Anda di halaman 1dari 12

THE RIGHT TO THE DIGNITY OF A SURROGATE MOTHER IS

REVIEWED BASED ON A HUMAN RIGHTS AND THE CONVENTION ON


ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST
WOMEN
(HAK ATAS MARTABAT IBU PENGGANTI DITINJAU
BERDASARKAN HAK ASASI MANUSIA DAN KONVENSI CEDAW)

Diajukan oleh:
FATHIA AZZHARA
1910012111067

PROGRAM KEKHUSUSAN
HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG
2022
A. Latar Belakang Masalah

Manusia kodratnya merupakan makhluk yang lebih dimuliakan dan

diutamakan Allah dibandingkan dengan makhluk- makhluk lainnya.

Bahkan Allah S.W.T telah menetapkan adanya peraturan- peraturan yang

berkaitan dengan perkawinan bagi manusia. Bahkan dalam kehidupan

berumah tangga tidak selamanya setiap orang hidup harmonis dan bahagia,

dikarenakan kedua belah pihak kurang memahami antara hak dan

kewajiban masing-masing sebagai suami istri sebagaimana yang telah

diuraikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, sehingga seringkali dalam praktiknya terjadi perselisihan

yang mengakibatkan perceraian.1

Keturunan merupakan salah satu hal yang menandakan eksistensi

manusia sebagai makhluk hidup. Tapi pada kenyataanya, kehadiran anak

yang didambkan itu ada yang tidak terwujud. Hal ini bisa terjadi apabila

salah satu atau kedua pasangan suami istri mempunyai kelainan dalam alat

reproduksinya. Hal ini disebabkan karena pasangan suami istri tersebut

mengalami infertilitas, suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum

mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual

sebanyak 2-3 kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun tanpa

menggunkaan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.2

Namun adakalanya di dalam suatu perkawinan terdapat

permasalahan dimana pasangan suami istri tidak dapat memperoleh


1
R. Febrina Andarina Zaharnika, Legalitas Akta Notaris Tentang Harta Bersama,
Kodifikasi 1, no. July (2019): 39–65, http://ejournal.uniks.ac.id/index.php/KODIF
IKASI/article/view/80.
2
Wikipedia Infertilitas https://id.wikipedia.org/wiki/Infertilitas, diakses pada 29
September 2022 pukul 13.19 WIB.
keturunan disebabkan kondisi istri yang menderita suatu penyakit tertentu,

yang mengharuskan untuk menjalani operasi pengangkatan Rahim

(histerektomi). Kekhawatiran yang muncul dangen histerektomi salah

satunya adalah hilangnya kemampuan untuk memiliki keturunan.3 Pada

kondisi ini, seorang Wanita masih dapat memproduksi sel telur, namun ia

harus kehilangan rahimnya, sehingga dapat dipastikan ia tidak dapat lagi

mengandung karena tempat berkembangnya janin sudah tidak ada. Dalam

hal ini tidak menutup kemungkinan dilakukannya surrogate mother

sebagai upaya untuk memperoleh keturunan.

Awal mula perkembangan metode bayi tabung dipelopori sejumlah

dokter Inggris.4 Sejalan dengan pembuahan in vitro fertilization yang

semakin pesat, muncul ide Surrogate Mother (ibu pengganti/sewa

rahim/gestational agreement) yaitu wanita yang bersedia disewa

rahimnya, dengan suatu perjanjian untuk mengandung, melahirkan, dan

menyerahkan kembali bayinya dengan imbalan sejumlah materi kepada

pasangan suami istri yang tidak bisa mempunyai keturunan karena istri

tersebut tidak bisa mengandung.5 Perjanjian atas Surrogate Mother disebut

gestational agreement.6 Dalam Bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’

atau ‘ibu wali’.

3
Evelyn Billings, et.al., 2006, Metode Ovulasi Billings, Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta, hal. 179.
4
Annysa Mauliah, Makalah Bayi Tabung Finish, Di Akses Pada Tanggal 29 September
2022, Pukul 13.00 Wib., last modified 2021, http://dokumen.tips/Documents/MakalahBayi-
Tabung-Finish-55993e1fae8d5.
5
Blog Kinkin Mulyati Surrogate mother
“Http://KinkinMulyati.Blogspot.Com/2013/10/SurrogateMother-Ibu Penggantisewa.Html#,” Di
Akses Pada Tanggal 29 September 2022, Pukul 13. 35.
6
Desriza Ratman, Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika Dan Hukum, Bolehkah
Sewa Rahim Di Indonesia, 30.
Berdasarkan perkembangan perjanjian sewa rahim atau Surrogate

Mother dinegara Indonesia merupakan suatu hal baru, berbeda dengan

negara seperti Negara Amerika dan Negara Eropa yang menganggap

bahwa sewa rahim Surrogate Mother merupakan permasalahan yang biasa.

