Anda di halaman 1dari 25

KEGIATAN BELAJAR 1

Hak Untuk Menikah dan Melanjutkan


Keturunan
A. HAK UNTUK MENIKAH DAN MELANJUTKAN KETURUNAN
SEBAGAI HAK ALAMIAH

İde tentang Hak asasi Manusia pada dasarnya lahir atas kesadaran atas
kebebasan dan persamaan yang dimiliki manusia sebagai makhluk yang
memiliki ciri yang khas yaitu rasional dan bermoral. Dasar filosofis
rasionalitas dan moralitas inilah yang dianggap sebagai pembeda antara
manusia dengan makhluk lainnya. Oleh karenanya harus disadari bahwa ide
awal lahirnya HAM tidak berasal dari tatanan hukum, tetapi dari tatanan
moral yang menjadi nilai yang melekat pada masyarakat manusia bahkan di
kalangan masyarakat yang paling primitif sekalipun. Oleh karenanya tradisi
HAM pun diawali dengan pemahaman atas tradisi kodrati dimana setiap
manusia dilahirkan bersama-sama dengan hak kodrati yang melekat padanya.
Hak kodrati atau hak alamiah adalah hak yang melekat pada manusia
terlepas dari segala adat-istiadat atau aturan tertulis. Hak alamiah
mendahului posisi legal, kultural, ekonomi, dan sosial manusia dalam satu
komonitas. Hak alamiah itü merupakan karunia Tuhan yang menciptakan
manusia sebagai makhluk yang tertinggi derajatnya di antara makhluk
lainnya. Hal ini yang kemudian mendasari klaim manusia atas dirinya yang
tidak bisa diberlakukan semena-mena oleh pihak manapun.
Posisi manusia di mata Tuhan pun setara, dimana hak yang dimiliki
seorang manusia tidak lebih beşar atau lebih kecil dibandingkan dengan yang
lainnya. Kesetaraan ini membuat manusia harus saling menghormati hak satu
dengan yang lain dan memahami bahwa hak yang dinikmatinya tidak dapat
melanggar hak orang lain. Oleh karenanya hak asasi sebagai hak alamiah
dimiliki oleh manusia atas dasar kemanusiaannya, bukan karena etnis, ras,
jenis kelamin, atau agama. Dengan kata lain hak alamiah adalah hak yang
melekat pada individü dimana individü lain, komunitas, kelompok atau
bahkan negara sekalipun tidak dapat membatasi, tanpa persetujuan bebas
dari individu.
Pada dasarnya setiap pemenuhan hak akan berkorelasi dengan adanya
kewajiban pihak Iain untuk menghormati atau memenuhi hak tersebut.
Dalam hal yang berkaitan dengan hak alamiah yang sudah melekat pada
setiap individu, menjadi kewajiban dari pihak Iain untuk menghormatinya
dan tidak melanggarnya. Dalam konteks teori HAM, hak demikian disebut
sebagai hak negatif (negative rights). Dalam hal suatu hak merupakan hak
negatif, maka penikmat hak tersebut mengandaikan absennya campur tangan
pihak Iain . Hal ini tentunya berbeda dengan hak positif dimana penikmat
hak tersebut mengandaikan uluran tangan pihak Iain untuk memenuhinya.
Hak alamiah adalah hak moral, dimana klaim atas hak alamiah
memiliki pembenaran moral untuk membuat pihak Iain tidak campur tangan.
Hak moral berlaku untuk siapa saja dalam situasi apapun, dalam suatu situasi
tertentu yang secara partikular memiliki ikatan tertentu atau dalam situasi
apapun.
Hak alamiah ini umumnya merupakan hak yang berkaitan dengan hidup
dan kehidupan manusia termasuk di dalamnya terkait dengan
keberlangsungan hidupnya. Hak yang secara naluriah melekat sejak lahir
hingga dewasa. Dalam perjalanan hidupnya manusia memiliki
kebutuhankebutuhan biologis, sejalan dengan perkembangan usianya. Secara
naluriah umumnya dalam usia tertentu, setiap manusia akan memasuki suatu
siklus kedewasaan dimana keinginan untuk menikah dan melanjutkan
keturunan merupakan salah satu kebutuhan tersebut. Baik setiap laki-laki
maupun perempuan akan memasuki siklus ini meskipun secara biologis, usia
kematangan ini berbeda. Dalam berbagai norma yang melekat pada
komunitas manapun, menikah, dan melanjutkan keturunan menjadi bagian
dari kewajiban kodrati manusia untuk tetap menjaga eksistensi manusia itu
sendiri.

B. HAK UNTUK MENIKAH DAN MELANJUTKAN KETURUNAN


DALAM BERBAGAI INSTRUMEN HAM

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia sebagai intrumen HAM internasional


yang utama mengatur mengenai hak untuk berkeluarga dan melanjutkan
keturunan dalam Pasal 16 yang merumuskan :
l. Orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan dengan tidak dibatasi
oleh kebangsaan, kewarganegaraan, atau agama berhak untuk mencari
jodoh dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang
sama dalam soal perkawinan dan dikala perceraian.
2. Perkawinan harus dilakukan hanya dengan cara suka sama suka dari
kedua mempelai.
3. Keluarga adalah kesatuan yang sewajarnya serta bersifat pokok dari
masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan
negara.

