Anda di halaman 1dari 115

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Islam menggambarkan pernikahan sebagai kontrak suci antara dua orang


yang berusaha untuk mengubah cinta mereka menjadi satu yang sah. Dengan
harapan bahwa pernikahan akan bertahan sampai kematian memisahkan
mereka, mereka akan membuat janji satu sama lain bahwa mereka siap untuk
memulai sebuah keluarga. Pernikahan, sebagai perjanjian suci yang sangat
kuat, Kompilasi Hukum Islam, yang selanjutnya disingkat KHI dalam Pasal 2.
"Pernikahan adalah kontrak yang sangat kuat, atau mitsaqan gholidhan
serta merupakan ibadah dalam mentaati dan menjalankan perintah Allah. "
Konsep ini memunculkan prinsip pernikahan, yaitu saling mencintai.
hormat, berkah dan cinta dalam membentuk keluarga, sakina, mawadda,
warrahamah.1
Konflik dalam kehidupan sehari-hari adalah hal biasa; mereka hasil dari
hubungan sosial yang berbeda, sudut pandang, dan faktor lainnya. Pernikahan
tidak selalu berjalan mulus karena ada lika-liku rumah tangga yang menjadi
perdebatan dalam kehidupan pernikahan mereka. Ini adalah salah satu masalah
yang sering muncul. Jika suami istri tidak berusaha untuk berdamai,
pertengkaran pun bisa berujung pada perceraian. Perkawinan menjadi hal yang
penting dan menempati posisi yang sakral dalam suatu hubungan antar
manusia, karena perkawinan perintah Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyatu
dan pemberi rahmat. Perkawinan selalu diharapkan dalam kondisi langgeng
hingga maut memisahkan, tetapi dalam perjalanannya tidak sedikit yang
mengalami rintangan-rintangan yang berakhir pada proses perceraian, baik

1
Fikri, Fleksibilitas Hak Perempuan Dalam Cerai Gugat di Pengadilan Agama
Parepare, Jurnal Al-Maiyah, Vol. 12 No. 1, Juni 2019, h. 3

1
2

yang dilakukan atas dasar inisiatif suami (permohonan Talak) maupun atas
dasar inisiatif isteri (gugat cerai).2
Istilah "perceraian" sangat umum dalam masyarakat Islam dan tidak ada
batasan siapa yang melakukannya di pihak suami atau istri. Tarak perceraian
dilakukan oleh semua pihak. Ini bukan perbuatan, terutama oleh anak-anaknya.
Kisah perceraian memberikan citra buruk tidak hanya bagi suami dan istri,
tetapi juga bagi anak-anak dalam keluarga, dan berdampak sosial bagi
masyarakat dan keluarga. Pembicaraan perceraian dapat merusak hubungan
dan menimbulkan permusuhan dari keluarga suami dan keluarga istri, dapat
memicu munculnya konflik baru yang sangat berkepanjangan.3
Menurut Abdul Ghofar Anshori, perselisihan antara suami dan istri sering
muncul karena orang (suami dan istri) gagal menegakkan haknya atau
memenuhi kewajibannya, atau karena alasan lain. Akibatnya, kata Anshori,
masyarakat (suami-istri) kerap mengadu kepada orang lain atau keluarganya.
Kemungkinan adanya perbedaan pendapat tersebut akan mengakibatkan

putusnya akad nikah (perceraian).4 Biaya kehidupan dan pendidikan tetap


menjadi tanggungjawab orangtua utamanya ayah. Namun tidak jarang terjadi
bahwa akibat dari perceraian ini anak-anak menjadi “terlantar” karena ayah
tidak mau memberikan biaya kehidupan termasuk pendidikan. Akibatnya,
perceraian ini akan menimbulkan dampak, baik secara ekonomi maupun secara
emosi/psikologis terhadap anak-anak. Apalagi bila isteri atau ibu tidak
mempunyai penghasilan tetap.5
Islam menawarkan pasangan yang tidak mampu mempertahankan rumah
mereka pilihan untuk bercerai atau berpisah. Fenomena perceraian di Indonesia
yang meningkat signifikan dari tahun ke tahun6 Bagi sebagian pasangan
2
H. Sudirman L, Dominasi Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap ,
Jurnal Diktum Hukum IAIN Parepare, Vol. 11 No. 2, Juli 2013, h. 2
3
Fikri, Saidah, Aris, Wahidin. Kontekstualisasi Cerai Talak Melalui Fikih dan Hukum
Nasional Di Indonesia, Jurnal Al-Ulum, Vol. 19 No. 1, Juni 2019, h. 152
4
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 233
5
H. Sudirman L, Dominasi Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap ,
Jurnal Diktum Hukum IAIN Parepare, Vol. 11 No. 2, Juli 2013, h. 5
6
Muchsin, Perlindungan Hukum terhadap anak pasca perceraian orang tuanya, Varia
Peradilan: Majalah Hukum, Ikatan Hakin Indonesia, No. 301, Desember 2010, h.5
3

dengan berakhirnya kehidupan rumah tangga mereka dengan bercerai telah


berhasil menyelesaikan masalah mereka masing-masing, akan tetapi konflik
pasangan pasca perceraian menghadapi masalah baru yakni masalah
pemeliharaan anak (hadhanah) yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.
Faktor pendukung diperlukan untuk proses pemeliharaan, pendidikan, dan
perlindungan anak, baik yang berwujud seperti biaya makanan, pakaian, tempat
tinggal, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, maupun yang tidak berwujud
seperti cinta dan keamanan.7 Agar seorang anak mendapat manfaat dari
perhatian kedua orang tuanya, terlepas dari apakah orang tuanya menikah atau
bercerai, orang tua memiliki tanggung jawab sebagai orang tua. Kompilasi
Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan para ulama fiqih
semuanya sepakat bahwa ibu atau perempuan memiliki hak yang paling besar
dalam mengasuh anak dibandingkan dengan pihak lain. Menurut temuan para
peneliti, ibu memiliki hak lebih untuk membesarkan anak selama belum
mumayyiz.8
Hadhanah, artinya memelihara, mendidik, mengatur, dan memperhatikan
segala kepentingan dan kepedulian anak yang belum mumayyiz dalam bahasa
Arab (belum mampu membedakan hal atau perbuatan baik dan buruk bagi
dirinya). Menurut bahasa, istilah "Hadhanah" mengacu pada meletakkan
sesuatu di dekat atau di pangkuan karena ibu menyusui sering menempatkan
bayinya di pangkuan mereka, memberikan kesan bahwa mereka dilindungi dan
dirawat. Akibatnya, istilah "Hadhanah" datang untuk merujuk pada pendidikan
dan pengasuhan anak sejak kecil. Kerabat anak itu merawatnya sejak ia lahir
sampai ia dapat berdiri sendiri dan mengurus dirinya sendiri.9

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah fiman Allah Swt. QS


At-Tahrim/66:6

7
Abdurrahman Gazhali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 40.
8
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-
Maiyah, Vol. 10 No. 1, Januari - Juni 2017, h. 100.
9
Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 2,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 215.
4

‫َاد اَّل‬ٞ ‫ظ ِشد‬ٞ ‫ارةُ َعلَ ۡيهَا َم ٰلَِٓئ َكةٌ ِغاَل‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ ‫م ن َٗارا َوقُو ُدهَا ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َج‬nۡ‫وا قُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡ َوَأ ۡهلِي ُك‬
َ‫يَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا َأ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمرُون‬
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.10

Dasar hukum hadhanah juga diperkuat dalam hadis nabi SAW. yang
menyebutkan:
‫ان‬nn‫ذا ك‬nn‫ني ه‬nn‫ إن اب‬،‫ول هللا‬nn‫ا رس‬nn‫ ي‬:‫الت‬nn‫رأة ق‬nn‫ أن ام‬-‫ا‬nn‫ هللا عنهم‬n‫رضي‬- ‫عن عبد هللا بن عمرو‬
ْ ‫ وأراد‬،‫ني‬nnَ‫اه طَلَّق‬nn‫ وإن أب‬،‫ و ِحجْ ري له ِحواء‬،‫ له ِسقاء‬n‫ وثَ ْديِي‬،‫لهوعاء‬
،‫ني‬nn‫ه ِم‬nn‫أن يَ ْنت َِز َع‬ ِ ‫بطني‬
ُّ ‫ت أح‬
)‫ق به ما لم تَنكحي(رواه أبو داود‬ ِ ‫ أن‬:-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ هللا‬n‫فقال لها رسول‬11.
Terjemahnya:
Dari Abdullah bin Amru ibn Ash bahwa seorang perempuan berkata
kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak ini, perutku
pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, dan
pangkuanku menjadi pelipurya. Dan sesungguhnya ayahnya
menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku” Rasulullah kemudian
bersabda, “engkau lebih berhak dari pada ayahnya, selama kamu belum
menikah lagi”.

Penting untuk menjaga anak-anak kecil karena jika tidak


melakukannya akan membahayakan mereka kepada keterlantaran/binasa.
Anak yang masih kecil berhak mndapatkan Hadhanah karena memerlukan

10
Kemenag RI, Al Qur’an QS At Tahrim/66:6 dan Terjemahaannya
11
Abi Daud Sulaiman Ibn al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Damaskus: Dar al-Risalah al-
‘Alamiyyah, 2009, h. 482.
5

pengawasan, pengasuhan, dan pendidikan orang dewasa12. Dalam kaitan


ini, terutama, ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhânah.13
Allah SWT berfirman: Q.S al-Baqarah/2:233
َ ‫ض ۡعنَ َأ ۡو ٰلَ َده َُّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي ۖ ِن لِ َم ۡن َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱلر‬
‫د لَ ۥهُ ِر ۡزقُه َُّن‬nِ ‫و‬nnُ‫ا َع ۚةَ َو َعلَى ۡٱل َم ۡول‬n‫َّض‬ ِ ‫ت ي ُۡر‬ ُ ‫َو ۡٱل ٰ َولِ ٰ َد‬
nٞ ُ‫ضٓا َّر ٰ َولِ َد ۢةُ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡول‬
‫ود لَّ ۥهُ بِ َولَ ِدۦۚ ِه َو َعلَى‬ َ ُ‫ُوف اَل تُ َكلَّفُ ن َۡفسٌ ِإاَّل ُو ۡس َعهَ ۚا اَل ت‬ ِ ۚ ‫َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
‫ا َوِإ ۡن َأ َردتُّمۡ َأن‬nۗ n‫اح َعلَ ۡي ِه َم‬n
َ nَ‫ا ُو ٖر فَاَل ُجن‬n‫اض ِّم ۡنهُ َما َوت ََش‬ٖ ‫صااًل عَن ت ََر‬ َ ِ‫ث ِم ۡث ُل ٰ َذلِ ۗكَ فَِإ ۡن َأ َرادَا ف‬ ِ ‫ار‬
ِ ‫ٱل َو‬
ۡ

َ ‫و ْا َأ َّن ٱهَّلل‬n ْ nُ‫ُوف َوٱتَّق‬


ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬n
ٓ n‫ٱعلَ ُم‬ ۡ nِ‫لَّمۡ تُم َّمٓا َءات َۡيتُم ب‬n‫ا َأ ۡو ٰلَ َد ُكمۡ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ ِإ َذا َس‬nْ‫ضع ُٓو‬
ِ ۗ ‫ٱل َم ۡعر‬n ِ ‫ت َۡست َۡر‬
ِ َ‫بِ َما ت َۡع َملُونَ ب‬
nٞ ‫ص‬
‫ير‬
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.14

Hadis nabi SAW. memperjelas tentang biaya nafkah berdasarkan


kemampuan ayah dan ibunya, yakni:
)‫خيَّر غالما بين أبيه وأمه (رواه الترمذى‬ ‫أن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬ ‫عن أبو هريرة‬15
Artinya:

12
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya,
karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya,
membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa
yang akan datang. Lihat, Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
13
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
14
Kemenag RI, Al Qur’an, QS Al Baqarah 2/ 322 dan Terjemahaannya
15
Muhammad ibn Isa Ibn Surat Al-Tirmizi, Sunan Al-Tirmizi<, (Beirut: Da<r Al-Fikr,
1988), h. 478
6

Dari Abu Hurairah, sesungguhnya nabi SAW. memberi kepada seorang


anak laki-laki antara ayah dan ibunya.

Jika wanita tersebut tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat


mengasuh anaknya yang masih kecil, maka sang ayah wajib membayar
biaya sewa rumah atau perabotannya di samping gaji menyusui dan
hadhnanah. Selain itu, dia berutang kepada ibu untuk menyewa pembantu
rumah tangga atau, jika perlu, menawarkan bantuan, dan dia dalam posisi
untuk melakukannya. Seperti makan, minum, tidur, minum obat, dan
kebutuhan pokok lainnya yang sangat dibutuhkan tidak tercakup dalam
porsi nafkah khusus untuk anak kecil. Tetapi hanya ketika pengasuh
merawatnya, kompensasi ini wajib dibayarkan. Dan upah ini menimbulkan
hutang yang harus dibayar oleh ayah untuk pengasuh16.

Persoalan pemeliharaan dan nafkah anak pasca perceraian,


seringkali menjadi polemik tersendiri karena terkadang hak-hak anak ada
yang dikesampingkan dan kurang terurus dengan serius, terutama yang
berkaitan dengan hak-hak pokok anak yaitu biaya pemeliharaan,
pendidikan, tempat tinggal dan fasilitas penunjang lainnya. Meskipun
orang tua sudah tidak lagi bersatu dalam satu keluarga, persoalan
pemenuhan nafkah anak tetap menjadi tanggung jawab orang tua dan hal
ini tidak boleh dialihkan kepada orang lain, baik kakek atau nenek, kerabat
dan lainnya. Oleh karena itu, perceraian orang tua tidak boleh menjadi
alasan untuk melewatkan pengasuhan anak. Kedua orang tua wajib
memberikan dan membela hak mengasuh anaknya, sesuai dengan Pasal 45
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang juga menjamin dan
melindungi hak tersebut. Kompilasi Hukum Islam kemudian menjelaskan
dalam pasal 56 huruf d bahwa ayah bertanggung jawab untuk membayar
semua hadhanah dan biaya pemeliharaan anak dengan sebaik-baiknya,
setidaknya sampai anak itu dewasa yang dapat menghidupi dirinya sendiri
(21 tahun)17

16
Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 187-
188.
17
Bunyi lengkap pasal 45 bab X Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah “(1) kedua orang tua wajib
7

Pasal 149 Huruf d Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa


“bila suatu perkawinan putus karena perceraian, mantan suami wajib
memberikan biaya hadhanah bagi anak-anaknya yang belum mencapai
usia 21 tahun.” Ini adalah hukum positif di Indonesia tentang tunjangan
anak setelah proses perceraian. Sehingga ayah bertanggung jawab untuk
menutupi semua biaya yang berhubungan dengan membesarkan anak serta
memenuhi semua kebutuhan mereka. Sehubungan dengan itu, pengadilan
menetapkan jumlah nominal tuntutan anak dalam hal pemeliharaan dan
pendidikan; jumlahnya juga dimodifikasi untuk memperhitungkan situasi
keuangan ayah dan jumlah tanggungan tambahan yang ditempatkan
padanya18
Tanggung jawab suami berdasarkan Al-Qur'an, Hadist, UU
Perkawinan, serta KHI ialah terhadap Hadhanah, dan nafkah setelah
perceraian; namun, di negara-negara tertentu, persyaratan ini tidak
sepenuhnya ditegakkan dalam praktiknya. Bertentangan dengan apa yang
diajarkan KHI, Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menyatakan dalam
huruf (d) bahwa “semua biaya hadhanah dan pemeliharaan anak adalah
kewajiban ayah menurut kemampuannya, setidaknya sampai anak itu
kompeten untuk mengasuh. dirinya sendiri" (21 tahun) 19 Oleh karena itu,
penulis juga tertarik untuk membahas tentang pelaksanaan hak asuh anak
pasca perceraian.
Masih banyak orang tua di masyarakat yang lalai dalam mengasuh
anak, hal ini merupakan masalah umum. Hal ini terjadi baik pada
pernikahan talak maupun perceraian. Seorang anak sering dirugikan oleh

memlihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus”
18
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2006), h.
224.
19
Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Wakaf, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Fatwa MUI Tentang
Perkawinan Beda Agama, Fatwa MUI Tentang Wakaf Uang, Fatwa MUI tentang Zakat,
(Bandung: RedaksiNuansa Aulia, 2012), h. 72.
8

perceraian orang tuanya dalam sistem hukum yang menerapkan sistem


pengasuhan terpisah, baik karena perceraian itu sendiri atau karena hak
mereka untuk menghidupi diri sendiri tidak terpenuhi. Mereka sering
berjuang untuk membayar studi mereka serta kebutuhan sehari-hari
mereka. Akibatnya, salah satu penanggung jawab pengasuhan anak harus
menanggung beban tersebut. Dalam hal ini, seorang ibu, yang sering
menerima kuasa untuk mengasuh anak, dituntut untuk menghidupi seluruh
anaknya tanpa bantuan apapun
Sementara itu, KHI menyebutkan bahwa ayah tetap berkewajiban
untuk memberikan nafkah bagi anaknya. Penentuan hak asuh anak yang
diberikan pada pihak ibu berpengaruh padai implementasi pemberian
nafkah anak pasca perceraian, salah satunya dalam hal pembiayaan hidup
bagi anak meliputi pendidikan dan segala kebutuhan sehari-hari anak
menjadi tanggung jawab ayahnya. Selain berpengaruh terhadap
pembiayaan hidup bagi anak dari perkawinan yang sah juga berpengaruh
terhadap pola hubungan antara anak dengan orang tua maupun sebaliknya
terutama hubungan anak dengan ayah. Anak cenderung dekat dengan ibu,
hal ini dikarenakan ayah tidak pernah mengunjungi anak-anaknya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa ketika anak masih dalam
keadaan belum mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak
ditetapkan kepada ibunya, ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke
atas) dapat diberikan hak kepada anak untuk memilih di asuh oleh ayah
atau ibunya.
Pasal 105 dan 156 KHI dinilai lebih mengutamakan hak asuh
perempuan atas pertimbangan moral, kesehatan, dan kemampuan
membesarkan dan mendidik anak, yang pada akhirnya adalah yang terbaik
bagi anak. Pemegang hak asuh anak memiliki tanggung jawab untuk
menjaga, mendukung, dan mengajar anak-anak mereka dalam hal
pendidikan, agama, kesehatan, moral, dan integritas.
9

Setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan orang tua, begitu


pula orang yang menerima perintah Allah untuk mengasuh anak-anaknya.
Orang yang memiliki kemampuan untuk menelantarkan anak tidak
diberikan hak asuh karena hal itu pasti akan membahayakan anak tersebut.
Oleh karena itu, anak-anak kecil dan mereka yang tidak masuk akal atau
bodoh tidak diberikan pengasuhan anak karena mereka sendiri
membutuhkan perawatan dari orang lain.20
Dalam psikologi hukum, kebutuhan akan pengasuhan anak dapat
dipisahkan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah hak asuh yang
sah, atau kebutuhan akan pengasuhan anak secara penuh sebagaimana
didefinisikan oleh undang-undang, yang meliputi kebutuhan biaya hidup
anak, kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan hukum umum.
Namun pada umumnya kebutuhan ini lebih sering dipenuhi oleh
ayah, diikuti dengan pengasuhan fisik, yang mengacu pada kebutuhan
anak akan perawatan fisik karena ia tidak mampu merawat dirinya sendiri
secara lahir dan batin. Contoh kebutuhan tersebut antara lain menyusui,
mandi, berpakaian, merawat diri, menjaga kesehatan, akses makan dan
minum, belajar berkomunikasi, bermain dengan teman, dan memenuhi
kebutuhan tumbuh kembang anak..21
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110K/AG/2007, tanggal
10 September 2007, menyatakan bahwa pengasuhan anak tidak semata-
mata ditentukan oleh siapa yang secara normatif paling berhak, sekalipun
anak tersebut belum berusia 7 tahun atau 12 tahun/mumayyiz, karena ibu
sering bepergian ke luar negeri sehingga tidak jelas dengan siapa anak
harus tinggal. Jika hal ini terjadi, maka ayah dapat diberikan hak asuh
anak. Dalam kasus ini, terjadi perebutan hak asuh anak antara pihak.
Akibat dalil hukum bahwa ibu adalah seorang wanita pekerja yang sering
pergi ke luar negeri dan tidak memiliki cukup waktu untuk anaknya serta
20
Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi
Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, h.
80
21
https://pa-rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-artikel/418-hadhanah-
pasca-perceraian-kajian-perundang-undangan-perkawinan-islam-kontemporer
10

mengawasi perkembangan psikologis, Mahkamah Agung memberikan hak


asuh atas anak tersebut kepada ayah kandungnya.
Ijtihad digunakan dalam hukum Islam untuk mengidentifikasi
jawaban atas isu-isu baru yang belum diidentifikasi secara jelas dan
kategoris, selain mata pelajaran yang aturan hukumnya eksplisit dalam
kitab suci. Ijtihad merupakan penentangan terhadap ketentuan hukum nash
saat ini karena ketentuan ini mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya
sebagai akibat dari pergeseran situasi sosial. Amir Syarifuddin mengklaim
bahwa dalam keadaan seperti itu, hakim diizinkan untuk menyelidiki
interpretasi alternatif yang berbeda dari teks untuk membuat teks
kontekstual dan relevan dengan situasi sosial pada saat dibaca22
Dengan latar belakang bahwa pengasuhan anak seringkali terfokus
pada kepentingan terbaik bagi anak, kini dituntut untuk
mempertimbangkan pola asuh bersama dan hak asuh bersama. Hal ini juga
didasari oleh pemikiran bahwa masyarakat berhak untuk membesarkan
anak, oleh karena itu adalah kewajiban penuh untuk membesarkan anak
tersebut. Akibatnya, sering terdengar bahwa keluarga pemegang hak asuh
mencegah seorang ayah atau ibu untuk melihat anak mereka. Akibatnya,
gagasan pengasuhan bersama memberikan perspektif baru dalam
mengelola pengasuhan anak. Di negara-negara hukum common law seperti
Amerika Serikat dan Kanada, ide ini telah dipraktikkan secara luas
Dapat dicatat bahwa teks dan hukum syara' dalam hukum
perkawinan Indonesia (termasuk yurisprudensi tentang hak asuh anak)
terkait dengan gagasan pengasuhan bersama dan mengandalkan upaya
heroik kedua orang tua untuk melindungi kepentingan terbaik anak.
Mengasuh anak lebih dari sekadar memutuskan siapa yang akan mengurus
siapa; melainkan berfokus pada melakukan segala daya untuk memastikan
bahwa anak-anak memiliki masa depan yang lebih cerah dengan menjadi
layak, bermanfaat, dan aman

22
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2001, h. 243
11

Menurut Khoirudin Nasution dalam salah satu tulisannya tentang


hak-hak anak, pertama, hak-hak umum, gagasan pola asuh bersama dapat
pula mendorong terpenuhinya hak-hak anak yang harus diberikan oleh
orang tuanya (mendapatkan nama baik, mendapatkan jaminan keamanan,
dan memperoleh asuransi kesehatan), Ketiga, hak pasca-perawatan (hak
untuk mendapatkan pendidikan untuk memiliki keterampilan/kompetensi;
pedagogik/pengetahuan dan atau sejenisnya, kepribadian, sosial dan
profesional, hak untuk berperilaku baik, hak untuk mendapatkan perlakuan
yang adil tanpa membedakan jenis kelamin, dan adalah hak selama
mengasuh anak (hak untuk mendapatkan ASI, hak atas asuransi jiwa, hak
untuk mencari nafkah, hak atas sandang, pangan dan kesehatan dasar, hak
atas pendidikan dasar agama, hak atas pendidikan keterampilan dasar, dan
hak atas keamanan). setelah dewasa23
Pemenuhan hak-hak dasar anak ini merupakan bagian integral dari
implementasi pemenuhan hak asasi manusia. Dalam perspektif Islam, hak
asasi anak merupakan pemberian Allah SWT yang harus dijamin,
dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah
dan negara.
Gagasan hak asuh bersama, di sisi lain, adalah untuk mencegah
anggapan bahwa orang tua dengan hak asuh utama memiliki kendali penuh
atas kehidupan anak mereka, yang sebaliknya akan mendorong orang tua
untuk mengontrol secara ketat ketika anak mereka melihat orang tua lain
yang tidak memiliki hak asuh utama, hak asuh. Ini bertentangan dengan
upaya memberi anak-anak ruang untuk mengekspresikan diri dan
berinteraksi dengan orang tua mereka. Di sisi lain, anak muda itu
tampaknya dibatasi oleh orang yang memiliki hak asuh atas dirinya dan
diharuskan untuk mematuhi norma-norma tak terucapkan yang telah
ditetapkan oleh orang tersebut.24

23
Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2008, h.
142
24
Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Adliya, Vol.
8 No.1, Edisi: Januari-Juni 2014, h. 290
12

Secara umum hukum hak asuh anak di Indonesia dilihat dari sisi
normatif dan praktik masih menerapkan model pengasuhan terpisah atau
dengan kata lain pengasuhan oleh salah seorang orang tua anak. Penentuan
hak asuh dalam penyelesaian sengketa hak asuh anak di Pengadilan
Agama secara garis besar ada dua:
Pertama , secara normatif mengacu pada ketentuan pasal 105 KHI
dan Undang-undang Perkawinan
Kedua, kepentingan terbaik anak berdasarkan Yurisprudensi
Mahkamah Agung RI, No. 110 K/ AG/ 2007 tanggal 13 November 2017

Berdasarkan observasi awal terhadap adanya putusan-putusan


Pengadilan Agama tentang putusan pemeliharaan hak asuh anak yang
dilakukan secara terpisah ataupun bersama-sama kedua orang tua yang
telah bercerai. Oleh karena itu, peneliti mengadakan penelitian ini untuk
menggali pertimbangan, peluang serta kemungkinan tentang hak asuh
bersama (shared Parenting) pasca perceraian tersebut dapat diterapkan,
yang selanjutnya aspek apa saja yang seharusnya menjadi pertimbangan
agar putusan dapat dijalankan dan sesuai ruh putusan yang bersifat
eksekutorial. Dengan demikian metode kepastian hukum melalui
perumusan pertimbangan merupakan salah satu daya tarik bagi peneliti
untuk menelusuri lebih lanjut mengenai adanya kemungkinan serta
peluang alternatif untuk mengatasi kekosongan hukum atas aturan yang
telah terkodifikasi, agar dapat mewujudkan hukum yang memanusiakan,
responsif, maslahat, progresif serta berkeadilan, baik bagi kedua orang tua
ataupun anak itu sendiri.

