PENDAHULUAN
1
Fikri, Fleksibilitas Hak Perempuan Dalam Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Parepare, Jurnal Al-Maiyah, Vol. 12 No. 1, Juni 2019, h. 3
1
2
yang dilakukan atas dasar inisiatif suami (permohonan Talak) maupun atas
dasar inisiatif isteri (gugat cerai).2
Istilah "perceraian" sangat umum dalam masyarakat Islam dan tidak ada
batasan siapa yang melakukannya di pihak suami atau istri. Tarak perceraian
dilakukan oleh semua pihak. Ini bukan perbuatan, terutama oleh anak-anaknya.
Kisah perceraian memberikan citra buruk tidak hanya bagi suami dan istri,
tetapi juga bagi anak-anak dalam keluarga, dan berdampak sosial bagi
masyarakat dan keluarga. Pembicaraan perceraian dapat merusak hubungan
dan menimbulkan permusuhan dari keluarga suami dan keluarga istri, dapat
memicu munculnya konflik baru yang sangat berkepanjangan.3
Menurut Abdul Ghofar Anshori, perselisihan antara suami dan istri sering
muncul karena orang (suami dan istri) gagal menegakkan haknya atau
memenuhi kewajibannya, atau karena alasan lain. Akibatnya, kata Anshori,
masyarakat (suami-istri) kerap mengadu kepada orang lain atau keluarganya.
Kemungkinan adanya perbedaan pendapat tersebut akan mengakibatkan
7
Abdurrahman Gazhali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 40.
8
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-
Maiyah, Vol. 10 No. 1, Januari - Juni 2017, h. 100.
9
Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 2,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 215.
4
َاد اَّلٞ ظ ِشدٞ ارةُ َعلَ ۡيهَا َم ٰلَِٓئ َكةٌ ِغاَل ْ ُٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن
َ م ن َٗارا َوقُو ُدهَا ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َجnۡوا قُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡ َوَأ ۡهلِي ُك
َيَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا َأ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمرُون
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.10
Dasar hukum hadhanah juga diperkuat dalam hadis nabi SAW. yang
menyebutkan:
انnnذا كnnني هnn إن اب،ول هللاnnا رسnn ي:التnnرأة قnn أن ام-اnn هللا عنهمnرضي- عن عبد هللا بن عمرو
ْ وأراد،نيnnَاه طَلَّقnn وإن أب، و ِحجْ ري له ِحواء، له ِسقاءn وثَ ْديِي،لهوعاء
،نيnnه ِمnnأن يَ ْنت َِز َع ِ بطني
ُّ ت أح
)ق به ما لم تَنكحي(رواه أبو داود ِ أن:-صلى هللا عليه وسلم- هللاnفقال لها رسول11.
Terjemahnya:
Dari Abdullah bin Amru ibn Ash bahwa seorang perempuan berkata
kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak ini, perutku
pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, dan
pangkuanku menjadi pelipurya. Dan sesungguhnya ayahnya
menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku” Rasulullah kemudian
bersabda, “engkau lebih berhak dari pada ayahnya, selama kamu belum
menikah lagi”.
10
Kemenag RI, Al Qur’an QS At Tahrim/66:6 dan Terjemahaannya
11
Abi Daud Sulaiman Ibn al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Damaskus: Dar al-Risalah al-
‘Alamiyyah, 2009, h. 482.
5
12
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya,
karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya,
membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa
yang akan datang. Lihat, Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
14
Kemenag RI, Al Qur’an, QS Al Baqarah 2/ 322 dan Terjemahaannya
15
Muhammad ibn Isa Ibn Surat Al-Tirmizi, Sunan Al-Tirmizi<, (Beirut: Da<r Al-Fikr,
1988), h. 478
6
16
Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 187-
188.
17
Bunyi lengkap pasal 45 bab X Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah “(1) kedua orang tua wajib
7
memlihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus”
18
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2006), h.
224.
19
Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Fatwa MUI Tentang
Perkawinan Beda Agama, Fatwa MUI Tentang Wakaf Uang, Fatwa MUI tentang Zakat,
(Bandung: RedaksiNuansa Aulia, 2012), h. 72.
8
22
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2001, h. 243
11
23
Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2008, h.
142
24
Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Adliya, Vol.
