Anda di halaman 1dari 17

Al-Iftah xxxxxx

Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Peluang Pengasuhan Bersama (Shared Parenting) Terhadap


Produk Hukum Hak Asuh Anak Pasca Perceraian

Andi Affandil Haswat


Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare
Affandil78@gmail.com

Abstract
Penelitian ini membahas tentang hak asuh anak (hadhanah) pasca perceraian serta
peluang pengasuhan bersama (Shared Parenting) terhadap produk hukum asuh anak
pasca perceraian. Permasalahan yang diajukan, yaitu; 1) Apa pertimbangan hukum
hakim dalam memutuskan hak asuh anak. 2) Peluang pengasuhan bersama (Shared
Parenting) terhadap produk hukum hak asuh anak pasca perceraian.
Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan teologis normatif
dan yuridis normatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
tinjauan kepustakaan. Adapun teknik analisis data dalam penelitian ini adalah
analisa/telaah melalui sifat preskriptif dengan menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach). Teori yang digunakan dalam penelitian ini melibatkan teori
hukum responsif, teori pertimbangan hakim, teori hukum progresif dan teori maslahat.
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui peluang pengasuhan bersama (shared
parenting) terhadap hukum hak asuh anak pasca perceraian
Adapun hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1)Pertimbangan hukum hakim dalam
memutuskan hak asuh anak, secara umum berdasarkan pada Pasal 105 Kompilasi
Hukum Indonesia dan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 110/AG/2007 pada tahun
2007 atau dengan kata lain kepentingan terbaik anak. 2) Pengasuhan bersama (shared
parenting) berpeluang untuk diterapkan dalam memutuskan hak asuh anak pasca
perceraian, dengan alasan sebagai berikut, a) telah ada putusan pengadilan agama yang
memuat/memutuskan pengasuhan bersama (shared parenting) terhadap anak pasca
perceraian. Hal tersebut dapat digunakan sebagai yurisprudensi. 2) pada dasarnya anak
merupakan tanggung jawab bersama kedua orangtua, hal ini berlaku terus walaupun
putusnya perkawinan. 3) perlindungan terhadap hak-hak anak.

Kata kunci: Hadhanah, Pertimbangan Hakim, Shared Parenting

A. Pendahuluan
Konflik dalam kehidupan sehari-hari adalah hal biasa; mereka hasil dari
hubungan sosial yang berbeda, sudut pandang, dan faktor lainnya. Pernikahan
tidak selalu berjalan mulus karena ada lika-liku rumah tangga yang menjadi
perdebatan dalam kehidupan pernikahan mereka. Ini adalah salah satu masalah
yang sering muncul. Jika suami istri tidak berusaha untuk berdamai, pertengkaran
pun bisa berujung pada perceraian. Perkawinan menjadi hal yang penting dan
menempati posisi yang sakral dalam suatu hubungan antar manusia, karena
perkawinan perintah Tuhan Yang Maha Esa sebagai penyatu dan pemberi rahmat.

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 1


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Perkawinan selalu diharapkan dalam kondisi langgeng hingga maut memisahkan,


tetapi dalam perjalanannya tidak sedikit yang mengalami rintangan-rintangan yang
berakhir pada proses perceraian, baik yang dilakukan atas dasar inisiatif suami
(permohonan Talak) maupun atas dasar inisiatif isteri (gugat cerai).1
Istilah "perceraian" sangat umum dalam masyarakat Islam dan tidak ada
batasan siapa yang melakukannya di pihak suami atau istri. Tarak perceraian
dilakukan oleh semua pihak. Ini bukan perbuatan, terutama oleh anak-anaknya.
Kisah perceraian memberikan citra buruk tidak hanya bagi suami dan istri, tetapi
juga bagi anak-anak dalam keluarga, dan berdampak sosial bagi masyarakat dan
keluarga. Pembicaraan perceraian dapat merusak hubungan dan menimbulkan
permusuhan dari keluarga suami dan keluarga istri, dapat memicu munculnya
konflik baru yang sangat berkepanjangan.2
Menurut Abdul Ghofar Anshori, perselisihan antara suami dan istri sering
muncul karena orang (suami dan istri) gagal menegakkan haknya atau memenuhi
kewajibannya, atau karena alasan lain. Akibatnya, kata Anshori, masyarakat
(suami-istri) kerap mengadu kepada orang lain atau keluarganya. Kemungkinan
adanya perbedaan pendapat tersebut akan mengakibatkan putusnya akad nikah

(perceraian).3 Biaya kehidupan dan pendidikan tetap menjadi tanggungjawab


orangtua utamanya ayah. Namun tidak jarang terjadi bahwa akibat dari perceraian
ini anak-anak menjadi “terlantar” karena ayah tidak mau memberikan biaya
kehidupan termasuk pendidikan. Akibatnya, perceraian ini akan menimbulkan
dampak, baik secara ekonomi maupun secara emosi/psikologis terhadap anak-
anak. Apalagi bila isteri atau ibu tidak mempunyai penghasilan tetap.4
Islam menawarkan pasangan yang tidak mampu mempertahankan rumah
mereka pilihan untuk bercerai atau berpisah. Fenomena perceraian di Indonesia
yang meningkat signifikan dari tahun ke tahun5 Bagi sebagian pasangan dengan
berakhirnya kehidupan rumah tangga mereka dengan bercerai telah berhasil