B. Fokus Penelitian
Agar tak terjadi bias dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi masalah
pada 3 (tiga) fokus utama, yaitu:
1. Perspektif hukum Islam dan hukum positif tentang
hak asuh anak pasca perceraian
13

2. Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan


hak asuh anak (hadhanah) pasca perceraian
3. Pengasuhan bersama (Shared Parenting) Pasca
Perceraian

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka pokok masalah adalah bagaimana
peluang, pertimbangan serta implementasi putusan hakim terhadap keinginan
atau upaya hak asuh anak secara bersama (shared parenting) pasca perceraian
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum positif terhadap hak asuh
anak pasca perceraian?
2. Bagaimana pertimbangan hukum yang digunakan oleh hakim dalam
memutuskan hak asuh anak di Pengadilan Agama?
3. Bagaimana peluang pengasuhan bersama (shared parenting) terhadap
produk hukum hak asuh anak pasca perceraian?

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:
1. Untuk mengetahui perspektif hukum Islam dan hukum positif mengenai
hak asuh anak pasca perceraian di Indonesia.
2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam
memutuskan hak asuh anak pasca perceraian.
3. Untuk mengetahui peluang pengasuhan bersama (shared parenting)
terhadap produk hukum hak asuh anak pasca perceraian

Nilai kajian ini diharapkan dapat meningkat secara keseluruhan,


khususnya di bidang hukum Islam, dan memberikan ide dan sumber daya
bagi orang-orang yang akan melakukan penelitian di masa depan,
khususnya bagi civitas akademika IAIN Parepare. Kegunaan dari
penelitian ini meliputi hal-hal berikut, antara lain:
14

1. Temuan penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan ilmu


pengetahuan dan menambah tubuh literatur dan sumber informasi yang
tersedia bagi peneliti.
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat,
memberikan sumbangan pemikiran, dan menjadi model bagi penelitian-
penelitian selanjutnya di bidang yang sama

E. Penelitian Yang Relevan

Acuan perbandingan pemikiran mengenai pertimbangan hakim dalam


menentukan hak asuh atau pengasuhan anak (Hadhanah) akibat perceraian
dari perspektif hukum Islam dan hukum positif. Penelitian yang relevan
atau terdahulu yang dijadikan sebagai salah satu pedoman penunjang oleh
peneliti demi kesempurnaan penelitian yang akan dilakukan. Studi
permanen yang penulis anggap sebagai bahan atau sumber adalah:

Zulkarnaen. Disertasi dengan judul Rekontruksi Hukum


Pemeliharaan Anak (Hadhanah) Akibat Perceraian di Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa peran hakim sangat berpengaruh dalam hal
penentuan hak asuh anak akibat perceraian. Para hakim di Pengadilan
Agama yang didalam disertasi tersebut dalam menentukan hak asuh anak
ada dua jalur, yaitu dengan jalur normatif sesuai dengan KHI serta jalur
tidak sesuai dengan aturan hukum (contra legen) atau dengan kata lain
penemuan hukum (Yurisprudensi)25.
Persamaan penelitian ini membahas tentang pemeliharaan anak
pasca perceraian. Dimensi normatif menjadi acuan utama hakim dalam
mengambil sebuah kebijakan sebagai titik temu dalam penelitian ini.
Perbedaan penelitian ini terletak pada objek utama penelitian. Objek utama
penelitian terdahulu, menekankan pada rekonstruksi putusan hakim

25
Zulkarnaen, Rekonstruksi Hukum Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian di Indonesia,
Disertasi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2021.
15

menurut Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan yuridis, sementara


penelitian ini mengangkat pertimbangan serta peluang dalam memutuskan
hak asuh anak secara bersama (shared parenting). Penelitian terdahulu
menggunakan analisa perbandingan pandangan hakim pada dua lokasi
berbeda, sementara ini menganalisa peraturan perundang-undangan serta
penelitian ini mengumpulkan beberapa sampel putusan serta untuk
menganalisa pertimbangan maupun kemungkinan peluang putusan hak
asuh bersama (shared parenting) dapat diterapkan.

F. Landasan Teoritis

Karena setiap penelitian bersifat ilmiah, semua peneliti perlu memiliki


landasan teoretis. Salah satu komponen kunci penelitian yang digunakan untuk
menjawab masalah penelitian adalah teori. Teori adalah seperangkat proposisi
yang secara kolektif mencirikan dan menjelaskan fenomena di pusat
penyelidikan. Berdasarkan pengetahuan ini, teori berfungsi sebagai alat
analisis dan menawarkan resolusi untuk masalah yang diangkat oleh
penelitian. Peneliti kemudian menyarankan sejumlah ide sebagai bacaan untuk
evaluasi korelasi, interkorelasi, dan penerapannya pada penelitian ini.

1. Teori Hukum Responsif.

Perspektif ilmu sosial memandang pengalaman hukum sebagai sesuatu


yang kontekstual dan fleksibel. Akibatnya, Nonet dan Selznick membagi
hukum menjadi tiga kategori, yang masing-masing mewakili tahap tertentu
dalam pembentukan interaksi antara hukum, tatanan sosial, dan tatanan
politik. Hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif adalah tiga
jenis hukum26 Hanya legislasi yang responsif, menurut Nonet dan Selznick,

26
Philippe Nonet dan Philip Selznick, “Hukum Responsif,” Cetakan II. Nusa Media.
Bandung (2008): h. 23.
16

dari ketiga bentuk hukum tersebut, yang menjamin tatanan kelembagaan yang
langgeng. Nonet dan Selznick meluncurkan hukum responsif sebagai model
atau teori di tengah serangan keras Neo-Marxis terhadap legalisme liberal.
Pengejaran hukum responsif telah berkembang menjadi upaya konstan filsafat
hukum kontemporer. Seperti yang dicatat oleh Jerome Frank, mengadopsi
realisme hukum terutama dimaksudkan untuk meningkatkan daya tanggap
hukum terhadap persyaratan sosial.27

Teori hukum responsif berpendapat bahwa hukum yang baik harus


menawarkan lebih dari sekedar proses hukum. Hukum harus kompeten dan
adil; dia harus mampu membedakan keinginan publik dan berdedikasi untuk
mencapai keadilan sejati.28 Hukum adalah institusi sosial, setidaknya untuk
tatanan hukum yang responsif. Akibatnya, hukum dipandang melakukan peran
sosial di dalam dan untuk masyarakat serta hanya sebagai seperangkat aturan.
Memahami hukum sebagai institusi sosial berarti memandangnya dalam
kerangka luas yang memperhitungkan berbagai kekuatan dan proses sosial.
Hukum, menurut Edwin M. Schur, merupakan hasil dari suatu proses sosial
meskipun tampak sebagai suatu sistem standar hukum karena selalu diubah
oleh aktivitas manusia dan terus berkembang29

Hukum responsif mempunyai karakteristik berikut:30


1) Dinamika perkembangan hukum memperkuat kewenangan tujuan dalam
pertimbangan hukum;
2) Tujuannya adalah untuk membuat kewajiban hukum lebih problematis,
melonggarkan tuntutan hukum atas kebutuhan dan membuka pintu bagi

27
Henni Muchtar, “Paradigma Hukum Responsif (Suatu kajian tentang Makamah
Konstitusi sebagai Lembaga Penegak Hukum),” Humanus 11, no. 2 (2012): h. 165-166.
28
Nonet dan Selznick, “Hukum Responsif,” h. 60.
29
Sulaiman, “Paradigma dalam Penelitian Hukum,” Kanun: Jurnal Ilmu Hukum 20, no. 2
(2018): h. 10.
30
Rr Rina Antasari, “Telaah terhadap Perkembangan Tipe Tatanan Hukum di Indonesia
Perspektif Pemikiran Nonet-Selznick Menuju Hukum yang Berkeadilan,”Nurani: Jurnal Kajian
Syari’ah dan Masyarakat 19, no. 1 (2019): h. 108.
17

konsepsi ketertiban umum yang tidak terlalu kaku dan lebih sipil (civil
sebagai lawan publik); dan;
3) Karena hukum bersifat terbuka dan fleksibel, advokasi hukum memasuki
dimensi politik yang meningkatkan kekuatan yang dapat membantu
mengoreksi dan mengubah lembaga hukum.

Dengan demikian ini (karena kompetensi) maka tatanan hukum responsif


menekankan:31
1) Keadilan substantif
2) Merupakan subordinasi dari prinsip kebajikan
3) Tujuan hukum harus berorientasi pada kemaslahatan hukum
4) Pengambilan keputusan hukum berorientasi pada tujuan
5) Memupuk sistem kewajiban daripada paksaan
6) Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum.
7) Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam
melayani masyarakat.
Berkaitan dengan konteks penegakan hukum di Indonesia, hukum
responsif mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan
setengah-setengah. Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan Undang-
undang, tetapi harus memiliki kepekaan sosial. Hukum tidak hanya rules
(logic & rules), tetapi juga ada logika-logika yang lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum
harus diperkaya dengan ilmu-ilmu social.32 Nonet dan Selznick lewat
hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap
ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang
terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima
perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi
publik. Bahkan menurut Nonet-Selznick, hukum responsif merupakan

31
Sulaiman, “Paradigma dalam Penelitian Hukum,” h. 18.
32
Henry Arianto, “Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia,” Lex Jurnalica
7, no. 2 (2010): h.199.
18

program dari sosiological jurisprudence dan realist jurisprudence. Dua


aliran tersebut, pada intinya menyerukan kajian hukum yang lebih empirik
melampaui batas-batas formalisme, perluasan pengetahuan hukum, dan
peran kebijakan dalam putusan hukum.33

2. Teori Pertimbangan Hakim

Pertimbangan hukum hakim merupakan suatu cara atau metode


yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan
kekuasaan kehakiman dan harus memegang asas hukum nullum delictum
nulla poena sine praevia legi (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa
peraturan terlebih dahulu). Dalam membuat putusan, seorang hakim
sepatutnya dalam menimbang dan memutus suatu perkara dengan
memperhatikan asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan agar
putusan yang dikeluarkan menjadi putusan yang ideal. hakim mempunyai
kebebasan dalam memberikan pertimbangan hukum menurut pengetahuan
dan keyakinan hakim dalam membuat suatu putusan dari satu perkara yang
disidangkannya
Hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan atau yang
telah ditentukan oleh Undang-Undang. Hakim tidak boleh menjatuhkan
hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman
yang telah ditentukan oleh Undang-Undang. Dalam memutus putusan, ada
beberapa teori yang dapat digunakan oleh hakim. Menurut Mackenzie, ada
beberapa teori atau pendekatan yang dapat di pergunakan oleh hakim dalam
mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai
berikut:34
1. Teori Keseimbangan

33
Sulaiman, “Paradigma dalam Penelitian Hukum,” h. 11.
34
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum” Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm. 102.
19

Teori keseimbangan yaitu keseimbangan antara syarat-


syarat yang ditentukan oleh Undang Undang dan kepentingan
pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi


Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau
kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan
putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman
yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara
perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu
penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata pihak terdakwa atau
Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan, hakim
mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau
instuisi daripada pengetahuan dari Hakim.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses
penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh
kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan
terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di
hadapinya sehari-hari.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar
yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan
pokok perkara yang di sengketakan kemudian mencari peraturan
perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang
disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta
pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas
20

untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para


pihak yang berperkara.
6. Teori Kebijaksanaan
Aspek dari teori ini adalah menekankan bahwa pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk
membimbing, mendidik, membina dan melindungi terdakwa, agar
kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga,
masyarakat dan bangsanya.

Keputusan setiap hakim selalu didasarkan pada fakta yang


melatarbelakanginya. Ahmad Mujahidin menjelaskan, putusan
pengadilan harus memuat alasan dan pembenaran Putusan itu juga
harus memuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan tertentu
yang relevan. Sumber hukum yang relevan atau tidak tertulis yang
digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan35. Menurut Syarif
Mappiasse, putusan tersebut memuat asas bahwa ada alasan dan
alasan yang jelas dan rinci atas putusan tersebut dan harus memuat
pasal-pasal36.

3. Teori Hukum Progresif

Teori hukum progresif merupakan teori hukum yang mulai


mendapatkan ruang serta perkembangan di khazanah ilmu hukum di
Indonesia. Teori ini ramai didiskusikan sebagai sebuah antitesa atau
alternatif akan kebekuan dari mazhab positivisme hukum yang ruh-nya
hanya pada tekstual hukum semata (legal formal). Melalui slogan “
Hukum untuk masyarakat bukan masyarakat untuk Hukum” menempatkan
teori hukum progresif sebagai sebuah hukum sosiologis yang bersifat
kontekstual.

35
Ahmad Mujahidin, “Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama”, Jakarta:
IKAHI, 2008, hlm.338
36
Syarif Mappiasse, “Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim”, Jakarta: Pranada
Media Group, 2015, hlm. 41
21

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perbedaan


perubahan yang satu dengan yang lain ditentukan pada sifat atau tingkat
perubahan itu sendiri, begitu juga halnya dengan perubahan hukum.
Perubahan hukum terjadi apabila dua unsurnya telah bertemu pada satu
titik singgung, yaitu:
(1) keadaan baru yang timbul dan
(2) kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang
bersangkutan itu sendiri.

Menurut Sinzheimer: “Syarat-syarat bagi terjadinya perubahan


pada hukum itu baru ada, manakala dengan terjadinya perubahan-
perubahan (timbulnya hal-hal yang baru) itu timbul emosi-emosi pada
pihak-pihak yang terkena, yang dengan demikian akan mengadakan
langkah-langkah menghadapi keadaan itu serta menuju kepada bentuk-
bentuk kehidupan yang baru.”37
Faktor eksternal dalam hal ini faktor global sering kali menjadi
penyebab terjadinya perubahan. Globalisasi dalam bentuk pola
perdagangan, komunikasi, dan pembangunan merupakan salah satu faktor
yang mendorong perubahan hukum. Dalam keadaan seperti itu, nilai-nilai
dan rentetan efek bawaan global tersebut tidak bisa di isolasi apalagi di
hindari, maka tidak jarang kemudian muncul resistensi atas nilai-nila
global tersebut, resistensi ini dalam kajian perbandingan hukum di
akibatkan oleh ketidakpadanan antara hukum dan masyarakat yang
menjadi adresat ilmu hukum itu (mismatch between law and society). Lalu
kemudian standarisasi, dan campuran (mixing).38
Sudikno Mertokusumo mendukung pandangan van Gerver dan
Eijten dalam theorie en prektijk van de rechtvinding. Ia menyatakan,
dalam penemuan hukum dikenal dua padangan yang saling berseberangan,

37
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa Bandung, Bandung, 1986. h. 101.
38
Hari Purwadi.H, Reformasi Hukum Nasional: Problem dan Prospeknya, dalam Prof.
Dr. Satya Ariananto, S.H., M.H., dan Ninuk Triyanti, S.H., M.H, Memahami Hukum: Dari
Konstruksi Sampai Implementasi, Jakarta: Rajawali Press, 2011, h.. 64-65.
22

yaitu aliran progresif vs aliran konservatif, aliran progresif menginginkan


hukum dan peradilan harus menjadi alat untuk mencapai perubahan sosial,
sedangkan aliran konservatif berpandangan sebaliknya, bahwa hukum
hanyalah alat mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.39
Ada yang melihat hukum sebagai kaidah, dan ada yang melihat
hukum sebagai kenyataan, dalam perspektif hukum sebagai kenyataan ini
melihat hukum bukan sebagai wilayah yang otonom, karena hukum dalam
kenyataan tidak pernah terlepas dari masalah sosial, budaya, ekonomi,
agama, dan politik. Hukum sesungguhnya merupakan sarana
pengintegrasi, oleh karenanya, maka hukum akan dijabarkan kedalam dua
fungsi pokok yang sekaligus mewakili mazhab dan konsep hukum itu
sendiri, yaitu; pertama fungsi hukum sebagai sarana control sosial (social
oreder), dan kedua fungsi hukum sebagai sarana perubahan sosial (social
enginnering). Dalam kaitannya dengan perubahan sosial, fungsi hukum
yang pertama akan selalu melakukan penyesuai diri dengan perubahan
yang ada, sementara fungsi hukum yang kedua akan menjadi pelopor
perubahn sosial.40

A. Pandangan Hukum Sebagai Kaidah (Social Contol)

Bagi mereka yang melihat hukum sebagai kaidah, yang di


fungsikan sebagai alat kontrol sosial, hukum tidak perlu berubah dari
sebelum terjadinya perubahan pada elemen lain, hukum cukup
menyesuaikan diri dengan perubahan sektor lain. Hugo Sinzheimer yang
menyatakan, perubahan hukum baru dirasakan perlu dimulai sejak adanya
kesenjangan antara keadaan, peristiwa-peristiwa, serta hubungan-
hubungan dalam masyarakat, dengan hukum yang mengaturnya. Karena
menurutnya bagimanapun, kaidah hukum tidak mungkin hukum lepas dari
hal-hal yang diaturnya, ketika hal-hal yang di aturnya telah berubah
39
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 158.
40
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Idnonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, Cet. III 2009, h. 56-57.
23

sedemikian rupa, maka hukum di tuntut untuk menyesuaikan diri agar


tetap efektif dalam pengaturannya.41
Sebagian La Piere menyatakan, faktor yang menggerakkan
perubahan itu sebenarnya bukan hukum, melainkan faktor bertambahnya
penduduk, perubahan nilai, idiologi, serta tehnologi canggih. Jika suatu
saat memang terjadi perubahan dalam masyarakat sesuai dengan yang
kehendaki oleh hukum, maka hukum tetap saja bukan faktornya, hukum
hanya di lihat sebagai akibat perubahan saja. Jika muncul baru, sebenarnya
yang demikian itu akibat dari keadaaan masyarakat yang memang telah
berubah sebelumnya, sehingga hukum hanya sekedar mengukuhkan apa
yang sebenarnya memang telah berubah.42
Sebagian Lev dan Renner, menyatakan perubahan hukum itu tidak
selalu menyangkut perubahan peraturan, karena perubahan itu
sesungguhnya telah terjadi sekalipun tanpa ada perubahan peraturan
hukumnya.43
Khusus mengenai kaidah-kaidah sosial yang dapat mengalami
perubahan menurut Grossman dan Grossmal, terdapat tiga jenis perubahan,
pertama perubahan pada kaidah-kaidah individu, perubahan ini meliputi
tingkah laku individu, tetapi belum dapat disebut sebagai perubahan
kaidah tingkah laku, kedua perubahan pada kaidah-kaidah kelompok, hal
ini terjadi pada perubahan yang berlangsung dalam satuan-satuan yang
tergolong subsistem politik, ketiga perubahan pada kaidah-kaidah
masyarakat, merupakan perubahan yang paling fundamental sifatnya
karena meliputi perubahan-perubahan nilai atau kaidah dasar suatu
masyarakat.44
Ciri yang menandai adanya kesenjangan antara hukum dan
peristiwa yang seharusnya yang di aturnya adalah Menurut Dor
sebagaimana di kutip almarhum Ahmad Ali “ditandai dengan tingkah laku
41
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 193.
42
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 157
43
Satjipto Rahardjoh. Hukum Dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis Serta
Pengalaman-Pengalaman Di Idnonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, Cet. III 2009 h. 61.
44
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 194.
24

masyarakat yang tidak lagi merasakan kewajiban- kewajiban yang di


tuntut oleh hukum, sebagai suatu yang harus dijalankan.”45 Sementara
pandangan terhadap perubahan itu sendiri sangat sangat beragam, diantara
Pandangan Daniel S. Lev tentang perubahan hukum, ia memulai
pembahasan tentang pemaknaan terhadap hukum, ia menyatakan hukum
itu bukanlah UU semata. Atau hukum yang tertulis semata, sebab itu akan
menyematkan makna hukum itu sendiri, lev menyatakan hukum yang
mengalami perubahan adalah hukum yang di praktekkan oleh para jaksa,
polisi, hakim, pengacara sehari-hari, oleh karenanya menurut lev, jika
tingkah laku mereka berubah, berarti hukum telah berubah, walau UU-nya
sendiri belum berubah.46
Teori Sinzheimer, perubahan hukum dalam bentuk pemberian isi
secara konkrit terhadap kaidah hukum yang abstrak. Karl Renner,
menyatakan yang menyebabkan berubahnya hukum menurut ialah, adalah
karena konsep kepemilikan, ia mencontohkan hubungan majikan dengan
buruh pada masyarakat pra kapitalisme dan era kapitaliseme. Teori
perubahan hukum dari Thomas C. Dienes, menyatakan perubahan hukum
secara formal akan menyebabkan terlibatnya badan-badan yang
menggerakkan perubahan itu, badan-badan itu ialah legislative dan
peradilan.47
Grat mengajukan pertanyaan, kapan saatnya untuk melakukan
perubahan hukum dalam rangka menyesuaikan diri dengan perubahan
yang terjadi dalam masyarakat ? grad menjawab, tidak mudah untuk untuk
mentapkan kapan saatnya bagi hukum untuk mengatur. Kesulitan ini
disebabkan oleh berbedanya kepentingan dalam suatu masyarakat, bisa
saja bagi komunitas lain saatnya hukum berubah, namun bagi komunitas
yang lainnya lagi belum saaatnya.48

45
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 195.