8 No.1, Edisi: Januari-Juni 2014, h. 290
12
Secara umum hukum hak asuh anak di Indonesia dilihat dari sisi
normatif dan praktik masih menerapkan model pengasuhan terpisah atau
dengan kata lain pengasuhan oleh salah seorang orang tua anak. Penentuan
hak asuh dalam penyelesaian sengketa hak asuh anak di Pengadilan
Agama secara garis besar ada dua:
Pertama , secara normatif mengacu pada ketentuan pasal 105 KHI
dan Undang-undang Perkawinan
Kedua, kepentingan terbaik anak berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, No. 110 K/ AG/ 2007 tanggal 13 November 2017
B. Fokus Penelitian
Agar tak terjadi bias dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah
pada 3 (tiga) fokus utama, yaitu:
1. Perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang
hak asuh anak pasca perceraian
13
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok masalah adalah bagaimana
peluang, pertimbangan serta implementasi putusan hakim terhadap keinginan
atau upaya hak asuh anak secara bersama (shared parenting) pasca perceraian
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif terhadap hak asuh
anak pasca perceraian?
2. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam
memutuskan hak asuh anak di Pengadilan Agama?
3. Bagaimana peluang pengasuhan bersama (shared parenting) terhadap
produk hukum hak asuh anak pasca perceraian?
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan hukum positif mengenai
hak asuh anak pasca perceraian di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam
memutuskan hak asuh anak pasca perceraian.
3. Untuk mengetahui peluang pengasuhan bersama (shared parenting)
terhadap produk hukum hak asuh anak pasca perceraian
25
Zulkarnaen, Rekonstruksi Hukum Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian di Indonesia,
Disertasi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2021.
15
F. Landasan Teoritis
26
Philippe Nonet dan Philip Selznick, “Hukum Responsif,” Cetakan II. Nusa Media.
Bandung (2008): h. 23.
16
dari ketiga bentuk hukum tersebut, yang menjamin tatanan kelembagaan yang
langgeng. Nonet dan Selznick meluncurkan hukum responsif sebagai model
atau teori di tengah serangan keras Neo-Marxis terhadap legalisme liberal.
Pengejaran hukum responsif telah berkembang menjadi upaya konstan filsafat
hukum kontemporer. Seperti yang dicatat oleh Jerome Frank, mengadopsi
realisme hukum terutama dimaksudkan untuk meningkatkan daya tanggap
hukum terhadap persyaratan sosial.27
27
Henni Muchtar, “Paradigma Hukum Responsif (Suatu kajian tentang Makamah
Konstitusi sebagai Lembaga Penegak Hukum),” Humanus 11, no. 2 (2012): h. 165-166.
28
Nonet dan Selznick, “Hukum Responsif,” h. 60.
29
Sulaiman, “Paradigma dalam Penelitian Hukum,” Kanun: Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 2
(2018): h. 10.
30
Rr Rina Antasari, “Telaah terhadap Perkembangan Tipe Tatanan Hukum di Indonesia
Perspektif Pemikiran Nonet-Selznick Menuju Hukum yang Berkeadilan,”Nurani: Jurnal Kajian
Syari’ah dan Masyarakat 19, no. 1 (2019): h. 108.
17
konsepsi ketertiban umum yang tidak terlalu kaku dan lebih sipil (civil
sebagai lawan publik); dan;
3) Karena hukum bersifat terbuka dan fleksibel, advokasi hukum memasuki
dimensi politik yang meningkatkan kekuatan yang dapat membantu
mengoreksi dan mengubah lembaga hukum.
31
Sulaiman, “Paradigma dalam Penelitian Hukum,” h. 18.
32
Henry Arianto, “Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia,” Lex Jurnalica
7, no. 2 (2010): h.199.
18
33
Sulaiman, “Paradigma dalam Penelitian Hukum,” h. 11.
34
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum” Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 102.
19
35
Ahmad Mujahidin, “Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama”, Jakarta:
IKAHI, 2008, hlm.338
36
Syarif Mappiasse, “Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim”, Jakarta: Pranada
Media Group, 2015, hlm. 41
21
37
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, Bandung, 1986. h. 101.
38
Hari Purwadi.H, Reformasi Hukum Nasional: Problem dan Prospeknya, dalam Prof.
Dr. Satya Ariananto, S.H., M.H., dan Ninuk Triyanti, S.H., M.H, Memahami Hukum: Dari
Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, h.. 64-65.
22
45
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 195.
46
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 196
47
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 154
48
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 152
25
4. Teori Maslahat
49
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 45.
50
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 46
51
Satjipto dalam Darmiharjo dan Sidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, h. 197-198.