1
H. Sudirman L, Dominasi Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap , Jurnal Diktum
Hukum IAIN Parepare, Vol. 11 No. 2, Juli 2013, h. 2
2
Fikri, Saidah, Aris, Wahidin. Kontekstualisasi Cerai Talak Melalui Fikih dan Hukum Nasional Di
Indonesia, Jurnal Al-Ulum, Vol. 19 No. 1, Juni 2019, h. 152
3
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 233
4
H. Sudirman L, Dominasi Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap , Jurnal Diktum
Hukum IAIN Parepare, Vol. 11 No. 2, Juli 2013, h. 5
5
Muchsin, Perlindungan Hukum terhadap anak pasca perceraian orang tuanya, Varia Peradilan:
Majalah Hukum, Ikatan Hakin Indonesia, No. 301, Desember 2010, h.5

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 2


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

menyelesaikan masalah mereka masing-masing, akan tetapi konflik pasangan


pasca perceraian menghadapi masalah baru yakni masalah pemeliharaan anak
(hadhanah) yang lahir dari hasil pernikahan tersebut.
Faktor pendukung diperlukan untuk proses pemeliharaan, pendidikan, dan
perlindungan anak, baik yang berwujud seperti biaya makanan, pakaian, tempat
tinggal, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya, maupun yang tidak berwujud
seperti cinta dan keamanan.6 Agar seorang anak mendapat manfaat dari perhatian
kedua orang tuanya, terlepas dari apakah orang tuanya menikah atau bercerai,
orang tua memiliki tanggung jawab sebagai orang tua. Kompilasi Hukum Islam,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan para ulama fiqih semuanya sepakat
bahwa ibu atau perempuan memiliki hak yang paling besar dalam mengasuh anak
dibandingkan dengan pihak lain. Menurut temuan para peneliti, ibu memiliki hak
lebih untuk membesarkan anak selama belum mumayyiz.7
Hadhanah, artinya memelihara, mendidik, mengatur, dan memperhatikan
segala kepentingan dan kepedulian anak yang belum mumayyiz dalam bahasa
Arab (belum mampu membedakan hal atau perbuatan baik dan buruk bagi
dirinya). Menurut bahasa, istilah "Hadhanah" mengacu pada meletakkan sesuatu
di dekat atau di pangkuan karena ibu menyusui sering menempatkan bayinya di
pangkuan mereka, memberikan kesan bahwa mereka dilindungi dan dirawat.
Akibatnya, istilah "Hadhanah" datang untuk merujuk pada pendidikan dan
pengasuhan anak sejak kecil. Kerabat anak itu merawatnya sejak ia lahir sampai ia
dapat berdiri sendiri dan mengurus dirinya sendiri.8

Dasar hukum hadhanah (pemeliharaan anak) adalah fiman Allah Swt. QS


At-Tahrim/66:6

‫َاد اَّل‬ٞ ‫د‬L‫ظ ِش‬ٞ ‫ارةُ َعلَ ۡيهَا َم ٰلَِٓئ َكةٌ ِغاَل‬ ْ ُ‫ٰيََٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
َ ‫ ٱلنَّاسُ َو ۡٱل ِح َج‬L‫وا قُ ٓو ْا َأنفُ َس ُكمۡ َوَأ ۡهلِي ُكمۡ ن َٗارا َوقُو ُدهَا‬
Lَ ‫يَ ۡعصُونَ ٱهَّلل َ َمٓا َأ َم َرهُمۡ َويَ ۡف َعلُونَ َما ي ُۡؤ َمر‬
‫ُون‬

6
Abdurrahman Gazhali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 40.

7
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Jurnal Al-Maiyah,
Vol. 10 No. 1, Januari - Juni 2017, h. 100.

8
Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. 2, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010), h. 215.

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 3


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Terjemahnya:
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.9

Penting untuk menjaga anak-anak kecil karena jika tidak


melakukannya akan membahayakan mereka kepada keterlantaran/binasa.
Anak yang masih kecil berhak mndapatkan Hadhanah karena memerlukan
pengawasan, pengasuhan, dan pendidikan orang dewasa10. Dalam kaitan
ini, terutama, ibunyalah yang berkewajiban melakukan hadhânah.11
Allah SWT berfirman: Q.S al-Baqarah/2:233
‫و ِد لَ ۥهُ ِر ۡزقُه َُّن‬LLُ‫ا َع ۚةَ َو َعلَى ۡٱل َم ۡول‬L ‫َّض‬َ ‫ض ۡعنَ َأ ۡو ٰلَ َده َُّن َح ۡولَ ۡي ِن َكا ِملَ ۡي ۖ ِن لِ َم ۡن َأ َرا َد َأن يُتِ َّم ٱلر‬
ِ ‫ت ي ُۡر‬ ُ ‫َو ۡٱل ٰ َولِ ٰ َد‬
ٞ ُ‫ضٓا َّر ٰ َولِ َد ۢةُ بِ َولَ ِدهَا َواَل َم ۡول‬
‫ ِدۦۚ ِه َو َعلَى‬Lَ‫ود لَّ ۥهُ بِ َول‬ َ ُ‫ا اَل ت‬Lَۚ‫ُوف اَل تُ َكلَّفُ ن َۡفسٌ ِإاَّل ُو ۡس َعه‬ ِ ۚ ‫َو ِك ۡس َوتُه َُّن بِ ۡٱل َم ۡعر‬
‫ا َوِإ ۡن َأ َردتُّمۡ َأن‬Lۗ L‫ا َح َعلَ ۡي ِه َم‬LLَ‫ر فَاَل ُجن‬Lٖ ‫ا ُو‬L ‫اض ِّم ۡنهُ َما َوت ََش‬ٖ ‫صااًل عَن تَ َر‬ َ ۗ ِ‫ث ِم ۡث ُل ٰ َذل‬
َ ِ‫ك فَِإ ۡن َأ َرادَا ف‬ ِ ‫ار‬
ِ ‫ٱل َو‬
ۡ