46
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 196
47
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 154
48
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 152
25

B. Hukum Sebagai Kenyataan (a tool of social engineering)

Mengutip Satjipto Rahardjo yang menyatakan, hukum tidak lagi


bisa dilihat sebagai wilayah yang independen, ia harus diakaitkan dan
dipahami secara fungsional dan senantiasa berada dalam kaitan
interdependen dengan bidang-bidang lainnya dalam masyarakat. Hal ini
tidak terlepas dari perubahan yang terjadi sebagai akibat modernisasi dan
industrialisasi di akhir abad ke 20 dan menjelang abad ke 21, yang
kemudian menimbulkan terjadinya perubahan hukum.49
Satjipto Rahardjo menyatakan, di era kekinian hukum tidak lagi
bisa dilihat sebagai satu-satunya alternative dalam pengaturan masyarakat.
Disadari atau tidak, di indonesia sejak jaman kemerdekaan, sebetulnya
telah terjadi suatu kompetisi terbuka antara keinginan untuk
mempertahankan tatanan hukum dengan usaha melakukan pentaaan
kembali politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.50
Dalam memuluskan, agenda hukum sebagai sarana sosial, Prof.
Tjip menyatakan, langkah yang diambil harus bersifat sistematis, artinya
mulai dari identifikasi problem, sampai pada jalan pemecahannya yaitu:
Pertama mengenal problem, kedua mehamami nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat itu, ketiga membuat hipotesis-hipotesis dan memilih mana
paling layak yang bisa dilakukan, keempat, mengikuti jalannya penerapan
hukum dan mengukur efek-efeknya.51

4. Teori Maslahat

Pengertian maslahat (al-maslahah) secara etimologis, berarti


kebaikan, kebermanfaatan, kepantasan, kelayakan, keselarasan, kepatutan.

49
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, h. 45.
50
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011 h. 46
51
Satjipto dalam Darmiharjo dan Sidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa Dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, h. 197-198.
26

Kata al maslahah dilawankan dengan kata al-mafsadah yang artinya


kerusakan.52
Maslahat atau sering disebut maslahah mursalah, atau kerap juga
disebut istislâh, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak disinggung oleh
syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk
mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan
mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Mashlahat disebut
juga mashlahat yang mutlak. Karena tidak ada dalil yang mengakui
keabsahan atau kebatalannya. Jadi pembentuk hukum dengan cara
mashlahat semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan
arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak ke-mudharat-an dan
kerusakan bagi manusia.53
Maslahat adalah satu term yang bisa jadi paling populer bila
sedang berbicara mengenai hukum Islam. Hal tersebut disebabkan
maslahat merupakan tujuan syara’ (maqâshid syarî’ah) dari ditetapkannya
hukum Islam. Maslahat di sini berarti jalb al-manfa’ah wa daf’ al-
mafsadah (menarik kemanfaatan dan menolak kemudaratan). Meski
demikian, keberadaan maslahat sebagai bagian tak terpisahkan dalam
hukum Islam tetap menghadirkan banyak polemik dan perbedaan pendapat
di kalangan ulama. Baik sejak usul fikih masih berada pada masa sahabat,
masa imam mazhab, maupun pada masa ulama kontemporer saat ini.54
Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kata maslahat
dengan kemaslahatan. Kata maslahat, menurut kamus tersebut, diartikan
sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faidah dan guna. Sedangkan kata
kemaslahatan mempunyai makna kegunaan, kebaikan, manfaat,
kepentingan. Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa Kamus Besar Bahasa

52
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya Hukum,
Vol. 12, no. 2, Desember, 2014, h. 314. Lihat juga Muhammad Roy Purwanto, “Kritik Terhadap
Konsep Maslahah Najm ad-Dîn at-Tûfi,” Jurnal Madania, Vol. 11, No. 1, Juni, 2015, h. 29.
53
Moh. Mukri, Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali, (Yogyakarta: Nawesea
Press, 2011), h. 181.
54
Robitul Firdaus, “Konsep Maslahat di Tengah Budaya Hukum Indonesia”, Jurnal Al-
Manahij, Vol. 5, no. 1, 2011, h. 1.
27

Indonesia melihat bahwa kata maslahat dimasukkan sebagai kata dasar,


sedangkan kata kemaslahatan dimasukkan sebagai kata benda jadian yang
berasal dari kata maslahat yang mendapatkan awalan ke dan akhiran an.55
Kata maslahat secara bahasa berasal dari kata s{alah{a yang berarti
baik dan menjadi lawan kata dari buruk, sehingga secara etimologis, kata
maslahat digunakan untuk menunjukkan jika sesuatu itu baik atau
seseorang menjadi baik.56
Definisi maslahat dalam terminologi syariat adalah segala sesuatu
yangberimplikasi kepada kebaikan dan manfaat atau menolak bahaya
yangdimaksudkan oleh syâri‘ untuk umat, baik untuk kepentingan dunia
maupun akhirat, baik bersifat umum maupunkhusus, baik berupa materi
maupun non materi.57
Secara terminologis dalam usul fikih, baik dan buruk dalam
pengertian maslahat ini menjadi terbatasi. Kutbuddin Aibak memberikan
penjelasan lebih lanjut tentang maslahat yaitu:58
“Sandaran maslahat adalah petunjuk syarâ’ bukan semata-mata
berdasarkan akal manusia yang sangat terbatas, mudah terprovokasi oleh
pengaruh lingkungan dan hawa nafsu. Baik dan buruk dalam kajian
maslahat tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan duniawi melainkan
juga urusan ukhrawi. Maslahat dalam kacamata syara’, tidak hanya dinilai
dari kesenangan fisik semata-mata, namun juga dari sisi kesenangan
rûhaniyah.”
Ali Rusdi menyimpulkan bahwa maslahat adalah sesuatu yang
menurut akal sesuatu yang rasional transendental karena mendatangkan
kebaikan dan menghindarkan bahaya atau kerusakan bagi manusia, yang

55
Imron Rosyadi, “Pemikiran Asy-Syâtibî tentang Maslahah Mursalah,”Jurnal Profetika
Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni, 2013, h. 82.
56
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008), h. 187.
57
Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum
Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 2, Desember 2017, h. 154-
155.
58
Kutbuddin Aibak, Metodologi Pembaharuan, h. 188.
28

sejalan dengan tujuan syariat dalam menetapkan hukum. Dari sini dapat
dipahami bahwa penekanan maslahat dalam tinjauan definisi syariat adalah
rujukan dari maslahat itu sendiri, yaitu tujuan syariat. Rujukan atau standar
inilah yang membedakan antara maslahat dalam pengertian umum dengan
maslahat dalam pengertian syariat.59
Para ulama ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian
maslahat berdasarkan tinjauan yang berbeda, sehingga pembagian
maslahat pada dasarnya dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu: segi
kualitas dan kepentingannya, kandungan maslahat, perubahan maslahat,
dan konteks legalitas formal.60
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah mengungkapkan bahwa pemahaman
atas nas harus dapat mengkomparasikan antara tujuan syariat dengan
tekstualitas dalam nas, agar pemahaman terhadap teks-teks keagamaan
dilakukan tidak secara parsial melainkan secara komprehesif.61

G. Kerangka Konseptual

Untuk menghindari terjadinya penafsiran yang keliru dan bias


dalam memahami variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini maka
peneliti perlu mendefinisikan penggalan kata terkait judul tesis ini
sehingga ditemukan objek persoalan utama yang akan diteliti pada
penelitian ini, antara lain:

Hak asuh anak

59
Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum
Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, h. 164.
60
Muhammad Ali Rusdi, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama Hukum
Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, h. 156.
61
Rusdaya Basri, Urgensi Pemikiran Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah tentang Perubahan
Hukum Terhadap Perkembangan Sosial Hukum Islam di Lingkungan Peradilan Agama Wilayah
Sulawesi Selatan, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, Volume 16 Nomor 2, Desember
2018, h. 192.
29

Dalam konsepsi hak asuh anak, khususnya di Indonesia, secara umum


dapat dikemukakan bahwa konstruksi hukum hak asuh anak terbagi ke
dalam dua patron hukum, yaitu hak asuh (hadhanah) dalam hukum
keluarga Islam dan hak asuh anak dalam hukum keluarga (hukum positif)
di Indonesia.

1. Hak Asuh Anak (Hadlanah) menurut Hukum Keluarga Islam (Al


Ahwal Al Syaksiyah)

Dalam hukum keluarga Islam, Pengasuhan (hadlanah) menempati satu


dari beberapa konsep perwalian yang pengaturannya sangat jelas.
Pegaturan ini membentang dan melingkupi ihwal sejak seorang anak
dalam kandungan ibunya. Sejak dalam kandungan sekalipun, seorang anak
telah memiliki apa yang disebut dengan ahliyah wujub naqishah yaitu
kepantasan untuk memiliki hak-hak62

Dalam konteks inilah penyelesaian sengketa hak asuh anak tidak hanya
terkait siapa yang berhak mengasuh si anak, namun juga bagaimana hak-
hak dan kepentingan terbaik anak dapat terjamin oleh pemegang hak
asuhnya63. Pengasuhan anak dalam hukum Islam dapat dikatakan
menjangkau hal-hal dari sejak anak dalam kandungan hingga ia lahir ke
dunia. Daya jangkau ini menunjukkan bahwa hukum Islam menyadari
benar arti penting dari kedudukan anak dalam keluarga serta perlunya tata
laksana pengasuhan anak agar kelak ia dapat tumbuh kembang dengan
baik serta berperan penting dalam pengembangan syiar agama serta
pembangunan bangsa dan negara. Anak, dalam tata pikir demikian,
merupakan aset bangsa yang harus dijaga sedemikian rupa agar kelak ia
dapat berkontribusi positif bagi lingkungan sosialnya.

62
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta: Pena Media, 2008, hlm. 113.
63
Tim Penyusun Pengadilan Agama Banjarbaru, Kontekstualisasi Hukum Perdata Islam,
Yogyakarta: Phoenix, 2018, h. 1.
30

Untuk mendefinisikan pengasuhan anak (hadhanah) menurut hukum Islam,


perlu terlebih dahulu mengetahui arti harfiah dari kata hadhanah tersebut.
Hadlanah merupakan kata dalam bahasa Arab yang berakar pada kata “al
hidln” yang berarti “rusuk”64, “al janb” yang berarti “di samping atau
berada di bawah ketiak”65. Kata hadlanah selanjutnya jamak digunakan
dalam istilah hukum keluarga yang secara etimologis berarti “pengasuhan
anak”. Dalam sejarahnya, seorang ibu yang mengasuh anak umumnya
menggendong atau mengasuh anaknya dengan meletakkan si anak pada
sebelah atau salah satu rusuknya, atau juga meletakkan si anak dalam
pangkuannya66.

Sementara itu, Amir Syarifuddin67 menyatakan bahwa hadlanah dalam


pengertian sederhana adalah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam
pengertian yang lebih luas, hadlanah adalah pemeliharaan anak yang
masih di bawah umur yang ditetapkan setelah terjadinya perceraian antara
suami dan isteri. Penetapan hak pengasuhan anak pasca perceraian
merupakan hal mendasar karena hak-hak anak perlu dilindungi setelah
kedua orang tuanya bercerai.

Muhammad Husain Zahabi mendefinisikan hadlanah sebagai upaya


melayani kebutuhan dan kepentingan anak yang masih di bawah umur oleh
pihak-pihak yang diberi hak untuk melakukan hal tersebut. Melayani
kebutuhan anak tidak terbatas pada pemenuhan hak-hak dasarnya semata,
namun juga mencakup upaya mendidik kepribadian dan mentalitas anak68.

2. Hak Asuh Anak dalam Hukum Positif di Indonesia

64
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang,
2004, h. 137
65
Satria Efendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta:
Kencana, 2004, h. 166.
66
Kamal Muchtar, Loc.cit.
67
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, h. 327 – 328.
68
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, h. 114.
31

Dalam perundang-undangan, setidaknya ada dua peraturan utama


yang mengatur perihal hak asuh anak. Pertama, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). UUP menegaskan beberapa
norma tentang kedudukan anak dan pengasuhannya, khususnya pada Bab
X dan Bab XI. Kedua, Kompilasi Hukum Islam, khususnya pada Bab XIV
dan Bab XV.
UUP mengatur beberapa hal mengenai kedudukan anak dan
pemeliharaannya, baik ia dalam kekuasaan orang tua maupun dalam
kekuasaan wali. UUP memang tidak secara khusus menegaskan norma
spesifik mengenai pengasuhan anak (siapa yang berhak mengasuh), namun
dalam pengaturannya, terdapat beberapa prinsip dalam mengasuh dan
mendidik anak yang berada di bawah kekuasaan orang tua/wali, sebagai
berikut:
a. Orangtua anak (ayah dan ibu kandung) wajib memelihara dan
mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan di
sini termasuk pula memenuhi kebutuhan primer dan pendukung
lainnya bagi tumbuh kembang si anak menurut kemampuan kedua
orangtuanya;
b. Kewajiban memelihara dan mendidik anak berlangsung dari
sejak si anak lahir hingga anak tersebut dewasa dan/atau mandiri.
Norma ini menegaskan pula bahwa jikapun terjadi perceraian
antara ayah dan ibu si anak, keduanya tetap memikul kewajiban
tersebut;
c. Yang dikatagorikan sebagai anak adalah mereka yang belum
berumur 18 tahun. Sebelum mencapai usia 18 tahun, maka si anak,
secara hukum, berada di bawah kekuasaan kedua orangtuanya atau
wali yang ditetapkan oleh Pengadilan;
d. Orangtua dapat dicabut kekuasaannya terhadap anaknya jika: i)
ia melalaikan kewajiban terhadap anaknya; dan/atau ii) memiliki
perilaku buruk yang dapat merugikan anaknya;
32

e. Jikapun seorang orangtua dicabut kekuasaannya oleh


Pengadilan, ia tetap berkewajiban untuk menafkahi anaknya
tersebut;
f. Tanggung jawab dan kekuasaan orangtua/wali terhadap anak
mencakup diri dan harta si anak serta berwenang mewakili anak
melakukan perbuatan hukum di dalam maupun di luar Pengadilan.
Sedemikian besar kewenangan dan tanggung jawab tersebut,
sehingga orangtua atau wali wajib menjaga amanah dan
memastikan bahwa tindak lakunya benar-benar demi kepentingan
terbaik si anak.

Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam, pengaturan


mengenai hak asuh anak lebih terperinci. Secara umum, dapat
diabstraksikan beberapa prinsip maupun norma hukum hak asuh
anak (hadhanah) sebagai berikut:
a. Pemeliharaan anak (hadhanah) bagi anak yang belum berumur
12 tahun menjadi hak ibu kandungnya, kecuali ditentukan lain
berdasar putusan Pengadilan;
b. Bagi anak yang telah berumur di atas 12 tahun (mumayyiz), anak
tersebut berhak memilih dengan siapa dia hidup atau bertempat
tinggal (dapat menentukan sendiri hadhin-nya);
c. Ayah kandung anak berkewajiban memenuhi nafkah hidup si
anak sekalipun hadhin si anak tidak ditetapkan kepada ayah
kandungnya;
d. Setiap orang tua, baik ayah maupun ibu kandung, wajib
memelihara dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik-baik
pemeliharaan;
e. Terhadap diri dan harta anak, kedua orang tua berkewajiban
menjaga dan mengelolanya untuk kepentingan terbaik bagi si anak;
33

f. Ayah dan ibu atau salah seorang di antara mereka yang


ditetapkan sebagai hadhin wajib memiliki sifat amanah dan adil
agar terwujud jaminan pemeliharaan terbaik bagi si anak.

Telah diketahui dari paparan sebelumnya bahwa norma


umum penentuan hak asuh anak merujuk pada ketentuan UUP dan
KHI Pasal 105. Dari kedua aturan tersebut, maka hak asuh anak
yang belum mumayyiz menjadi hak atau ditetapkan kepada ibunya.
Artinya bahwa, jika tidak terdapat indikasi atau keadaan-keadaan
yang terindikasi merugikan kepentingan anak, maka hak asuh anak
hampir pasti menjadi hak atau ditetapkan kepada ibu kandung si
anak.

Dalam perkembangannya, terjadi pergeseran pemikiran mengenai


penentuan hak asuh anak. Pergeseran pemikiran ini dipengaruhi oleh
beberapa yurisprudensi tentang hak asuh anak yang melahirkan kaidah
hukum baru penentuan hak asuh anak. Selain itu, perkembangan pemikiran
mengenai pengasuhan anak pada beberapa negara common law turut
memengaruhi pembentukan dan pembaruan norma hukum hak asuh anak.

3. Yurisprudensi Mengenai Hak Asuh Anak

Salah satu yurisprudensi yang mengubah “pakem” penentuan hak


asuh anak selama ini adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 110
K/AG/2007 tanggal 13 November 2007. Sebelum adanya yurisprudensi
tersebut, secara umum penentuan hak asuh anak merujuk pada ketentuan
Pasal 105 huruf (a) KHI an sich. Artinya, bahwa terlepas dari keadaan-
keadaan (special circumstances) yang tidak mendukung penerapan norma
an sich, putusan-putusan hak asuh anak tetap menentukan hak asuh kepada
ibu kandungnya.
34

Yurisprudensi Nomor 110 K/AG/2007 mengubah norma umum


penentuan hak asuh anak dari yang sebelumnya sangat normatif menjadi
lebih komprehensif dan didasarkan pada kepentingan terbaik si anak.
Yurisprudensi ini lahir di tengah masih dominannya paradigma positivistik
penentuan hak asuh anak alih-alih upaya memutus hak asuh anak menurut
kepentingan terbaik si anak.
Pada perkara dimaksud, Mahkamah Agung menetapkan hak asuh
anak jatuh ke ayah kandung si anak (Tergugat Asal/Pemohon Kasasi)
dengan pertimbangan kemashlahatan si anak. Secara lengkap, Mahkamah
Agung dalam pertimbangannya menyatakan:

“Bahwa mengenai pemeliharaan anak bukan semata-mata dilihat


dari siapa yang paling berhak, akan tetapi melihat fakta ikut siapa
yang lebih mendatangkan kerusakan bagi si anak, dengan kata lain
yang harus lebih dikedepankan adalah kepentingan si anak, bukan
siapa yang paling berhak. Dan fakta yang telah diungkapkan
Hakim Pertama, si anak akan lebih menderita sekiranya ia harus
ikut ibunya, karena ibu si anak sering bepergian ke luar negeri dan
tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan fakta yang ada
sekarang si anak tenang dan tenteram bersama bapaknya (Pemohon
Kasasi). Bahwa sekalipun anak yang bernama Kiara Andjani
Rachman ditetapkan di bawah hadhanah Pemohon
Kasasi/Tergugat”

Sebelumnya, Mahkamah Agung telah mengukuhkan penerapan


norma hukum hak asuh anak “berdasar kepentingan terbaik si
anak” melalui Putusan Nomor 267 K/AG/2006 tanggal 28 Februari
2007. Putusan ini mengukuhkan putusan judex factie Pengadilan
Agama Cibinong melalui (Putusan Nomor
777/Pdt.G/2003/PA.Cbn. tanggal 19 April 2004) dan Pengadilan
Tinggi Agama Bandung (Putusan Nomor
170/Pdt.G/2004/PTA.Bdg. tanggal 27 Oktober 2005).
35

Dari putusan tersebut, Mahkamah Agung dalam pertimbangannya


menyatakan bahwa penentuan pemegang hak asuh anak harus
memerhatikan kepentingan terbaik anak. Pemohon (ayah si anak) dalam
perkara tersebut dipandang lebih cakap dan lebih mampu menjamin
kepentingan dan kemashlahatan anaknya, karenanya ia ditetapkan sebagai
pemegang hak asuh anak. Ini juga sekaligus menyimpangi secara diametris
teks Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang menegaskan bahwa anak
yang belum berumur 12 tahun berada di bawah pengasuhan ibu
kandungnya.
Pembaruan norma hukum hak asuh anak dalam yurisprudensi
tersebut di atas menandai dimulainya penentuan hak asuh anak dengan
dasar utama kepentingan terbaik bagi anak. Paradigma yang muncul
kemudian adalah bahwa penentuan hak asuh anak tidak lagi semata-mata
melihat keadaan dari kedua orang tuanya, namun lebih dari itu harus
memerhatikan dengan seksama keadaan si anak dan bagaimana hubungan
atau relasi yang terbangun antara si anak dengan kedua orang tuanya.
Penting pula memerhatikan faktor kenyamanan dan kemampuan anak
mengekspresikan diri dan pikirannya jika ia sedang bersama dengan salah
seorang dari orang tuanya.