Hal yang istimewa dari hak ini adalah bahwa hak ini diatur juga dalam
instrumen lainnya yaitu
l . Pasal 23 Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR) merumuskan :
a. Keluarga merupakan sendi dasar masyarakat yang alami dan
berhak atas perlindungan dari masyarakat dan negara.
b. Hak pria dan wanita yang cukup umur untuk menikah dan
membentuk suatu keluarga harus diakui.
c. Perkawinan tidak boleh diadakan tanpa persetujuan yang ikhlas
kedua calon pengantin sebagaimana dinyatakan secara bebas
oleh mereka.
d. Para negara peserta pada Kovenan ini akan mengambil
langkahlangkah yang tepat untuk menjamin persamaan hak dan
tanggungjawab para calon pengantİn mengenaİ perkawinan,
selama perkawinan dan dikala perceraiannya. Dalam kasus
perceraian, harus ditetapkan perlindungan yang diperlukan
untuk anak-anak yang ada.

2. Pasal 10 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan


Budaya (ICESCR) :
Negara-negara Peserta Kovenan ini mengakui bahwa Seharusnya
diberikan perlindungan dan bantuan seluas-luasnya kepada keluarga,
sebagai satu kelompok dasar yang alami dari masyarakat khususnya
untuk membentuknya dan selama ia bertanggung jawab untuk
perawatan dan pendidikan anak-anak yang masih ditanggung.
Perkawinan harus diadakan dengan persetujuan para calon suami-istri
sendiri.
3. Pasal 16 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan
a. Para negara peserta akan mengambil semua tindakan yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap wanita dalam semua persoalan
yang berkaitan dengan perkawinan dan hubunganhubungan
keluarga dan terutama akan menjamin, atas suatu dasar persamaan
antara pria dan wanita;
1) Hak yang sama untuk mengikatkan diri dalam perkawinan;
2) Hak yang sama untuk secara bebas memilih seorang suami/istri
dan untuk mengikatkan diri dalam perkawinan hanya dengan
persetujuan mereka yang bebas dan penuh.
3) Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinannya dan
pada waktu perceraiannya;
4) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas
dari status perkawinan mereka dalam persoalanpersoalan yang
berhubungan dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus
kepentingan anak-anak harus merupakan yang tertinggi.
5) Hak-hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan
bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak antara anakanak
mereka dan mempunyai akses ke informasi, pendidikan dan
sarana-sarana untuk memungkinkan mereka melaksanakan
Hak-hak ini.
6) Hak dan tanggung jawab yang sama mengenai perlindungan,
pengawasan, perwalian, dan pengangkatan anak-anak atau
lembaga-lembaga serupa dimana konsepkonsep ini ada dalam
perundang-undangan nasional, dalam semua kasus kepentingan
anak-anak harus merupakan yang tertinggi;
7) Hak-hak pribadi yang sama sebagai suami/istri mengenai
pemilikan, dan perolehan, manajemen, administrasi,
penikmatan dan pengaturan harta kekayaan, apakah cumacuma
atau dengan pertimbangan yang berharga.
b. Pertunangan dan perkawinan seorang kanak-kanak tidak dapat
mempunyai akibat hukum, dan semua tindakan yang
diperlukan, termasuk perundang-undangan, harus diambil
untuk menetapkan umur minimum untuk perkawinan, dan
wajib mengisi pendaftaran perkawinan pada kantor pendaftaran
resmi.

4. Konvensi Mengenai Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum


Perkawinan, dan Pencatatan Perkawinan
Pasal ı
1) Tidak satupun perkawinan dapat dilangsungkan secara sah tanpa
persetujuan sepenuhnya dan bebas dari kedua belah pihak, persetujuan
tersebut harus dinyatakan oleh mereka sendiri, sesudah pengumuman
yang semestinya dan dalam kehadiran penguasa yang berwenang untuk
mengkhidmatkan perkawinan dan para saksi, seperti yang ditentukan
oleh undang-undang.
2) Sekalipun apa saja yang ada dalam ayat (1) di atas demikian, adalah
tidak perlu bagi salah satu pihak harus hadir apabila penguasa yang
berwenang yakin bahwa keadaan-keadaaan ini adalah pengecualian dan
bahwa pihak itu, di depan penguasa yang berwenang dan dalam cara
seperti yang mungkin ditetapkan oleh undang-undang sudah
menyatakan dan tidak menarik kembali persetujuannya.

Pasal 2
Para negara peserta pada konvensi ini akan mengambil tindakan legislatif
untuk menetapkan umur minimum untuk perkawinan, tidak satu pun
perkawinan dapat secara sah dilangsungkan oleh siapa pun di bawah umur
ini, kecuali seorang penguasa yang berwenang telah memberikan dispensasi
mengenai umur, karena alasan-alasan yang sangat mendesak, demi
kepentingan kedua calon mempelai.
Pasal 3
Semua perkawinan akan dicatat dalam catatan resmi yang tepat oleh
penguasa yang berwenang.

Dalam beberapa intrumen-instrumen regional hal demikian diatur dalam:


1) Pasal 12 Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia dan Kebebasan Dasar
Semua pria dan wanita yang cukup umur akan berhak untuk menikah
dan membentuk suatu keluarga sesuai dengan perundang-undangan
nasional yang berlaku atas pelaksanaan hak tersebut.