26
52
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum,
Vol. 12, no. 2, Desember, 2014, h. 314. Lihat juga Muhammad Roy Purwanto, “Kritik Terhadap
Konsep Maslahah Najm ad-Dîn at-Tûfi,” Jurnal Madania, Vol. 11, No. 1, Juni, 2015, h. 29.
53
Moh. Mukri, Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali, (Yogyakarta: Nawesea
Press, 2011), h. 181.
54
Robitul Firdaus, “Konsep Maslahat di Tengah Budaya Hukum Indonesia”, Jurnal Al-
Manahij, Vol. 5, no. 1, 2011, h. 1.
27
55
Imron Rosyadi, “Pemikiran Asy-Syâtibî tentang Maslahah Mursalah,”Jurnal Profetika
Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni, 2013, h. 82.
56
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), h. 187.
57
Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum
Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 2, Desember 2017, h. 154-
155.
58
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan, h. 188.
28
sejalan dengan tujuan syariat dalam menetapkan hukum. Dari sini dapat
dipahami bahwa penekanan maslahat dalam tinjauan definisi syariat adalah
rujukan dari maslahat itu sendiri, yaitu tujuan syariat. Rujukan atau standar
inilah yang membedakan antara maslahat dalam pengertian umum dengan
maslahat dalam pengertian syariat.59
Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian
maslahat berdasarkan tinjauan yang berbeda, sehingga pembagian
maslahat pada dasarnya dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: segi
kualitas dan kepentingannya, kandungan maslahat, perubahan maslahat,
dan konteks legalitas formal.60
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah mengungkapkan bahwa pemahaman
atas nas harus dapat mengkomparasikan antara tujuan syariat dengan
tekstualitas dalam nas, agar pemahaman terhadap teks-teks keagamaan
dilakukan tidak secara parsial melainkan secara komprehesif.61
G. Kerangka Konseptual
59
Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum
Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, h. 164.
60
Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum
Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, h. 156.
61
Rusdaya Basri, Urgensi Pemikiran Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah tentang Perubahan
Hukum Terhadap Perkembangan Sosial Hukum Islam di Lingkungan Peradilan Agama Wilayah
Sulawesi Selatan, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, Volume 16 Nomor 2, Desember
2018, h. 192.
29
Dalam konteks inilah penyelesaian sengketa hak asuh anak tidak hanya
terkait siapa yang berhak mengasuh si anak, namun juga bagaimana hak-
hak dan kepentingan terbaik anak dapat terjamin oleh pemegang hak
asuhnya63. Pengasuhan anak dalam hukum Islam dapat dikatakan
menjangkau hal-hal dari sejak anak dalam kandungan hingga ia lahir ke
dunia. Daya jangkau ini menunjukkan bahwa hukum Islam menyadari
benar arti penting dari kedudukan anak dalam keluarga serta perlunya tata
laksana pengasuhan anak agar kelak ia dapat tumbuh kembang dengan
baik serta berperan penting dalam pengembangan syiar agama serta
pembangunan bangsa dan negara. Anak, dalam tata pikir demikian,
merupakan aset bangsa yang harus dijaga sedemikian rupa agar kelak ia
dapat berkontribusi positif bagi lingkungan sosialnya.
62
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta: Pena Media, 2008, hlm. 113.
63
Tim Penyusun Pengadilan Agama Banjarbaru, Kontekstualisasi Hukum Perdata Islam,
Yogyakarta: Phoenix, 2018, h. 1.
30
64
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
2004, h. 137
65
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2004, h. 166.
66
Kamal Muchtar, Loc.cit.
67
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, h. 327 – 328.
68
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, h. 114.
31
69
Edward Kruk, Child Custody, Access and Parental Responsibility: The Search for A
Just and Equitable Standard, The University of British Columbia, 2008, h. i.
70
Ibid, h. Ii
37
anak dengan kedua orang tuanya adalah minimal 40% waktu pengasuhan
bagi masing-masing orang tua.71
Jika dikaitkan kembali antara konsepsi pengasuhan anak bersama
(shared parenting) dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum
perkawinan Indonesia (termasuk yurisprudensi mengenai hak asuh anak),
dapat diketahui bahwa norma-norma tersebut bersandar pada upaya luhur
untuk menjamin kepentingan terbaik bagi si anak. Pengasuhan anak,
sejatinya, bukan hanya berkutat pada siapa mengasuh siapa. Namun, lebih
dari itu, penentuan pengasuhan anak diarahkan agar semaksimal mungkin
memberi kebaikan, kemanfaatan, dan jaminan akan masa depan anak yang
lebih baik. Pada konteks ini, konsepsi pengasuhan bersama sangat concern
dengan upaya-upaya dimaksud. Dengan lain perkataan bahwa, pengasuhan
bersama menekankan upaya yang dinamis dari kedua orangtua si anak
untuk bersama-sama mendidik, memelihara, dan memastikan tumbuh
kembang anak sesuai harkat dan martabatnya.