4. Pengasuhan Bersama (shared parenting)

Pada perkembangannya, norma dan konsepsi pengasuhan anak


tidak lagi sekadar berkutat pada pengasuhan terpisah (split parenting),
namun mulai mengarah pada konsepsi pengasuhan bersama (shared
parenting). Ada beberapa alasan mengapa pengasuhan bersama kemudian
mendapat perhatian cukup besar dalam penormaan hak asuh anak.
Dikemukakan oleh Mason:
“the ‘best interests of the child’ standard has historically
reflected a struggle between mothers’ and fathers’ rights, with
children’s needs considered to be commensurate with either
36

position. Children are viewed at different times as fathers’


property, as requiring the ‘tender care’ of mothers, and as
rightfully ‘belonging’ to one or the other parent”69
Karenanya, Edward Kruk, dalam penelitiannya menyimpulkan:
“The most recent research strongly supports a shift away
from the ‘one size fits all’, ‘winner take all’ sole custody
framework toward the notion of shared parental responsibility”70
Pengasuhan anak menurut Kruk yang selama ini berkutat pada split
parenting atau sole custody berimplikasi pada adanya asumsi bahwa
pemegang hak asuh berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya
(winner takes all). Ini melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh berhak
mengatur secara ketat pertemuan anak dengan orangtua lain yang tidak
memegang hak asuh.
Model atau pradigma demikian tidak selaras dengan upaya
memberi keleluasaan bagi anak untuk mengekspresikan dirinya,
bersosialisasi dengan kedua orangtuanya secara masif, dan memeroleh
kasih sayang terbaik dari kedua orangtuanya. Sebaliknya, anak seolah
terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya, diwajibkan
tunduk pada aturan-aturan tak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak
asuhnya.
Konsepsi pengasuhan bersama menawarkan paradigma baru dalam
tata laksana pengasuhan anak. Konsepsi ini telah jamak diimplementasikan
di negara-negara common law seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di
Kanada misalnya, pengasuhan bersama diatur dalam undang-undang
perceraian Kanada (1997 Federal Child Support Guidelines under the
Divorce Act), shared custody (pengasuhan bersama) adalah pengaturan
mengenai waktu bersama antara anak dengan masing-masing orang
tuanya. Alokasi waktu yang ditetapkan dalam pengasuhan bersama antara

69
Edward Kruk, Child Custody, Access and Parental Responsibility: The Search for A
Just and Equitable Standard, The University of British Columbia, 2008, h. i.
70
Ibid, h. Ii
37

anak dengan kedua orang tuanya adalah minimal 40% waktu pengasuhan
bagi masing-masing orang tua.71
Jika dikaitkan kembali antara konsepsi pengasuhan anak bersama
(shared parenting) dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum
perkawinan Indonesia (termasuk yurisprudensi mengenai hak asuh anak),
dapat diketahui bahwa norma-norma tersebut bersandar pada upaya luhur
untuk menjamin kepentingan terbaik bagi si anak. Pengasuhan anak,
sejatinya, bukan hanya berkutat pada siapa mengasuh siapa. Namun, lebih
dari itu, penentuan pengasuhan anak diarahkan agar semaksimal mungkin
memberi kebaikan, kemanfaatan, dan jaminan akan masa depan anak yang
lebih baik. Pada konteks ini, konsepsi pengasuhan bersama sangat concern
dengan upaya-upaya dimaksud. Dengan lain perkataan bahwa, pengasuhan
bersama menekankan upaya yang dinamis dari kedua orangtua si anak
untuk bersama-sama mendidik, memelihara, dan memastikan tumbuh
kembang anak sesuai harkat dan martabatnya.
Pengasuhan bersama (shared parenting) merupakan gagasan yang
ingin menengahi perbedaan kedua model dan patron tersebut serta
menawarkan suatu konsep pengasuhan yang tidak hanya berfokus pada
perwujudan kepentingan terbaik si anak, namun juga mengupayakan peran
maksimal kedua orangtua dalam mengasuh anak-anaknya72

` 4. Perceraian

Perceraian adalah salah satu penyebab putusnya perkawinan seperti


yang dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal
38. UU ini tidak menjelaskan secara terperinci mengenai definisi
perceraian. Istilah perceraian dalam Islam dikenal dengan talak. KHI
memberikan definisi talak adalah ikrar suami di hadapan sidang

71
Sharon Moyer, Child Custody Arrangements: Their Characteristics and Outcomes,
Makalah, 2004, h. 3
72
M. Natsir Asnawi, Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah E-ISSN:
2621-0274; P-ISSN: 2442-2282 Volume 5, Nomor 1, Juni 2019
38

Pengadilan Agama yang menjadi salahsatu sebab putusnya perkawinan,


dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, 131.73 Talak
dalam Islam adalah sebagai obat dan perlindungan, bukan sebagai
hukuman yang diadakan guna menghilangkan penderitaan suami istri,
apabila mereka itu ditimpa suatu penderitaan atau sulit untuk menyusun
hidup bersama hingga mengharuskan perceraian.74 Maksud dari obat
pelindung adalah salahsatu jalan keluar yang ditempuh oleh suami istri
yang tidak bisa hidup rukun dalam binaan keluarga.
Dari beberapa definisi talak tersebut, sudah sangat jelas bahwa
talak (perceraian) adalah ikrar (janji atau ucapan) seorang suami kepada
istrinya di depan pengadilan dengan maksud memutuskan ikatan
perkawinan sebagai jalan keluar dari permasalahan-permasalahan yang
dialami dalam keluarga tersebut.
Islam membolehkan perceraian dengan persetujuan antara suami
istri, lalu dibuatnya beberapa ketentuan dan kaidah, pertama: tentang
tahapan perceraian, dan kedua: tentang hak-hak dan kewajiban sehingga
satu sama lain tidak saling menzalimi.75 Perceraian walaupun
diperbolehkan, akan tetapi dalam sebuah hadis dinyatakan sebagai
perbuatan halal yang dibenci Allah. Karena itu keburukannya sedikit
diperkecil dengan diberikannya masa tunggu (iddah).76
Pengertian tersebut secara mempunyai maksud bahwa perceraian
bias saja dari keinginan suami atau pun bias saja dari keinginan istri.
Dalam pengadilan, perceraian yang diajukan oleh suami disebut talak atau
cerai talak. Sedangkan perceraian yang diajukan oleh istri disebut dengan
cerai gugat. Dalam hal ini, berarti hukum Islam sejalan dengan hukum
positif di mana pihak laki-laki (suami) atau pihak perempuan (istri) sama-
sama mempunyai hak untuk mengajukan perceraian.
73
Nurhadi, S.H., dkk. (Tim Penyusun), Himpunan Peraturan, h. 93.
74
Mu’ammal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, h. 96.
75
Mu’ammal Hamidy, Perkawinan dan Persoalannya, h. 94.
76
James Norman Dalrymple Anderson. Islamic Law in the Modern World (terjemahan),
(Surabaya: Amarpress, 2000). h. 45.
39

H. BAGAN KERANGKA PIKIR

Hak Asuh Anak Pasca


Analisis Peluang Pengasuhan
Perceraian
Bersama (Shared Parenting)
terhadap Putusan Hak Asuh
Anak
Pertimbangan Hukum Hakim
Dalam Memutuskan Hak
Asuh Anak

Teori Hukum Teori Teori Maslahat Teori Hukum


Responsif Pertimbangan Progresif
Hakim

Hasil Penelitian
40

I. METODE PENELITIAN

Metode-metode penelitian yang digunakan dalam pembahasan ini meliputi


beberapa hal yaitu jenis penelitian, paradigma penelitian, jenis dan bahan data
yang digunakan, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Untuk
mengetahui metode penelitian dalam penelitian ini, maka diuraikan sebagai
berikut:

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Berdasarkan pokok permasalahan yang mengkaji tentang peluang


diterapkannya pengasuhan bersama (shared parenting) terhadap produk hukum
hak asuh anak pasca perceraian maka jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian hukum normatif77. penelitian hukum normatif adalah suatu proses
untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip prinsip hukum, maupun doktrin
doktrin hukum untuk menjawab permaslahan hukum yang dihadapi, tujuannya
untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi
dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi78
Oleh karena itu, penelitian ini melakukan tinjauan pustaka (library
research) dengan dua pendekatan yakni pendekatan teologis normatif dan
yuridis normatif. Pendekatan teologis normatif adalah upaya memahami agama
77
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar., hlm. 153.
78
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana., hlm. 35.
41

ataupun peristiwa hukum dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang


bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan
dianggap sebagai paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.79
Pendekatan teologis normatif digunakan sebagai kerangka dalam memahami
dasar-dasar pertimbangan yang dirumuskan.
Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan
berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-
konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini dikenal pula dengan
pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan
perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian
ini.80 Adapun kedudukan peneliti dalam penelitian hukum normatif dalam
pandangan Lexy J. Moleong selain sebagai peneliti sekaligus sebagai
perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan pada
akhirnya menjadi pelapor hasil penelitian.81

Pendekatan penelitian dengan pendekatan teologis normatif dan yuridis


normatif akan mempermudah peneliti untuk mendapatkan data secara induktif
yang bersumber dari data dogmatis kemudian dikonfrontasikan dengan
kenyataan yang terjadi dan untuk mendapatkan data yang otentik dan akurat.
Peneliti akan melakukan pengamatan sampai analisis terhadap beberapa
putusan, serta menganalisa peraturan perundang-undangan. Kemudian peneliti
mencatat semua hal yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti serta

79
Dampak dari pendekatan teologis normatif teologi lahirnya corak pemikiran yang
teosentris, teologi Islam menjadi ahistoris, tidak kontekstual dan tidak empiris dan hanya
berbicara tentang dirinya sendiri dan tentang kebenarannya sendiri (truth claim).
Disamping itu sulitnya membedakan antara aspek normatif yang sakral dengan aspek
yang hanya merupakan hasil pemikiran (ijtihad ulama) yang bersifat relatif dan
multitafsir. Akibat pemikiran teologis yang ada telah menjadi sakral semua. Lihat, Luk
Luk Nur Mufidah, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, Jurnal Misykat, Volume 02
Nomor 01, Juni 2017, h. 161.
80
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), h. 75.
81
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian, h. 12.
42

pertimbangan kemungkinan diterapkannya pengasuhan bersama (shared


parenting) terhadap produk hukum hak asuh anak pasca perceraian.

2. Paradigma Penelitian

Paradigma dalam penelitian hukum normatif dimaksudkan adalah bahan untuk


mengawali sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti
untuk melakukan analisis. Paradigma yang digunakan dalam penilitian ini
adalah Madzhab Realisme (Legal Realism), yaitu hukum akan sangat
berpengaruh dan dipengaruhi pula oleh lingkungan sosialnya. Hukum sebagai
institusi sosial akan hidup bersetubuh dan berdinamika seiring dengan
perkembangan nilai-nilai, cita-cita dan kepentingan dari masyarakatnya82.
Adapun dalam penelitian ini, kajian keilmuan yang digunakan ialah
Sociological Jurisprudence atau Aliran Yuridis Sosiologis, adalah aliran yang
mengkaji hukum dalam arti perundang-undangan (termasuk juga putusan
pengadilan dan kontrak) yang diamati pada proses pembentukannya maupun
pada penerapannya dalam masyarakat83.

3. Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Sumber data adalah sesuatu atau tempat atau orang yang darinya
dapat diperoleh sesuatu data atau informasi.84 Bahan hukum primer, bahan
hukum yang terdiri atas peraturan perundangan, risalah resmi, putusan
pengadilan dan dokumen resmi negara.
b. Bahan Hukum Sekunder
. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil-hasil

82
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar., hlm. 16
83
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar., hlm. 17
84
Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang:
kalimasahada Press, 2006), h. 6.
43

penelitian yang berwujud laporan, jurnal, skripsi, tesis, disertasi, peraturan


perundang-undangan, dan lain-lain.85

Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini


adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul
penelitian, yakni Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam serta Undang-undang Perlindungan Anak

Bahan hukum sekunder ini mengambil dari al-Qur’an dan Hadis


tentang Hadhanah atau pemeliharaan anak paska perceraian. Beberapa
pendapat hukum dari para ahli fiqh serta beberapa karya kontemporer yang
berkaitan dengan penelitian ini juga dijadikan data sekunder.

4. Tahapan Pengumpulan Data


Penelitian hukum normatif menempatkan sistem norma sebagai objek
kajiannya. Sistem norma yang dimaksud sebagai objek kajian adalah seluruh
unsur dari norma hukum yang berisi nila-nilai tentang bagaimana hukum
berjalan. adapun sistem norma tersebut ialah
b. Norma dasar
c. Asas-asas hukum
d. Kitab Undang-undang atau perundang-undangan
e. Doktrin atau ajaran hukum
f. Dokumen perjanjian (kontrak)
g. Keputusan pengadilan
h. Keputusan birokrasi
i. Segala bentuk dokumen hukum yang dibuat secara formal dan
mempunyai kekuatan mengikat

85
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Cet. I Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 106.
44

5. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini atau teknik pengumpulan
data dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan studi pustaka terhadap
bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
maupun bahan hukum tersier dan atau bahan non hukum.

Penelusuran bahan-bahan hukum hukum tersebut dapat dilakukan dengan


membaca, melihat, mendengarkan, maupun sekarang banyak dilakukan
penelurusan bahan hukum tersebut dengan melalui internet.86
Adapun cara dalam pengumpulan data, sebagai berikut
1. Pemeriksaan Data (editing)
Pemeriksaan data atau editing adalah kegiatan yang dilakukan setelah
menghimpun data di lapangan. Proses ini menjadi penting karena kenyataannya
bahwa data yang terhimpun kadangkala belum memenuhi harapan peneliti, ada di
antaranya yang kurang bahkan terlewatkan. Sehingga diperlukan proses
pemeriksaan data terkait penelitian yang dilakukan.
2. Verifikasi (verifying)
Tahap verifikasi ini merupakan tahap pembuktian kebenaran data untuk
menjamin validitas data yang telah terkumpul. Peneliti mengecek kembali dari
data-data yang sudah terkumpul untuk mengetahui keabsahan datanya apakah
benar-benar sudah valid dan sesuai dengan yang diharapkan peneliti.
3. Analisa Data (analysing)
Teknik analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa
deskriptif-kuantitaf yaitu meneliti dan menelaah data bahan hukum dan segala
jenis informasi yang diperoleh kemudian diuraikan dalam bentuk uraian kalimat
secara logis dan sistematis, dengan tetap bertumpu pada teori hukum yang
relevan87 dan menyangkut dengan permasalahan penelitian ini.
4. Kesimpulan (concluding)

86
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar. hlm. 160
87
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian, h. 106.
45

Kesimpulan merupakan hasil suatu proses penelitian yang dilakukan oleh


penulis. Pada tahap ini penulis mengkaji tentang data pembanding dengan teori
tertentu, melakukan proses pengecekan ulang, mulai dari peraturan perundang-
undangan dan dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi kemudian membuat
kesimpulan umum dari keseluruhan data-data tersebut untuk dilaporkan sebagai
hasil dari penelitian yang telah dilakukan.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu
dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Analisis data dalam
penelitian ini ialah memberikan telaah, yang dapat berarti menentang,
mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian
membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan
bantuan teori yang telah dikuasai dan dipaparkan sebelumnya.

Adapun sifat analisis dalam penelitian ini ialah Preskriptif, sifat analisis ini
dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang telah
dilakukan. Argumentasi disini dilakukan oleh peneliti untuk memberikan
preskriptif atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa yang seyogianya
menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari hasil penelitian.88

Pendekatan yang digunakan dalam menganalisis data yang ada ialah melalui
Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan
bahwa penelitian hukum normatif tersebut menggunakan peraturan perundang-
undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. Hal ini dilakukan oleh
peneliti karena peraturan perundang-undangan merupakan titik fokus dari
penelitian tersebut.

Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dimuat lengkap dalam

88
Dr. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2013, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar. hlm.184
46

Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan yang kemudian diubah dengan Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Adapun bunyi UU tersebut yaitu

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat


3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota89

89
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7
47

BAB II

HAK ASUH ANAK PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM


ISLAM

A. Perspektif Hukum Positif

Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara seorang


pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa. Menurut Undang-undang, Perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu90. Adapun tujuan perkawinan adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling
membantu dan melengkapi, masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spritiual dan
materiil.91 Selain itu menurut Kompilasi Hukum Islam, di Pasal 3
Berbunyi; perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.92

Dalam membentuk keluarga suami-istri terikat oleh hak dan


tanggung jawab, hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah-tangga maupun dalam
90
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 4
91
Penjelasan Umum, Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Ayat 4 Huruf a
92
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 3
48

pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam


keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami-istri93
Akibat dari adanya perkawinan tidak hanya terbentuknya
hubungan keluarga (rumah tangga) yang dimana pihak pria menjadi
seorang suami dan pihak perempuan menjadi istri. Tapi juga
mengakibatkan lahirnya anak sebagai buah dari perkawinan itu sendiri.
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah94
Suami-istri atau kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus95.
Selain itu, hak dan kewajiban suami istri menurut KHI diatur di
dalam Pasal 77 yang berbunyi;
1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat
2. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati,
setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang
lain
3. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya.
4. Suami istri wajib memelihara kehormatannya

93
Penjelasan Umum, Penjelasan Atas Undang-undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Ayat 4 Huruf f
94
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
42
95
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
45 ayat b
49

5. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing


dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.96

Pernikahan dalam Islam dapat diartikan sebagai suatu perjanjian


suci yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang ingin melanjutkan
hubungan menjadi hubungan yang halal. Mereka akan mengikat janji
untuk menyatakan bahwa sudah siap untuk membangun rumah tangga
dengan harapan masa pernikahan berlangsung sampai akhir hayat atau
dengan kata lain sampai maut yang memisahkan.

Hal biasa jika dalam kehidupan sehari-hari terdapat konflik,


konflik muncul akibat adanya perbedaan dalam berinteraksi, sudut
pandang dan sebagainya. Salahsatu konflik yang sering terjadi ialah
konflik didalam ruang lingkup keluarga, pernikahan tidaklah selalu
berjalan mulus, karena setiap pernikahan terdapat lika-liku rumah tangga
yang berwujud kepada pertengkaran dalam kehidupan pernikahan mereka.
Bahkan pertengkaran tersebut bisa berujung kepada perceraian jika tidak
adanya upaya damai antara suami-istri tersebut.

Diatur dalam Bab IV tentang Putusnya Perkawinan serta


Akibatnya, Undang-undang Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pasal 38, perkawinan dapat putus karena

1. Kematian,
2. Perceraian dan
3. Atas keputusan pengadilan97

Menurut KHI, Pasal 8 berbunyi; Putusnya perkawinan selain cerai


mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan

96
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 77
97
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
38
50

Agama baik yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau
putusan taklik talak98.

Kemudian pada Pasal 39 Undang-undang Perkawinan mengatur


bahwa;

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan


setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua bela pihak.
2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
antara suami istri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami istri
3. Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersebut.99

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan, menurut


KHI Pasal 116 berbunyi;

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,


penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
istri

98
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 8
99
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
39
51

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan


pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Mengenai tata cara perceraian diatur di dalam Pasal 40 yang


berbunyi;

1. Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan


2. Tata cara mengajukan gugatan tersebut pada ayat (1) pasal ini
diatur dalam perundangan sendiri.100

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal


41, Undang-undang Perkawinan, yang berbunyi;

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan


mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan
anak, bilaman ada perselisihan mengenai penguasaan anak-
anak, Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilaman bapak dalam
kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut
pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul baiaya
tersebut
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri101

100
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
40
101
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
41
52

Selanjutnya menurut KHI Pasal 149 ayat d, berbunyi; Bekas suami


wajib hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun.102

Dalam hal pemeliharaan anak, menurut KHI pada BAB XIV


tentang Pemeliharaan Anak, Pasal 98 Berbunyi;

1. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun
mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
2. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan
3. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat
terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila
kedua orang tuanya tidak mampu.103

Orang tua mewakili anak yang belum cukup umur mengenai segala
perbuatan hukum baik didalam maupun di luar pengadilan, diatur
dalam Pasal 47 Undang-undang Perkawinan, berbunyi;

1. Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau


belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
2. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan di luar pengadilan104

Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya


terhadap seorang anak, hal tersebut diatur di Pasal 49 yang
berbunyi;
102
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 149 ayat d
103
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 98
104
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
47
53

1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut


kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu
yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga
anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan
Pengadilan dalam hal-hal:
a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
b. Ia berkelakukan buruk sekali.
2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih
berkewajiban untuk memberi pemeliharaan kepada anak
tersebut.105

Dalam hal terjadinya perceraian, menurut KHI Pasal 105 berbunyi;

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum


berumur 12 tahun adalah hak ibunya
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih diantara atau atau ibunya
sebagai pemegang hak pemeliharaannya
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.106

Akibat putusya perkawinan karena perceraian menurut KHI di


Pasal 156, Berbunyi;

a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan


hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal
dunia, maka kedudukannya digantikan oleh;
1. Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu
2. Ayah
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah

105
Undang-undang Republik Inondesia Nomor 01 tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
49
106
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
54

4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan


5. Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibuya
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya
nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat
memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang
mempunyai hak hadhanah pula
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung
jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya
sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun)
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan
nafkah anak, pengadilan agama memberikan putusannya
berdasarkan huruf (a), (b) dan (c)
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan
ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Selanjutnya di Pasal 106, Berbunyi;

1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan


harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah
pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau
menggadaikannnya kecuali karena keperluan yang
mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu
55

menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat


dihindarkan lagi107.

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 110K/AG/2007 Tahun


2007 dan SEMA No 01 tahun 2017

Putusan MA No 110K/AG/2007 tahun 2007 merupakan putusan yang


paling sering dijadikan pedoman maupun pertimbangan hukum
melalui penemuan hukum (Yurisprudensi) oleh para hakim-hakim di
Pengadilan Agama di Indonesia dalam memutuskan hak asuh anak
(hadhanah) yang belum mumayyis diserahkan kepada ayahnya,

KAIDAH HUKUM:
Pertimbangan utama dalam masalah hadhanah (pemeliharaan anak)
adalah kemaslahatan dan kepetingan si anak, bukan semata-mata yang
secara normatif paling berhak. Sekalipun si anak belum berumur 7
(tujuh) tahun, tetapi karena si ibu sering bepergian ke laur negeri
sehingga tidak jelas si anak harus bersama siapa, sedangkan selama ini
telah terbukti si anak telah hidup tenang dan tenteram bersama
ayahnya, maka demi kemaslahatan si anak hak hadhanah-nya
diserahkan kepada ayahnya.

PERTIMBANGAN HUKUM:
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta telah salah menerapkan hukum
dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata melihat siapa
yang paling berhak, tetapi harus melihat siapa yang lebih tidak

107
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 106
56

mendatangkan kerusakan bagi si anak, yang harus lebih


dikedepankan adalah kepentingan si anak, bukan siapa yang paling
berhak. Dan fakta yang diungkapkan oleh hakim pertama, si anak
akan lebih menderita sekiranya ia harus ikut ibunya, karena ibu si
anak sering bepergian keluar negeri, sedangkan sekarang si anak
tenag dan tenteram bersama bapaknya (Pemohon Kasasi/Tergugat)
2. Sekalipun si anak ditetapkan di bawah hadhanah ayahnya, hal itu
tidak boleh memutuskan hubungan komunikasi dengan ibunya
(Termohon Kasasi/ Penggugat), ibunya berhak untuk menjenguk,
membantu, mendidik serta mencurahkan kasih sayang terhadap
anaknya.108

Kemudian menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik


Indonesia, dalam BAB. Rumusan Hukum Kamar Perdata, Point 1 ayat
d berbunyi; Hak ibu kandung untuk mengasuh anak dibawah umur
setelah terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung
sepanjang pemberian hak tersebut memberikan dampak positif
terhadap tumbuh kembang anak dengan mempertimbangkan juga
kepentingan/ keberadaan/keinginan si anak pada saat proses
perceraian.109

Selanjutnya, didalam BAB. Rumusan Hukum Kamar Agama, Poin 4


menjelaskan; Dalam amar penetapan hak asuh anak (Hadhanah) harus
mencantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah memberi akses
kepada orang tua yang tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu
dengan anaknya. Dalam pertimbangan hukum, majelis hakim harus
pula mempertimbangkan bahwa tidak memberi akses kepada orang tua

108
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
109
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
57

yang tidak memegang hak hadhanah dapat dijadikan alasan untuk


mengajukan gugatan pencabutan hak hadhanah110

B. Perspektif Hukum Islam

Hadhanah berasal dari bahasa Arab yang berarti memelihara,


mendidik, mengatur, mengurus segala kepentingan/urusan anak-anak yang
belum mumayyiz (belum dapat membedakan baik dan buruknya sesuatu
atau tindakan bagi dirinya). Hadhanah, menurut bahasa, berarti meletakkan
sesuatu di dekat tulang rusuk atau di pangkuan, karena ibu waktu
menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuannya, seakan-akan
ibu di saat itu melindungi dan memelihara anaknya sehingga Hadhanah
dijadikan istilah yang berarti pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari
lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh
kerabat anak itu.111
Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah fiman
Allah Swt. QS At-Tahrim/66:6

‫َاد اَّل‬ٞ ‫ظ ِشد‬ٞ ‫ارةُ َعلَ ۡيهَا َم ٰلَِٓئ َكةٌ ِغاَل‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ ‫م ن َٗارا َوقُو ُدهَا ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َج‬nۡ‫وا قُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡ َوَأ ۡهلِي ُك‬
َ‫يَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا َأ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمرُون‬
Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah

110
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Agama, Poin 4
111
Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 2,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 215.
58

terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu


mengerjakan apa yang diperintahkan.112

Dasar hukum hadhanah juga diperkuat dalam hadis nabi SAW.


yang menyebutkan:
‫ان‬nn‫ذا ك‬nn‫ني ه‬nn‫ إن اب‬،‫ول هللا‬nn‫ا رس‬nn‫ ي‬:‫الت‬nn‫رأة ق‬nn‫ أن ام‬-‫ا‬nn‫ هللا عنهم‬n‫رضي‬- ‫عن عبد هللا بن عمرو‬
ْ ‫ وأراد‬،‫ني‬nnَ‫اه طَلَّق‬nn‫ وإن أب‬،‫ و ِحجْ ري له ِحواء‬،‫ له ِسقاء‬n‫ وثَ ْديِي‬،‫لهوعاء‬
،‫ني‬nn‫ه ِم‬nn‫أن يَ ْنت َِز َع‬ ِ ‫بطني‬
ُّ ‫ت أح‬
)‫ق به ما لم تَنكحي(رواه أبو داود‬ ِ ‫ أن‬:-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ هللا‬n‫فقال لها رسول‬113.
Artinya:
Dari Abdullah bin Amru ibn Ash bahwa seorang perempuan berkata
kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak ini, perutku
pernah menjadi tempatnya, air susuku pernah menjadi minumannya, dan
pangkuanku menjadi pelipurya. Dan sesungguhnya ayahnya
menceraikanku, dan hendak mencabutnya dariku” Rasulullah kemudian
bersabda, “engkau lebih berhak dari pada ayahnya, selama kamu belum
menikah lagi”.

Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab


mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil
kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang
masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan
urusannya, dan orang yang mendidiknya114. Dalam kaitan ini, terutama,
ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhânah.115

Allah SWT berfirman: Q.S al-Baqarah 2:233

112
Kemenag RI, Al Qur’an QS At Tahrim/66:6 dan Terjemahaannya
113
Abi Daud Sulaiman Ibn al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Damaskus: Dar al-Risalah al-
‘Alamiyyah, 2009, h. 482.
114
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya,
karena dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya,
membersihkan jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa
yang akan datang. Lihat, Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
115
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.
59

‫د لَ ۥهُ ِر ۡزقُه َُّن‬nِ ‫و‬nnُ‫ا َع ۚةَ َو َعلَى ۡٱل َم ۡول‬n‫َّض‬َ ‫ض ۡعنَ َأ ۡو ٰلَ َده َُّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي ۖ ِن لِ َم ۡن َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱلر‬ ِ ‫ت ي ُۡر‬ ُ ‫َو ۡٱل ٰ َولِ ٰ َد‬
nٞ ُ‫ضٓا َّر ٰ َولِ َد ۢةُ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡول‬
‫ود لَّ ۥهُ بِ َولَ ِدۦۚ ِه َو َعلَى‬ َ ُ‫ُوف اَل تُ َكلَّفُ ن َۡفسٌ ِإاَّل ُو ۡس َعهَ ۚا اَل ت‬ ِ ۚ ‫َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
‫ا َوِإ ۡن َأ َرد ُّتمۡ َأن‬nۗ n‫اح َعلَ ۡي ِه َم‬n
َ nَ‫ا ُو ٖر فَاَل ُجن‬n‫اض ِّم ۡنهُ َما َوت ََش‬ ٖ ‫صااًل عَن ت ََر‬ َ ِ‫ث ِم ۡث ُل ٰ َذلِ ۗكَ فَِإ ۡن َأ َرادَا ف‬ ِ ‫ار‬ ِ ‫ٱل َو‬
ۡ

َ ‫و ْا َأ َّن ٱهَّلل‬n ْ nُ‫ُوف َوٱتَّق‬


ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬n
ٓ n‫ٱعلَ ُم‬ ِ ۗ ‫ٱل َم ۡعر‬n ۡ nِ‫لَّمۡ تُم َّمٓا َءات َۡيتُم ب‬n‫ا َأ ۡو ٰلَ َد ُكمۡ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ ِإ َذا َس‬nْ‫ضع ُٓو‬ِ ‫ت َۡست َۡر‬
nٞ ‫ص‬
‫ير‬ ِ َ‫بِ َما ت َۡع َملُونَ ب‬

Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.116

Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah,


juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapannya jika
sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh
anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau
menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan ayah
memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian
nafkah khusus bagi anak kecil, seperti: makan, minum, tempat tidur, obat
obatan dan keperluan lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya. Tetapi
gaji ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh menangani

116
Kemenag RI, Al Qur’an, QS Al Baqarah 2/ 322 dan Terjemahaannya
60

asuhannya. Dan gaji ini di menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta
baru bisa lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebaskan.117

Adapun ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mengasuh, merawat,


dan mendidik anak merupakan hak pengasuh baik laki-laki maupun
perempuan, akan tetapi lebih diutamakan kepada pihak perempuan, karena
menurutnya pihak perempuan lebih bisa mencurahkan kelembutan dan
kasih sayang serta membimbing anak, sedangkan laki-laki biasanya hanya
punya kemampuan dan kewajiban menjaga, melindungi memberikan yang
terbaik kepada anak secara fisik. Akan tetapi ulama Hanafiah
mensyaratkan bahwa perempuan yang melakukan hadhanah adalah
perempuan yang merupakan kerabat dari anak. Wahbah Zuhaili
berpendapat bahwa hak hadhanah merupakan hak berserikat antara ibu,
ayah, dan anak. Apabila terjadi pertentangan antara ketiga orang ini, maka
yang diprioritaskan adalah hak anak yang diasuh.118

Ijtihad dalam hukum Islam, disamping dilakukan dalam hal-hal


yang ketentuan hukumnya jelas dalam nash, juga dilakukan dalam rangka
mencari solusi atas persoalan baru yang tidak ditemukan secara jelas dan
tegas. Ijtihad terhadap yang sudah ada ketentuan hukum nash-nya adalah
dikarenakan ketentuan hukum yang ada dalam nash mengalami kendala
dalam pengaplikasiannya jika dihadapkan pada kondisi sosial yang
berubah. Dalam kondisi seperti ini, menurut Amir Syarifuddin, hakim
dibolehkan menggali pemahaman lain yang berbeda dengan nash agar
nash tersebut bisa kontekstual dan relevan dengan kondisi sosial yang
ada.119
A. Pengertian Hadhanah

117
Abd. Rahman Ghazaly, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h.
187-188.
118
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, Jilid X, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997),
h. 7297
119
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2001), h. 243
61

Hadhanah merupakan istilah yang digunakan dalam ilmu fiqh.


Hadhanah menurut istilah ditemukan beberapa definisi antaranya:
a. Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah memberikan definisi
hadhanah adalah melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil
laki-laki ataupun perempuan yang sudah besar, tapi belum tamyiz tanpa
perintah padanya, menjadikan sesuatu yang menjadikan kebaikannya,
menjaganya, dari suatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi
hidup dan memikul tanggung jawabnya.120
b. Menurut Amir Syarifuddin dalam buku Hukum Perkawinan Di
Indonesia menyatakan bahwa istilah hadhanah mencakup beberapa hal,
di antaranya perihal siapa yang lebih berhak terhadap pengasuhan anak
dan siapa pula yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan anak
hingga anak tersebut mampu berdiri sendiri.121

Pemeliharaan anak adalah pemenuhan untuk berbagai aspek kebutuhan


primer dan sekunder anak. Pemeliharaan anak meliputi berbagai aspek
yaitu pendidikan, biaya hidup kesehatan, ketentraman dan segala aspek
yang berkaitan dengan kebutuhannya. Dalam ajaran Islam diungkapkan
bahwa tanggung jawab ekonomi berada dipundak suami sebagai kepala
rumah tangga, dan tidak tertutup kemungkinan tanggung jawab itu
beralih kepada istri untuk membantu suaminya apabila suami tidak
mampu melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, amat penting
mewujudkan kerjasama dan saling membantu antara suami istri dalam
memelihara anak sampai dewasa. Hal yang dimaksud pada prinsipnya
adalah tanggung jawab suami istri kepada anak-anaknya.122

120
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Penterjemah Mohammad Thalib, Judul Asli Fiqh Al-
Sunnah,(Bandung: PT al-Ma’arif, 2000), cet. ke-8, h. 173.
121
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, cet. ke-3, (Kencana: Prenada Media , 2006), h. 328.
122
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet.
ke-3, h. 64
62

Batasan usia pengasuhan anak menurut Abu Hanifah adalah di


bawah usia tujuh tahun atau sembilan tahun bagi anak laki-laki harus
diasuh oleh ibunya. Bagi anak perempuan Abu Hanifah menetapkan
haidnya ditandai dengan tanggalnya gigi si anak, yaitu ketika ia berusia
sembilan atau sepuluh tahun sebagai batas anak bisa memilih dan
menentukan siapa pengasuhnya. Imam Malik menetapkan baliqnya
anak laki-laki dan bagi anak perempuan diasuh ibunya sampai anak
tersebut melakukan pernikahan. Imam Syafi’i menetapkan bahwa anak
diasuh oleh ibunya sampai ia baliqh dan tidak menetapkan angka usia
baliqh tersebut. Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan usia tujuh tahun
baik laki-laki maupun perempuan.123

Para ulama fiqih memberikan kriteria-kriteria dalam penetapan


batasan usia dalam hal pengasuhan anak bertujuan untuk kepentingan
anak dan pemiliharaanya. Pengasuhan anak merupakan pekerjaan yang
penuh dengan tanggungjawab sehingga terdapat persyaratan-
persyaratan ketat yang mesti dipenuhi oleh pasangan yang bercerai
sehingga mendapatkan hak pengasuhan anak.124

Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadhanah adalah


pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya perceraian antara
kedua orang tuanya atau suatu pekerjaan untuk mengurus kepentingan
anak-anak baik laki-laki atau perempuan yang belum mumayyiz atau
yang sudah dewasa tapi belum mampu mengurus diri dan urusannya
sendiri karena kehilangan kecerdasannya.

123
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-
Maiyah,h. 94.
124
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-
Maiyah, h. 95.
63

B. Rukun Hadhanah

Hadhanah ini dilakukan oleh seorang wanita yang mempunyai hak


hadhanah hal ini dilakukan dalam segala kepentingan anak asuh seperti
pakaian, makanan, kesehatan jasmani dan rohani, mendidiknya agar dia
mampu mengurus dirinya sendiri untuk hidup dan bertanggungjawab atas
dirinya sendiri. Ada dua rukun dalah pengasuhan (hadhanah), yaitu
pengasuh (hadhin) dan yang diasuh (mahdhun).

a. Pengasuh (hadhin)
Pengasuh (hadhin) adalah pihak yang ditetapkan (oleh
Pengadilan) untuk menjalankan tugas dan kewajiban memelihara
dan mengasuh seorang anak yang belum mumayyiz. Pengasuh
umumnya dianjurkan dari pihak keluarga ibu si anak. Setelahnya
baru ke pihak keluarga ayah si anak. Namun demikian, ketentuan
ini masih bersifat ijtihadiy, dalam arti bahwa jika ada situasi yang
mendesak, pihak keluarga si ayah dapat lebih didahulukan.

b. Anak yang diasuh (mahdhun)


Mahdhun adalah anak yang memerlukan pengasuhan oleh
pihak tertentu akibat perceraian kedua orang tuanya atau karena
kedua orang tuanya meninggal dan pada saat yang sama si anak
yang belum mumayyiz belum dapat memenuhi sendiri kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Ukuran mumayyiz anak berbeda-beda karena
ulama memiliki pandangan berbeda mengenai hal ini. Sebagai
sebuah patokan, ukuran anak mumayyiz, dapat memedomani
ketentuan dalam KHI Pasal 105 huruf (a) yang menetapkan umur
anak yang belum mumayyiz adalah yang belum genap 12 tahun.

C. Syarat Pemegang hadhanah


64

Hal yang paling mendasar dalam hadhanah adalah penentuan


syarat-syarat bagi pemegang hadhanah. Hal ini dikarenakan pemegang
hadhanah haruslah orang yang diperkirakan dapat mengaush anak dengan
baik dan amanah. Tanpa adanya minimal dua hal tersebut maka suliat
untuk mewujudkan hadhanah yang menjamin kelangsungan dan
keterpenuhan hak-hak dasar anak.
Dari sejumlah literatur, dapat dipaparkan beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi bagi seseorang untuk ditetapkan menjadi pemegang
hadhanah atau hadhin. Sebagaimana dirangkum oleh Amir Syarifuddin125,
berikut dipaparkan persyaratan seseorang dapat ditetapkan sebagai
pemegang hadhanah:

a. Dewasa
Syarat pertama dan utama bagi seorang hadhin adalah ia
harus dewasa. Dewasa adalah keadaan seseorang yang memenuhi
syarat-syarat atau ketentuan menurut hukum seperti telah berusia di
atas 21 tahun, mandiri, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
sendiri, cakap melakukan tindakan hukum (rechtsbekwaamheid),
berwenang melakukan tindakan hukum tertentu
(rechtsbevoegheid), serta ia tidak berada di bawah pengampuan,
dan memiliki integritas yang baik. Tegasnya, dewasa adalah
keadaan objektif pada diri seseorang yang membuat ia cakap
bertindak hukum untuk kepentingan hukum tertentu, khususnya
demi kepentingan terbaik si anak.

b. Berakal sehat
Berakal sehat adalah kemampuan seseorang dalam
mengorganisasikan pikiran-pikirannya, mampu menyinergikan
pikiran, perasaan, dan perilakunya, mampu berpikir logis, mampu
mengenali keadaan lingkungan sekitarnya, dan tidak mengalami

125
Amir Syarifuddin, Ibid, hlm. 328 – 329
65

ganggungan psikologis tertentu. Berakal sehat mampu


membedakan dengan baik hal-hal yang sesuai dan bertentangan
dengan norma. Dalam konteks hadhanah, seseorang yang berakal
sehat mampu memilah, memilih, dan melaksanakan tindakan-
tindakan yang dianggap terbaik bagi kepentingan si anak.

c. Cakap dalam merawat anak


Pengasuh wajib memiliki kemampuan merawat (mengasuh)
anak dengan baik. Kemampuan tersebut tergambar dari visinya
dalam penatalaksanaan pengasuhan anak, antara lain
kemampuannya mengidentifikasi kebutuhan dasar anak, tindakan-
tindakan preventif yang diperlukan guna menghindarkan anak dari
ke-mudharat-an, upaya meningkatkan kualitas hidup anak,
membangun pola komunikasi dengan anak yang konstruktif, serta
perencanaan atas pendidikan anak demi kepentingannya pada masa
yang akan datang.

d. Beragama Islam
Terdapat perbedaan pendapat mengenai syarat beragama
Islam bagi hadhin. Jumhur ulama berpendapat bahwa salah satu
syarat yang wajib dipenuhi oleh hadhin adalah ia harus beragama
Islam. Dasar pemikirannya adalah bahwa tugas pengasuhan tidak
hanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan fisik si anak, namun
juga bersentuhan langsung dengan salah satu tujuan syariat Islam,
yaitu hifz al din (menjaga agama atau keyakinan). Jika seorang
anak muslim diasuh oleh orang yang tidak beragama Islam,
dikhawatirkan hal tersebut akan mengganggu akidah anak karena
besar kemungkinan pengasuh non muslim berupaya memengaruhi
akidah si anak untuk mengikuti akidah pengasuhnya.
66

Tiga madzhab dalam fiqh yaitu Syafi’iyah, Hanabilah, dan


Hanafiyah cenderung mensyaratkan Islam sebagai prasayarat yang
harus ada bagi pemegang hak asuh anak. Madzhab Hanafiyah
secara khusus menekankan prasayarat “Islam” pada pihak laki-laki
sementara bagi kalangan perempuan tidak dipersyaratkan
demikian. Madzhab Malikiyah secara umum tidak mensyaratkan
“Islam” sebagai syarat bagi pemegang hak asuh bagi anak muslim.
Namun demikian, penganut Malikiyah menekankan harus adanya
kepastian atau upaya memastikan bahwa si anak diberi makanan
yang tidak mengandung bahan-bahan atau unsur-unsur yang
diharamkan oleh Islam seperti khamr, babi, atau substrat lain yang
tidak sejalan dengan syariat Islam. Dalam keadaan dimana ada
kecenderungan si anak diberi makanan tersebut, maka hak
pengasuhan anak diberikan kepada pihak laki-laki.126

Secara prinsip, orang non muslim tidak memiliki


kewenangan mengasuh anak muslim, demikian secara singkat
pandangan madzhab Syafiiyah dan Hanabilah. Orang non muslim
secara syara’ tidak berwenang memimpin kaum muslimin. Jika
pada kenyataannya tidak ada orang muslim, maka pengasuhan
dapat beralih kepada non muslim yang dikatagorikan sebagai kafir
zimmi, yaitu non muslim yang tidak memusuhi Islam secara terang-
terangan. Madzhab Malikiyah dan Madzhab Hanafiyah, menurut
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan tidak mensyaratkan Islam bagi
pengasuh anak muslim. Hal ini didasarkan pada salah satu hadits
Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “Ya
Allah, tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayahnya”.
Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW diperhadapkan pada suatu
kasus perebutan hak asuh anak dan Rasulullah memerintahkan

126
Erfani Aljan Abdullah, Pembaruan Hukum Perdata Islam: Praktik dan Gagasan,
Yogyakarta: UII Press, 2017, h. 110 – 111.
67

kepada si anak memilih di antara ayah (muslim) dan ibunya (non


muslim) yang pada akhirnya si anak memilih ibunya yang non
muslim. Rasulullah kemudian berdoa seperti redaksi tersebut.127

e. Adil
Seseorang yang akan ditetapkan sebagai hadhin harus
memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini bermakna bahwa pengasuh
anak (hadhin) menjalankan syariat Islam dengan baik, antara lain
melaksanakan ibadah dengan baik dan rutin, menjauhi sifat-sifat
dan perbuatan tercela yang dilarang agama. Pengasuh memiliki
integritas yang baik, dalam arti mampu menjaga amanah dengan
sebaik-baiknya. Dalam pengertian lebih jauh, pengasuh merupakan
pribadi yang taat pada hukum; menghindarkan dirinya dari
perbuatan-perbuatan melawan hukum. Indikasi-indikasi seseorang
adil atau tidak dapat terlihat dari bagaimana relasi sosialnya yang
baik dan konstruktif dalam kehidupan bermasyarakat.

Untuk mengetahui seseorang dapat berlaku adil atau tidak,


misalnya, dapat dilihat dari bagaimana ia berperilaku sehari-hari.
Seseorang yang “adil” dapat tergambar dari bagaimana ia memberi
perhatian dan memegang prinsip-prinsip kebenaran, baik terhadap
orang lain maupun terhadap dirinya sendiri. Jika seseorang dapat
memperlakukan orang lain sebagaimana mestinya, ia terindikasi
kuat dapat berlaku adil, termasuk dalam konteks ia sebagai
pemegang hadhanah.

127
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Op.Cit, hlm. 122
68

BAB III

PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MEMUTUSKAN HAK


ASUH ANAK DI PENGADILAN AGAMA

A. Undang-Undang Perkawinan dan KHI

Indonesia merupakan negara Hukum128, hampir segala aktifitas


kehidupan di wilayah Negara Republik Indonesia yang dapat
menimbulkan atau merupakan subjek, objek serta perbuatan hukum telah
diatur di dalam peraturan perundang-undangan, tak terkecuali mengenai
Perkawinan, Perceraian serta Hak Asuh Anak. Di Indonesia asas
kebebasan hakim dijamin sepenuhnya dalam Undang- Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya disebut Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman, dimana dirumuskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Asas
kebebasan hakim ini termasuk juga kebebasan bagi hakim dalam
merumuskan pertimbangan hukum dikenal dengan legal reasoning yang
dilakukan oleh seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara yang
diadilinya.

128
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 3
69

Menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, pertimbangan


hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam
menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau
memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan
atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi
bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Kebebasan hakim secara kontekstual memiliki 3 (tiga) esensi
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu:
1.Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
2.Tidak ada pihak manapun termasuk pemerintah bisa
mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan
oleh hakim
3.Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya129

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fokus penelitian pada


tesis ini ialah mengenai hak asuh anak pasca perceraian. Ada 2 (dua)
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang hal tersebut.
Pertama, Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan yang Kedua, KHI (Kompilasi Hukum Islam).
Pada dasarnya, pemeliharaan anak (Hadhanah) merupakan
tanggung jawab serta kewajiban oleh kedua orang tuanya, Suami-istri atau
kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun
perkawinan antara kedua orang tua putus130. Suami istri memikul
kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik

129
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”,
(Jakarta:Sinar Grafika, 2011), hlm. 104
130
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal
45 ayat b
70

mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan


pendidikan agamanya131.
Hak asuh anak setelah perceraian, secara umum dilakukan secara
bersama oleh mantan suami dan mantan istri jika kedua belah pihak telah
sepakat. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit perselisihan rumah
tangga hanya berujung pada putusnya perkawinan, tapi juga berlanjut ke
perselisihan hak asuh anak melalui gugatan hak asuh anak di Pengadilan
Agama. Hakim memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penentuan
hak asuh anak pasca perceraian. Secara normatif, ada 3 (tiga)
pertimbangan yuridis didalam pertimbangan hukum, yang sering
digunakan oleh hakim Pengadilan Agama dalam memutuskan hak asuh
anak (hadhanah) pasca perceraian.

menurut KHI Pasal 105, Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau
belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, Pemeliharaan anak yang
sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara atau atau
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya.132

B. Yurisprudensi Mahkamah Agung

Mahkamah Agung RI Nomor 110K/AG/2007 Tahun 2007


1. Mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata melihat
siapa yang paling berhak, tetapi harus melihat siapa yang
lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, yang
harus lebih dikedepankan adalah kepentingan si anak,
bukan siapa yang paling berhak. Dan fakta yang
diungkapkan oleh hakim pertama, si anak akan lebih
131
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 77 ayat 3
132
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
71

menderita sekiranya ia harus ikut ibunya, karena ibu si anak


sering bepergian keluar negeri, sedangkan sekarang si anak
tenang dan tenteram bersama bapaknya (Pemohon
Kasasi/Tergugat)
2. Sekalipun si anak ditetapkan di bawah hadhanah ayahnya,
hal itu tidak boleh memutuskan hubungan komunikasi
dengan ibunya (Termohon Kasasi/ Penggugat), ibunya
berhak untuk menjenguk, membantu, mendidik serta
mencurahkan kasih sayang terhadap anaknya.133 Dan

C. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Ketiga, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik


Indonesia, dalam BAB. Rumusan Hukum Kamar Perdata, Point 1 ayat
d. Hak ibu kandung untuk mengasuh anak dibawah umur setelah
terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang
pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh
kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/
keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.134

Keputusan yang memberikan hak asuh anak yang masih belum cukup
umur (mumayyiz) pasca perceraian kepada ayah, merupakan keputusan
yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangaan (contra legen).
Namun keputusan tersebut, yang menjadikan Kepentingan Terbaik
Anak sebagai pedoman/kaidah hukum sejalan dengan Teori Maslahah
serta Teori Pertimbangan Hakim

Kemudian Surat Edaran Mahkamah Agung, yang memuat tentang hak


asuh anak yang belum cukup umur (mumayyiz) yang merupakan hak

133
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
134
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
72

ibu dapat diberikan kepada ayah, sebagai bentuk kepastian hukum atau
payung hukum bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak
diberikan kepada ayah selain yurisprudensi. Aturan yang berbentuk
Surat Edaran (pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan) yang
dibuat pada tahun 2017, merupakan bentuk/contoh implementasi dari
Teori Hukum Responsif.