2) Pasal 5 Protokol 7 Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak-hak


Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
Suami istri menikmati kesamaan hak dan tanggung jawab yang bersifat
hukum perdata di antara mereka, dan dalam hubungan dengan anak-
anak mereka, mengenai perkawinan, selama perkawinan dan dalam hal
perceraiannya. Pasal ini harus tidak mencegah negara untuk mengambil
tindakan-tindakan seperti yang diperlukan demi kepentingan anak-anak.

3) Bagian I Piagam Sosial Eropa


Keluarga sebagai satu kesatuan dasar masyarakat berhak mendapatkan
perlindungan ekonomi dan sosial yang tepat.

4) Pasal 16 Bagian II Piagam Sosial Eropa


Dengan maksud untuk kondisi-kondisi yang diperlukan untuk
pembangunan keluarga sepenuhnya yang merupakan kesatuan dasar
masyarakat, maka para negara peserta berusaha meningkatkan
perlindungan ekonomi, hukum dan sosial terhadap kehidupan keluarga
dengan tindakan-tindakan seperti kemanfaatan sosial dan keluarga,
pengaturan keuangan, ketentuan perumahan keluarga, kemanfaatan bagi
perkawinan yang baru dan tindakan-tindakan tepat Iainnya.

5) Pasal 17 konvensi Amerika tentang Hak-hak Asasi Manusia


a) Keluarga merupakan sendi dasar masyarakat yang alami dan berhak
atas perlindungan dari masyarakat dan negara.
b) Hak pria dan wanita yang cukup umur untuk menikah dan
membentuk keluarga harus diakui, kalau mereka memenuhi
persyaratan-persyaratan yang diharuskan oleh undang-undang
domestik, sejauh persyaratan-persyaratan tersebut tidak merusak
prinsip non diskriminasi yang ditetapkan dalam Konvensi ini.
c) Perkawinan tidak boleh dilangsungkan tanpa persetujuan yang
ikhlas dari kedua calon pengantin sebagaimana dinyatakan secara
bebas oleh negara.
d) Para negara peserta akan mengambil langkah-langkah yang tepat
untuk menjamin persamaan hak dan tanggung jawab para calon
pengantin mengenai perkawinan, selama perkawinan dan pada saat
perceraiannya. Dalam hal perceraian, harus ditetapkan
perlindungan-perlindungan yang diperlukan untuk anak-anak yang
ada.
e) Undang-undang harus mengakui Hak-hak yang sama untuk
anakanak yang lahir di luar ikatan perkawinan dan yang dilahirkan
dalam ikatan perkawinan.
6) Pasal 18 (I, 2) Piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi Manusia dan
Hak-hak Rakyat
a) Keluarga adalah kesatuan pokok dalam masyarakat dan berhak
mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
b) Negara wajib membantu keluarga yang padanya merupakan
pemelihara nilai-nilai moral dan tradisi yang diakui oleh
masyarakat;
c) Negara harus menjamin penghapusan setiap diskriminasi terhadap
wanita dan anak-anak seperti yang ditentukan dalam
deklarasideklarasi dan konvensi-konvensi internasional.

7) Pasal 6 Deklarasi Amerika mengenai Hak-hak dan Kewajiban


Manusia
Setiap orang berhak untuk membangun suatu keluarga, yakni unsur
dasar masyarakat dan menerima perlindungan untuk itu.

8) Jakarta Declaration For the Advancement of Women in Asia and the


Pasific (ESCAP, 1994)
Merupakan instrumen HAM yang penting bagi perlindungan terhadap
Hak-hak perempuan khususnya dikawasan Asia Pasifik. Dokumen ini
salah satunya bertujuan untuk memberikan jaminan kepada perempuan
atas persamaan dalam hal berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan
politisi termasuk di dalamnya dalam membuat keputusan-keputusan
penting berkaitan dengan kepentingannya tanpa adanya batasan aturan
bersadarkan norma hukum, sosial maupun atas dasar pandangan budaya
dari bangsa-bangsa yang berada di kawasan ini. Termasuk di dalamnya
dalam hal membangun keluarga, memilih pasangan hidup maupun
dalam hal lain yang menyangkut keberlangsungan perkawinannya.

9) Deklarasi Kairo (19th Islamic Conference of Foreign Ministers, 1990)


Pasal 6
a) Setiap perempuan memiliki kedudukan yang sama dengan manusia
lainnya dalam martabat kemanusiaan dan memiliki hak sendiri
untuk menikmati kehidupan, melaksanakan tugas dalam lingkungan
sosialnya dan memiliki kebebasan finansial serta berhak untuk
mempertahankan nama dan keturunannya.
10) Universal Islamic Declaration of Human Rights (Islamic Council,
1980)