َ ‫ٱعلَ ُم ٓو ْا َأ َّن ٱهَّلل‬ ِ Lۗ ‫ضع ُٓو ْا َأ ۡو ٰلَ َد ُكمۡ فَاَل ُجنَا َح َعلَ ۡي ُكمۡ ِإ َذا َسلَّمۡ تُم َّمٓا َءات َۡيتُم بِ ۡٱل َم ۡعر‬
ْ ُ‫ُوف َوٱتَّق‬
ۡ ‫وا ٱهَّلل َ َو‬ ِ ‫ت َۡست َۡر‬
ٞ ‫ص‬
‫ير‬ ِ َ‫بِ َما ت َۡع َملُونَ ب‬
Terjemahnya:
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan
seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.
Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.12

9
Kemenag RI, Al Qur’an QS At Tahrim/66:6 dan Terjemahaannya

10
Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan anak dalam pangkuan ibu bapaknya, karena
dengan adanya pengawasan dan perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan
jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di masa yang akan datang. Lihat,
Tihamidan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.

11
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, h. 217.

12
Kemenag RI, Al Qur’an, QS Al Baqarah 2/ 322 dan Terjemahaannya

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 4


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Persoalan pemeliharaan dan nafkah anak pasca perceraian, seringkali


menjadi polemik tersendiri karena terkadang hak-hak anak ada yang
dikesampingkan dan kurang terurus dengan serius, terutama yang berkaitan
dengan hak-hak pokok anak yaitu biaya pemeliharaan, pendidikan, tempat tinggal
dan fasilitas penunjang lainnya. Meskipun orang tua sudah tidak lagi bersatu
dalam satu keluarga, persoalan pemenuhan nafkah anak tetap menjadi tanggung
jawab orang tua dan hal ini tidak boleh dialihkan kepada orang lain, baik kakek
atau nenek, kerabat dan lainnya. Oleh karena itu, perceraian orang tua tidak boleh
menjadi alasan untuk melewatkan pengasuhan anak. Kedua orang tua wajib
memberikan dan membela hak mengasuh anaknya, sesuai dengan Pasal 45
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang juga menjamin dan melindungi hak
tersebut. Kompilasi Hukum Islam kemudian menjelaskan dalam pasal 56 huruf d
bahwa ayah bertanggung jawab untuk membayar semua hadhanah dan biaya
pemeliharaan anak dengan sebaik-baiknya, setidaknya sampai anak itu dewasa
yang dapat menghidupi dirinya sendiri (21 tahun)13
Pasal 149 Huruf d Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa “bila suatu
perkawinan putus karena perceraian, mantan suami wajib memberikan biaya
hadhanah bagi anak-anaknya yang belum mencapai usia 21 tahun.” Ini adalah
hukum positif di Indonesia tentang tunjangan anak setelah proses perceraian.
Sehingga ayah bertanggung jawab untuk menutupi semua biaya yang berhubungan
dengan membesarkan anak serta memenuhi semua kebutuhan mereka.
Sehubungan dengan itu, pengadilan menetapkan jumlah nominal tuntutan anak
dalam hal pemeliharaan dan pendidikan; jumlahnya juga dimodifikasi untuk
memperhitungkan situasi keuangan ayah dan jumlah tanggungan tambahan yang
ditempatkan padanya14
Tanggung jawab suami berdasarkan Al-Qur'an, Hadist, UU Perkawinan,
serta KHI ialah terhadap Hadhanah, dan nafkah setelah perceraian; namun, di
negara-negara tertentu, persyaratan ini tidak sepenuhnya ditegakkan dalam
13
Bunyi lengkap pasal 45 bab X Hak dan Kewajiban Antara Orang Tua dan Anak Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah “(1) kedua orang tua wajib memlihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus”

14
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam (Jakarta: Siraja, 2006), h.
224.

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 5


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

praktiknya. Bertentangan dengan apa yang diajarkan KHI, Pasal 156 Kompilasi
Hukum Islam menyatakan dalam huruf (d) bahwa “semua biaya hadhanah dan
pemeliharaan anak adalah kewajiban ayah menurut kemampuannya, setidaknya
sampai anak itu kompeten untuk mengasuh. dirinya sendiri" (21 tahun) 15 Oleh
karena itu, penulis juga tertarik untuk membahas tentang pelaksanaan hak asuh
anak pasca perceraian.
Masih banyak orang tua di masyarakat yang lalai dalam mengasuh anak,
hal ini merupakan masalah umum. Hal ini terjadi baik pada pernikahan talak
maupun perceraian. Seorang anak sering dirugikan oleh perceraian orang tuanya
dalam sistem hukum yang menerapkan sistem pengasuhan terpisah, baik karena
perceraian itu sendiri atau karena hak mereka untuk menghidupi diri sendiri tidak
terpenuhi. Mereka sering berjuang untuk membayar studi mereka serta kebutuhan
sehari-hari mereka. Akibatnya, salah satu penanggung jawab pengasuhan anak
harus menanggung beban tersebut. Dalam hal ini, seorang ibu, yang sering
menerima kuasa untuk mengasuh anak, dituntut untuk menghidupi seluruh
anaknya tanpa bantuan apapun
Sementara itu, KHI menyebutkan bahwa ayah tetap berkewajiban untuk
memberikan nafkah bagi anaknya. Penentuan hak asuh anak yang diberikan pada
pihak ibu berpengaruh pada implementasi pemberian nafkah anak pasca
perceraian, salah satunya dalam hal pembiayaan hidup bagi anak meliputi
pendidikan dan segala kebutuhan sehari-hari anak menjadi tanggung jawab
ayahnya. Selain berpengaruh terhadap pembiayaan hidup bagi anak dari
perkawinan yang sah juga berpengaruh terhadap pola hubungan antara anak
dengan orang tua maupun sebaliknya terutama hubungan anak dengan ayah. Anak
cenderung dekat dengan ibu, hal ini dikarenakan ayah tidak pernah mengunjungi
anak-anaknya.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi
Hukum Islam menjelaskan bahwa ketika anak masih dalam keadaan belum
mumayyiz (kurang dari 12 tahun) pengasuhan anak ditetapkan kepada ibunya,