Pengasuhan bersama (shared parenting) merupakan gagasan yang
ingin menengahi perbedaan kedua model dan patron tersebut serta
menawarkan suatu konsep pengasuhan yang tidak hanya berfokus pada
perwujudan kepentingan terbaik si anak, namun juga mengupayakan peran
maksimal kedua orangtua dalam mengasuh anak-anaknya72
` 4. Perceraian
71
Sharon Moyer, Child Custody Arrangements: Their Characteristics and Outcomes,
Makalah, 2004, h. 3
72
M. Natsir Asnawi, Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah E-ISSN:
2621-0274; P-ISSN: 2442-2282 Volume 5, Nomor 1, Juni 2019
38
Hasil Penelitian
40
I. METODE PENELITIAN
79
Dampak dari pendekatan teologis normatif teologi lahirnya corak pemikiran yang
teosentris, teologi Islam menjadi ahistoris, tidak kontekstual dan tidak empiris dan hanya
berbicara tentang dirinya sendiri dan tentang kebenarannya sendiri (truth claim).
Disamping itu sulitnya membedakan antara aspek normatif yang sakral dengan aspek
yang hanya merupakan hasil pemikiran (ijtihad ulama) yang bersifat relatif dan
multitafsir. Akibat pemikiran teologis yang ada telah menjadi sakral semua. Lihat, Luk
Luk Nur Mufidah, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, Jurnal Misykat, Volume 02
Nomor 01, Juni 2017, h. 161.
80
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 75.
81
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian, h. 12.
42
2. Paradigma Penelitian
3. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Sumber data adalah sesuatu atau tempat atau orang yang darinya
dapat diperoleh sesuatu data atau informasi.84 Bahan hukum primer, bahan
hukum yang terdiri atas peraturan perundangan, risalah resmi, putusan
pengadilan dan dokumen resmi negara.
b. Bahan Hukum Sekunder
. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil-hasil
82
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar., hlm. 16
83
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar., hlm. 17
84
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang:
kalimasahada Press, 2006), h. 6.
43
85
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Cet. I Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 106.
44
86
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar. hlm. 160
87
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian, h. 106.
45
Adapun sifat analisis dalam penelitian ini ialah Preskriptif, sifat analisis ini
dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah
dilakukan. Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan
preskriptif atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya
menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.88
Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis data yang ada ialah melalui
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan
bahwa penelitian hukum normatif tersebut menggunakan peraturan perundang-
undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini dilakukan oleh
peneliti karena peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari
penelitian tersebut.
88
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar. hlm.184
46
89
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7
47
BAB II
93
Penjelasan Umum, Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Ayat 4 Huruf f
94
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
42
95
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
45 ayat b
49
1. Kematian,
2. Perceraian dan
3. Atas keputusan pengadilan97
96
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 77
97
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
38
50
Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau
putusan taklik talak98.
98
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 8
99
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
39
51
100
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
40
101
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
41
52
1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.103
Orang tua mewakili anak yang belum cukup umur mengenai segala
perbuatan hukum baik didalam maupun di luar pengadilan, diatur
dalam Pasal 47 Undang-undang Perkawinan, berbunyi;
105
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
49
106
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
54
KAIDAH HUKUM:
Pertimbangan utama dalam masalah hadhanah (pemeliharaan anak)
adalah kemaslahatan dan kepetingan si anak, bukan semata-mata yang
secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 7
(tujuh) tahun, tetapi karena si ibu sering bepergian ke laur negeri
sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini
telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tenteram bersama
ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadhanah-nya
diserahkan kepada ayahnya.
PERTIMBANGAN HUKUM:
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata melihat siapa
yang paling berhak, tetapi harus melihat siapa yang lebih tidak
107
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 106
56
108
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
109
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
57
َاد اَّلٞ ظ ِشدٞ ارةُ َعلَ ۡيهَا َم ٰلَِٓئ َكةٌ ِغاَل ْ ُٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن
َ م ن َٗارا َوقُو ُدهَا ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َجnۡوا قُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡ َوَأ ۡهلِي ُك
َيَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا َأ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمرُون
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
110
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Agama, Poin 4
111
Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 2,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 215.
