Dalam kamus Al-Munawir kalimat Birr Al-Walidain terdiri dari dua kata
yaitu al-Bir dan al-Walidain berasal dari kata Barra-barran-wabarratan yang
artinya taat berbakti, bersikap baik, dan sopan.1 Dalam kamus Al-Bisri Barra-
barran-wabarratan yang mempunyai arti taat berbakti, bersikap baik, dan sopan.2
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berbakti adalah a) pernyataan
tunduk dan hormat, perbuatan yang menyatakan setia (kasih, hormat, tunduk)
kepada Tuhan YME dan tunduk kepada orang tuanya. Dan b) memperhambakan
diri setia: sebagai tanda (kepada manusia, kepada bangsa) ia berusaha berprestasi
sebaik-baiknya.3 Berbakti adalah berbuat ihsan kepadanya dengan menyelesaikan
yang wajib atas sang anak terhadap orang tua baik dalam segi moral maupun
spiritual sesuai ajaran agama Islam.4
Secara istilah Birr Al-Walidain adalah berbakti kepada orang tua dengan
menyampaikan kebaikan kepada kedua orang tua semampu kita dan bila
memungkinkan mencegah segala gangguan terhadap keduanya. Dan menurut Ibnu
Athiyah setiap pribadi individu wajib menaati kedua orang tua kita dalam hal
yang mubah, menaati perintah dan menjauhi segala larangannya.5
Berbakti kepada kedua orang tua tentunya mempunyai etika atau adab sendiri.
Arti kata adab sendiri secara etimologi dalam kamus bahasa indonesia adalah
1
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Edisi Kedua,
(Surabaya, Pustaka Progresif, 1997), hlm. 73
2
K. H. Adib bisri K.H. Munawwir A.f, Kamus Arab-Indonesia, Cet 1, (Surabaya, Pustaka
Progresif, 1999) hlm. 29
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, Edisi
Keempat, (Jakarta, Penerbit Pt Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 123
4
Umar Hasyim, Anak Shaleh, (Surabaya, Bina Ilmu, 1980), hlm. 22
5
Yazid Bin Abdul Qadir Jawas, Birul Walidain Berbakti Kepada Orang Tua, (Jakarta, Darul
Qolam, t.Th), hlm. 8
14
15
kehalusan budi pekerti dan kesopanan. Sedangkan beradab yaitu mempunyai budi
pekerti yang baik.6 Adab secara terminologi adalah ilmu tentang tujuan mencari
pengetahuan. Sedangkan mencari pengetahuan dalam Islam ialah menanam kebaikan
dalam diri manusia dan menjadi individu yang lebih baik.7
Ahlak berarti budi pekerti atau perangai. Dalam berbagai literatur Islam, ahlak
diartikan sebagai (1) pengetahuan yang menjelaskan arti baik dan buruk, tujuan
perbuatan, serta pedoman yang harus diikuti; (2) Pengetahuan yang meliputi perjalan
hidup manusia sebagai parameter perbuatan, perkataan, dan ihwal kehidupannya; (3)
sifat permanen dalam diri seseorang yang melahirkan perbuatan secara mudah tanpa
memerlukan proses berpikir; (4) sekumpulan nilai yang menjadi pedoman berperilaku
dan berbuat.10
6
Hasan Alwi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005), hlm. 6
7
Abdul Haris, Etika Hamka, (Yogyakarta, Lkis Yogyakarta, 2010), hlm. 63
8
Dedi Supriadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, Cv Pustaka, 2010), hlm. 321
9
Supriadi, S.H M,Hum, Etika Dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Cet 6(Jakarta,
Sinar Grafika, 2016), hlm. 7
10
Rois Mahfud, Al-Islam Pendidikan Agama Islam, (Tk, Penerbit Erlangga, 2011), hlm. 96
16
Allah berwasiat kepada kita semua bahwa mereka mutlak harus berbuat baik
kepada orang tua mereka, betapapun keadaan orang tua itu. Dan itu difirmankan jelas
dalam kitab suci Al-Qur‟an yakni “dan kami wasiatkan kepada manusia hendaknya
mereka berbuat baik kepada orang tua (QS al-Ahqaf :15). Ada dua tempat lain yaitu
QS al-Ankabut 8 dan QS Luqman 14. yang disana dinyatkan bahwa berbuat baik
kepada orang tua adalah wasiat Tuhan.11
Ini menunjukan betapa pentingnya ajaran itu dalam pandangan Tuhan. Selain
sebagia wasiat Allah SWT. ajaran itu dalam kitab suci juga banyak dinyatakan dalam
bentuk perintah. Disuatu ayat disebutkan sebagai “keputusan Tuhan” yakni dalam QS
al-Isra ayat 23 bahwa kewajiban berbuat baik kepada orang tua itu di senafaskan
dalam satu firman, merupakan kewajiban kedua setelah kewajiban manusia untuk