15
Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, Fatwa MUI Tentang Perkawinan Beda Agama, Fatwa MUI
Tentang Wakaf Uang, Fatwa MUI tentang Zakat, (Bandung: RedaksiNuansa Aulia, 2012), h. 72.

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 6


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

ketika anak tersebut mumayyiz (usia 12 tahun ke atas) dapat diberikan hak kepada
anak untuk memilih di asuh oleh ayah atau ibunya.
Pasal 105 dan 156 KHI dinilai lebih mengutamakan hak asuh perempuan
atas pertimbangan moral, kesehatan, dan kemampuan membesarkan dan mendidik
anak, yang pada akhirnya adalah yang terbaik bagi anak. Pemegang hak asuh anak
memiliki tanggung jawab untuk menjaga, mendukung, dan mengajar anak-anak
mereka dalam hal pendidikan, agama, kesehatan, moral, dan integritas.
Setiap anak berhak mendapatkan pengasuhan orang tua, begitu pula orang
yang menerima perintah Allah untuk mengasuh anak-anaknya. Orang yang
memiliki kemampuan untuk menelantarkan anak tidak diberikan hak asuh karena
hal itu pasti akan membahayakan anak tersebut. Oleh karena itu, anak-anak kecil
dan mereka yang tidak masuk akal atau bodoh tidak diberikan pengasuhan anak
karena mereka sendiri membutuhkan perawatan dari orang lain.16
Namun pada umumnya kebutuhan ini lebih sering dipenuhi oleh ayah,
diikuti dengan pengasuhan fisik, yang mengacu pada kebutuhan anak akan
perawatan fisik karena ia tidak mampu merawat dirinya sendiri secara lahir dan
batin. Contoh kebutuhan tersebut antara lain menyusui, mandi, berpakaian,
merawat diri, menjaga kesehatan, akses makan dan minum, belajar berkomunikasi,
bermain dengan teman, dan memenuhi kebutuhan tumbuh kembang anak..17
Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 110K/AG/2007, tanggal 10
September 2007, menyatakan bahwa pengasuhan anak tidak semata-mata
ditentukan oleh siapa yang secara normatif paling berhak, sekalipun anak tersebut
belum berusia 7 tahun atau 12 tahun/mumayyiz, karena ibu sering bepergian ke
luar negeri sehingga tidak jelas dengan siapa anak harus tinggal. Jika hal ini
terjadi, maka ayah dapat diberikan hak asuh anak. Dalam kasus ini, terjadi
perebutan hak asuh anak antara pihak. Akibat dalil hukum bahwa ibu adalah
seorang wanita pekerja yang sering pergi ke luar negeri dan tidak memiliki cukup
waktu untuk anaknya serta mengawasi perkembangan psikologis, Mahkamah
Agung memberikan hak asuh atas anak tersebut kepada ayah kandungnya.
Ijtihad digunakan dalam hukum Islam untuk mengidentifikasi jawaban atas
isu-isu baru yang belum diidentifikasi secara jelas dan kategoris, selain mata
16
Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi Kebijakan
Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, h. 80
17
https://pa-rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-artikel/418-hadhanah-pasca-
perceraian-kajian-perundang-undangan-perkawinan-islam-kontemporer