58
112
Kemenag RI, Al Qur’an QS At Tahrim/66:6 dan Terjemahaannya
113
Abi Daud Sulaiman Ibn al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Damaskus: Dar al-Risalah al-
‘Alamiyyah, 2009, h. 482.
114
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya,
karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya,
membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa
yang akan datang. Lihat, Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
115
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
59
د لَ ۥهُ ِر ۡزقُه َُّنnِ وnnُا َع ۚةَ َو َعلَى ۡٱل َم ۡولnَّضَ ض ۡعنَ َأ ۡو ٰلَ َده َُّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي ۖ ِن لِ َم ۡن َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱلر ِ ت ي ُۡر ُ َو ۡٱل ٰ َولِ ٰ َد
nٞ ُضٓا َّر ٰ َولِ َد ۢةُ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡول
ود لَّ ۥهُ بِ َولَ ِدۦۚ ِه َو َعلَى َ ُُوف اَل تُ َكلَّفُ ن َۡفسٌ ِإاَّل ُو ۡس َعهَ ۚا اَل ت ِ ۚ َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡٱل َم ۡعر
ا َوِإ ۡن َأ َرد ُّتمۡ َأنnۗ nاح َعلَ ۡي ِه َمn
َ nَا ُو ٖر فَاَل ُجنnاض ِّم ۡنهُ َما َوت ََش ٖ صااًل عَن ت ََر َ ِث ِم ۡث ُل ٰ َذلِ ۗكَ فَِإ ۡن َأ َرادَا ف ِ ار ِ ٱل َو
ۡ
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.116
116
Kemenag RI, Al Qur’an, QS Al Baqarah 2/ 322 dan Terjemahaannya
60
asuhannya. Dan gaji ini di menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta
baru bisa lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebaskan.117
117
Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.
187-188.
118
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
h. 7297
119
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2001), h. 243
61
120
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Penterjemah Mohammad Thalib, Judul Asli Fiqh Al-
Sunnah,(Bandung: PT al-Ma’arif, 2000), cet. ke-8, h. 173.
121
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, cet. ke-3, (Kencana: Prenada Media , 2006), h. 328.
122
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet.
ke-3, h. 64
62
123
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-
Maiyah,h. 94.
124
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-
Maiyah, h. 95.
63
B. Rukun Hadhanah
a. Pengasuh (hadhin)
Pengasuh (hadhin) adalah pihak yang ditetapkan (oleh
Pengadilan) untuk menjalankan tugas dan kewajiban memelihara
dan mengasuh seorang anak yang belum mumayyiz. Pengasuh
umumnya dianjurkan dari pihak keluarga ibu si anak. Setelahnya
baru ke pihak keluarga ayah si anak. Namun demikian, ketentuan
ini masih bersifat ijtihadiy, dalam arti bahwa jika ada situasi yang
mendesak, pihak keluarga si ayah dapat lebih didahulukan.
a. Dewasa
Syarat pertama dan utama bagi seorang hadhin adalah ia
harus dewasa. Dewasa adalah keadaan seseorang yang memenuhi
syarat-syarat atau ketentuan menurut hukum seperti telah berusia di
atas 21 tahun, mandiri, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, cakap melakukan tindakan hukum (rechtsbekwaamheid),
berwenang melakukan tindakan hukum tertentu
(rechtsbevoegheid), serta ia tidak berada di bawah pengampuan,
dan memiliki integritas yang baik. Tegasnya, dewasa adalah
keadaan objektif pada diri seseorang yang membuat ia cakap
bertindak hukum untuk kepentingan hukum tertentu, khususnya
demi kepentingan terbaik si anak.
b. Berakal sehat
Berakal sehat adalah kemampuan seseorang dalam
mengorganisasikan pikiran-pikirannya, mampu menyinergikan
pikiran, perasaan, dan perilakunya, mampu berpikir logis, mampu
mengenali keadaan lingkungan sekitarnya, dan tidak mengalami
125
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm. 328 – 329
65
d. Beragama Islam
Terdapat perbedaan pendapat mengenai syarat beragama
Islam bagi hadhin. Jumhur ulama berpendapat bahwa salah satu
syarat yang wajib dipenuhi oleh hadhin adalah ia harus beragama
Islam. Dasar pemikirannya adalah bahwa tugas pengasuhan tidak
hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan fisik si anak, namun
juga bersentuhan langsung dengan salah satu tujuan syariat Islam,
yaitu hifz al din (menjaga agama atau keyakinan). Jika seorang
anak muslim diasuh oleh orang yang tidak beragama Islam,
dikhawatirkan hal tersebut akan mengganggu akidah anak karena
besar kemungkinan pengasuh non muslim berupaya memengaruhi
akidah si anak untuk mengikuti akidah pengasuhnya.