Sebab teknologi sewa rahim Surrogate Mother biasanya dilakukan bila

istri tidak mampu dan tidak boleh hamil atau melahirkan. Embrio

dibesarkan dan dilahirkan dari rahim perempuan lain bukan istri, walaupun

bayi itu menjadi milik (secara hukum) suami istri yang ingin mempunyai

anak tersebut. Untuk jasanya tersebut, wanita pemilik rahim biasanya

menerima bayaran yang jumlahnya telah disepakati keluarga yang ingin

menyewa rahimnya tersebut, dan wanita itu harus menandatangi

persetujuan untuk segera menyerahkan bayi yang akan dilahirkannya itu

ke keluarga yang telah menyewa.

Kasus ini pernah terjadi di Mimika, Papua. Pada tahun 2004,

seorang wanita bernama S didiagnosa oleh dokter bahwa ia tidak bisa

hamil karena kandungannya terinfeksi parah. Menurut adat suku Key, bila

pasangan menikah belum dikaruniai anak, maka suami harus menceraikan

istrinya. S dan B lalu memutuskan untuk melakukan program bayi tabung

pada sebuah rumah sakit di Surabaya, namun hasil pemeriksaan

menunjukkan bahwa S tidak bisa hamil. Sebelumnya dokter yang

memeriksa telah menjelaskan bahwa program bayi tabung dapat juga

dilakukan dengan menanam hasil pembuahannya pada rahim wanita lain.


Cara ini dilakukan oleh S dan B dengan bantuan dari M, yang merupakan

adik dari S dengan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.7

Surrogate mother bukan merupakan upaya kehamilan di luar cara

alamiah yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK) dan Peraturan Menteri

Kesehatan Republik Indonesia Nomor 039/Menkes/SK/I/2010 tentang

Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Berbantu (selanjutnya

disebut PMK). Terlebih perjanijan ini dianggap tidak memenuhi syarat sah

perjanjian yang diatur di dalam pasal 1320 BW tentang syarat sah

perjanjian terkait dengan objek dan causa yang halal.

Namun di sisi lain, melanjutkan keturunan merupakan hak asasi

setiap manusia sebagai pemenuhan atas fungsi pranata keluarga. Hak ini

diatur antara lain pada pasal 28B ayat (1) Undang-undang Dasar Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI), pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal

Hak Asasi Manusia (DUHAM), pasal 23 ayat (2) Kovenan Internasional

tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), pasal 10 Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR),

pasal 2 piagam HAM Tap MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak

Asasi Manusia, dan pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Dengan demikian, negara wajib

menjamin warga negaranya untuk melanjutkan keturunan dan membentuk

keluarga sebagai perlindungan terhadap hak asasi manusia.

7
Agnes Sri Rahayu, Penerapan Hak Reproduksi Perempuan Terhadap Perjanjian Sewa
Menyewa Rahim Dalam Kerangka Hukum Perdata Indonesia, Tesis tidak diterbitkan, Program
Pasca Sarjana Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Telah diuji pada 25 Oktober 2009,
hal. 87-88.
Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian dari praktik ini

ialah mengenai perlindungan hukum terhadap ibu pengganti. Praktik ini

nampaknya telah memperlihatkan berbagai sisi gelap, tidak terkecuali

berkaitan dengan eksploitasi manusia dan berbagai pelanggaran hak-hak

asasi ibu pengganti baik sebagai manusia maupun sebagai seorang

perempuan. Perbincangan terkait dengan hak-hak perempuan tidak dapat

dilepaskan dari pembahasan hak-hak asasi manusia itu sendiri. Hak-hak

asasi perempuan merupakan bagian dari HAM. HAM ialah seperangkat

hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa sebagai anugrah-Nya yang wajib dihormati dan

dijunjung tnggi, serta dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan

setiap orang demi kehormatan harkat dan martabat manusia. Isu tentang

HAM muncul akibat adanya kesadaran manusia mengenai pentingnya

mengakui, menghormati, mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia

secara utuh. Sementara itu pengaturan hak- hak asasi perempuan dapat

ditemui dalam pengaturan berbagai sistem hukum tentang HAM. Sistem

ini meliputin berbagai instrumen hukum baik tingkat Nasional, Regional,

maupun Internasional.8

Banyak kasus di dunia terlebih di negara berkembang, dimana ibu

pengganti terpaksa melakukan surogasi akibat paksaan suami atau

keluarga demi pemenuhan kebutuhan ekonomi. Paksaan ini tentu

merupakan suatu pelanggaran atas hak dari ibu pengganti tersebut. Seperti

yang diketahui bahwa setiap orang memiliki hak-hak asasi manusia yang

8
Nuraida Jamil, “ Hak Asasi Perempuan Dalam Konstitusi Dan Konvensi CEDAW”,
Muwazah Volume 2 Nomor 6, (Desember, 2014), hlm 167.
dijamin oleh hukum. Bentuk eksploitasi ini merupakan salah satu contoh

dari pelangaran hak asasi manusia. Kemudian dalam praktiknya, terdapat

berbagai pelanggaran-pelanggaran kontrak surogasi itu sendiri yang

menyebabkan kerugian bagi ibu pengganti baik materil maupun

immaterial. Seperti saja contoh ibu penganti tidak memperoleh apa yang

menjamin haknya misalnya imbalan yang diperjanjikan, informasi dan

pengetahuan akan resiko surogasi, tidak adanya jaminan kesehatan,

maupun berbagai pelanggaran kontrak lain. Pelanggaran semacam inilah

yang menyebabkan penderitaan yang harus dialami oleh ibu pengganti.