XX. Hak Untuk Menikah Bagi Perempuan


Setiap perempuan yang sudah meikah berhak untuk:
a) Tinggal di rumah dimana suaminya hidup;
b) Menerima sarana yang diperlukan untuk mempertahankan standar
hidup yang sama dengan suaminya dan dalam hal perceraian,
selama masa tunggu (iddah) berhak menerima jaminan hidup yang
layak dari suaminya, baik untuk dirinya sendiri maupun bagi anak-
anak yang berada dalam pemeliharaannya, terlepas dari status
finansial, keuntungan atau kepemilikan harta yang didapatnya
sendiri.
c) Mencari dan mendapatkan perceraian (khulu) sesuai dengan
ketentuan undang-undang. Hak ini merupakan hak istimewa yang
melekat padanya disamping haknya untuk meminta cerai melalui
pengadilan.
d) Mewaris dari suaminya, orang tuanya, anak-anaknya dan kerabat
lain menurut aturan perundang-undangan.
e) Kerahasiaan yang ketat dari pasangannya atau mantan pasangannya
jika bercerai, sehubungan dengan informasi bahwa ia mungkin yang
telah diketahui tentang dia, pengungkapan yang bisa membuktikan
hal yang merugikan dirinya. Sebuah tanggung jawab yang sama
terletak pada dirinya sehubungan suaminya atau mantan
pasangannya.

c. HAK UNTUK BERKELUARGA DAN MELANJUTKAN


KETURUNAN DALAM KETENTUAN
PERUNDANGANUNDANGAN

Hak untuk menikah dan melanjutkan keturunan pada dasarnya


merupakan hak konstitusional di Indonesia yang merujuk kepada ketentuan
Pasal 28 A UUD 1945 Amandemen. Pasal 28 B ayat (l) merumuskan bahwa
"setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah”
Selanjutnya hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan dirumuskan dalam
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahtın 1999 tentang Hak Asasi
Manusia sebagai berikut:
(1) Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah,
(2) Perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas
calon suami dan calon istri yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Mengenai pelaksanaan ketentuan tersebut, pada dasarnya
UndangUndang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 memberikan panduan
secara teknis tentang bagaimana perkawinan dilaksanaan, bagaimana
hubungan selama perkawinan dan bagaimana perceraian dapat terjadi.
Dalam Pasal I Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa "perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketentuan tersebut mensyaratkan
bahwa yang disebut sebagai suatu perkawinan dalam undang-undang ini
adalah hubungan antara pria dan wanita. Sementara itü dinyatakan bahwa
dasar Ketuhanan yang maha Esa, merupakan bagian dari persyaratan sahnya
perkawinan harus didasarkan pada suatu ketentuan yang berlaku dalam
hükum agama. Pasal 2 ayat (l) Undang-Undang Perkawinan menyatakan
bahwa "perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hükum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itil”. Dari perumusan pasal ini maka
sahnya suatu perkawinan secara hükum mengikuti sahnya perkawinan
menurut agama dan kepercayaan dari masing-masing calon pengantin. Oleh
karenanya suatu perkawinan harus mutlak dilakukan menurut hukum agama
dari calon pengantin, begitupun syarat sahnya perkawinan mengikuti syarat
yang berlaku dalam hukum agama itu. Dengan kata Iain tidak ada suatu
istilah 'perkawinan" yang dilaksanakan diluar ketentuan hukum agama dari
calon mempelal" 1
Pasal 6 undang-undang ini memberikan syarat bahwa perkawinan harus
dilaksanakan atas kehendak bebas dan persetujuan kedua calon mempelai.
Kedua mempelai dianggap sebagai orang dewasa dimana usia yang
dipersyaratkan adalah 21 tahun (Pasal 7). Meskipun undang-undang
memberikan batasan umur minimal bagi mempelai laki-laki adalah 19 tahun
dan mempelai perempuan adalah 16 tahun namun dalam hal para mempelai

1 K. Kwantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan ke-4 (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1976), hal.16
masih dibawah umur (21 tahun) maka persetujuan orangtua menjadi syarat
Iainnya.
Sebagai bagian dari bukti syahnya perkawinan maka dalam Ketentuan
Pasal 2 ayat (2) dinyatakan bahwa "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku". Dalam hal ini, ketentuan ini
mensyaratkan bahwa suatu perkawinan dalam hukum Indonesia dicatat
sebagai suatu bentuk pengakuan atas suatu register atau catatan
kependudukan.
Asas monogami pada dasarnya merupakan asas dasar yang dirumuskan
dalam ketentuan ini. Dalam Pasal 3 ayat (1) undang-undang ini dinyatakan
bahwa "pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang istri dan
seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami". Akan tetapi asas ini
tidak berlaku muttlak. Pengadilan di Indonesia dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan, berbagai persyaratan. Adapun syarat yang
dimaksud adalah adanya pertimbangan bahwa :
a) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Disamping itu terdapat syarat yang Iain yang juga harus diperhatikan Oleh
pengadilan yaitu:
a) adanya persetujuan dari istri/istri-istri;
b) adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan
anak-anak mereka.
Sungguh merupakan suatu ukuran-ukuran yang sangat relatif. Akan tetapi
hakim-hakim dalam lembaga peradilan diharapkan dapat menerapkan
persyaratan ini secara ketat, karena tujuan dari lembaga perkawinan itü
sendiri. Dalam hal ini undang-undang perkawinan telah memberikan makna
yang baik dalam menjaga hakikat perkawinan.