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 7


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

pelajaran yang aturan hukumnya eksplisit dalam kitab suci. Ijtihad merupakan
penentangan terhadap ketentuan hukum nash saat ini karena ketentuan ini
mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya sebagai akibat dari pergeseran situasi
sosial. Amir Syarifuddin mengklaim bahwa dalam keadaan seperti itu, hakim
diizinkan untuk menyelidiki interpretasi alternatif yang berbeda dari teks untuk
membuat teks kontekstual dan relevan dengan situasi sosial pada saat dibaca18
Dengan latar belakang bahwa pengasuhan anak seringkali terfokus pada
kepentingan terbaik bagi anak, kini dituntut untuk mempertimbangkan pola asuh
bersama dan hak asuh bersama. Hal ini juga didasari oleh pemikiran bahwa
masyarakat berhak untuk membesarkan anak, oleh karena itu adalah kewajiban
penuh untuk membesarkan anak tersebut. Akibatnya, sering terdengar bahwa
keluarga pemegang hak asuh mencegah seorang ayah atau ibu untuk melihat anak
mereka. Akibatnya, gagasan pengasuhan bersama memberikan perspektif baru
dalam mengelola pengasuhan anak. Di negara-negara hukum common law seperti
Amerika Serikat dan Kanada, ide ini telah dipraktikkan secara luas
Menurut Khoirudin Nasution dalam salah satu tulisannya tentang hak-hak
anak, pertama, hak-hak umum, gagasan pola asuh bersama dapat pula mendorong
terpenuhinya hak-hak anak yang harus diberikan oleh orang tuanya (mendapatkan
nama baik, mendapatkan jaminan keamanan, dan memperoleh asuransi
kesehatan), Ketiga, hak pasca-perawatan (hak untuk mendapatkan pendidikan
untuk memiliki keterampilan/kompetensi; pedagogik/pengetahuan dan atau
sejenisnya, kepribadian, sosial dan profesional, hak untuk berperilaku baik, hak
untuk mendapatkan perlakuan yang adil tanpa membedakan jenis kelamin, dan
adalah hak selama mengasuh anak (hak untuk mendapatkan ASI, hak atas asuransi
jiwa, hak untuk mencari nafkah, hak atas sandang, pangan dan kesehatan dasar,
hak atas pendidikan dasar agama, hak atas pendidikan keterampilan dasar, dan hak
atas keamanan). setelah dewasa19
Pemenuhan hak-hak dasar anak ini merupakan bagian integral dari
implementasi pemenuhan hak asasi manusia. Dalam perspektif Islam, hak asasi
anak merupakan pemberian Allah SWT yang harus dijamin, dilindungi dan
dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.

18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2001, h. 243
19
Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2008, h. 142

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 8


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Gagasan hak asuh bersama, di sisi lain, adalah untuk mencegah anggapan
bahwa orang tua dengan hak asuh utama memiliki kendali penuh atas kehidupan
anak mereka, yang sebaliknya akan mendorong orang tua untuk mengontrol secara
ketat ketika anak mereka melihat orang tua lain yang tidak memiliki hak asuh
utama, hak asuh. Ini bertentangan dengan upaya memberi anak-anak ruang untuk
mengekspresikan diri dan berinteraksi dengan orang tua mereka. Di sisi lain, anak
muda itu tampaknya dibatasi oleh orang yang memiliki hak asuh atas dirinya dan
diharuskan untuk mematuhi norma-norma tak terucapkan yang telah ditetapkan
oleh orang tersebut.20
Berdasarkan observasi awal terhadap adanya putusan-putusan Pengadilan
Agama tentang putusan pemeliharaan hak asuh anak yang dilakukan secara
terpisah ataupun bersama-sama kedua orang tua yang telah bercerai. Oleh karena
itu, peneliti mengadakan penelitian ini untuk menggali pertimbangan, peluang
serta kemungkinan tentang pengasuhan bersama (shared Parenting) anak pasca
perceraian tersebut dapat diterapkan, yang selanjutnya aspek apa saja yang
seharusnya menjadi pertimbangan agar putusan dapat dijalankan dan sesuai ruh
putusan yang bersifat eksekutorial.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini, ialah bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan
hak asuh anak pasca perceraian serta peluang pengasuhan bersama (shared
parenting) terhadap produk hukum hak asuh anak pasca perceraian?

C. PEMBAHASAN
1. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutuskan Hak Asuh Anak Pasca
Perceraian
Indonesia merupakan negara Hukum 21, hampir segala aktifitas
kehidupan di wilayah Negara Republik Indonesia yang dapat menimbulkan
atau merupakan subjek, objek serta perbuatan hukum telah diatur di dalam
peraturan perundang-undangan, tak terkecuali mengenai Perkawinan,

20
Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Adliya, Vol. 8 No.1,
Edisi: Januari-Juni 2014, h. 290
21
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 3

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 9


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Perceraian serta Hak Asuh Anak. Di Indonesia asas kebebasan hakim dijamin
sepenuhnya dalam Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya disebut Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman, dimana dirumuskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan. Asas kebebasan hakim ini termasuk juga
kebebasan bagi hakim dalam merumuskan pertimbangan hukum dikenal
dengan legal reasoning yang dilakukan oleh seorang hakim dalam
memutuskan suatu perkara yang diadilinya.
Menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, pertimbangan hakim
adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat hakim dalam menjatuhkan putusan
dengan melihat hal-hal yang dapat meringankan atau memberatkan pelaku.
Setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis
terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan. Kebebasan hakim secara kontekstual memiliki 3
(tiga) esensi dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu: 1.Hakim
hanya tunduk pada hukum dan keadilan. 2.Tidak ada pihak manapun
termasuk pemerintah bisa mempengaruhi atau mengarahkan putusan yang
akan dijatuhkan oleh hakim 3.Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim
dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya 22
Pada dasarnya, pemeliharaan anak (Hadhanah) merupakan tanggung
jawab serta kewajiban oleh kedua orang tuanya, Suami-istri atau kedua orang
tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua yang dimaksud sampai anak itu kawin atau dapat berdiri
sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orang tua putus 23. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani
maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya 24.
Hak asuh anak setelah perceraian, secara umum dilakukan secara
bersama oleh mantan suami dan mantan istri jika kedua belah pihak telah

22
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif”, (Jakarta:Sinar
Grafika, 2011), hlm. 104
23
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 45 ayat b
24
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia, Tahun 2018, Pasal 77 ayat 3

