal itu termasuk kategori tidak adanya syarat yang

lengkap, bukan termasuk adanya al-mani’ yang dapat kembali lagi, hukum

yang dihalanginya jika penghalang itu telah hilang.24

Syarat-syarat madhun adalah sebagai berikut:

1. Anak yang menjadi objek asuhan masih bisa dikategorikan sebagai anak,

dalam artian belum bisa mengurus dirinya sendiri.

2. Kemudian ia dalam keadaan memiliki keadaan kekurangan akalnya,

misalnya seperti orang yang idiot, sehingga ia tidak bisa berbuat sendiri

meskipun sudah dewasa.25

4. Masa Hadanah

Pengasuhan yang dilakukan kepada anak kecil baik laki-laki maupun

perempuan akan berakhir ketika anak tidak lagi bergantung pada orang dewasa,

mencapai masa tamyiz dan sudah bisa mandiri., yakni dapat mengerjakan sendiri

kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakaian dan membersihkan diri

(mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada usia tertentu, malainkan

ukurannya adalah tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama anak kecil sudah

24
Inid, h. 183
25
Amir Syarifudin, Op. Cit, h. 329
28

mumayyiz dan tidak lagi bergantung dengan orang lain, serta dapat mengerjakan

sendiri seluruh kebutuhan dasarnya, maka berakhirlah masa hadanah nya.26

Masa atau batas usia hadanah tidak ada diatur dalam Al- Qur’an maupun

hadist, namun mengenai hal ini para ulama berijtihad untuk menentukannya.

Adapaun ijtihad para ulama tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Menurut mazhab Hanafi, hadanah anak laki-laki berakhir pada saat anak

itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus

keperluannya sehari-hari atau bila anak tersebut telah mencapai usia 7

tahun dan bagi anak perempuan berakhir bila telah datang masa haid

pertamanya atau telah mencapai usia 9 tahun.27

2. Menurut mazhab Maliki, masa hadanah anak laki-laki itu berakhir dengan

ihtilam (mimpi), sedangkan masa hadanah untuk anak perempuan

berakhir sampai usia menikah. Jika anak perempuan tersebut telah sampai

usia menikah, sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ibu lebih berhak

terhadap anak perempuannya sampai sang ibu menikah (lagi). Jika tidak

sedang demikian, maka anak itu dititipkan kepada ayahnya atau jika

ayahnya tidak ada, maka ia dititipkan atau digabungkan kepada wali-

walinya.28

26
Sayid Sabiq, Op. Cit, h. 537
27
Abdul Rahman Al-Ghozali, Op. Cit, h. 185
28
Huzaemah Tahido Yanggo, 2010. Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia
Indonesia), hal. 186
29

3. Menurut mazhab Syafi’i, masa hadanah anak, baik laki-laki maupun

perempuan, berakhir ketika sampai usia 7 tahun atau 8 tahun. Jika telah

sampai usia tersebut dan ia termasuk yang berakal sehat, maka ia

dipersilakan untuk memilih antara ayah atau ibunya. Anak tersebut berhak

untuk ikut siapa saja diantara orang tua yang ia pilih.29

4. Menurut mazhab Hambali, hadanah anak itu berakhir sampai anak itu

berumur 7 tahun. Jika anak laki-laki maka ia diperkenankan untuk

memilih diantara kedua orang tuanya, tetapi jika perempuan, maka

ayahnya lebih berhak dengannya dan tidak ada hak memilih baginya.30

Para ulama fiqh juga berbeda pendapat dalam menentukan masa hadanah ini,

sebagian mengatakan anak laki-laki tidak memerlukan hadanah, namun ada yang

mengatakan 7 tahun, 9 tahun dan 11 tahun. Kementerian Kehakiman berpendapat

bahwa kemaslahatanlah yang menjadi pertimbangan untuk secara bebas menetapkan

kepentingan anak laki-laki sampai usia 11 tahun. Apabila Hakim menganggap

kemaslahatan anak ini tetap tinggal dalam asuhan seorang wanita, maka ia boleh

memutuskan demikian sampai usia 9 tahun bagi laki-laki dan 11 tahun bagi

perempuan. Akan tetapi apabila hakim menganggap bahwa kemaslahatan anak ini

menghendaki yang lain, maka ia dapat memutuskan untuk menyerahkan anak-anak

tersebut selain perempuan.31

29
Ibid, h. 187
30
Ibid, h. 188
31
Slamet Abidin, Op. Cit, h. 184
30

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa,

masa hadanah akan berakhir jika anak yang diasuh telah dapat hidup mandiri

(tamyiz) dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dan dianggap telah mampu

mengatasi segala bentuk kemaslahatan yang akan timbul pada dirinya. Tidak ada

batasan usia tertentu yang dapat diterapkan dalam masa hadanah, akan tetapi

kemaslahatan bagi anak merupakan pertimbangan mutlak dalam memutuskan masa

berkhirnya hadanah.