hanya menyembah Allah saja. Mengapa demikian? Tentu saja karena kita semua
adalah anak dari orang tua kita dan kalau disebut anak disini tidak hanya dalam artian
biologis semata kita adalah anak orang tua kita selain secara biologis juga secara
psikologis dan spiritual. Ini tidak berarti bahwa yang biologis tidak penting. Bahkan
berkenaan dengan peran ibu, kewajiban berbuat baik kepada ayah. Ini dijelaskan
11
Dr Murcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Cet III (Jakarta, Paramadina, 1995) hlm. 136
17
dalam kitab suci karena peran ibu sebagai yang melahirkan dan membesarkan kita
dalam artian biologis, secara langsung dan dramatis.12
b. Berbakti Dengan Doa
QS al-Isra ayat 24
12
Ibid, hlm 136
13
Sayid Sabiq, Islam Dipandang Dari Segi Rohani-Moral Sosial, Penerjemah Zainudin Dkk, Cet
1, (Jakarta, Pt Rineka Cipta, 1994), hlm. 256
18
Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: "Apa saja
harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum
kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang
dalam perjalanan." dan apa saja kebaikan yang kamu buat, Maka Sesungguhnya
Allah Maha mengetahuinya.
Memenuhi hak orang yang di nafkahi ialah memenuhi keperluan belanja, baik
untuk makan, untuk minum, maupun keperluan-keperluan lainnya yang dibutuhkan
oleh orang yang menerima nafkah itu. Islam menuntut supaya para muslim masing-
masingnya memberikan nafkah yang cukup kepada mereka yang berhak menerima
nafkah darinya.14
Seseorang anak diwajibkan memberikan nafkah kepada ibu-bapaknya
sebagaimana seorang qarib wajib memberikan nafkah kepada kerabatnya. Apabila
seseorang ayah atau ibu tak sanggup dengan usaha sendiri dan tidak mempunyai harta
agama, mewajibkan sang anak memberikan nafkahnya dan mencukupi segala
keperluannya menurut kesanggupan sang anak itu. Dan hendaklah seorang anak
mendahulukan nafkah ibu atas nafkah ayahnya. 15
Memang Tuhan telah membenarkan para ayah dan ibu menerima nafkah dari
anak-anaknya dan Tuhan menyatakan pula dengan lisan Nabi-Nya bahwa sebaik-baik
usaha sesudah usaha diri sendiri ialah usaha para anak-anak.16
2. Berbakti kepada Orang Tua Asuh
Kasih sayang seorang ibu tak mengenal anak kandung atau anak asuh. Begitu
juga dengan berbakti kepada orang tua tidak dibatasi apakah orang tua kandung atau
orang tua asuh karena selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah
merawatnya sejak ia lahir hingga tumbuh dewasa. Masih banyak anak-anak yang
14
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, cet 2, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,
1998), hlm. 321
15
Ibid, hlm 324
16
Ibid
19
hidupnya dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan, bahkan banyak dalam kasus
ditemukan banyak bayi yang ditelantarkan. Dalam kondisi seperti itulah selayaknya
mereka ditolong, sikap pembiaran tidak sejalan dengan ajaran agama Islam. Mengapa
harus ditolong? Karena mereka tergolong manusia yang “lemah” yang butuh nafkah,
perlindungan dan pendidikan dari orang yang “mampu”. terkait dengan penyebutan,
anak asuh yang dibesarkan oleh bukan orang tua kandungnya tersebut disebut dengan
anak pungut atau anak angkat dalam bahasa arabnya disebut (tabanni) dan orang yang
memungut atau mengakatnya disebut dengan orang tua asuh (mutabanni).17
Anak pungut adalah anak yang dijadikan sebagai anak asuh yang tidak diketahui
siapa nasabnya (ibu-bapaknya) dalam bahasa arabnya disebut al-laqith seperti anak
yang dipungut dari tempat pembuangan. Sedangkan anak angkat adalah anak yang
dijadikan sebagai anak asuh yang diketahui nasab kedua orang tuanya, ada semacam
“serah terima” yang resmi dari kedua orang tua asli kepada orang tua angkat. Dengan
demikian tidak dapat dibenarkan bagi orang tua asuh untuk menasabkan anak
angkatnya kepada dirinya karena pengangkatan anak dalam Islam bukan bertujuan
untuk menghilangkan nasab, tapi untuk menolong dan memberikan bekal pendidikan.