L ATI HAN
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di ataş,
kerjakanlah latihan berikut!

l) Jelaskan mengapa hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan


merupakan hak asasi manusia yang alamiah ?
2) Mengacu kepada ketentuan dalam berbagai instrumen HAM
internasional, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan diatur
dalam konvensi baik yang mengatur tentang hak sipil dan politik dan
hak ekonomi, sosial dan budaya. apakah hak untuk berkeluarga dan
melanjutkan keturunan merupakan bagian dari hak sipil dan politik atau
hak ekonomi, sosial dan budaya, jelaskan.
3) Mengapa hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan termasuk
dalam hak yang negatif (negative rights)?
4) Mengapa asas kebebasan penting diperhatikan dalam perlindungan
terhadap hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan ?
5) Mengapa asas kepersamaan dan nondiskriminasi penting diperhatikan
dalam perlindungan terhadap hak untuk berkeluarga dan melanjutkan
keturunan ?

Petunjuk Javvaban Latihan

l) Baca lebih rinci materi pertama yaitu hak untuk menikah dan melanjutkan
keturunan sebagai hak alamiah.
2) Baca lebih lanjut mengenai hak untuk menikah dan melanjutkan
keturunan dalam berbagai instrumen HAM.
3) Baca dan pahami menegnai campur tangan dari pihak lain.
3.16 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

KEGIATAN BELAJAR 2
Hak Untuk Menikah dan Hak Perempuan
alam deklarasi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan 1967,
dirumuskan sejumlah ketentuan dan pandangan terhadap konsepsi perkawinan
khususnya clari sudut pandangan perlindungan terhadap perempuan dalam
perkawinan. Ketentuan ini lahir clari pandangan bahwa dalam sebagian besar
masyarakat di dunia masih didasarkan pada budaya pratriarchal yang mendudukan
posisi laki-laki dan perempuan secara tidak berimbang, termasuk di dalamnya
hubungan dalam perkawinan.
Pasal 16 dari deklarasi itu merumuskan bahwa :
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan
dengan perkawinan dan hubungan keluarga dan khususnya wajib menjamin,
atas dasar persamaan antara pria dan wanita:
A. Asas Kebebasan dalam perkawinan termasuk di dalamnya:
1) yang sama hak untuk masuk ke dalam pernikahan;
2) hak yang sama untuk secara bebas memilih pasangan dan memasuki
pernikahan hanya dengan persetujuan bebas dan penuh; dan
B. Kesamaan dalam menentukan keberlangsungan perkawinan termasuk:
1) hak yang sama dan tanggung jawab selama pernikahan dan pada
pembubarannya;
2) hak yang sama dan tanggung jawab sebagai orang tua, terlepas dari
status perkawinan mereka, dalam hal yang berkaitan dengan anak-
anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak harus menjadi
yang utama;
a) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung
jawab atas jumlah dan jarak anak-anak mereka dan memiliki akses
ke informasi, pendidikan dan sarana untuk memungkinkan mereka
untuk menggunakan Hakhak;
b) hak yang sama dan tanggung jawab terkait perwalian,
pengampuan dan dan adopsi anak, atau institusi serupa dimana
konsep ini tercantum dalam peraturan nasional,
• HKUM420B/MODUL a 3.17

dalam semua kasus kepentingan anak harus menjadi yang utama;


C. Perkawinan tidak mereduksi Hak perempuan di hadapan Hukum
a) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan istri, termasuk hak untuk
memilih nama keluarga, profesi, dan pekerjaan;
b) Hak atas kewarganegaraan termasuk status kewarganegaraan anak-
anaknya.
c) Hak-hak yang sama bagi kedua pasangan sehubungan dengan
kepemilikan, akuisisi, manajemen, administrasi, penikmatan dan
disposisi properti, apakah gratis atau untuk pertimbangan berharga.
2. Pertunangan dan pernikahan anak akan memiliki pengaruh hukum, dan semua
tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk menentukan
usia minimum untuk menikah dan membuat pencatatan perkawinan dalam
registrasi resmi wajib.
Pasal 16 ayat 2 menegaskan bahwa deklarasi ini juga memperhatikan
perlindungan terhadap anak perempuan di bawah umur.
Ketentuan dalam hukum negara harus memberikan kepada perempuan,
kapasitas hukum dan kesempatan yang sama untuk menggunakan kapasitas
tersebut antara laki-laki dan perempuan termasuk di dalamnya ketika perkawinan
telah terjadi. Secara khusus, mereka harus memberikan perempuan hak yang sama
untuk menutup kontrak-kontrak dan untuk mengelola properti dan harus
memperlakukan mereka sama dalam semua tahapan prosedur di pengadilan.
Dalam hal membuat suatu perikatan dan perjanjian, maka perempuan dapat
bersepakat dalam menolak semua kontrak dan semua dokumen Iain dalam bentuk
apapun dengan kekuatan hukum yang ditujukan kepada pembatasan kecakapan
hukum bagi perempuan. Kontrak yang demikian wajib dianggap batal dan tidak
berlaku.
Ketika seorang wanita tidak bisa masuk ke dalam kontrak sama sekali, atau
memiliki akses ke kredit keuangan, atau dapat melakukannya hanya dengan
suaminya atau persetujuan saudara laki-laki atau jaminan, maka ketentuan
semacam itu dianggap sebagai bagian dari bentuk diskriminasi terhadap
perempuan. Apalagi bila terdapat pembatasan yang mencegah seorang perempuan
untuk menguasasi properti miliknya sebagai pemilik tunggal dan menghalangi dia
dari manajemen hukum bisnis sendiri atau dari
3.18 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