66
126
Erfani Aljan Abdullah, Pembaruan Hukum Perdata Islam: Praktik dan Gagasan,
Yogyakarta: UII Press, 2017, h. 110 – 111.
67
e. Adil
Seseorang yang akan ditetapkan sebagai hadhin harus
memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini bermakna bahwa pengasuh
anak (hadhin) menjalankan syariat Islam dengan baik, antara lain
melaksanakan ibadah dengan baik dan rutin, menjauhi sifat-sifat
dan perbuatan tercela yang dilarang agama. Pengasuh memiliki
integritas yang baik, dalam arti mampu menjaga amanah dengan
sebaik-baiknya. Dalam pengertian lebih jauh, pengasuh merupakan
pribadi yang taat pada hukum; menghindarkan dirinya dari
perbuatan-perbuatan melawan hukum. Indikasi-indikasi seseorang
adil atau tidak dapat terlihat dari bagaimana relasi sosialnya yang
baik dan konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat.
127
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, hlm. 122
68
BAB III
128
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 3
69
129
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”,
(Jakarta:Sinar Grafika, 2011), hlm. 104
130
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
45 ayat b
70
menurut KHI Pasal 105, Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, Pemeliharaan anak yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara atau atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.132
Keputusan yang memberikan hak asuh anak yang masih belum cukup
umur (mumayyiz) pasca perceraian kepada ayah, merupakan keputusan
yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangaan (contra legen).
Namun keputusan tersebut, yang menjadikan Kepentingan Terbaik
Anak sebagai pedoman/kaidah hukum sejalan dengan Teori Maslahah
serta Teori Pertimbangan Hakim
133
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
134
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
72
ibu dapat diberikan kepada ayah, sebagai bentuk kepastian hukum atau
payung hukum bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak
diberikan kepada ayah selain yurisprudensi. Aturan yang berbentuk
Surat Edaran (pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan) yang
dibuat pada tahun 2017, merupakan bentuk/contoh implementasi dari
Teori Hukum Responsif.
BAB IV
135
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004), hlm.140
136
Pasal 24, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
75
1. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak
disangkal.
137
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004), hlm.142
76
Hak asuh anak di berikan kepada IBU, menurut KHI Pasal 105
138
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
77
Keputusan yang memberikan hak asuh anak yang masih belum cukup
umur (mumayyiz) pasca perceraian kepada ayah, merupakan keputusan
yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangaan (contra legen).
Namun keputusan tersebut, yang menjadikan Kepentingan Terbaik
139
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
140
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
78
Kedua, sang ayah mendapat hak asuh. Ketiga, ibu dan ayah akan
mendapatkan hak asuh. Adapun kriteria yang menjadi pertimbangan
hakim dalam menentukan calon wali anak pasca perceraian adalah:
Pertama, atas permintaan pasangan.
Kedua, adanya kesepakatan bersama yang berlangsung atau
berlangsung antara para penggugat tergugat atau penggugat dan
tergugat mengalihkan hak asuh anak tersebut dalam perawatan ibu atau
ayah mereka.
Ketiga, berdasarkan Pasal 105 KHI yang menyebutkan bahwa ibu
adalah Orang yang lebih berhak mengasuh anak yang belum menjadi
mumayiz
80
Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah
diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya. Hak pengasuhan tidak
diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal itu
secara pasti akan membahayakan anak tersebut. karena itu, pengasuhan
anak tidak diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya
atau idiot. Sebab, mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh
mereka141
Dalam psikologi hukum, kebutuhan pemeliharaan anak dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pertama: legal custody, yakni
kebutuhan pemeliharaan anak seutuhnya menurut hukum yang meliputi
kebutuhan biaya penghidupan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan
hukum pada umumnya yang hal ini menjadi tanggung jawab bersama ayah
dan ibunya, namun demikian pada umumnya kebutuhan ini lebih dominan
diperoleh dari ayahnya dan kedua: fisical custody, yakni kebutuhan
pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat dirinya
sendiri baik secara jasmani maupun rohani seperti kebutuhan menyusu
pada ibu, mandi, memakai pakaian, merawat diri sendiri, memelihara
kesehatan, pelayanan makan dan minum, belajar berkomunikasi, teman
bermain dan belajar, kebutuhan tumbuh kembang anak dan lain
sebagainya.142
141
Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi
Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, h.