Dalam bahasa arab menjadikan anak sebagai anak asuh disebut tabanni atau bahasa
inggrisnya anak adopsi. Mengangkat anak dalam Islam memiliki tujuan yang jelas
yaitu untuk menolong dan mengasuh serta mendidik sebagaimana orang tua
melakukam itu semua kepada anak kandungnya. Tapi yang perlu diingat bahwa anak
angkat tetaplah anak angkat. Mereka tidak memiliki hak-hak seperti yang dimiliki
anak kandung.18
a. Ayat Al-Qur'an Anjuran Mengangkat Anak
Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar “mengangkat
anak” sebagai salah satu ajaran kepedulian sosial yang dapat dijalankan oleh umat
Islam. QS al-Maidah 5:2, QS al-Insan 76:8, QS al-Ma‟un 107:1-3. QS al-Fajr 89:17-
18. Dalam hadis Rasulullah SAW Allah SWT memberikan ganjaran surga pada orang
yang tulus ikhlas memberikan bantuan kepada orang yang tidak mampu seperti anak
yatim19
b. Mengangkat Anak Sebelum Islam
17
Dr. H. Saipudin Shidiq, M.Ag, Fikih Kontemporer, Cet 1, (Jakarta, Pernada Media Group,
2016), hlm. 83
18
Ibid, hlm 84
19
Ibid , hlm 87
20
{4}Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai
ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu
(sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah
mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar).
{5.}Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-
bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
21
saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.20
Di dalam ayat lain juga ditegaskan bahwa seorang bapak angkat boleh menikahi
bekas istri anak angkatnya. Hal ini lebih menguatkan lagi bahwa posisi anak angkat
itu adalah bukan anak asli oleh karena itu sah untuk dinikahi. Hal ini menghapus
budaya yang berlaku dikalangan kaum jahiliah. Peristiwa ini langsung dicontohkan
oleh Nabi dengan menikahi Zainab binti Jahsin (anak bibi Nabi) Zainab adalah bekas
istri Zaid (anak angkat Nabi) yang dicerai oleh Zaid karena tidak ada kecocokan
diantara keduanya. Lalu Zainab dinikahi oleh Rasulullah SAW seperti dijelaskan
dalam firman Allah SWT surat al-Ahzab 33:37.21
c. Anjuran dan Tujuan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dalam Islam adalah pekerjaan yang sangat mulia, merupakan
bagian dari amal baik yang dianjurkan sebab di dalamnya terdapat unsur tolong
menolong yang dapat mendekatkan diri pelakunya kepada Allah SWT maka sudah
menjadi keharusan bagi orang Islam yang kaya atau orang yang belum dianugerahi
anak atau siapa saja untuk mengambil bagian dalam pekerjaan mulia itu.22
Di indonesia ditemukan beberapa kecenderungan seseorang dalam pengangkatan
anak. Ada yang bermotif agar keluarga yang tidak mempunyai anak itu memperoleh
anak (dijadikan anak kandung) untuk meneruskan garis keturunannya, yang seperti ini
diharamkan dalam Islam. Ada juga yang cenderung untuk dijadikan sebagai
pancingan bagi orang tua angkatnya yang dalam waktu cukup lama belum
dianugerahi anak. Dan ada juga yang cenderung ingin mendapatkan tenaga kerja atau
merasakan kasihan terhadap nasib anak. Kedua macam kecenderungan yang tersebut
terakhir ini dapat dibenarkan dalam Islam selama tidak menjadikannya sebagai anak
kandung.23
Disekeliling kita banyak anak yatim, anak-anak yang orang tuanya fakir dan
miskin, anak jalanan, dan sebagainya. Mereka membutuhkan orang tua asuh yang
mampu menolong kehidupan mereka dengan memberikan nafkah, kasih sayang, dan
20
Bachtiar Surin, Al-Kanz Terjemah Dan Tafsir Al-Qur’an, (Bandung, Titian Illmu Bandung, 2002)
hlm. 1417-1418
21
Ibid
22
Ibid
23
ibid
22
pendidikan. Demi kelanjutan hidup anak angkat dibolehkan memberikan jaminan bagi
orang tua sebelum meninggal berupa wasiat hibah kepada anak angkatnya. Hal ini
dilakukan karena anak angkat tidak berhak mendapat waris dari orang tua angkatnya.