masuk ke bentuk lain dari kontrak. Pembatasan tersebut secara serius membatasi
kemampuan wanita untuk menyediakan untuk dirinya sendiri dan tanggungan
mereka.
Persamaan kedudukan perempuan di mata hukum juga termasuk dałam hal
seorang wanita untuk membawa litigasi terbatas di beberapa negara oleh hukum
atau oleli akses nya untuk nasihat hukum dan kemampuannya untuk mencari ganti
rugi dari pengadilan. Di lain, statusnya sebagai saksi atau bukti yang diberikan nya
lebih berat daripada pria. Hukum atau kebiasaan seperti membatasi hak perempuan
secara efektif untuk mengejar atau mempertahankan bagian yang sama nya properti
dan mengurangi berdiri sebagai, anggota yang bertanggung jawab dan dihargai
independen komunitasnya. Ketika negara-negara membatasi kapasitas hukum
wanita dengan hukum mereka, atau izin individu atau institusi untuk melakukan hal
yang sama, mereka menyangkal perempuan Hak-hak mereka untuk menjadi setara
dengan laki-laki dan membatasi kemampuan perempuan untuk menyediakan bagi
diri mereka sendiri dan tanggungan mereka.
Seperti dałam kasus kebangsaan, pemeriksaan laporan negara pihak
menunjukkan bahwa seorang wanita tidak akan selalu diizinkan di hukum untuk
memilih domisili sendiri. Domisili, seperti kebangsaan, harus mampu berubah pada
kehendak oleh seorang wanita dewasa tanpa memandang status perkawinannya.
Setiap pembatasan hak perempuan untuk memilih domisili atas dasar yang sama
sebagai manusia dapat membatasi aksesnya ke pengadilan di negara di mana dia
tinggal atau mencegah dia dari memasuki dan meninggalkan sebuah negara bebas
dan dałam haknya sendiri.

LAT 1 HAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) 'Persamaan kedudukan dałam perkawinan” merupakan prinsip dasar yang


mendasari hubungan suami istri dałam perkawinan. Jelaskan apa yang dimaksud
dengan "prinsip persamaan dałam perkawinan"?
2) Apakah "kebebasan memilih pasangan” merupakan hak asasi manusia?
3) Apa saja hal yang dapat dijadikan pembatasan pelaksanaan "hak untuk
menikah” , menurut intrumen HAM internasional?
3.22 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

KEGIATAN BEL AJAR 3


Pernikahan Dini
-N,/T eskipun hak atas perkawinan merupakan dari hak atas kebebasan I ð-lL pribadi
yang dijamin di dalam Hak Asasi Manusia, namun sejumlah instrumen HAM telah
menggariskan adanya batasan minimal usia dalam perkawinan. Deklarasi tentang
Pengapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan menyatakan bahwa
deklarasi ini juga memperhatikan perlindungan terhadap anak perempuan di bawah
umur. Pertunangan dan pernikahan anak akan memiliki pengaruh hukum dan semua
tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk menentukan usia
minimum untuk menikah dan membuat pencatatan perkawinan dalam registri resmi
wajib. Oleh karenanya dalam sejumlah instrumen HAM internasional ketentuan
terkait dengan batasan minimal seorang perempuan yang dapat menikah diatur
sebagai suatu ketentuan yang khusus, yaitu:
a) Pasal 6 ayat (3) Deklarasi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan 1967
Pernikahan anak dan pertunangan gadis muda sebelum Pubertas harus dilarang
dan tindakan yang efektif, termasuk undang-undang, harus diambil untuk
menentukan usia minimum untuk menikah dan membuat catatan perkawinan
dalam register resmi dan wajib.
b) Pasal 16 ayat (2) Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW, 1979)
Pertunangan dan pernikahan anak akan memiliki pengaruh hukum dan semua
tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk menentukan
usia minimum untuk menikah dan membuat pencatatan perkawinan dalam
register resmi wajib.
c) Pasal Il ayat (6) dan Pasal 21 ayat (2) Charter on the rights and welfare of the
African Child (1990)
Pemerintah harus berupaya untuk menghentikan praktik-praktik sosial dan
budaya yang berbahaya, seperti perkawinan anak, yang mempengaruhi
kesejahteraan dan martabat anak.
d) Konvensi Mengenai Persetujuan Perkawinan, Usia Minimum
Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan, 1962
• HKUM420B/MODUL a 3.23