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 10


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

sepakat. Namun dalam kenyataannya tidak sedikit perselisihan rumah tangga


hanya berujung pada putusnya perkawinan, tapi juga berlanjut ke perselisihan
hak asuh anak melalui gugatan hak asuh anak di Pengadilan Agama. Hakim
memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap penentuan hak asuh anak
pasca perceraian. Secara normatif, ada 3 (tiga) pertimbangan yuridis didalam
pertimbangan hukum, yang sering digunakan oleh hakim Pengadilan Agama
dalam memutuskan hak asuh anak (hadhanah) pasca perceraian.
Pertama, menurut KHI Pasal 105, Pemeliharaan anak yang belum
mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara
atau atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya. 25
Kemudian kedua, menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor
110K/AG/2007 Tahun 2007. Mengenai pemeliharaan anak, bukan semata-
mata melihat siapa yang paling berhak, tetapi harus melihat siapa yang lebih
tidak mendatangkan kerusakan bagi si anak, yang harus lebih dikedepankan
adalah kepentingan si anak, bukan siapa yang paling berhak. Dan fakta yang
diungkapkan oleh hakim pertama, si anak akan lebih menderita sekiranya ia
harus ikut ibunya, karena ibu si anak sering bepergian keluar negeri,
sedangkan sekarang si anak tenang dan tenteram bersama bapaknya.
Sekalipun si anak ditetapkan di bawah hadhanah ayahnya, hal itu tidak boleh
memutuskan hubungan komunikasi dengan ibunya, ibunya berhak untuk
menjenguk, membantu, mendidik serta mencurahkan kasih sayang terhadap
anaknya. 26
Dan yang ketiga, menurut Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Republik Indonesia, dalam BAB. Rumusan Hukum Kamar Perdata, Point 1
ayat d. Hak ibu kandung untuk mengasuh anak dibawah umur setelah
terjadinya perceraian dapat diberikan kepada ayah kandung sepanjang
pemberian hak tersebut memberikan dampak positif terhadap tumbuh

25
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum Islam Di
Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
26
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 11


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

kembang anak dengan mempertimbangkan juga kepentingan/


keberadaan/keinginan si anak pada saat proses perceraian. 27

2. Konsep Pengasuhan Bersama (Shared Parenting)


Pengasuhan itu adalah hak setiap anak dan setiap orang yang telah
diwajibkan oleh Allah untuk mengasuhnya. Hak pengasuhan tidak diberikan
kepada orang yang dapat menelantarkan anak, karena hal itu secara pasti akan
membahayakan anak tersebut. karena itu, pengasuhan anak tidak diberikan
kepada anak kecil atau orang yang kurang akalnya atau idiot. Sebab, mereka
sendiri memerlukan orang lain yang mengasuh mereka 28
Dalam psikologi hukum, kebutuhan pemeliharaan anak dapat dibedakan
menjadi dua jenis, yaitu pertama: legal custody, yakni kebutuhan pemeliharaan
anak seutuhnya menurut hukum yang meliputi kebutuhan biaya penghidupan,
kesehatan, pendidikan dan kebutuhan hukum pada umumnya yang hal ini menjadi
tanggung jawab bersama ayah dan ibunya, namun demikian pada umumnya
kebutuhan ini lebih dominan diperoleh dari ayahnya dan kedua: fisical custody,
yakni kebutuhan pemeliharaan anak secara fisik karena belum mampu merawat
dirinya sendiri baik secara jasmani maupun rohani seperti kebutuhan menyusu
pada ibu, mandi, memakai pakaian, merawat diri sendiri, memelihara kesehatan,
pelayanan makan dan minum, belajar berkomunikasi, teman bermain dan belajar,
kebutuhan tumbuh kembang anak dan lain sebagainya.29
Konsep Shared parenting (hak asuh bersama) ini juga bisa mendukung
untuk memenuhi hak-hak anak yang mesti diberikan oleh orang tuanya yang
disampaikan oleh Khoirudin Nasution dalam salah satu artikelnya tentang hak-hak
anak, pertama, hak umum (mendapatkan nama yang baik, mendapatkan jaminan
keselamatan, dan mendapatkan jaminan kesehatan), Kedua, hak pada masa
pengasuhan (hak mendapatkan Air Susu Ibu, hak jaminan hidup, hak mendapatkan
nafkah; sandang, pangan papan dan kesehatan, hak mendapatkan pendidikan
dasar-dasar agama, hak mendapatkan pendidikan dasar keahlian, dan hak
27
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 tahun 2017 tentang Pemberlakuan
rumusan hasil rapat pleno kamar mahkamah agung sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan,
tahun 2017. BAB. Rumusan Kamar Perdata, Poin 1 ayat d
28
Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer; Komparasi Kebijakan
Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,Maqosid, Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, h. 80
29
https://pa-rangkasbitung.go.id/pa-website/publikasi-artikel/arsip-artikel/418-hadhanah-pasca-
perceraian-kajian-perundang-undangan-perkawinan-islam-kontemporer