Alasan bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk mengangkat anak karena Islam
merupakan agama yang sarat dengan ajaran kepedulian terhadap sosial, maka tidak
dibenarkan seseorang yang hidup rakus, egois, dan tidak peduli terhadap
lingkungannya. Hal yang penting untuk ditegaskan kembali adalah persoalan status
hukum antara anak dan bapak angkat. Karena jika status anak angkat disamakan
haknya dengan anak sendiri berarti kembali kepada budaya jahiliah. telah ditegaskan
oleh Syekh Yusuf Qardhawi merupakan hal yang sia-sia artinya hal itu pasti akan
terbongkar juga. Sebab kebohongan perkataan manusia tidak dapat menutupi
kebenaran, tidak dapat mengubah realitas sebenarnya. Kebohongan tidak akan
menjadikan orang luar menjadi anak kandung. Dan yang ajaib tidak akan ada di dalam
dada bapak angkat sifat kebapakan seperti bapak kandung terhadap anak kandungnya.
Dan tidak juga ditemukan perasaan anak sebagai anak kandung dalam diri anak
angkat terhadap bapak angkatnya serta si anak tidak mewarisi sifat-sifat tertentu dari
bapak angkatnya.24
Tujuan mengangkat anak dalam Islam tidak lain kecuali dalam rangka menolong,
memberi nafkah lahir batin serta mendidik agama anak. Dengan demikian, staus anak
angkat jika dihubungkan dengan orang tua angkat adalah orang lain yang berdampak
konsekuensi hukum sebagai berikut:
a. Orang tua angkat tidak boleh mengganti nasab anak angkat dengan dirinya
sendiri(orang tua angkat)
b. Anak angkat tidak berhak mendapat waris jika orang tua angkatnya meninggal
karena tidak ada hubungan darah, tidak terjadi hubungan pernikahan dan tidak
ada hubungan saudara. Namun orang tua angkat dapat memberikannya hibah atau
wasiat sebagian hartanya untuk kesejahteraan anak angkatnya.
c. Hubungan anak angkat dengan orang tua angkat dan keluarga orang tua angkat
tidak menghilangkan kemahraman. Yang diharamkan oleh Allah SWT adalah
mengawini anak kandung bukan anak angkat. Maka boleh saja orang tua angkat
24
Ibid
23
25
Ibid, hlm. 88
26
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey. Al-Islam, cet 2, (Pustaka Rizki Putra, Semarang,
1998), hlm. 291
24
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah SWT terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.29
27
Psikologi Belajar, opcit., hlm. 79
28
Dra. Rohmalina Wahab M.Pd.I, Psikologi Belajar, Cet 2. (Jakarta, Rajawali Pres, 2016), hlm.
88
29
Bachtiar Surin, Al-Kanz Terjemah Dan Tafsir Al-Qur’An, Juz 21-30, (Bandung, Titian Illmu
Bandung, 2002), hlm. 1965
25
30
ibid hlm. 89
31
Ibid hlm. 90
32
Psikologi Belajar, op cit., hlm. 77
26
33
Psikologi Belajar, opcit., hlm. 85
34
Syaikh Az-Zamuji, Terjemah Ta’lim Mutaa’llim, (Surabaya, Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 25