Pasal 16 Konvensi Pengapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan


jelas merupakan asas yang menyatakan bahwa pertunangan dan perkawinan
seorang kanak-kanak tidak dapat mempunyai akibat hukum, dan semua tindakan
yang diperlukan, termasuk perundang-undangan, harus diambil untuk menetapkan
umur minimum untuk perkawinan, dan wajib mengisi pendaftaran perkawinan pada
kantor pendaftaran resmi. Konvensi Mengenai Persetujuan Perkawinan, Usia
Minimum Perkawinan dan Pencatatan Perkawinan memerintahkan para negara
peserta pada konvensi ini akan mengambil tindakan legislatif untuk menetapkan
umur minimum untuk perkawinan. Tidak satu pun perkawinan dapat secara sah
dilangsungkan oleh siapa pun di bawah umur ini, kecuali seorang penguasa yang
berwenang telah memberikan dispensasi mengenai umur, karena alasan-alasan
yang sangat mendesak, demi kepentingan kedua calon mempelai.
Dari ketiga intrumen utama yang membahas tentang batas usia perkawinan
menegaskan adanya syarat cukupnya usia minimal untuk melakukan perkawinan.
Perlunya pembatasan ini tidak dapat dinyatakan sebagai pembatasan atas hak
membatasi untuk menikah, berkeluarga, dan melanjutkan keturunan, melainkan
adanya suatu keadaan yang secara natural dan biologislah yang menjadi batasan
atas pemenuhan hak tersebut. Dalam berbagai studi dinyatakan bahwa dalam
perkawinan yang dilakukan oleh suami atau istri yang belum memiliki kematangan
fisik dam psikis mempunyai potensi besar untuk terjadinya ketidakharmonisan
dalam rumah tangga. Beberapa dampak negatif dari pernikahan dini misalnya:
Akibat negatif bagi kesehatan reproduksi anak atau remaja perempuan antara lain:
1) Banyaknya kematian ibu hamil dan angka melahirkan yang relatif tinggi karena
minimnya pengetahuan dan informasi kesehatan reproduksi terutama para ibu-
ibu muda. Karena bentuk akibat dari minimnya pengetahuan dan informasi
berakibat pada perdarahan yang banyak apda saat melahirkan, gangguan
kesehatan ibu dan usia ibu yang masih belia (di bawah 20 tahun) atau terlalu
tua (di atas 34 tahun) pada saat hamil dan melahirkan.7
2) Alat reproduksi perempuan di bawah usia 20 tahun belum matang benar,
sehingga kehamilan di usia muda tidak baik bagi kesehatan reproduksl.

7 Seputar Indonesia, 9 Maret 2011, 430 Bayi meninggal per-hari.


8 Loc Cit
3.24 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

3) Perkawinan anak-anak juga ditengarai beresiko terkena kanker serviks yang


dikarenakan oleh human papiloma virus (HPV). Hal ini disebabkan masih
rapuhnya leher rahim remaja putri karena pembentukan sel-sel rahim yang
belum sempurna. Kondisi itulah yang membuat leher rahim tidak kuat
membendung serangan HPV.2
Pada kenyataannya masyarakat sering menyatakan alasan dilakukannya pernikahan
dini karena beberapa hal, misalnya:
1) Menjaga kehormatan diri dan keluarga
2) Karena pergaulan remaja yang sulit dikendalikan maka langkah yang tepat
adalah melalui pernikahan
3) Kekhawatiran terjadinya pelanggaran norma-norma agama dan susila 4)
Menghindari hubungan seks pranikah yang dianggap tabu;

Justifikasi ini oleh sebagian kalangan dianggap tidaklah tepat karena semuanya
didasarkan pada adanya kondisi anak yang bila dikembalikan kepada asalnya akan
sangat bergantung pada bagaimana orang tua melakukan pendidikan, pendidikan,
dan pembinaan terhadap mereka. Seberapa beşar perhatian yang diberikan?
Seberapa beşar perhatian yang diberikan kepada para anak dan remaja yang
tumbuh? Sejauhmana peran masyarakat dan lingkungan dalam mendukung dan
memotivasi anak dan remaja untuk tetap berjalan pada jalur yang benar? Serta
seberapa keras pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menjamin
terselenggaranya pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat terutama anak dan
remaja. Pasal 20 UndangUndang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2004
menyebutkan bahwa negara, keluarga, masyarakat, dan pemerintah merupakan
pihak-pihak yang berkewajiban menjaga Hak-hak anak serta melindunginya.

Ilustrasi:
Menikahi perempuan di bawah umur ala Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh Puji
asal Semarang (Jateng), ternyata bukan hal baru di Jawa Timur. Jika pernikahan
pasangan di bawah umur juga dimasukkan dalam 'aliran' pernikahan ala Syeh Puji
ini, maka jumlah pengikut pasti banyak di Jatim. Seperti diberitakan sebelumnya,
Syeh Puji (pemilik Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Jannah di Kabupaten

2 Tempo, 29 Maret 2011, Kanker Mengintai


Semarang, menjadi sorotan media nasional setelah menikahi Ulfa, adis SMP asal
Kecamatan Ber as,
• HKUM420B/MODUL a 3.25

Kabupaten Semarang yang masih berusia 12 tahun.

Pernikahan yang terjadi 8 Agustus 2008 itu baru mencuat jadi buah bibir
pertengahan Oktober ini, karena Syeh Puji sendiri yang
mengungkapkannya ke media. Pria kaya raya yang mengangkat Ulfa
sebagai direktur di perusahaan miliknya itu ternyata masih kalah
reputasinya bila dibandingkan Masyhurat Usman, seorang kiai di
Kabupaten Sumenep (Madura). Sebab, Syeh Puji hanya menikahi seorang
saja bocah putri di bawah umur, sedangkan KH Masyhurat sat menikahi 5
istrinya saat mereka masih di bawah umur.