80
142
https://pa-rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-artikel/418-hadhanah-
pasca-perceraian-kajian-perundang-undangan-perkawinan-islam-kontemporer
81
Pengasuhan anak menurut Kruk yang selama ini berkutat pada split
parenting atau sole custody berimplikasi pada adanya asumsi bahwa
pemegang hak asuh berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya
(winner takes all). Ini melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh berhak
mengatur secara ketat pertemuan anak dengan orangtua lain yang tidak
memegang hak asuh.
Model atau pradigma demikian tidak selaras dengan upaya
memberi keleluasaan bagi anak untuk mengekspresikan dirinya,
bersosialisasi dengan kedua orangtuanya secara masif, dan memeroleh
kasih sayang terbaik dari kedua orangtuanya. Sebaliknya, anak seolah
terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya, diwajibkan
tunduk pada aturan-aturan tak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak
asuhnya.
Konsepsi pengasuhan bersama menawarkan paradigma baru dalam
tata laksana pengasuhan anak. Konsepsi ini telah jamak diimplementasikan
di negara-negara common law seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di
Kanada misalnya, pengasuhan bersama diatur dalam undang-undang
perceraian Kanada (1997 Federal Child Support Guidelines under the
Divorce Act), shared custody (pengasuhan bersama) adalah pengaturan
mengenai waktu bersama antara anak dengan masing-masing orang
tuanya. Alokasi waktu yang ditetapkan dalam pengasuhan bersama antara
145
Ibid, h. Ii
83
anak dengan kedua orang tuanya adalah minimal 40% waktu pengasuhan
bagi masing-masing orang tua.146
Jika dikaitkan kembali antara konsepsi pengasuhan anak bersama
(shared parenting) dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum
perkawinan Indonesia (termasuk yurisprudensi mengenai hak asuh anak),
dapat diketahui bahwa norma-norma tersebut bersandar pada upaya luhur
untuk menjamin kepentingan terbaik bagi si anak. Pengasuhan anak,
sejatinya, bukan hanya berkutat pada siapa mengasuh siapa. Namun, lebih
dari itu, penentuan pengasuhan anak diarahkan agar semaksimal mungkin
memberi kebaikan, kemanfaatan, dan jaminan akan masa depan anak yang
lebih baik.
Pada konteks ini, konsepsi pengasuhan bersama sangat concern
dengan upaya-upaya dimaksud. Dengan lain perkataan bahwa, pengasuhan
bersama menekankan upaya yang dinamis dari kedua orangtua si anak
untuk bersama-sama mendidik, memelihara, dan memastikan tumbuh
kembang anak sesuai harkat dan martabatnya. Pengasuhan bersama
(shared parenting) merupakan gagasan yang ingin menengahi perbedaan
kedua model dan patron tersebut serta menawarkan suatu konsep
pengasuhan yang tidak hanya berfokus pada perwujudan kepentingan
terbaik si anak, namun juga mengupayakan peran maksimal kedua
orangtua dalam mengasuh anak-anaknya147
146
Sharon Moyer, Child Custody Arrangements: Their Characteristics and Outcomes,
Makalah, 2004, h. 3
147
M. Natsir Asnawi, Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah E-ISSN:
2621-0274; P-ISSN: 2442-2282 Volume 5, Nomor 1, Juni 2019
84
MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;-
2. Menetapkan anak yang bernama NAMA ANAK binti NAMA
BAPAK, lahir 08 September 2010 berada dalam Pengasuhan bersama
yaitu Tergugat (NAMA TERMOHON) sebagai ibu kandungnya dan
Penggugat (NAMA PEMOHON) sebagai ayah kandungnya;
89
148
Putusan Pengadilan Agama Gedong Tataan No. 0334/Pdt.G/2019/PA.Gdt.