Telah diketahui dari paparan sebelumnya bahwa norma umum


penentuan hak asuh anak merujuk pada ketentuan UUP dan KHI Pasal
105. Dari kedua aturan tersebut, maka hak asuh anak yang belum
mumayyiz menjadi hak atau ditetapkan kepada ibunya. Artinya bahwa,
jika tidak terdapat indikasi atau keadaan-keadaan yang terindikasi
merugikan kepentingan anak, maka hak asuh anak hampir pasti
menjadi hak atau ditetapkan kepada ibu kandung si anak. Namun
sebaliknya, jika terjadi keadaan/indikasi merugikan kepentingan anak
maka hak tersebut dapat diberikan kepada ayah kandungnya.
Dirumuskannya kepentingan terbaik anak sebagai kaidah hukum
dalam memutuskan hak asuh anak, merupakan bentuk dari
pembaharuan hukum, hal ini juga sejalan dengan tujuan dari
diundangkannya undang-undang perlindungan anak. Setiap anak
berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir. Berdasarkan hasil telaah, hak asuh anak setelah
perceraian, terdiri dari tiga kategori yaitu: Pertama, hak asuh diberikan
kepada ibu Kedua, sang ayah mendapat hak asuh. Ketiga, ibu dan ayah
akan mendapatkan hak asuh.
Adapun kriteria yang menjadi pertimbangan hakim dalam
menentukan calon wali anak pasca perceraian adalah: Pertama, atas
permintaan pasangan. Kedua, adanya kesepakatan bersama yang
berlangsung atau berlangsung antara para penggugat tergugat atau
73

penggugat dan tergugat mengalihkan hak asuh anak tersebut dalam


perawatan ibu atau ayah mereka.
Ketiga, berdasarkan Pasal 105 KHI yang menyebutkan bahwa ibu
adalah Orang yang lebih berhak mengasuh anak yang belum menjadi
mumayiz

BAB IV

PENGASUHAN BERSAMA (SHARED PARENTING)

A. DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN HAK


ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN

Pertimbangan hakim merupakan salah satu faktor yang paling


penting untuk menentukan, untuk memahami nilai suatu putusan pengadilan
yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan selain kepastian hukum,
juga termasuk pelayanan pihak yang terlibat, sehingga pertimbangan hakim
harus diperhitungkan dengan hati-hati, cermat dan penuh perhatian. Jika
putusan hakim tidak lengkap, tidak hati-hati, tidak teliti maka keputusan
hakim dapat dibatalkan oleh hakim pengadilan tinggi atau mahkamah
agung.

Berdasarkan Pasal 53 UU Kehakiman, berbunyi sebagai berikut:


(1) Dalam mempertimbangkan dan memutus perkara, hakim bertanggung
jawab atas penetapan dan keputusan yang diambil.
(2) Penetapan dan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mencantumkan pertimbangan hukum hakim yang mendasarinya
alasan dan dasar hukum yang benar.

Hakim dalam mempertimbangkan perkara juga memerlukan alat bukti,


dimana hasil pembuktian tersebut dijadikan sebagai pertimbangan dalam
74

memutus perkara. Pembuktian merupakan langkah terpenting dalam proses


pemeriksaan di persidangan. Pembuktian dimaksudkan untuk mendapatkan
kepastian bahwa suatu peristiwa yang diusulkan atau peristiwa benar-benar
terjadi, guna memperoleh putusan yang akurat dan adil dari hakim. Hakim
tidak dapat mengambil keputusan sampai jelas baginya bahwa fakta atau
peristiwa itu benar-benar terjadi, yaitu fakta-fakta itu terbukti, sehingga
seolah-olah ada hubungan hukum antara para pihak135.

Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan


dan menegakkan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas
dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan
kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24
UUD Negara RI Tahun 1945136, yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan hal-


berikut:
1)Faktor Yuridis, yaitu Undang-Undang dan Teori-teori yang berkaitan
2)Faktor Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati
nurani dari hakim itu sendiri

Hakim adalah perwujudan kekuasaan kehakiman, pembuatan


memutus perkara disamping harus memiliki kemampuan intelektual, Selain
itu, seorang hakim harus memiliki akhlak dan integritas yang tinggi
sehingga dimaksudkan untuk mencerminkan rasa keadilan, untuk
memastikan sah secara hukum dan dapat bermanfaat bagi masyarakat.

Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim hendaknya juga memuat


tentang hal-hal sebagai berikut :

135
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004), hlm.140
136
Pasal 24, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
75

1. Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil yang tidak
disangkal.

2. Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala aspek menyangkut


semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam persidangan.

3.Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus


dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga hakim dapat
menarik kesimpulan tentang terbukti atau tidaknya dan dapat
dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam amar putusan137

Selain itu, dasar yang menjadi pertimbangan oleh hakim


dalam menetapkan calon pengasuh bagi anak pasca perceraian yaitu:

1. melalui permintaan salah satu pihak antara suami isteri.


2. Adanya kesepakatan bersama yang terjadi di antara penggugat atau
tergugat atau pemohon dan termohon untuk menyerahkan hak asuh anak
supaya ditempatkan di bawah asuhan ibu atau ayahnya.
3. Melalui putusan verstek atau putusan tanpa adanya kehadiran tergugat
ke persidangan sehingga secara tidak langsung suami mengabaikan
haknya untuk mendapatkan si anak. Meskipun tanpa hadirnya tergugat
majelis hakim dapat memutuskannya dalam bentuk putsuan verstek
kepada ibu.
4. Didasarkan Pada pasal 105 KHI yang menyatakan bahwa ibu merupakan
orang yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz.

Ini adalah dasar hukum seorang hakim, untuk menjalankan fungsi


mengadili perkara harus mempunyai dasar-dasar atas berbagai
pertimbangan yang dapat diterima oleh semua pihak dan tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yang dikenal
sebagai pertimbangan hukum.

137
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cet V (Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2004), hlm.142
76

Merumuskan dan menyusun pertimbangan hukum harus cermat, sistematis


dan berbahasa Indonesia yang benar. Pertimbangan hukum harus
sepenuhnya mencakup fakta fakta, fakta hukum, membangun fakta
hukum, menerapkan standar hukum yang baik dalam hukum positivis,
dalam hukum adat, dalam hukum kasus maupun dalam teori undang-
undang dan undang-undang lainnya, tergantung pada aspek dan metode
penafsiran hukum bahkan seorang hakim dapat membuat penemuan-
penemuan hukum yang cocok untuk menyusun dalil-dalil atau alasan-
alasan yang menjadi dasar hukum dalam putusan hakim.

2. TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN HAK ASUH ANAK PASCA


PERCERAIAN KEPADA IBU DAN AYAH

Secara normatif, ada 3 (tiga) pertimbangan yuridis dalam


pertimbangan hukum yang sering digunakan oleh hakim Pengadilan
Agama dalam memutuskan hak asuh anak (hadhanah) pasca perceraian.

Hak asuh anak di berikan kepada IBU, menurut KHI Pasal 105

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum


berumur 12 tahun adalah hak ibunya

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada


anak untuk memilih diantara atau atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya

c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.138

Hak asuh anak diberikan kepada AYAH, menurut Mahkamah


Agung RI Nomor 110K/AG/2007 Tahun 2007

138
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam
Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
77

Mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-mata melihat


siapa yang paling berhak, tetapi harus melihat siapa yang
lebih tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, yang
harus lebih dikedepankan adalah kepentingan si anak,
bukan siapa yang paling berhak. Dan fakta yang
diungkapkan oleh hakim pertama, si anak akan lebih
menderita sekiranya ia harus ikut ibunya, karena ibu si anak
sering bepergian keluar negeri, sedangkan sekarang si anak
tenang dan tenteram bersama bapaknya (Pemohon
Kasasi/Tergugat)
Sekalipun si anak ditetapkan di bawah hadhanah ayahnya,
hal itu tidak boleh memutuskan hubungan komunikasi
dengan ibunya (Termohon Kasasi/ Penggugat), ibunya
berhak untuk menjenguk, membantu, mendidik serta
mencurahkan kasih sayang terhadap anaknya.139 Dan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia, dalam


BAB. Rumusan Hukum Kamar Perdata, Point 1 ayat d, Hak ibu
kandung untuk mengasuh anak dibawah umur setelah terjadinya
perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang pemberian
hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh kembang
anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/
keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian.140

Keputusan yang memberikan hak asuh anak yang masih belum cukup
umur (mumayyiz) pasca perceraian kepada ayah, merupakan keputusan
yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangaan (contra legen).
Namun keputusan tersebut, yang menjadikan Kepentingan Terbaik

139
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
140
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang
Pemberlakuan rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan
tugas bagi pengadilan, tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
78

Anak sebagai pedoman/kaidah hukum sejalan dengan Teori Maslahah


serta memuat prinsip didalam Teori Pertimbangan Hakim

Kemudian Surat Edaran Mahkamah Agung, yang memuat tentang hak


asuh anak yang belum cukup umur (mumayyiz) yang merupakan hak
ibu dapat diberikan kepada ayah, sebagai bentuk kepastian hukum atau
payung hukum bagi hakim dalam memutuskan hak asuh anak
diberikan kepada ayah selain yurisprudensi. Aturan yang berbentuk
Surat Edaran (pedoman pelaksanaan tugas bagi Pengadilan) yang
dibuat pada tahun 2017, merupakan bentuk/contoh dari Teori Hukum
Responsif.

Telah diketahui dari paparan sebelumnya bahwa norma umum


penentuan hak asuh anak merujuk pada ketentuan UUP dan KHI Pasal
105. Dari kedua aturan tersebut, maka hak asuh anak yang belum
mumayyiz menjadi hak atau ditetapkan kepada ibunya. Artinya bahwa,
jika tidak terdapat indikasi atau keadaan-keadaan yang terindikasi
merugikan kepentingan anak, maka hak asuh anak hampir pasti
menjadi hak atau ditetapkan kepada ibu kandung si anak. Namun
sebaliknya, jika terjadi keadaan/indikasi merugikan kepentingan anak
maka hak tersebut dapat diberikan kepada ayah kandungnya.
Dirumuskannya kepentingan terbaik anak sebagai kaidah hukum
dalam memutuskan hak asuh anak, merupakan bentuk dari
pembaharuan hukum, hal ini juga sejalan dengan tujuan dari
diundangkannya undang-undang perlindungan anak. Setiap anak
berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir.
Berdasarkan hasil telaah, hak asuh anak setelah perceraian, terdiri
dari tiga kategori yaitu: Pertama, hak asuh diberikan kepada ibu
79

Kedua, sang ayah mendapat hak asuh. Ketiga, ibu dan ayah akan
mendapatkan hak asuh. Adapun kriteria yang menjadi pertimbangan
hakim dalam menentukan calon wali anak pasca perceraian adalah:
Pertama, atas permintaan pasangan.
Kedua, adanya kesepakatan bersama yang berlangsung atau
berlangsung antara para penggugat tergugat atau penggugat dan
tergugat mengalihkan hak asuh anak tersebut dalam perawatan ibu atau
ayah mereka.
Ketiga, berdasarkan Pasal 105 KHI yang menyebutkan bahwa ibu
adalah Orang yang lebih berhak mengasuh anak yang belum menjadi
mumayiz
80

C. PENGASUHAN BERSAMA (SHARED PARENTING)

1. Konsep Pengasuhan Bersama (shared parenting) Pasca Perceraian

Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah
diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya. Hak pengasuhan tidak
diberikan kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal itu
secara pasti akan membahayakan anak tersebut. karena itu, pengasuhan
anak tidak diberikan kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya
atau idiot. Sebab, mereka sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh
mereka141
Dalam psikologi hukum, kebutuhan pemeliharaan anak dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pertama: legal custody, yakni
kebutuhan pemeliharaan anak seutuhnya menurut hukum yang meliputi
kebutuhan biaya penghidupan, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan
hukum pada umumnya yang hal ini menjadi tanggung jawab bersama ayah
dan ibunya, namun demikian pada umumnya kebutuhan ini lebih dominan
diperoleh dari ayahnya dan kedua: fisical custody, yakni kebutuhan
pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat dirinya
sendiri baik secara jasmani maupun rohani seperti kebutuhan menyusu
pada ibu, mandi, memakai pakaian, merawat diri sendiri, memelihara
kesehatan, pelayanan makan dan minum, belajar berkomunikasi, teman
bermain dan belajar, kebutuhan tumbuh kembang anak dan lain
sebagainya.142
141
Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi
Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, h.
80

142
https://pa-rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-artikel/418-hadhanah-
pasca-perceraian-kajian-perundang-undangan-perkawinan-islam-kontemporer
81

Konsep Shared parenting (hak asuh bersama) ini juga bisa


mendukung untuk memenuhi hak-hak anak yang mesti diberikan oleh
orang tuanya yang disampaikan oleh Khoirudin Nasution dalam salah satu
artikelnya tentang hak-hak anak, pertama, hak umum (mendapatkan nama
yang baik, mendapatkan jaminan keselamatan, dan mendapatkan jaminan
kesehatan), Kedua, hak pada masa pengasuhan (hak mendapatkan Air
Susu Ibu, hak jaminan hidup, hak mendapatkan nafkah; sandang, pangan
papan dan kesehatan, hak mendapatkan pendidikan dasar-dasar agama,
hak mendapatkan pendidikan dasar keahlian, dan hak keamanan, ketiga,
hak pasca pengasuhan (hak mendapat pendidikan untuk mempunyai
keahlian/kompetensi; pedagogic/knowledge dan atau sejenisnya,
kepribadian, sosial dan professional, hak mendapat perilaku baik, hak
mendapat perlakuan adil tanpa memandang jenis kelamin, dan hak
perkawinan kalau sudah dewasa.143
Pada perkembangannya, norma dan konsepsi pengasuhan anak
tidak lagi sekadar berkutat pada pengasuhan terpisah (split parenting),
namun mulai mengarah pada konsepsi pengasuhan bersama (shared
parenting). Ada beberapa alasan mengapa pengasuhan bersama kemudian
mendapat perhatian cukup besar dalam penormaan hak asuh anak.
Dikemukakan oleh Mason:
“the ‘best interests of the child’ standard has historically reflected
a struggle between mothers’ and fathers’ rights, with children’s needs
considered to be commensurate with either position. Children are viewed
at different times as fathers’ property, as requiring the ‘tender care’ of
mothers, and as rightfully ‘belonging’ to one or the other parent”144
Terjemahan: kepentingan terbaik anak' secara historis mencerminkan
perjuangan antara hak ibu dan ayah, dengan kebutuhan anak-anak dianggap
sepadan dengan kedua posisi tersebut. Anak-anak dipandang pada waktu yang
berbeda sebagai milik ayah, membutuhkan 'perawatan lembut' ibu, dan sebagai
hak 'milik' salah satu atau orang tua lainnya.
143
Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, (Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2008),
h. 142
144
Edward Kruk, Child Custody, Access and Parental Responsibility: The Search for A
Just and Equitable Standard, The University of British Columbia, 2008, h. i.
82

Karenanya, Edward Kruk, dalam penelitiannya menyimpulkan:


“The most recent research strongly supports a shift away from the
‘one size fits all’, ‘winner take all’ sole custody framework toward the
notion of shared parental responsibility”145
Terjemahan: Penelitian terbaru sangat mendukung pergeseran dari 'satu
ukuran cocok untuk semua', kerangka hak asuh tunggal 'pemenang mengambil
semua' menuju gagasan tanggung jawab orang tua bersama"

Pengasuhan anak menurut Kruk yang selama ini berkutat pada split
parenting atau sole custody berimplikasi pada adanya asumsi bahwa
pemegang hak asuh berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya
(winner takes all). Ini melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh berhak
mengatur secara ketat pertemuan anak dengan orangtua lain yang tidak
memegang hak asuh.
Model atau pradigma demikian tidak selaras dengan upaya
memberi keleluasaan bagi anak untuk mengekspresikan dirinya,
bersosialisasi dengan kedua orangtuanya secara masif, dan memeroleh
kasih sayang terbaik dari kedua orangtuanya. Sebaliknya, anak seolah
terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya, diwajibkan
tunduk pada aturan-aturan tak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak
asuhnya.
Konsepsi pengasuhan bersama menawarkan paradigma baru dalam
tata laksana pengasuhan anak. Konsepsi ini telah jamak diimplementasikan
di negara-negara common law seperti Amerika Serikat dan Kanada. Di
Kanada misalnya, pengasuhan bersama diatur dalam undang-undang
perceraian Kanada (1997 Federal Child Support Guidelines under the
Divorce Act), shared custody (pengasuhan bersama) adalah pengaturan
mengenai waktu bersama antara anak dengan masing-masing orang
tuanya. Alokasi waktu yang ditetapkan dalam pengasuhan bersama antara

145
Ibid, h. Ii
83

anak dengan kedua orang tuanya adalah minimal 40% waktu pengasuhan
bagi masing-masing orang tua.146
Jika dikaitkan kembali antara konsepsi pengasuhan anak bersama
(shared parenting) dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum
perkawinan Indonesia (termasuk yurisprudensi mengenai hak asuh anak),
dapat diketahui bahwa norma-norma tersebut bersandar pada upaya luhur
untuk menjamin kepentingan terbaik bagi si anak. Pengasuhan anak,
sejatinya, bukan hanya berkutat pada siapa mengasuh siapa. Namun, lebih
dari itu, penentuan pengasuhan anak diarahkan agar semaksimal mungkin
memberi kebaikan, kemanfaatan, dan jaminan akan masa depan anak yang
lebih baik.
Pada konteks ini, konsepsi pengasuhan bersama sangat concern
dengan upaya-upaya dimaksud. Dengan lain perkataan bahwa, pengasuhan
bersama menekankan upaya yang dinamis dari kedua orangtua si anak
untuk bersama-sama mendidik, memelihara, dan memastikan tumbuh
kembang anak sesuai harkat dan martabatnya. Pengasuhan bersama
(shared parenting) merupakan gagasan yang ingin menengahi perbedaan
kedua model dan patron tersebut serta menawarkan suatu konsep
pengasuhan yang tidak hanya berfokus pada perwujudan kepentingan
terbaik si anak, namun juga mengupayakan peran maksimal kedua
orangtua dalam mengasuh anak-anaknya147

2. Putusan Pengadilan Agama yang memuat konsep pengasuhan bersama


(shared parenting) anak pasca perceraian

Dalam penelusuran peneliti di halaman website resmi Direktori


Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, setidaknya telah ada

146
Sharon Moyer, Child Custody Arrangements: Their Characteristics and Outcomes,
Makalah, 2004, h. 3
147
M. Natsir Asnawi, Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah E-ISSN:
2621-0274; P-ISSN: 2442-2282 Volume 5, Nomor 1, Juni 2019
84

beberapa putusan mengenai hak asuh anak yang dilakukan secara


bersama (shared parenting) baik dalam hal mengadili (amar putusan)
ataupun sebagai pertimbangan hukum, di Pengadilan Agama di
Indonesia, adapun putusannya sebagai berikut;

1. Putusan Pengadilan Agama Banjarbaru,


No.369/Pdt.G/2017/PA.Bjb. Pada tahun 2017
2. Putusan Pengadilan Agama Pelaihari No. 735/Pdt.G/2018/PA.Plh
pada tahun 2018
3. Putusan Pengadilan Agama Karanganyar No.
1191/Pdt.G/2018/PA.Kra. Tahun 2018
4. Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.
1000/Pdt.G/2019/PA.Amb. pada tahun 2019
5. Putusan Pengadilan Agama Gedong Tataan No.
0334/Pdt.G/2019/PA.Gdt. Tahun 2019
6. Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 1113/Pdt.G/2020/PA.Gs.
Tahun 2020
7. Putusan Pengadilan Agama Ambarawa
No.1860/Pdt.G/2021/PA.Amb. Tahun 2021
8. Putusan Pengadilan Agama No. 1664/Pdt.G/2021/PA.Amb pada
tahun 2021.
9. Putusan Pengadilan Agama No. 2098/Pdt.G/2021/PA.Amb. pada
tahun 2021 tentang kesepakatan perdamaian dalam hak asuh anak
secara pengasuhan bersama (shared parenting)

3. Putusan Pengadilan Agama yang membatalkan konsep pengasuhan bersama


(shared parenting) pasca perceraian

1. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandarlampung No.


54/Pdt.G/2021/PTA.Bdl. Tahun 2021
85

4. Peluang Pengasuhan Bersama (Shared Parenting) terhadap Hukum Hak Asuh


Anak Pasca Perceraian

Dalam era hukum modern saat ini, pengasuhan bersama (shared


parenting) telah menjadi diskursus yang sedang hangat di dalam hal
penentuan hak asuh anak pasca perceraian. Walaupun pengasuhan bersama
banyak digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum
common law system, di dalam hasil penelitian tesis ini, sekurang-
kurangnya terdapat 10 (sepuluh) putusan Pengadilan Agama di Indonesia
yang telah memuat atau menggunakan konsep pengasuhan bersama
(shared parenting) dalam memutuskan hak hadhanah pasca perceraian,
digunakan baik sebagai pertimbangan hukum maupun mengadili (amar
putusan).

Amar Putusan yang memuat secara langsung konsep pengasuhan


bersama (shared parenting).

1. Putusan Pengadilan Agama Banjarbaru,


No.369/Pdt.G/2017/PA.Bjb. Pada tahun 2017

Didalam pertimbangan hukumnya menyebutkan; “Bahwa penetapan


hak asuh anak pada perkembangannya tidak lagi semata mata mengacu
pada pengasuhan secara terpisah (split parenting). Pengasuhan anak
dalam doktrin hukum keluarga kontemporer yang berkembang saat ini
telah menekankan pentingnya pengasuhan bersama (shared parenting)
baik dengan konsep pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama
(shared responsibility parenting) maupun pembagian tempat
(residence) dan waktu tinggal (living time) bagi si anak (shared
residence parenting atau physical parenting). Konsep tersebut
bertujuan untuk memberikan pengaturan mengenai pengasuhan yang
mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar anak memeroleh
86

pengasuhan terbaik dari kedua orang tuanya. Pengasuhan terpisah


dalam praktiknya ternyata banyak menimbulkan polemik dikarenakan
adanya kesan bagi pemegang hak asuh anak yang menghalang-halangi
orang tua lainnya untuk turut serta memberikan pengasuhan kepada
anak-anaknya; -

Bahwa dalam perkara a quo Pengadilan pada prinsipnya telah


menetapkan Pemohon sebagai pemegang utama hak asuh keempat
anak Pemohon dan Termohon. Namun demikian, Pengadilan
menetapkan perlunya untuk menerapkan pola pengasuhan bersama
keempat anak tersebut dengan konsep shared residence parenting atau
shared physical parenting;

Telaah peneliti terhadap putusan tersebut, ialah menurut majelis


hakim, pengasuhan bersama sebagai jalan keluar dari konsep
pengasuhan terpisah yang banyak menimbulkan polemik dikarenakan
adanya kesan bagi pemegang hak asuh anak yang menghalang-halangi
orangtua lainnya untuk turut serta memberikan pengasuhan.