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 12


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

keamanan, ketiga, hak pasca pengasuhan (hak mendapat pendidikan untuk


mempunyai keahlian/kompetensi; pedagogic/knowledge dan atau sejenisnya,
kepribadian, sosial dan professional, hak mendapat perilaku baik, hak mendapat
perlakuan adil tanpa memandang jenis kelamin, dan hak perkawinan kalau sudah
dewasa.30
Pada perkembangannya, norma dan konsepsi pengasuhan anak tidak lagi
sekadar berkutat pada pengasuhan terpisah (split parenting), namun mulai
mengarah pada konsepsi pengasuhan bersama (shared parenting). Ada beberapa
alasan mengapa pengasuhan bersama kemudian mendapat perhatian cukup besar
dalam penormaan hak asuh anak. Dikemukakan oleh Mason:
“the ‘best interests of the child’ standard has historically reflected a struggle
between mothers’ and fathers’ rights, with children’s needs considered to be
commensurate with either position. Children are viewed at different times as
fathers’ property, as requiring the ‘tender care’ of mothers, and as rightfully
‘belonging’ to one or the other parent”31
Terjemahan: kepentingan terbaik anak' secara historis mencerminkan perjuangan
antara hak ibu dan ayah, dengan kebutuhan anak-anak dianggap sepadan dengan
kedua posisi tersebut. Anak-anak dipandang pada waktu yang berbeda sebagai
milik ayah, membutuhkan 'perawatan lembut' ibu, dan sebagai hak 'milik' salah
satu atau orang tua lainnya.
Karenanya, Edward Kruk, dalam penelitiannya menyimpulkan:
“The most recent research strongly supports a shift away from the ‘one size fits
all’, ‘winner take all’ sole custody framework toward the notion of shared
parental responsibility”32
Terjemahan: Penelitian terbaru sangat mendukung pergeseran dari 'satu ukuran
cocok untuk semua', kerangka hak asuh tunggal 'pemenang mengambil semua'
menuju gagasan tanggung jawab orang tua bersama"
Pengasuhan anak menurut Kruk yang selama ini berkutat pada split
parenting atau sole custody berimplikasi pada adanya asumsi bahwa pemegang
hak asuh berhak sepenuhnya terhadap kehidupan anaknya (winner takes all). Ini
melahirkan kebiasaan pemegang hak asuh berhak mengatur secara ketat
30
Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, (Yogyakarta: Tazzafa dan Academia, 2008), h. 142
31
Edward Kruk, Child Custody, Access and Parental Responsibility: The Search for A Just and
Equitable Standard, The University of British Columbia, 2008, h. i.
32
Ibid, h. Ii

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 13


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

pertemuan anak dengan orangtua lain yang tidak memegang hak asuh. Model atau
pradigma demikian tidak selaras dengan upaya memberi keleluasaan bagi anak
untuk mengekspresikan dirinya, bersosialisasi dengan kedua orangtuanya secara
masif, dan memeroleh kasih sayang terbaik dari kedua orangtuanya. Sebaliknya,
anak seolah terkungkung oleh kekuasaan pemegang hak asuh terhadapnya,
diwajibkan tunduk pada aturan-aturan tak tertulis yang dibuat oleh pemegang hak
asuhnya.
Jika dikaitkan kembali antara konsepsi pengasuhan anak bersama (shared
parenting) dengan nash-nash syara’ dan ketentuan dalam hukum perkawinan
Indonesia (termasuk yurisprudensi mengenai hak asuh anak), dapat diketahui
bahwa norma-norma tersebut bersandar pada upaya luhur untuk menjamin
kepentingan terbaik bagi si anak. Pengasuhan anak, sejatinya, bukan hanya
berkutat pada siapa mengasuh siapa. Namun, lebih dari itu, penentuan pengasuhan
anak diarahkan agar semaksimal mungkin memberi kebaikan, kemanfaatan, dan
jaminan akan masa depan anak yang lebih baik.
Pada konteks ini, konsepsi pengasuhan bersama sangat concern dengan
upaya-upaya dimaksud. Dengan lain perkataan bahwa, pengasuhan bersama
menekankan upaya yang dinamis dari kedua orangtua si anak untuk bersama-sama
mendidik, memelihara, dan memastikan tumbuh kembang anak sesuai harkat dan
martabatnya. Pengasuhan bersama (shared parenting) merupakan gagasan yang
ingin menengahi perbedaan kedua model dan patron tersebut serta menawarkan
suatu konsep pengasuhan yang tidak hanya berfokus pada perwujudan
kepentingan terbaik si anak, namun juga mengupayakan peran maksimal kedua
orangtua dalam mengasuh anak-anaknya.

3. Peluang Pengasuhan Bersama (Shared Parenting) terhadap Hak Asuh Anak


Pasca Perceraian
Dalam era hukum modern saat ini, pengasuhan bersama (shared parenting)

telah menjadi diskursus yang sedang hangat di dalam hal penentuan hak asuh anak

pasca perceraian. Walaupun pengasuhan bersama banyak digunakan oleh negara-

negara yang menganut sistem hukum common law system, namun di dalam hasil

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 14


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

penelitian ini, sekurang-kurangnya telah terdapat 10 (sepuluh) putusan Pengadilan

Agama di Indonesia yang telah memuat atau menggunakan konsep pengasuhan

bersama (shared parenting) dalam memutuskan hak asuh anak pasca perceraian,

hal digunakan baik sebagai pertimbangan hukum maupun mengadili (amar

putusan).