Tahun 2019. Hal. 52
96
150
Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 1113/Pdt.G/2020/PA.Gs. Tahun 2020, Hal 56
98
151
Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No. 1860/Pdt.G/2021/PA.Amb.Tahun
2021. hlm 17
101
KESEPAKATAN PERDAMAIAN
Pasal 4
(1) Meskipun jadwal pengasuhan (hadhanah) atas kedua orang anak
tersebut telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pihak
yang tidak sedang dalam jadwal mengasuh tetap dapat berinteraksi
dengan kedua orang anak tersebut untuk bertemu anak, mengajak anak
menginap di kediaman pihak yang menginginkan, mengajak jalan atau
rekreasi dan melakukan hal-hal lain selama tidak merugikan
kepentingan dan hak-hak anak, serta Pihak yang sedang dalam jadwal
mengasuh tidak akan menghalangi Pihak lain untuk mencurahkan
kasih sayangnya kepada anak;
(2) Interaksi Pihak yang sedang tidak dalam jadwal mengasuh kedua
orang anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan
dengan terlebih dahulu memberitahukan atau atas sepengetahuan dan
seijin pihak yang mengasuh, begitu juga sebaliknya;
(3) Pihak yang ingin mengasuh anak, Mengambil anak yang hendak
diasuh di sekolah pada hari Sabtu, dan mengantar lagi ke sekolah
dihari Senin dengan saling komunikasi;
105
A. Hak asuh anak pasca perceraian (hadhanah) menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarakan kajian komprehensif tinjauan pustaka dengan menggunakan
metode penelitian hukum normatif atas penelitian yang dilakukan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Perspektif hukum positif dan hukum Islam terhadap hak asuh anak
pasca perceraian, secara garis besar produk hukum yang berlaku masih
menerapkan pola pengasuhan terpisah (spilt parenting). Pada dasarnya
suami dan istri atau orang tua berhak untuk mengasuh serta
memelihara anak-anaknya, berlaku terus walaupun putusnya
perkawinan. Dalam hal adanya perselisihan/gugatan mengenai hak
asuh anak (hadhanah), baik masih dalam proses percerain ataupun
pasca perceraian, peran Hakim Pengadilan Agama sangat berpengaruh.
2. Pertimbangan hukum yang sering digunakan oleh hakim untuk
memutuskan hak hadhanah, yaitu Pasal 105 KHI dan Yurisprudensi
Makhkamah Agung No. 110K/AG/2007. dengan kaidah hukum
(kepentingan terbaik anak). Bagi anak yang belum mumayyiz (belum
cukup umur) menjadi hak ibunya untuk mendapatkan hak hadhanah,
namun hak tersebut dapat diberikan kepada ayah dengan pertimbangan
kepentingan terbaik bagi anak.
3. Pengasuhan bersama (shared parenting) merupakan konsep/pola
alternatif untuk adanya upaya pembaharuan hukum dibidang hukum
khusunya hukum keluarga Islam dalam hal hak hadhanah pasca
perceraian. Pengasuhan bersama (shared parenting) berpeluang untuk
diterapkan dalam memutuskan hak hadhanah pasca perceraian. Sebab
telah ada putusan-putusan Pengadilan Agama yang memutuskan dan
menerapkan hal tersebut serta demi kepentingan terbaik bagi anak.
111
B. SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Peradilan Agama Wilayah Sulawesi Selatan, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu
Hukum, Volume 16 Nomor 2, Desember 2018.
Basri, Rusdaya, dan Rukiah, Kontekstualisasi Maqaashidu Al-Syariah terhadap
Penerapan Hak Ex-Officio Hakim, Jurnal Al-Maiyyah: Media Transformasi
Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan, Vol. 13, No. 1, Juni 2020.
Devi, Soraya dan Muliadi, Doni, Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Nafkah
Anak Pasca Perceraian, Jurnal Hukum Keluarga, Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2019.
Doi, A. Rahman. I., Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Echols, John M. dan Shadilly, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Firdaus, Robitul, “Konsep Maslahat di Tengah Budaya Hukum Indonesia”, Jurnal
Al-Manahij, Vol. 5, no. 1, 2011.
Fitri, Ana Shofiatul, Pandangan Hakim Terhadap Penentuan Nafkah Akibat
Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Kota Malang dan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang), Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim,
2014.
Gazhali, Abdurrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Ghazaly, Abd. Rahman, Drs., M.A., Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media,
2003.
Hadikusuma, Hilmah, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Alpabeta, 2005
Hamidy, Mu’ammal, Perkawinan dan Persoalannya: Bagaimana Pemecahannya
dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2000.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja,
2006.
Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia; Edisi Kedua., Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
LaFave, Wayne. R., The Decision To Take a Suspect Into Custody, Boston: Litle,
Brown and Company, 2004.
Manan, Abdul, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 2 Tahun 2013.
Mufidah, Luk Luk Nur, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, Jurnal
Misykat, Volume 02 Nomor 01, Juni 2017.
114