2. Putusan Pengadilan Agama Karanganyar No.


1191/Pdt.G/2018/PA.Kra/ tahun 2018

Didalam pertimbangan hukumnya menyebutkan,; “Menimbang, bahwa


setiap anak memiliki kelekatan dengan kedua orang tuanya dan tidak
pula ada seorang anakpun yang ingin hanya menghendaki kelekatan
dengan salah satu seorang dari kedua orang tuanya;-

Menimbang, bahwa kelekatan dengan kedua orang tua, tentu akan


memberikan implikasi karakter yang berbeda. Perbedaan karakter
tersebut tentu akan menyeimbangkan kehendak-kehendak serta
87

perkembangan anak yang mungkin di pengaruhi oleh lingkungan


sekitar, ayah dapat memberikan keteladanan dan mengajarkan
ketangguhan dan ibu mewariskan kelembutan-kelembutan dan
tanggung jawab dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Selanjutnya

Menimbang, bahwa seorang anak yang mendapatkan perhatian kedua


orang tua, cenderung memilili pemahaman yang lebih baik tentang
warna kehidupan dan pula mampu mengepresikan dirinya secara wajar
dan tidak mengalami kebimbangan saat akan meminta dan
memerlukan petunjuk atau nasihat kedua orang tuanya;-

Menimbang, bahwa komunikasi efektif dan positif adalah basis serta


dasar dari keberhasilan dalam mendidik anak, dan diharapkan
komunikasi akan dapat melahirkan kesempatan dan pengertian
mengenai tanggung jawab dan batasan masing-masing, dengan
demikian setipa orang tua tidak ragu untuk membiayai kebutuhan anak
dan akan tumbuh pula kesaling percayaan dalam pengasuhan anak;-

Menimbang, bahwa dalam pengasuhan bersama terhadap anak akan


meminimalisasi akan munculnya simpton parent alienation syindrome
membenci kepada salah satu orang tua yang di tanamkan oleh pihak
ayh atau ibu;-

Menimbang, bahwa dalam pengasuhan bersama diharapkan dapat


mengembalikan stabilitas hubungan mantan suami dan mantan isteri
dan atau peredah konplik demi kepentingan terbaik anak;-

Menimbang, bahwa pengasuhan bersama, akan lebih memastikan


bahwa orang tua akan selalu terlibat dalam proses membesarkan anak
sehingga dukungan financial untuk anak akan lebih stabil dibanding
pelaksanaan hak asuh tunggal ( sole custody);-
88

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut


di atas dan untuk menjamin kepentingan terbaik anak (the best interst
of the child) yang sejalan dengan kaidah hukum yang dilahirkan dalam
putusan kasasi Mahkamah Agung RI pada tahun 2007, bahwa
penetapan hak pengasuhan anak tidak semata-mata didasarkan pada
ketentuan normative namun lebih menekankan pada aspek kepentingan
terbaik bagi anak;-

Menimbang, bahwa untuk kepentingan terbaik anak dan untuk


pemenuhan hak masing-masing orang tua dalam rangka untuk
memberikan kasih sayang kepada anaknya, oleh karena majelis
memandang ada evolusi dalam hak asuh anak, karena masing-masing
orang tua mempunyai kopenten untuk mengasuh anak tersebut;-

Menimbang, bahwa untuk dapat mewujudkan kepentingan terbaik


anak tersebut, oleh karena Majelis Hakim memandang bahwa
pembagian tanggung jawab pengasuhan anak (share parenting
responsibility) oleh karenanya gugatan penggugat terhadap hak asuh
anak dapat dikabulkan dengan pola pengasuhan bersama (share
parenting) dengan konsep pembagian tanggung jawab pengasuhan
bersama (share resposibilty parenting) dan pembagian tempat
(residence) dan waktu tinggal (living time) sebagai dictum putusan;-

MENGADILI
1. Mengabulkan gugatan Penggugat sebagian ;-
2. Menetapkan anak yang bernama NAMA ANAK binti NAMA
BAPAK, lahir 08 September 2010 berada dalam Pengasuhan bersama
yaitu Tergugat (NAMA TERMOHON) sebagai ibu kandungnya dan
Penggugat (NAMA PEMOHON) sebagai ayah kandungnya;
89

3. Menetapkan pengasuhan anak sebagai dictum nomor 2 pada hari


Senin s/d Jum’at berada dalam Pengasuhan Tergugat (NAMA
TERMOHON) dan hari sabtu s/d minggu berada dalam pengasuhan
Penggugat (NAMA PEMOHON) sebagai ayah kandungnya;
4. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar
Rp.391.000,- (Tiga ratus sembilan puluh satu ribu rupiah);
Telaah peneliti dalam putusan tersebut diatas, majelis hakim
menjelaskan mengenai alasan-alasan dapat perlunya pengasuhan
bersama (shared parenting) diterapkan ialah

1. Ayah dapat memberikan keteladanan dan mengajarkan ketangguhan


dan ibu mewariskan kelembutan-kelembutan dan tanggung jawab
dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Selanjutnya
2. Bahwa dalam pengasuhan bersama terhadap anak akan
meminimalisasi akan munculnya simpton parent alienation syindrome
membenci kepada salah satu orang tua yang di tanamkan oleh pihak
ayah atau ibu
3. Majelis memandang ada evolusi dalam hak asuh anak, karena
masing-masing orang tua mempunyai kompenten untuk mengasuh
anak tersebut
4. Bahwa pengasuhan bersama, akan lebih memastikan bahwa orang
tua akan selalu terlibat dalam proses membesarkan anak sehingga
dukungan financial untuk anak akan lebih stabil dibanding pelaksanaan
hak asuh tunggal ( sole custody)
5. Bahwa dalam pengasuhan bersama diharapkan dapat
mengembalikan stabilitas hubungan mantan suami dan mantan isteri
dan atau peredah konplik demi kepentingan terbaik anak;-

3. Putusan Pengadilan Agama Pelaihari No. 735/Pdt.G/2018/PA.Plh


pada tahun 2018
90

Didalam pertimbangan hukumnya menyebutkan; Menimbang bahwa


atas alasan tersebut di atas, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa
mengambil mudharat yang lebih ringan sesuai kaidah fikih
sebagaimana dalam al-Asybah wa an-Nazha‟ir oleh Imam Jalaluddin
As-Suyuthi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983 M/1403 H, hal.
87) yang diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim berbunyi: ‫إذا‬
‫تازذكاب أخفّهما‬
ِ ‫ػظمهما ضس ّزا‬
ِ ‫ ذؼازض مفسدذان زوػي أ‬Artinya: “Apabila ada
dua hal yang sama-sama mengandung madharat, maka harus dihilangkan
madharat yang paling besar meskipun harus mengerjakan madharat yang
lebih kecil”; Selanjutnya

Menimbang, bahwa Majelis Hakim menilai bahwa madharat yang


paling ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap berada di
bawah asuhan ibunya, karena dikhawatirkan perkembangan anak yang
masih di bawah umur untuk tumbuh kembang akan terlalaikan dan
terhindar dari terlalaikannya hak-hak anak yang harus dipenuhi oleh
orang tuanya;

Menimbang, bahwa penetapan hak asuh anak pada perkembangannya


tidak semata-mata mengacu pada pengasuhan secara terpisah (split
parenting). Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga
kontemporer yang berkembang saat ini telah menekankan pentingnya
pengasuhan bersama (shared parenting) baik dengan konsep
pembagian tempat dan waktu tinggal bagi si anak (shared physical
parenting) maupun pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama
(shared responsibility parenting). Konsep tersebut bertujuan untuk
memberikan pengaturan mengenai pengasuhan yang mengedepankan
pemenuhan hak-hak dasar anak dalam memperoleh pengasuhan terbaik
dari kedua orangtuanya; Menimbang, bahwa dalam perkara a quo
Majelis Hakim pada prinsipnya telah menetapkan Penggugat sebagai
pemegang utama hak asuh anak Penggugat dan Tergugat. Namun
91

demikian, Majelis Hakim menetapkan perlunya untuk menerapkan


pola pengasuhan bersama anak tersebut dengan konsep shared physical
parenting dan shared responsibility parenting

Menimbang, bahwa terkait dengan shared responsibility parenting,


Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat sebagai ibu kandung
dari anak yang bernama ANAK, memiliki hak dan tanggung jawab
dalam pengambilan dan penentuan keputusan-keputusan penting
terkait pengasuhan, keamanan, pelayanan dan perawatan anak tersebut
dalam kegiatan sehari-hari demi tumbuh kembang anak tersebut yang
jauh dari penelantaran dan ignorance, sedangkan Tergugat sebagai
ayah kandung dari anak yang bernama ANAK, memiliki hak dan
tanggung jawab dalam pengambilan dan penentuan keputusan penting
terkait kehidupan dan masa depan anak, antara lain terkait pilihan
sekolah dan atau keahlian/bakat untuk perkembangan anak, kegiatan
dan pendidikan keagamaan, dan sebagainya

Telaah peneliti dalam putusan tersebut, majelis hakim dalam


memutuskan hak asuh anak telah mengambil prinsip-prinsip teori
maslahat seperti yang diatur didalam hukum islam. Majelis Hakim
berpendapat bahwa mengambil mudharat yang lebih ringan sesuai
kaidah fikih sebagaimana dalam al-Asybah wa an-Nazha‟ir oleh Imam
Jalaluddin As-Suyuthi (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1983
M/1403 H, hal. 87) yang diambil alih sebagai pendapat Majelis Hakim
berbunyi: ‫اب أخفّهما‬nn‫تازذك‬
ِ ‫ػظمهما ضس ّزا‬
ِ ‫ إذا ذؼازض مفسدذان زوػي أ‬Artinya:
“Apabila ada dua hal yang sama-sama mengandung madharat, maka harus
dihilangkan madharat yang paling besar meskipun harus mengerjakan
madharat yang lebih kecil”;

Dari pertimbangan tersebut diatas, Majelis Hakim menilai bahwa


madharat yang paling ringan diantara keduanya adalah jika anak tetap
92

berada di bawah asuhan ibunya, karena dikhawatirkan perkembangan


anak yang masih di bawah umur untuk tumbuh kembang akan
terlalaikan dan terhindar dari terlalaikannya hak-hak anak yang harus
dipenuhi oleh orang tuanya;

Namun, dalam hal pengasuhan bersama (shared parenting), majelis


hakim membagi peran kedua orang tua untuk tetap melaksanakan
kewajiban pemeliharaan anak Yaitu berupa shared responsibility
parenting, Majelis Hakim berpendapat bahwa
1. Penggugat sebagai ibu kandung dari anak yang bernama ANAK,
memiliki hak dan tanggung jawab dalam pengambilan dan penentuan
keputusan-keputusan penting terkait pengasuhan, keamanan, pelayanan
dan perawatan anak tersebut dalam kegiatan sehari-hari demi tumbuh
kembang anak tersebut yang jauh dari penelantaran dan ignorance,
sedangkan
2. Tergugat sebagai ayah kandung dari anak yang bernama ANAK,
memiliki hak dan tanggung jawab dalam pengambilan dan penentuan
keputusan penting terkait kehidupan dan masa depan anak, antara lain
terkait pilihan sekolah dan atau keahlian/bakat untuk perkembangan
anak, kegiatan dan pendidikan keagamaan, dan sebagainya

4. Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.


1000/Pdt.G/2019/PA.Amb. pada tahun 2019

Didalam pertimbangan hukumnya dalam Point Hak Asuh/ Anak


(Hadhonah) menyebutkan;

Menimbang, bahwa Penggugat mengajukan gugatan hak asuh terhadap


dua anak yang bernama Gusti Early Honest Rasti Wiyanto binti Agus
Wiyanto dan Gusti Secondary Honest Rasti Wiyanto binti Agus
93

Wiyanto,. Berdasarkan bukti T.2 (Fotokopi Kartu Keluarga) dikuatkan


bukti T.3 dan T.4 (Fotokopi Akta Kelahiran kedua anak tersebut)
terbukti bahwa anak tersebut adalah anak Penggugat dan Tergugat
hasil dari perkawinan yang sah, yang saat ini belum mumayyiz dan
belum genap berumur 12 (dua belas) tahun.

Menimbang, bahwa pada dasarnya hadhanah terhadap anak yang


belum mumayyiz adalah hak ibunya, sesuai dengan bunyi pasal 105
ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.

Menimbang, bahwa penetapan hak asuh anak pada perkembangannya


tidak semata-mata mengacu pada pengasuhan secara terpisah (split
parenting). Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga
kontemporer yang berkembang saat ini telah menekankan pentingnya
pengasuhan bersama (shared parenting) baik dengan konsep
pembagian tempat dan waktu tinggal bagi si anak (shared physical
parenting) maupun pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama
(shared responsibility parenting). Konsep tersebut bertujuan untuk
memberikan pengaturan mengenai pengasuhan yang mengedepankan
pemenuhan hak-hak dasar anak dalam memperoleh pengasuhan terbaik
dari kedua orangtuanya;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo Majelis Hakim pada


prinsipnya telah menetapkan Penggugat sebagai pemegang utama hak
asuh anak Penggugat dan Tergugat. Namun demikian, Majelis Hakim
menetapkan perlunya untuk menerapkan pola pengasuhan bersama
anak tersebut dengan konsep shared physical parenting dan shared
responsibility parenting;

Menimbang, bahwa terkait shared physical parenting, oleh karena anak


Penggugat dan Tergugat masih di bawah umur dan tetap membutuhkan
94

kasih sayang dari kedua orangtuanya, maka Penggugat diperintahkan


untuk tetap memberi akses kepada Tergugat untuk bertemu dengan
anak tersebut;

Menimbang, bahwa tidak diberinya akses kepada orangtua yang tidak


memegang hak asuh dalam hal ini Tergugat, dapat dijadikan alasan
bagi Tergugat di kemudian hari untuk mengajukan gugatan pencabutan
hak asuh, yang mana hal ini sejalan dengan ketentuan poin C angka 4
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun
2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2017 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan, yang diambil alih oleh Majelis Hakim sebagai
pertimbangan dalam putusan ini;

Telaah peneliti terhadap putusan tersebut diatas, ialah majelis hakim


Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga kontemporer yang
berkembang saat ini telah menekankan pentingnya pengasuhan
bersama (shared parenting) baik dengan konsep pembagian tempat dan
waktu tinggal bagi si anak (shared physical parenting) maupun
pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama (shared responsibility
parenting). Konsep tersebut bertujuan untuk memberikan pengaturan
mengenai pengasuhan yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar
anak dalam memperoleh pengasuhan terbaik dari kedua orangtuanya;

5. Putusan Pengadilan Agama Gedong Tataan No.


0334/Pdt.G/2019/PA.Gdt. Tahun 2019

Dalam putusan tersebut salah satu pertimbangan hukumnya dan masuk


didalam amar putusannya ialah “Maka demi menjamin kepentingan
terbaik sang anak sebagaimana dikemukakan di atas, maka ditetapkan
pengasuhan bersama dengan model physical custody atau membagi
95

waktu bersama Penggugat dan Tergugat dengan anaknya, sebagai


berikut:
1. Penggugat diberi hak mengasuh anak pada hari sabtu dan ahad saat
anak sedang tidak bersekolah
2. Tergugat diberi hak mengasuh anak pada hari Senin-Jumat (hari
sekolah anak)
3. Bila terdapat hari libur pada hari senin-jumat, maka anak tetap
diasuh oleh tergugat, kecuali bila tergugat dan penggugat
menyepakati hal lain.
4. Hal-hal mengenai pendidikan, kesehatan dan hal lain terkait
pengembangan kompetensi dsara maupu keahlian si anak wajib
dilaksanakan atas persetujuan bersama
5. Masing-masing pidak wajib melaksanakan pengasuhan tersebut
dan tidak dihalang-halangi oleh pihak lain148.

Dalam menerapkan pengasuhan bersama tersebut diatas, majelis


hakim menggunakan kaidah hukum “kepentingan terbaik anak”
sebagai norma hukumnya, sama halnya dengan kaidah hukum yang
digunakan saat memutuskan memberikan hak asuh anak yang
belum mumayyiz kepada ayah, seperti yang tertuang di
Yurisprudensi MA tahun 2007.

Telaah peneliti, hal ini merupakan suatu langkah progresif yang


telah dilakukan oleh para hakim yang dalam salah satu
pertimbangan hukumnya, menyebutkan; “untuk hal ini, harus
dipahami bahwa perceraian yang terjadi di antara kedua orang
tuanya harus sedapat mungkin tidak memberi efek buruk bagi
perkembangan anaknya. Salah seorang orangtua tidak boleh
melarang anaknya untuk bertemu dan mendapat kasih sayang dari

148
Putusan Pengadilan Agama Gedong Tataan No. 0334/Pdt.G/2019/PA.Gdt.
Tahun 2019. Hal. 52
96

orangtua lainnya, sebaliknya justru wajib menfasilitasi sang anak


anak agar tetap memiliki kedekatan kasih sayang sebagaimana
mestinya dirasakan oleh anak-anak yang kedua orangtuanya tetap
rukun dan tidak bercerai. Artinya, bahwa perlu disadari secara
bersama oleh kedua orang tua (Penggugat dan Tergugat),
pengasuhan anak bukan lagi sekedar masalah “ siapa mengasuh
siapa”, tetapi memastikan bahawa perceraian kedua orangtuanya
tidak memengaruhi iktikad baik kedua orangtua merawat anak
dengan sebaik-baiknya, menjamin anak tetap memperoleh kasih
sayang selayaknya saat kedua orangtuanya masih rukun dan
harmonis, serta menjamin masa depan yang lebih baik si anak.

Anak bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi bahan perebutan


atau perselisihan, justru anak harus menjadi penyejuk bagi kedua
orangtunya yang hanya dapat terwujud jika kedua orangtua
menghentikan perselisihan pengasuhan di antara mereka dan fokus
pada upaya bersama mengasuh dan membesarkan anaknya”149.

Pertimbangan hakim tersebut bersifat kontekstual hukum, sejalan


dengan kaidah-kaidah/norma yang juga terkandung didalam Teori
Hukum progresif.

6. Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 1113/Pdt.G/2020/PA.Gs.


Tahun 2020

Didalam pertimbangan hukumnya menyebutkan; “Menimbang, bahwa


oleh karena gugatan nafkah ini berhubungan dengan hadhanah, maka
perlu Majelis Hakim paparkan terlebih dahulu bahwa esensi dari
149
Putusan Pengadilan Agama Gedong Tataan No. 0334/Pdt.G/2019/PA.Gdt. Tahun
2019. Hal. 50
97

hadhonah adalah terjaminya kebutuhan dasar berupa sandang, pangan,


pendidikan dan kesehatan serta kasih sayang demi kelangsungan hidup
dan tumbuh kembang lebih baik, sehingga Majelis Hakim dalam
menetapkan pemengang hak pemeliharaan anak (hadhonah) akan
selalu berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of
child)”:. selanjutnya

Menimbang bahwa norma dan/atau doktrin (pemikiran) mengenai


pengasuhan anak kian berkembang dan mengarah pada prinsip
“pengasuhan wajib menjamin kepentingan terbaik bagi anak”. Dalam
konteks demikian, pengasuhan anak tidak lagi semata-mata hanya
diarahkan pada pengasuhan terpisah sebagaimana selama ini
diterapkan dalam putusan-putusan hak asuh anak (split parenting, split
custody) melainkan juga pada konsepsi pengasuhan bersama (shared
parenting, join custody)

Menimbang, bahwa terhadap konsepsi pengasuhan bersama (shared


parenting, joint custody), menerangkan bahwa kewajiban dan
tanggung jawab orang tua menurut pasal 45 dan 46 UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, bahwa kedua orangtua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, sampai anak-anak itu
kawain atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus,
walaupun perkawinan antara kedua orang tua putus”150.

Menimbang, bahwa pemenuhan hak-hak anak yang merupakan


kewajiban orang tua dan keluarga, menurut pasal 2 UU No. 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak, dapat dijelaskan sebagai berikut :

150
Putusan Pengadilan Agama Gresik No. 1113/Pdt.G/2020/PA.Gs. Tahun 2020, Hal 56
98

a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan


berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan
dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian
bangsa, untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa
dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar.

Menimbang, bahwa oleh karena berdasarkan fakta hukum


dipersidangan Majelis Hakim menilai, bahwa tidak ada permasalahan
dalam persoalan hadhanah terhadap kedua Penggugat dan Tergugat
yang telah dewasa (mumayyiz), dan terlebih pula berdasarkan bukti
P.8 (dalam konvensi) yang tidak dibantah oleh Penggugat Rekonvensi/
Terguggat Konvensi, bahwa Tergugat Rekonvensi selaku Ayah tetap
bertanggungjawab membiayai kebutuhan keluarga, termasuk biaya
Sekolah, Kost, Jajan Anak dan lain-lain, dan juga fakta di persidangan
berdasarkan saksi-saksi yang diajukan oleh masing-masing pihak
bahwa Penggugat Rekonvensi dan Tergugat Rekonvensi telah
memiliki perkerjaan dan usaha yang berpenghasilan cukup secara
ekonomi. Maka dengan mempertimbangkan fakta tersebut dan dengan
memperhatikan ketentuan Pasal 45 dan 46 UU 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, jo Pasal 4, 5, 6 dan 9 UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo, Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, maka pemenuhan biaya pemeliharaan dan biaya
pendidikan terhadap ke dua anak Penggugat dan Tergugat, dirasa adil
menurut pendapat Majelis dibebankan kepada masing-masing pihak
sebagai konsekuensi hukum dari konsepsi pengasuhan bersama (shared
99

parenting, joint custody) yang Majelis menilai lebih maslahah


diterapkan dalam gugatan a quo ;

Menimbang, bahwa dengan ditetapkannya pembebanan biaya


pemeliharaan dan biaya pendidikan terhadap ke dua anak Penggugat
dan Tergugat kepada masing-masing pihak, maka tuntutan Penggugat
tentang nafkah anak haruslah di tolak ;

Dalam telaah peneliti, majelis hakim secara tegas dan jelas


menenempatkan kaidah “kepentingan terbaik bagi anak” sebagai dasar
dalam memutuskan hak asuh anak pasca perceraian. Sebagaimana
didalam pertimbangan lainnya, majelis hakim memperhatikan
pemenuhan hak-hak anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang
No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak.

7. Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.


1860/Pdt.G/2021/PA.Amb

Didalam salah satu pertimbangan hukumnya menyebutkan; “


Menimbang, bahwa penetapan hak asuh anak pada perkembangannya
tidak semata-mata mengacu pada pengasuhan secara terpisah (split
parenting). Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga
kontemporer yang berkembang saat ini telah menekankan pentingnya
pengasuhan bersama (shared parenting) baik sebagai konsep
pembagian tempat dan waktu tinggal bagi si anak (shared physical
parenting) maupun pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama
(shared responbility parenting). Konsep tersebut bertujuan untuk
memberikan pengaturan mengenai pengasuhan yang mengedepankan
pemenuhan hak-hak dasar anak dalam memperoleh pengasuhan terbaik
dari kedua orang tuanya. Selanjutnya
100

Menimbang, .bahwa dasar dalam menentukan siapa yang berhak


memegang hak asuh terhadap anak tidak semata-mata disandarkan
pada pandangan atau argumentasi yuridis semata sebagaimana diatur
dalam pasal 105 ayat (1) KHI tersebut diatas, namun harus pula
mempertimbangkan dengan cermat kemaslahatan terbaik bagi
perkembangan fisik, psikis dan psikomotorik anak. Tegasnya,
penetapan siapa yang memegang hak asuh anak harus disandarkan pula
pada pertimbangan pada siapa anak tersebut diasuh sehingga haknya
untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (vide Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun
2014 dan Yurisprudensi MA Nomor 110K/AG/2007 tanggal 13
November 2007151

Dalam telaah peneliti, majelis hakim didalam putusan tersebut diatas,


menempatkan kaidah “Kepentingan Terbaik Bagi Anak” sebagai
alasan dalam memuat/ mempertimbangkan pengasuhan bersama
(shared parenting) sebagai konsep baru dalam memutuskan hak asuh
anak pasca perceraian. Majelis hakim menerangkan bahwa konsep
tersebut bertujuan untuk memberikan pengaturan mengenai
pengasuhan yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar anak
dalam memperoleh pengasuhan terbaik dari kedua orang tuanya

151
Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No. 1860/Pdt.G/2021/PA.Amb.Tahun
2021. hlm 17
101

8. Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.


1664/Pdt.G/2021/PA.Amb pada tahun 2021.

Didalam pertimbangan hukumnya menjelaskan,; “Menimbang, bahwa


penetapan hak asuh anak pada perkembangannya tidak semata-mata
mengacu pada pengasuhan secara terpisah (split parenting).
Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga kontemporer yang
berkembang saat ini telah menekankan pentingnya pengasuhan
bersama (shared parenting) baik dengan konsep pembagian tempat dan
waktu tinggal bagi si anak (shared physical parenting) maupun
pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama (shared responsibility
parenting). Konsep tersebut bertujuan untuk memberikan pengaturan
mengenai pengasuhan yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar
anak dalam memperoleh pengasuhan terbaik dari kedua orangtuanya;

Menimbang, bahwa dalam perkara a quo Hakim pada prinsipnya telah


menetapkan pemegang utama hak asuh anak Penggugat dan Tergugat.
Namun demikian, Hakim menetapkan perlunya untuk menerapkan
pola pengasuhan bersama anak tersebut dengan konsep shared physical
parenting dan shared responsibility parenting;

Menimbang, bahwa terkait shared physical parenting, oleh karena anak


Penggugat dan Tergugat tetap membutuhkan kasih sayang dari kedua
orangtuanya, maka Penggugat ataupun Tergugat diperintahkan untuk
tetap memberi akses kepada masing-masing pihak untuk bertemu

Telaah peneliti dalam putusan tersebut ialah, majelis hakim seperti


diputusan-putusan yang telah ada sebelumnya, menempatkan kaidah
hukum “kepentingan terbaik anak” dalam memutuskan hask asuh anak
serta menjelaskan perlunya pengasuhan bersama sebagai penekanan
102

untuk ke dua orangtua agar tetap memberikan akses kepada masing-


masing pihak untuk bertemu dengan sang anak.