5. Urutan Orang yang Berhak Atas Hadanah

Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia menjelaskan dalam hal suami

istri jika terjadi perceraian maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau

belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz

diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang

hak pemeliharaan, biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.32

Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia tentang Akibat putusnya

perkawinan karena perceraian secara rinci menjelaskan:

1. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya,

kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan

oleh:

a. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu

b. Ayah

32
Abdurrahman, Op. Cit, h. 138
31

c. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah

d. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan

e. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

2. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadanah dari

ayah atau ibunya.

3. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan

jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi,

maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat

memindahkan hak hadanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak

hadanah pula.

4. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa

dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

5. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan

Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d).

6. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan

jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut

padanya.33

Ulama ahli fiqh berpendapat dalam hal menangani hadanah, kerabat ibu lebih

didahulukan daripada kerabat ayah, kemudian mendahulukan yang sekandung dari

masing-masing keluarganya ibu dan ayah. Ibu adalah orang pertama atas hak
33
Ibid, h. 138-139
32

hadanah, jika ada suatu halangan yang mencegahnya untuk didahulukan (adanya

syarat-syarat yang tidak terpenuhi), maka berpindahlah hak hadanah, dengan urutan

sebagai berikut:

1. Ibunya ibu (nenek) ke atas

2. Ayah

3. Saudara perempuan sekandung

4. Saudara perempuan seibu

5. Saudara perempuan seayah

6. Kemenakan perempuannya sekandung

7. Kemenakan perempuannya seibu

8. Saudara perempuan ibu yang seayah

9. Kemenakan perempuannya ibu yang seayah

10. Anak perempuan saudara laki-lakinya sekandung

11. Anak perempuan saudara laki-lakinya seibu

12. Anak perempuan saudara laki-lakinya yang seayah

13. Bibi dari ibu yang sekandung

14. Bibi dari ibu yang seibu

15. Bibi dari ibu yang seayah

16. Bibinya ibu

17. Bibinya ayah datri ayahnya ayah.34

34
Sayid Sabiq, Op. Cit, h. 239
33

Imam Syafi’i berpendapat orang yang hak atas pemeliharaan anak adalah

sebagai berikut:

1. Ibu

2. Nenek dari pihak ibu

3. Nenek dari pihak ayah

4. Saudara perempuan

5. Bibi dari pihak ibu

6. Anak perempuan dari saudara laki-laki

7. Anak perempuan dari saudara perempuan

8. Bibi dari pihak ayah dan kerabat yang masih menjadi mahram bagi sianak

yang mendapat warisan ashabah sesuai dengan urutan pembagian harta

warisan.35

Senada dengan pendapat diatas kalangan mazhab Hambali berpendapat bahwa

hak asuh anak dimulai dari:

1. Ibu kandung

2. Nenek dari ibu

3. Kakek dari ibu

4. Bibi dari kedua orang tua

5. Saudara perempuan seibu

6. Saudara perempuan seayah

35
Muhammad Jawad Mughniyah, Op. Cit, h. 417
34

7. Bibi dari kedua orang tua

8. Bibinya ibu, bibinya ayah

9. Bibinya ibu jalur ibu

10. Bibinya ayah dari jalur ibu

11. Bibinya ayah dari pihak ayah

12. Anak perempuan dari saudara laki-laki

13. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah, kemudian kerabat

terdekat.36

6. Mumayyiz

Mumayyiz adalah anak yang sudah mencapai usia dimana seorang anak sudah

mulai bisa membedakan mana hal yang bermanfaat baginya dan mana hal yang

membahayakan dirinya, sebagian ulama' menyatakan bahwa pada usia ini seorang

anak memiliki kemampuan dalam otaknya untuk bisa menggali arti dari suatu hal.