Perlindungan hukum disini tidak terlepas dari perlindungan hak-

hak asasi manusia serta lebih khusus hak-hak ibu pengganti sebagai

seorang perempuan. Negara sebagai suatu negara hukum harus tampil

dalam memberikan perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan

rakyatnya. Berdasarkan Konvensi HAM maupun Convention on

Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW)

maka dijamin hak-hak asasi seorang perempuan misalnya saja hak untuk

hidup, hak untuk memilih dan menentukan pilihan, hak atas infromasi dan

pendidikan, serta hak-hak lainnya. Pengakuan terhadap HAM dimuat

dalam Konstitusi Negara. Di Indonesia sendiri, pengakuan atas HAM dan

hak-hak asasi perempuan terdapat dalam Konstitusi NKRI serta berbagai

peraturan perundang-undangan misalnya saja Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengeai Penghapusan Segala


Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Berdasarkan uraian diatas, maka muncul ketertarikan penulis untuk

mengkaji lebih lanjut mengenai praktik surogasi yang pada kenyataanya

menimbulkan beberpa problematika. Maka dari itu penulis ingin

membahasnya dalam sebuah artikel yang berjudul “THE RIGHT TO

THE DIGNITY OF A SURROGATE MOTHER IS REVIEWED

BASED ON A HUMAN RIGHTS AND THE CONVENTION ON

ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST

WOMEN (HAK ATAS MARTABAT IBU PENGGANTI DITINJAU

BERDASARKAN HAK ASASI MANUSIA DAN KONVENSI

CEDAW)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai perlindungan martabat manusia

dalam yurisprudensi pengadilan Hak Asasi Manusia dan Convention

on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women

(CEDAW)?

2. Bagaimana pengaturan Convention on Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women (CEDAW) dalam perlindungan

surogasi untuk menentukan hak nasib sendiri dari ibu pengganti?


3. Bagaimana peraturan Convention on Elimination of All Forms of

Discrimination Against Women (CEDAW) dalam pelanggaran hak atas

martabat ibu pengganti dalam surogasi?

C. Tujuan Penlitian

Sesuain dengan rumusan penelitian yang telah diungkapkan diatas

sehingga dapat dicapai suatu tujuan penelitian, yaitu:

1. Untuk menganalisis pengaturan mengenai perlindungan martabat

manusia dalam yurisprudensi pengadilan Hak Asasi Manusia dan

Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against

Women (CEDAW).

2. Untuk menganalisis pengaturan Convention on Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam

perlindungan surogasi untuk menentukan hak nasib sendiri dari ibu

pengganti.

3. Untuk menganalisis pengaturan Convention on Elimination of All

Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dalam

pelanggaran hak atas martabat ibu pengganti dalam surogasi.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Peneltian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis peneltian

hukum normative. Hukum normative adalah studi hukum kepustakaan

yang dilakukan melalui studi hukum kepustakaan yang dilakukan


melalui studi bahan Pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum

normative dilakukan dengan penelitian tentang asas dan doktrin

hukum, dan penelitian hukum dalam hukum kolaboratif dan

komparatif.9

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder, yaitu data yang diperoleh berupa dokumen- dokumen atau

buku- buku yang berkaitan dengan pokok bahasan. Data sekunder

meliuti:

a. Hukum Primer

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran

Negara RI Tahun 2011 Nomor 82 dan Tambahan

Lembaran Negara RI Nomor 5234.

3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang

Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention

on The Elimination of All Forms of Discrimination

Against Women). Lembaran Negara RI Tahun 1984

Nomor 29 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor

3277.

9
Suratman, Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung, Alfabeta, hlm. 54
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor

165 dan Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3886.

5) Universal Declaration of Human Rights, 1948.

6) Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.

7) Siracusa Principles on the Limitation and Derogation of

Provision in the International Covenant on Civil and

Political Rights 1984.

8) Vienna Declaration and Programme of Action, 1993.

b. Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder bersumber dari buku- buku

penelitian dan karya ilmiah, karya ilmiah itu diantaranya

berkaitan dengan peneltian dan literatur lainnya.10

c. Hukum Tersier

Bahan hukum tersier diperoleh berdasarkan bahan – bahan

yang mengenai bahan aturan sekunder, yang meliputi

kamus Bahasa Indonesia dan aturan kamus.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan penelitian ini,

penulis memperoleh data melalui penelitian dokumen, yaitu teknik

pengumpulan data dengan cara meneliti dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.12

10
Zunaidin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.106
11
Suratman,Philips Dillah, 2014, Metode Penelitian Hukum, Bandung,Alfabeta, hlm.67
12
Ibid, hlm. 86
4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

secara kualitatif. Dengan dasar pengetahuan umum, dan meneliti

dengan menghubungkan permasalahan yang ditemukan.13

13
Bambang Sunggono, 2013, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Persada,
hlm.34

Anda mungkin juga menyukai