9. Putusan Pengadilan Agama Ambarawa No.


2098/Pdt.G/2021/PA.Amb. pada tahun 2021 tentang Kesepakatan
Perdamaian dalam hak asuh anak secara pengasuhan bersama
(shared parenting)

KESEPAKATAN PERDAMAIAN

Pada hari ini, Kamis tanggal 3 Februari 2022 Masehi. bertepatan


dengan tanggal 1 Rajab 1443 Hijriyah, dalam proses mediasi perkara
Nomor 2098/Pdt.G/2021/PA.Amb., dengan pihak-pihak: 1. Marfuatul
Baroroh binti Muh Umar, NIK: 331214550991002, Tempat/Tgl Lahir:
Grobogan, 15 September 1991, Jenis Kelamin: Perempuan, Agama:
Islam, Pendidikan: S1 (Strata 1), Pekerjaan: Guru Honorer , Status:
Cerai Hidup, Alamat: Kupang Lor, RT 02 RW 03, Kelurahan Kupang,
Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang, sebagai Pihak Pertama;
2. Suyanto bin Nadi, Umur: 41 Tahun, Jenis kelamin: Lakilaki;
Pekerjaan: Wiraswasta, Alamat: Tulung, Lingkungan Bapang RT 02
RW 09, Kelurahan Harjosari, Kecamatan Bawen, Kabupaten
Semarang, sebagai Pihak Kedua; Selanjutnya kedua belah pihak
dengan bantuan mediator, Rashif Imany, S.H.I., M.S.I. telah
menyepakati hal-hal sebagaimana tersebut dibawah ini mengenai
penyelesaian Gugatan Hak Asuh anak yang diajukan pihak pertama
terhadap pihak kedua: Para pihak bersepakat menerapkan pola
pengasuhan bersama (shared parenting) baik dengan konsep
pembagian tempat dan waktu tinggal bagi si anak (shared physical
parenting) maupun pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama
103

(shared responsibility parenting) terhadap dua anak kandung para


pihak yang bernama:
1. Zainuttholibin, laki-laki, lahir pada tangggal 08 April 2011;
2. Muhammad Syihabuddin, laki-laki, lahir pada tangggal 07 Juni
2015;
Pasal 1
(1) Kesepakatan Perdamaian ini dibuat dan diterima baik oleh kedua
belah pihak dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari pihak
manapun.
(2) Para pihak bersepakat menerapkan pengasuhan anak yang
mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar anak dalam memperoleh
pengasuhan terbaik dari kedua orangtuanya (para pihak);
(3) Para pihak bersepakat saling memberi akses kepada masing-masing
pihak maupun anak untuk bertemu dan mencurahkan kasih sayang;
Pasal 2
(1) Bahwa pihak pertama pada dasarnya mengasuh anak yang bernama
Muhammad Syihabuddin, (laki-laki, lahir pada tangggal 07 Juni 2015);
(2) Bahwa pihak kedua pada dasarnya mengasuh anak yang bernama
Zainuttholibin (laki-laki, lahir pada tangggal 08 April 2011);
(3) Bahwa pihak pertama dan pihak kedua bersepakat mengasuh anak-
anak tersebut di atas secara bersamaan sesuai jadwal pengasuhan yang
telah ditentukan ;
(4) Bahwa apabila salah satu pihak menghendaki mengasuh anak
diluar jadwal yang ditentukan harus seizin pihak yang sedang
mendapatkan jadwal mengasuh kedua anak tersebut;

Jadwal Pengasuhan di Pasal 3


(1) Bahwa pengasuhan terhadap kedua anak dilaksanakan bergantian
setiap pekan/minggu berselang-seling;
(2) Minggu Pertama, anak-anak (Muhammad Syihabuddin dan
Zainuttholibin ) ikut pihak kedua;
104

Minggu kedua, anak-anak (Muhammad Syihabuddin dan


Zainuttholibin ) ikut pihak pertama;
Minggu ketiga, anak-anak (Muhammad Syihabuddin dan
Zainuttholibin ) ikut pihak kedua;
Minggu keempat, anak-anak (Muhammad Syihabuddin dan
Zainuttholibin ) ikut pihak pertama;
(3) Apabila dalam satu bulan kalender, terdiri lebih dari empat
pekan/Minggu, maka Minggu kelima jadwal tersebut berlanjut
berselangseling atau dianggap kembali ke minggu pertama

Pasal 4
(1) Meskipun jadwal pengasuhan (hadhanah) atas kedua orang anak
tersebut telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pihak
yang tidak sedang dalam jadwal mengasuh tetap dapat berinteraksi
dengan kedua orang anak tersebut untuk bertemu anak, mengajak anak
menginap di kediaman pihak yang menginginkan, mengajak jalan atau
rekreasi dan melakukan hal-hal lain selama tidak merugikan
kepentingan dan hak-hak anak, serta Pihak yang sedang dalam jadwal
mengasuh tidak akan menghalangi Pihak lain untuk mencurahkan
kasih sayangnya kepada anak;
(2) Interaksi Pihak yang sedang tidak dalam jadwal mengasuh kedua
orang anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas dilakukan
dengan terlebih dahulu memberitahukan atau atas sepengetahuan dan
seijin pihak yang mengasuh, begitu juga sebaliknya;
(3) Pihak yang ingin mengasuh anak, Mengambil anak yang hendak
diasuh di sekolah pada hari Sabtu, dan mengantar lagi ke sekolah
dihari Senin dengan saling komunikasi;
105

10. Putusan Tingkat Banding yang membatalkan Putusan Tingkat Pertama


yang memuat konsep pengasuhan bersama (shared parenting).
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandarlampung No.
54/Pdt.G/2021/PTA.Bdl. Tahun 2021

Didalam salahsatu pertimbangan hukumnya menyebutkan,


“Menimbang, bahwa dalam perkara a quo majelis hakim tingkat
pertama pada prinsipnya telah menetapkan penggugat
rekonvensi/terbanding dan tergugat/pembanding sebagai pemegang
utama hak asuh anak. Namun demikian, majelis hakim tingkat pertama
menetapkan perlunya untuk menerapkan pola pengasuhan bersama
anak tersebut dengan konsep shared physical parenting dan shared
responbility parenting;

Menimbang, bahwa seorang anak bernama XXX yang berusia 8 tahun,


belum mumayyiz, berdasarakan fakta persidangan, saat ini anak
penggugat dan tergugat berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan
orang tua penggugat rekonvensi, karena selama ini penggugat dan
tergugat, sama-sama bekerja diluar daerah Lampung Timur, maka
majelis akan mempertimbangkan kepentingan terbaik baik anak (the
best interest for the children)

Menimbang bahwa apa yang telah di pertimbangkan oleh majelis


hakim tingkat pertama sebagaimana tersebut diatas telah nyata-nyata
bertentangan dengan kepentingan terbaik bagi anak mereka. Untuk
menentukan kepentingan terbaik bagi anak perlu dipertimbangkan
“semua unsur yang penting untuk membuat keputusan dalam suatu
keadaan tertentu untuk seorang anak secara individual atau
sekelompok anak oleh karenanya perawatan, perlindungan dan
keamanan anak, lingkungan keluarga, hubungan dan kontak dengan
keluarga, hubungan sosial anak dengan rekan sejawat dan orang
106

dewasa. Kerentanan, seperti resiko yang dihadapi anak dan sumber


perlindungan, ketahanan dan pemberdayaan, kemampuan dan
kapasitas anak yang berkembang hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan
kesehatan dan pendidikan. Perkembangan anak dan transisinya menuju
kedewasaan dan hidup yang independent. Kebutuhan lain yang
spesifik, oleh karenanya majelis hakim tingkat banding bahwa apa
yang dipertimbangkan oleh majelis hakim tingkat pertama tidaklah
tepat karena mengeyampingkan kepastian hukum dan nilai-nilai yang
mendasarinya, yaitu nilai kemanusiaan, nilai keadilan, nilai
perlindungan dan nilai non diskrminasi dengan menjunjung nilai-nilai
ini maka prinsip kepentingan terbaik bagi anak akan terjamin.”152

Telaah peneliti dalam putusan tersebut diatas, ialah menurut


majelis hakim dalam menerapkan pengasuhan bersama tidak serta
merta hanya melihat aspek kepentingan anak terhadap kasih sayang
yang akan didapatkan, namun juga memperhatikan kepastian hukum,
serta semua unsur yang penting, perlindungan serta kerentanan,
keadaan dan kondisi yang membuat perlindungan anak dapat lebih
terjamin.

Adapun hasil analisis peneliti secara keseluruhan mengenai


peluang pengasuhan bersama (shared parenting) terhadap produk
hukum hak asuh anak pasca perceraian ialah, konsep pengasuhan
bersama (shared parenting) dapat diterapkan dalam memutuskan hak
asuh anak pasca perceraian, dengan pertimbangan/alasan-alasan
sebagai berikut
1. Untuk menjamin kepentingan terbaik anak (the best interst of the
child) yang sejalan dengan kaidah hukum yang dilahirkan dalam
putusan kasasi Mahkamah Agung RI pada tahun 2007, bahwa
152
Putusan Pengadilan Tinggi Agama Bandarlampung No. 54/Pdt.G/2021/PTA.Bdl.
Tahun 2021, Hal. 19
107

penetapan hak pengasuhan anak tidak semata-mata didasarkan


pada ketentuan normative namun lebih menekankan pada aspek
kepentingan terbaik bagi anak,
2. Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga kontemporer
yang berkembang saat ini telah menekankan pentingnya
pengasuhan bersama (shared parenting) baik dengan
a. konsep pembagian tempat dan waktu tinggal bagi si anak
(shared physical parenting) maupun
b.pembagian tanggung jawab pengasuhan bersama (shared
responsibility parenting).
3. Pengasuhan terpisah dalam praktiknya ternyata banyak
menimbulkan polemik dikarenakan adanya kesan bagi pemegang
hak asuh anak yang menghalang-halangi orang tua lainnya untuk
turut serta memberikan pengasuhan kepada anak-anaknya
4. Dalam memutuskan konsep perngasuhan bersama (shared
parenting) melalui dasar kaidah “kepentingan terbaik bagi anak”
maka perlu dipertimbangkan “semua unsur yang penting untuk
membuat keputusan dalam suatu keadaan tertentu untuk seorang
anak secara individual atau sekelompok anak oleh karenanya
perawatan, perlindungan dan keamanan anak, lingkungan keluarga,
hubungan dan kontak dengan keluarga, hubungan sosial anak
dengan rekan sejawat dan orang dewasa. Kerentanan, seperti resiko
yang dihadapi anak dan sumber perlindungan, ketahanan dan
pemberdayaan, kemampuan dan kapasitas anak yang berkembang
hak-hak dan kebutuhan-kebutuhan kesehatan dan pendidikan.
Perkembangan anak dan transisinya menuju kedewasaan dan hidup
yang independent
108

Analisis/telaah terhadap ke-3 (tiga) rumusan masalah yang dibahas


dalam Penelitian ini, adapun hasilnya sebagai berikut;

A. Hak asuh anak pasca perceraian (hadhanah) menurut Hukum Islam dan
Hukum Positif di Indonesia

1. Pengadilan Agama yang berwenang memutuskan hak asuh anak


(Hadhanah) pasca perceraian
2. Peran Hakim Pengadilan Agama sangat berpengaruh dalam penentuan
hak asuh anak (hadhanah) pasca perceraian
3. Suami atau Istri, Saudara kandung anak serta Keluarga dari Suami dan
Istri lurus ke-atas memiliki hak untuk melakukan gugatan hak asuh
anak (hadhanah) pasca perceraian
4. Mantan Suami dan Mantan Istri berhak atas hak asuh anak (hadhanah)
selama tidak ada perselisihan/gugatan mengenai hak asuh anak baik
masih dalam proses perceraian maupun pasca perceraian
5. Didalam aturan hukum Islam dan hukum positif (perundang-undangan)
secrara garis besar masih menerapkan konsep pengasuhan secara
terpisah (Split Parenting)
109

B. Pertimbangan hukum yang digunakan hakim dalam memutuskan hak


asuh anak (hadhanah) pasca perceraian. Yaitu

1. Menurut Pasal 105 KHI


2. Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-
2007 (kepentingan terbaik anak)

C. Peluang pengasuhan bersama (shared parenting) terhadap produk


hukum hak asuh anak pasca perceraian,

1. Pengasuhan bersama telah/sudah diterapkan dan berpeluang untuk


diterapkan
2. Orangtua berkewajiban untuk memelihara anak-anaknya, hal ini
berlaku terus walaupun putusnya perkawinan, sebagaimana diatur
dalam UU Perkawinan dan KHI
3. Anak memiliki Hak yang patut dijamin serta dilindungi
sebagaimana diatur didalam UU Perlindungan Anak.
4. Tidak bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah
5. Hak asuh anak tidak semata-mata hanya berdasarkan pada aturan
formal, namun terpenting ialah kepentingan terbaik bagi anak
6. Telah adanya Putusan Pengadilan Agama tentang pengasuhan
bersama (shared parenting)
7. Tidak adanya larangan mengenai pengasuhan bersama (shared
parenting). Terkecuali jika ada putusan hukum yang berkata
sebaliknya.
110

PENUTUP

A. SIMPULAN
Berdasarakan kajian komprehensif tinjauan pustaka dengan menggunakan
metode penelitian hukum normatif atas penelitian yang dilakukan, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut;

1. Perspektif hukum positif dan hukum Islam terhadap hak asuh anak
pasca perceraian, secara garis besar produk hukum yang berlaku masih
menerapkan pola pengasuhan terpisah (spilt parenting). Pada dasarnya
suami dan istri atau orang tua berhak untuk mengasuh serta
memelihara anak-anaknya, berlaku terus walaupun putusnya
perkawinan. Dalam hal adanya perselisihan/gugatan mengenai hak
asuh anak (hadhanah), baik masih dalam proses percerain ataupun
pasca perceraian, peran Hakim Pengadilan Agama sangat berpengaruh.
2. Pertimbangan hukum yang sering digunakan oleh hakim untuk
memutuskan hak hadhanah, yaitu Pasal 105 KHI dan Yurisprudensi
Makhkamah Agung No. 110K/AG/2007. dengan kaidah hukum
(kepentingan terbaik anak). Bagi anak yang belum mumayyiz (belum
cukup umur) menjadi hak ibunya untuk mendapatkan hak hadhanah,
namun hak tersebut dapat diberikan kepada ayah dengan pertimbangan
kepentingan terbaik bagi anak.
3. Pengasuhan bersama (shared parenting) merupakan konsep/pola
alternatif untuk adanya upaya pembaharuan hukum dibidang hukum
khusunya hukum keluarga Islam dalam hal hak hadhanah pasca
perceraian. Pengasuhan bersama (shared parenting) berpeluang untuk
diterapkan dalam memutuskan hak hadhanah pasca perceraian. Sebab
telah ada putusan-putusan Pengadilan Agama yang memutuskan dan
menerapkan hal tersebut serta demi kepentingan terbaik bagi anak.
111

B. SARAN

1. Diperlukan adanya penelitian lanjutan yang mengkaji secara mendalam


mengenai hak asuh anak secara bersama (shared parenting).
2. Agar pengasuhan bersama (shared parenting) dapat menjadi
pertimbangan untuk dapat diterapkan dalam memutuskan hak
hadhanah pasca perceraian. Dan agar hak-hak anak untuk
mendapatkan kasih sayang oleh kedua orangtuanya yang telah bercerai
dapat terpenuhi, begitupun dengan hak-hak perlindungan lainnya.
3. Diperlukan adanya upaya bersama seluruh komponen bangsa agar
perceraian di Indonesia menurun, dan anak tidak lagi menjadi objek
perebutan orang tua yang telah bercerai.
112

DAFTAR PUSTAKA

‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita (terjemahan), Jakarta: Pustaka


al Kautsar. 2008.
ad-Dimasqiy,ImamTaqiyuddinAbiBakarbinMuhammadal-Husniyal-
Husainiy,Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayati al-Ikhtişar: fi al-Fiqhi as-Syafi‟iy,
Damaskus: Dar al-Basyair, 2001.
Aibak, Kutbuddin, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2008.
Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) Dan Teori Peradian
(Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Cet. I,Jakarta: Sinar Grafika,
2011.Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Al-Qurthubi, Abdullah Muhammad bin Fajr al-Maliki, “Aqdliyatur Rasulullah
Shallahu Alaihi wa Sallam (terjemah. 81 Keputusan Rasulullah SAW),Jakarta:
Pustaka Azzam, 2000.
Anderson, James Norman Dalrymple, Islamic Law in the Modern World
(terjemahan), Surabaya: Amarpress, 2000.
Arifin, Imron, Penelitian Kualitatif dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan,
Malang: kalimasahada Press, 2006.
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal
Al-Maiyah, Vol. 10 No. 1, Januari - Juni 2017.
Ash-Shobuni, M. Ali, Az-Zawaj al-Islami al-Mubakkir wa Hashonah(terjemah),
Solo: Mumtaza, 2008.
Asmawi, “Konseptualisasi Teori Maslahah”, Jurnal Salam Filsafat dan Budaya
Hukum, Vol. 12, no. 2, Desember, 2014, h. 314. Lihat juga Muhammad Roy
Purwanto, “Kritik Terhadap Konsep Maslahah Najm ad-Dîn at-Tûfi,” Jurnal
Madania, Vol. 11, No. 1, Juni, 2015.
asy-Syaikh, Muhammad bin Ibrahim Alu, dkk. Al-Fatawa al-Jami’ah lil Mar’ati
Muslimah (terjemah), Jakarta: Darul Haq, 2001
Bachri, Bachtiar S., Meyakinkan Validitas Data Melalui Triangulasi Pada
Penelitian Kualitatif, Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol. 10 No. 1, April 2010.
Basri, Hj. Rusdaya, Urgensi Pemikiran Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah tentang
Perubahan Hukum Terhadap Perkembangan Sosial Hukum Islam di Lingkungan
113

Peradilan Agama Wilayah Sulawesi Selatan, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu
Hukum, Volume 16 Nomor 2, Desember 2018.
Basri, Rusdaya, dan Rukiah, Kontekstualisasi Maqaashidu Al-Syariah terhadap
Penerapan Hak Ex-Officio Hakim, Jurnal Al-Maiyyah: Media Transformasi
Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan, Vol. 13, No. 1, Juni 2020.
Devi, Soraya dan Muliadi, Doni, Pertimbangan Hakim dalam Menetapkan Nafkah
Anak Pasca Perceraian, Jurnal Hukum Keluarga, Vol. 2 No. 1 Januari - Juni 2019.
Doi, A. Rahman. I., Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Echols, John M. dan Shadilly, Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2002.
Firdaus, Robitul, “Konsep Maslahat di Tengah Budaya Hukum Indonesia”, Jurnal
Al-Manahij, Vol. 5, no. 1, 2011.
Fitri, Ana Shofiatul, Pandangan Hakim Terhadap Penentuan Nafkah Akibat
Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Kota Malang dan Pengadilan Agama
Kabupaten Malang), Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim,
2014.
Gazhali, Abdurrahman, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Ghazaly, Abd. Rahman, Drs., M.A., Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media,
2003.
Hadikusuma, Hilmah, Metode Pembuatan Kertas Kerja Atau Skripsi Ilmu Hukum,
Bandung: Alpabeta, 2005
Hamidy, Mu’ammal, Perkawinan dan Persoalannya: Bagaimana Pemecahannya
dalam Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2000.
Hasan, M. Ali, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, Jakarta: Siraja,
2006.
Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia; Edisi Kedua., Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
LaFave, Wayne. R., The Decision To Take a Suspect Into Custody, Boston: Litle,
Brown and Company, 2004.

Manan, Abdul, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2 No. 2 Tahun 2013.
Mufidah, Luk Luk Nur, Pendekatan Teologis Dalam Kajian Islam, Jurnal
Misykat, Volume 02 Nomor 01, Juni 2017.
114

Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda


Karya, 2005.
Mukri, Moh., Paradigma Maslahat dalam Pemikiran al-Ghazali, Yogyakarta:
Nawesea Press, 2011.
Nurhadi, S.H., dkk. (Tim Penyusun), Himpunan Peraturan Perundang-Undangan
yang berkaitan dengan Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam
Pembahasannya, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2011.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di
Indonesia: StudiKritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974
sampai KHI, Jakarta: Kencana, 2006.
Prakoso, Abintoro, Penemuan Hukum: Sistem, Metode, Aliran dan Prosedur
dalam Menemukan Hukum, Yogyakarta: Laksbang: 2016.
Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Semarang: Aneka Ilmu, 2003.
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakri, 2000.
Rahmawati, Dr., M.Ag., Budiman, M.H.I., Logika Induktif Dalam Penemuan
Hukum Islam (Kontribusi Pemikiran Asy-Syatibi Dalam Ilmu Ushul Fiqh),
Yogyakarta: Trust Media Publishing, 2018.
Rosyadi, Imron, “Pemikiran Asy-Syâtibî tentang Maslahah Mursalah,” Jurnal
Profetika Studi Islam, Vol. 14, No. 1, Juni, 2013.
Rusdi, Muhammad Ali, Maslahat sebagai Metode Ijtihad dan Tujuan Utama
Hukum Islam, Diktum: Jurnal Syari’ah dan Ilmu Hukum, Volume 15 Nomor 2,
Desember 2017.
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Penterjemah Mohammad Thalib, Judul Asli Fiqh Al-
Sunnah,Bandung: PT. Al-Ma’arif, 2000.
Shihab,M. Quraish, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks dari Nikah Mut’ah
sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati,
2005.
Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 14, Jakarta:
Lentera Hati, 2002.
Siagian, Sondang P., Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Jakarta: Rineka
Cipta, 2002.
Simorangkir, Rudy, dan Prasetyo, J.T., Kamus Hukum, Jakarta: Sinar Grafika,
2002.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002.
115

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, Jakarta: UI Press, 2006.


Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabet, 2008.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2013.
Syaifuddin, Muhammad, dkk, Hukum Perceraian, Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Syamsudin, Konstruksi Buku Budaya Hukum Hakim, Cet. I, Jakarta: Kencana,
2012.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. ke-3, Kencana: Prenada
Media, 2006.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Tihami, Prof. Dr. H. M. A., M.A., M.M. dan Sahrani, Sohari, Drs., M.M., M.H.,
Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 2, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010.
Ubaidi, Muhammad Ya'qub Thalib, Nafkah Istri: Hukum Menafkahi Istri dalam
Perspektif Islam. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007.
Zahara, Fatimah, Penggunaan Asas Ultra Petitum Partium: Suatu Analisis Kritis
Putusan Nomor: 253/Pdt.G/2015/MS-KSG, Jurnal Al-Qadha’, Vol. 5, No. 1, Juli
2018.
Zakaria, M., Nafkah Anak Pasca Perceraian Dalam Perspektif Hukum Islam Dan
Hukum Positif (Studi Kasus Di Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Agama Riau),
Disertasi, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, 2018.

Anda mungkin juga menyukai