Dalam kenyataannya, pada masa ini seorang anak sudah mampu untuk melakukan

beberapa hal secara mandiri, seperti makan sendiri, minum sendiri, dan lain lain.37

Mumayyiz dapat dikatakan sebagai mukallaf, bersumber dari kata kallafa yang

maknanya adalah membebankan. Karena itu secara etimologi pengertian mukallaf

berarti yang dibebani hukum. Dalam ilmu ushul fiqh, mukallaf adalah orang yang

36
Ibid, h. 418
37
Siroj Munir, 2007. Perbedaan antara Mumayyiz dan Baligh, (Jakarta : Pustaka Karya), h.
135
35

telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah

Allah maupun larangan-Nya.38

Mukallaf adalah subjek hukum, yaitu orang-orang yang dibebani hukum, atau

disebut juga dengan mahkum ‘alaih, yaitu orang-orang yang kepadanya diperlakukan

hukum.39 Seseorang baru ditetapkan sebagai mukallaf, apabila pada diri orang

tersebut terpenuhi beberapa persyaratan sebagai mukallaf, yaitu sebagai berikut:

1. Seseorang memahami bahwa titah Allah dihadapkan kepadanya. Artinya,

ia mengetahui bahwa perintah atau larangan Allah ditujukan kepadanya,

baik pengetahuannya itu didapatnya secara langsung dari al-Qur‟an, hadits

dan kitab-kitab yang menjelaskan keduanya, ataupun melalui bantuan

orang lain yang memungkinkan dirinya mengetahui dan memahami titah

Allah. Kemampuan memahami ini berkaitan erat dengan perkembangan

akal.

2. Memiliki tanda-tanda fisik yang menunjukkan dewasa. Pada umumnya

ulama berpendapat, seseorang disebut dewasa, apabila telah mengalami

mimpi melakukan hubungan seks bagi laki-laki dan telah mengalami haid

bagi wanita. Apabila kedua tanda ini belum ditemukan, maka tanda

kedewasaannya dilihat dari segi usia. Dalam hal ini, jumhur ulama

berpendapat, usia dewasa adalah 15 tahun, sedangkan menurut mazhab

Hanafi adalah 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.

38
Syafi’e Rahmat, 2010. Ilmu Ushul Fiqh edisi keempat, (Bandung:Cv Pustaka Setia),, h. 334
39
Amir Syarifuddin, Op. Cit, h.132
36

3. Tidak terdapat halangan untuk melaksanakan fungsinya sebagai mukallaf,

seperti gila, idiot, lupa, tertidur, terpaksa, tidak tahu dan lain-lain.40

Sebagian ahli fiqih mendefinisikan anak mumayyiz melalui indikasi bahwa

anak tersebut mengetahui cara berhitung secara global, sehingga dapat melakukan

transaksi jual beli. Oleh karena itu ahli fiqih mengatakan bahwa yang termasuk ciri–

ciri tamyiz adalah anak itu mengetahui bahwa menjual berarti mengeluarkan sesuatu

yang dimilikinya dan membeli itu memasukkan sesuatu menjadi miliknya. Sementara

ahli fiqih lainnya mendefinisikan tamyiz dengan batasan umur, yaitu berumur 7

tahun. Sehingga anak yang belum berumur 7 tahun dikatakan belum tamyiz dan jika

anak sudah berumur lebih 7 tahun maka disebut tamyiz.41

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa mumayyiz adalah anak

yang telah mampu hidup mandiri (tamyiz) dalam memenuhi kebutuhan dasar

hidupnya, dan dianggap telah mampu mengatasi segala bentuk kemaslahatan yang

akan timbul pada dirinya. Batasan umur seorang anak dapat dikatakan sudah

mumayyiz jika merujuk kepada Kompilasi Hukum Islam Pasal 98, yaitu batas usia

anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak

tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan

perkawinan, sedangkan menurut ulama fiqih adalah 7 tahun, Jumhur ulama

berpendapat, usia dewasa adalah 15 tahun, sedangkan menurut mazhab Hanafi adalah

18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan.

40
Abd. Rahman Dahlan, 2014. Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah), h. 101
41
Imam Muhamad Abu Zahrah, 2007. Al-Jarimah wa-Al-Uqubah fi al-Fiqhil Islami, (Dar al-
Fark al-Arabi), h. 478
37

B. Perkembangan Psikologi Anak Dalam Keluarga

Keluarga merupakan suatu lembaga pendidikan yang pertama dan utama,

yang eksistensinya sangat menentukan akan masa depan suatu kehidupan keluarga.