Adapun salah satu amar putusan yang memuat secara langsung konsep
pengasuhan bersama (shared parenting) ialah Putusan Pengadilan Agama
Banjarbaru, No.369/Pdt.G/2017/PA.Bjb. Pada tahun 2017. Didalam pertimbangan
hukumnya menyebutkan; “Bahwa penetapan hak asuh anak pada
perkembangannya tidak lagi semata mata mengacu pada pengasuhan secara
terpisah (split parenting). Pengasuhan anak dalam doktrin hukum keluarga
kontemporer yang berkembang saat ini telah menekankan pentingnya pengasuhan
bersama (shared parenting) baik dengan konsep pembagian tanggung jawab
pengasuhan bersama (shared responsibility parenting) maupun pembagian tempat
(residence) dan waktu tinggal (living time) bagi si anak (shared residence
parenting atau physical parenting). Konsep tersebut bertujuan untuk memberikan
pengaturan mengenai pengasuhan yang mengedepankan pemenuhan hak-hak dasar
anak memeroleh pengasuhan terbaik dari kedua orang tuanya. Pengasuhan
terpisah dalam praktiknya ternyata banyak menimbulkan polemik dikarenakan
adanya kesan bagi pemegang hak asuh anak yang menghalang-halangi orang tua
lainnya untuk turut serta memberikan pengasuhan kepada anak-anaknya.
Bahwa dalam perkara a quo Pengadilan pada prinsipnya telah menetapkan
Pemohon sebagai pemegang utama hak asuh keempat anak Pemohon dan
Termohon. Namun demikian, Pengadilan menetapkan perlunya untuk menerapkan
pola pengasuhan bersama keempat anak tersebut dengan konsep shared residence
parenting atau shared physical parenting. Telaah peneliti terhadap putusan
tersebut, ialah menurut majelis hakim, pengasuhan bersama sebagai jalan keluar
dari konsep pengasuhan terpisah yang banyak menimbulkan polemik dikarenakan
adanya kesan bagi pemegang hak asuh anak yang menghalang-halangi orangtua
lainnya untuk turut serta memberikan pengasuhan.

D. PENUTUP

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 15


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Berdasarakan kajian komprehensif tinjauan pustaka dengan menggunakan


metode penelitian hukum normatif atas penelitian yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut;
1. Pertimbangan hukum yang sering digunakan oleh hakim untuk
memutuskan hak asuh anak yaitu Pasal 105 KHI dan Yurisprudensi
Makhkamah Agung No. 110K/AG/2007. Bagi anak yang belum
mumayyiz (belum cukup umur) menjadi hak ibunya untuk
mendapatkan hak hadhanah, namun hak tersebut dapat diberikan
kepada ayah dengan pertimbangan kepentingan terbaik bagi anak.
2. Pengasuhan bersama (shared parenting) merupakan konsep/pola
alternatif untuk adanya upaya pembaharuan hukum dibidang hukum
khusunya hukum keluarga Islam kontemporer dalam hal hak asuh anak
pasca perceraian. Pengasuhan bersama (shared parenting) berpeluang
untuk diterapkan dalam memutuskan hak asuh anak pasca perceraian.
Sebab telah ada putusan-putusan Pengadilan Agama yang
memutuskan dan menerapkan hal tersebut serta demi kepentingan
terbaik bagi anak.

Referensi

Abdul Ghofur Anshori, Hukum Perkawinan Islam (Perspektif Fiqih dan Hukum
Positif, Yogyakarta: UII Press, 2011.
Abdurrahman Gazhali, Fiqih Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Ahmad Rifai, “Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif”, Jakarta:Sinar Grafika, 2011.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media Group, 2001.
Aris dan Fikri, Hak Perempuan Dalam Pengasuhan Anak Pasca Perceraian, Vol.
10 No. 1, Januari - Juni 2017, Jurnal Al-Maiyah.

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 16


Al-Iftah xxxxxx
Vol. x, No. x, (20xx), pp. xx-xx

Burhanuddin, Pemenuhan Hak-Hak Dasar Anak Dalam Perspektif Islam, Vol. 8


No.1, Edisi: Januari-Juni 2014, Adliya.
Edward Kruk, Child Custody, Access and Parental Responsibility: The Search for
A Just and Equitable Standard, The University of British Columbia, 2008.
Fikri, Saidah, Aris, Wahidin, Kontekstualisasi Cerai Talak Melalui Fikih dan
Hukum Nasional Di Indonesia, Vol. 19 No. 1, Juni 2019, Jurnal Al-Ulum.
H. Sudirman L, Dominasi Cerai Gugat Di Pengadilan Agama Kabupaten Sidrap,
Vol. 11 No. 2, Juli 2013 Jurnal Diktum Hukum IAIN Parepare.
Khoiruddin Nasution, Smart dan Sukses, Yogyakarta: Tazzafa dan Academia,
2008.
Lalu Muhammad Ariadi, Hadhanah di Dunia Islam pada era kontemporer;
Komparasi Kebijakan Hukum di Timur Tengah dan Asia Tenggara,
Volume 8, No. 2 (Juli) 2016, Maqosid.
M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam Jakarta: Siraja,
2006.
Muchsin, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pasca Perceraian Orang Tuanya,
No. 301, Desember 2010, Varia Peradilan: Majalah Hukum, Ikatan Hakin
Indonesia.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet.
2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010.
Tim Redaksi Aulia, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat, Fatwa MUI Tentang Perkawinan Beda
Agama, Fatwa MUI Tentang Wakaf Uang, Fatwa MUI tentang Zakat,
Bandung: RedaksiNuansa Aulia, 2012.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Pasal 3.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Pasal 45 ayat b.
Kemenag RI, Al Qur’an QS At Tahrim/66:6 dan Terjemahaannya
Kemenag RI, Al Qur’an, QS Al Baqarah 2/ 322 dan Terjemahaannya
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 77 ayat 3
Direktorat Bina KUA dan Keluarga, Kementerian Agama RI, Kompilasi Hukum
Islam Di Indonesia, Tahun 2018, Pasal 105
Yurisprudensi-Mahkamah-Agung-RI-No-110K-AG-2007-Tahun-2007
Putusan Pengadilan Agama Banjarbaru, No.369/Pdt.G/2017/PA.Bjb. Pada tahun
2017

ISSN: XXXX-XXXX IJXX 17

Anda mungkin juga menyukai