Merupakan suatu wadah dan tempat persemaian tumbuh dan berkembangnya anak-

anak (keluarga) secara keseluruhan. Oleh karena itu, suatu kehidupan keluarga inti

yang terdiri dari seorang ayah bersama isterinya merupakan pusat paling awal dan

sangat menentukan dalam proses pembinaan, pendidikan dan pembentukan

kepribadian anak sejak dini, bahkan sejak masih dalam kandungan sekalipun. Di

sinilah anak pertama kalinya memperoleh pengalaman dan sentuhan pendidikan, baik

secara fisik maupun secara moral spiritual, yang pada gilirannya pengalaman-

pengalaman itu akan sangat mewarnai corak kehidupan kepribadiannya di masa-masa

selanjutnya. Karena segala sesuatu yang pernah di alami oleh anak semasa kecil

(dalam kandungan) itu akan tertanam di dalam jiwanya (rohaninya) sedemikian kuat.

Sebagaimana salah seorang tokoh dibidang pendidikan dan ilmu psikologi

perkembangan di masa Romawai kuno, bernama Quintilianus dikatakan bahwa

‘kesan-kesan yang diperoleh anak ketika masih kecil akan tertanam secara mendalam

dan menjadi milik abadi di dalam jiwanya.42

Keluarga mempunyai peranan yang tidak kecil dalam membentuk jiwa dan

kepribadian seorang anak, karena baik buruknya pribadi dan jiwa anak sangat

tergantung dari keluarga atau kedua orang tuanya. Kalau keluarga selalu

42
Imam Bawani, 1990. Ilmu Jiwa Perkembangan dalam Knteks Pendidikan Islam, edisi 1,
(Surabaya : PT. Bina Ilmu), h. 52
38

menanamkan nilai-nilai yang baik ke dalam jiwa anak, tentu anak cepat atau lambat

akan pasti memiliki pribadi dan jiwa yang baik pula, sebaliknya kalau keluarga tidak

menanamkan nilai-nilai yang baik, maka pribadi dan jiwa anak akan menjadi tidak

baik pula.43

Keluarga merupakan salah satu bagian yang sangat penting bagi kelangsungan

kehidupan anak dan merupakan lingkungan atau rumah yang pertama sekali dikenal

oleh sang-anak. Keluargalah (kedua orang tua) yang bertanggung jawab memenuhi

segala tuntutan dan kebutuhan anak, baik kebutuhan biologis maupun kebutuhan

psikologis. Suasana aman, tenteram, bahagia dan damai serta keserasian hubungan

harmonis antara sang-ayah dan sang-ibu hendaknyalah senantiasa terpancar di

lingkungan ini, karena dengan suasana demikianlah ana-anak akan dapat memperoleh

rasa kasih sayang dan sentuhan perhatian yang diharapkannya. Dengan tanpa

perhatian yang serius dan kasih sayang yang penuh dari kedua orang tua terutama,

maka tentu pada gilirannya akan sulit terjadi pertumbuhan dan perkembangan jiwa

dan mental anak yang sehat dan normal, yang akhirnya sangat berpengaruh terhadap

kepribadian anak itu sendiri.44

Keluarga merupakan lingkungan hidup pertama dan utama bagi setiap anak.

Di dalam keluarga anak mendapat rangsangan, hambatan, dan pengaruh yang pertama

dalam pertumbuhan dan perkembangannya, baik bilogis maupun psikologis. Di

dalam keluarga anak juga mempelajari norma aatu aturan hidup dalam

43
Ibid, h. 52
44
Mustafa Fahmi, 1977. Kesehatan Jiwa dalam Keluarga, Sekolah dan Masyarakat, Jilid 1, alih
bahasa Zakiah Daradjat, (Bandung: Bulan Bintang), h. 72
39

bermasyarakat. Melalui kehidupan dalam berkeluarga, anak dilatih tidak hanya

mengenal norma tetapi juga menghargai dan mengikuti norma tetapi juga menghargai

dan mengikuti norma-norma dan pedoman hidup dalam bermasyarakat. Seringkali

anak mengenal dan meniru model-model dari orang tua sebagai anggota

masyarakat.45

Keluarga juga dipandang sebagai institusi yang dapat memenuhi kebutuhan

insani, terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan

ras manusia. Apabila mengaitkan peranan keluarga dengan upaya memenuhi

kebutuhan individu dari maslow, maka keluarga merupakan lembaga pertama yang

dapat memenuhi kebutuhan terebut melalui perawatan dan pelakuan yang baik dari

orang tua, anak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Apabila anak telah

memperoleh rasa aman, penerimaan sosial dan harga dirinya, maka anak dapat

memenuhi kebutuhan tertingginya, yaitu perwujudan diri (self actualization).46

Keteladanan dan kebiasaan yang orang tua tampilkan dalam bersikap dan

berperilaku tidak terlepas dari perhatian dan pengamatan anak. Meniru kebiasaan

orang tua adalah suatu hal yang sering anak lakuakan, karena memang pada masa

perkembangannya, anak selalu ingin menuruti apa-apa yang orang tua lakukan. Anak

45
Kartini Kartono, 1992. Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak, (Jakarta: Raja Wali Press), h.
27
46
Syamsu Yusuf, 2008. Psikologi Perkembangan Anak Dan Remaja, (Bandung: Remaja Rosda
karya), h. 37-38
40

selalu ingin meniru ini dalam pendidikan dikenal dengan istilah anak belajar melalui

imitasi.47

Tindakan dan perlakuan kedua orang tua terhadap anak-anak dan saudara

saudaranya merupakan perilaku yang akan menjadi bagian dari kepribadian

keluarganya di kemudian hari. Tindakan dan perlakuan orang tua yang sesuai dengan

ajaran ajaran agama dan norma susila, akan menimbulkan pengalaman-pengalaman

hidup dalam jiwa anak yang sesuai dengan agama, yang kemudian akan tumbuh dan

menjadi unsur-unsur yang merupakan bagian dalam pribadinya nanti.48

Proses pembentukan kepribadian seseorang dapat dilakukan secara bertahap

oleh keluarganya, sekolah maupun masyarakat. Di dalam lingkungan keluarga orang

tua merupakan idola bagi anak, di mana anak perempuan akan mengidolakan ibunya,

sedangkan anak laki-laki akan mengidolakan bapaknya. Sehingga kalau figur ayah

dan ibunya baik dan bermoral tinggi, maka kesan yang diterima anak akan baik pula,

namun sebaliknya bila figur ayah dan ibunya kurang baik dan kurang bermoral, maka

kesan yang diterima anak akan kurang baik pula. Seorang anak yang dibesarkan,

dipelihara dan dididik dalam rumah tangga yang aman tenteram, penuh dengan kasih

saying akan bertumbuh dan berkembang dengan baik dan pribadinya akan terbina

dengan baik pula. Lebih-lebih lagi apabila ibu bapaknya mengerti agama dan

menjalankannya dengan ta’at dan tekun. Setiap gerak, sikap dan pelakuan yang

47
Syaiful Bahri Djamarah, 2004. Pola Komunikasi Orang Tua Dan Anak Dalam Keluarga,
(Jakarta: PT Rineka Cipta), h. 24-25
48
Zakiah Daradjat, 1990. Ilmu Jiwa Agama, edisi 12, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 110
41

diterima oleh anak dalam keluarganya akan menemukan corak pribadinya yag akan

bertumbuh nanti. Dalam hal ini tertama sekali dari pihak ibu dituntut untuk lebih aktif

berperan, karena ibu biasanya memiliki sikap yang lebih lembut, sabar dan perhatian

kepada anaknya. Apabila si-ibu tenang, penyayang, apat mengerti ciri-ciri

pertumbuhan yang sedang dialami oleh anaknya, dan tekun menjalankan agama serta

dapat melatih anaknya untuk hidup sesuai dengan nilai-nilai moral yang ditentukan

oleh agama, dan tahu pula sekedarnya psikologi anak dalam segala tingkat usia

dengan ciri dan problemanya masing-masing, maka ia akan dapat membina moral

anak-anaknya secara teratur dan sehat.49

Beradasrkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan

bahwa peran kedua orang tua dalam keluarga sebagai pembina sekaligus pendidik

utama dan pertama dalam suatu kehidupan keluarga, sangat besar pengaruhnya,

bahkan sangat menentukan perilaku kehidupan jiwa dan kepribadian anak dan

keluarga. Oleh karena itu, baik buruknya akhlak, perangai, perilaku atau pribadi sang-

anak dan keluarga, banyak ditentukan oleh sistem pola pembinaan, latihan dan

pendidikan yang diberikan oleh sang-orang tua terutama dan lingkungan keluarga, di

mana anak (keluarga) yang sudah mendapatkan pengenalan, pengalaman dan

pendidikan, terutama pendidikan moral spiritual misalnya yang kuat dari keluarganya,

akan dapat mempertahankan eksistensi kepribadiannya (potensinya) dari pengaruh-

pengaruh sosial dan lingkungan yang kurang bersahabat.

49
Zakiah Daradjat, 1982. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental, edisi 4, (Jakarta : PT.
Bulan Bintang), h. 78-79
42

C. Penelitian Relevan

Skripsi yang berjudul Ayah Sebagai Pengasuh Bagi Anak Yang Belum

Mumayyiz (Analisis Hasil Putusan Perkara No. 2282/PDT.P/2012/PA.JS) yang ditulis

oleh Syahbana Arief, Nim 1110044100043, Program Studi Hukum Keluarga Islam,

Konsentrasi Peradilan Agama dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menyimpulkan bahwa,

Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan perkara nomor 2282/PDT.P/2012/PA.JS

memutuskan hak asuh anak diberikan kepada ayah, dengan pertimbangan Majelis

Hakim melihat kepada kemaslahatan dan kepentingan sianak, bukan semata-mata

yang secara normatif paling berhak, sekalipun sianak belum berumur 12 tahun

(mumayyiz).

Tesis yang berjudul Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Hadanah

Sebelum Mumayyiz (Studi Kasus Perkara Nomor 67/pdt.g./2015/pa.srl di Pengadilan

Agama Sarolangun) yang dituis oleh Yunizar Hidayati Nim: MHI. 14.2031, Program

Studi Konsentrasi Metodologi Pemikiran dan Hukum Islam, Pascasarjana,

Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi. Hasil penelitian

menyatakan perkara nomor 67/Pdt.G/2015/PA.Srl adalah perkara hadanah yang

diajukan oleh ayah si anak pasca perceraian, karena ayah anak tersebut tidak rela jika

anaknya diasuh oleh ibu si anak yang telah kembali ke agama semula sebelum

menikah, yaitu Kristen Katholik. Sehingga Majelis Hakim memutus perkara Nomor

67/Pdt.G/2015/PA.Srl, dengan menetapkan hak asuh anak kepada ayah.

Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Sarolangun dalam memutus perkara Nomor


43

67/Pdt.G/2019/PA.Srl adalah berdasarkan konsep kemaslahatan, yakni menarik

manfaat dan menolak mudarat. Karena anak yang lahir dalam akad perkawinan yang

dilakukan menurut hukum Islam, harus dijaga agamanya. Hal tersebut telah sesuai

dengan hak anak sebagai makhluk sosial dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia.

Skripsi selanjutnya berkaitan dengan skripsi yang dibuat oleh Baharudin Syah

Nim SHK141601 yang menyelesaikan studinya di Program Studi Hukum Keluarga

Islam Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.

Dengan judul Hak Asuh Anak Yang Dibebankan Kepada Ayah Akibat Perceraian.

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jambi). Kesimpulan dari penelitian ini adalah

tentang hak asuh anak atau hadanah terhadap anak yang berada dibawah umur, yang

dalam hal ini berusia 4 tahun dan 1,5 tahun, oleh Majelis Hakim ditetapkan jatuh

kepada ayahnya. Hasil penelitian telah menunjukkan, bahwa hak asuh atau hadanah

yang dimiliki oleh seorang ibu dapat dialihkan apabila si ibu tersebut tidak

mempunyai tabiat yang baik dan kapasitas dalam mendidik. Selain itu pasal 105

Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang hak asuh anak atau hadanah anak di

bawah umur 12 tahun merupakan hak ibu tersebut dapat dikesampingkan jika si ibu

tidak memenuhi syarat-syarat dalam memegang hak asuh anak atau hadanah. Hal ini

sesuai dengan aturan yang terdapat dalam pasal 49 ayat (1) huruf a dan b Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974.


44

Penelitian yang akan penulis lakukan mempunyai perbedaan yang signifikan

dengan penelitian-penelitian diatas. Perbedaannya adalah dalam penelitian yang akan

penulis lakukan ini, ibu dari sianak telah meninggal dunia ketika melahirkannya, dan

anak telah diasuh oleh neneknya semenjak lahir, sementara pada penelitian-penelitian

diatas ibu dari sianak masih hidup. Berdasarkan hal ini maka penulis tertarik untuk

mengetahui bagaimana pertimbangan, penerapan kaidah fiqhiyyah dan analisis

hukum Islam tentang hadanah anak yang belum mumayyiz oleh Majelis Hakim dalam

memberikan hadanah anak yang belum mumayyiz kepada ayah dengan pertimbangan

psikis dan kejiwaan anak putusan nomor: 0399/Pdt.G/2019/PA.Pn.

Anda mungkin juga menyukai