Pernikahan dengan istri di bawah umur yang mungkin paling spetakuler


adalah yang dilakukan oleh KH Masyhurat (yang tinggal di Dusun
Tarebung, Desa Lenteng Barat, Kecamatan Lenteng Barat, Kecamatan
Lenteng Sumenep) dinikahinya saat usia mereka antara 10 tahun hingga
belum genap 17 tahun. Tentang masih adanya pernikahan usia clini di
sebagian wilayah Madura, pengasuh Ponpes Nasyrul Ulum, Bagandan,
Kota Pamekasan, KH Hamid Mannan, menyatakan hal itu didorong oleh
dua faktor, yakni budaya dan ekonomi.

Budaya yang masih hidup di Pamekasan, kata Hamid Mannan, orang tua
(khususnya ibu kandung) akan merasa malu pada tetangga jika melihat
anaknya belum dilamar atau menikah ketika usianya sudah memasuki 13
tahun. Mereka khawatir anak gadisnya dipergunjingkan sebagai telat
kawin atau tidak laku" kata KH Hamid, yang juga salah satu ulama
terpandang di Pamekasan.

Sumber:
http://gagasanhukum.wordpress.com/2008/I I /06/kontroversi-
pernikahan s eh- u'i/
3.29 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
3

KEGIATAN BELA JAR 4


Poligami
akna poligami dari pandangan etimologis, berasal dari kata yaitu Polus
I Ö -L yang berarti banyak dan gamos yang berarti kawin. Sementara
terdapat istilah lain yaitu poligini yang berasal dari kata Polus yang berarti
banyak dan gene yang berarti perempuan. Baik poligami maupun poligini
dapat diartikan secara etimologis sebagai suatu sistem perkawinan dimana
cirinya adalah salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang istri
dalam waktu yang bersamaan.10
Selain poligami dikenal juga istilah poliandri. Poliandri adalah suatu
bentuk sistem perkawinan dengan ciri salah sattı pihak (istri) memiliki lebih
dari seorang suami dalam waktu yang bersamaan. ıı Dalam praktiknya
poliandri hanya ditemukan pada suku bangsa tertentu seperti pada suku Tuda
dan beberapa suku dalam masyarakat Tibet. 12 Dibandingkan dengan
poliandri, poligami lebih banyak dipraktikan dalam kehidupan masyarakat.
Pertanyaan yang sering mengemuka berkaitan dengan permasalahan
poligami adalah apakah poligami merupakan suatu bentuk pelanggaran
HAM atau bukan. Dalam konteks masyarakat yang menganut asas
monogami, setiap perbuatan yang melanggar komitmen atas perkawinan
dianggap sebagai suatu perbuatan yang melanggar kesetiaan atas perkawinan
dan merupakan pelanggaran atas norma masyarakat. Maka dalam konteks
ini, perbuatan yang demikian merupakan pelanggaran moral.
Pembicaraan tentang poligami sering dikaitkan dengan masyarakat
muslim yang dalam konteks ajaran agamanya yaitu İslam yang digambarkan
sebagai ajaran yang secara gamblang membicarakan permasalahan ini. Islam
dianggap memperbolehkan dilakukannya poligami bukan karena adanya
contoh perkawinan poligami yang dilakukan oleh para nabinya misalnya
Nabi ibrahim AS yang memiliki dua istri yaitu Siti Hajar dan Siti Sarah, atau
Nabi Muhammad SAW yang juga digambarkan memiliki beberapa istri.
Poligami dalam Al'quran secara normatif diatur yaitu dalam Annisa (4:3),

10 Departemen Pendİdİkan dan Kebudayaan M, Kaums Beşar Bahasa Indonesİa (Jakarta:


Balaİ
• HKUM420B/MODUL 3.30
Pustaka, 1998), hal.693
1 1 ibid

1 2 Quraİsh Shihab, Perempuan : dari Cinta Sampai Selesai Nikah Mut'ah şampai Nikah
Sunnah,
(Jakarta: Lentera, 2005), hal.156
yang intinya menyatakan bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini
sampai empat orang wanita. Namun, bila ternyata ia tidak bisa berbuat adil
bahkan dikatagorikan berbuat zalim terhadap istri-istrinya maka hendaklah
ia mengawini seorang istri saja. Jadi pada dasarnya Islam menganut asas
monogami, karena untuk berpoligami, syarat yang dilekatkan padanya
sangat ketat dan hanya dilakukan dalam keadaan darurat.
Karenanya Poligami dapat dilaksanakan dengan persyaratan tertentu
yang dianggap ketat dimana permohonan poligami harus diajukan melalui
sidang pengadilan, Hal ini menjaga agar seorang yang berniat melakukan
poligami berfikir matang sehingga dapat diyakinkan tujuan dari suatu
perkawinan dapat dicapai dan bukan justru dihancurkan dengan perilaku oli
ami.
Ilustrasi Kasus 1: Eyang Subur
SIDOARJO—Poligami yang dilakukan seorang lelaki dengan jumlah istri di
luar kelaziman agama Islam sebagaimana dilakukan Eyang Subur menjadi
perhatian Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi terbesar umat
Islam di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Eyang Subur mendadak menjadi
perhatian publik gara-gara dimusuhi dan dibela sejumlah selebritis
Indonesia. Komedian yang mantan penyanyi cilik Adi Bing Slamet yang
mengaku pernah jadi murid spiritual Subur menuding lelaki sepuh itu
musyrik. Eyang Subur juga dianggap bersalah karena memiliki delapan
orang istri. Sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sabtu (25/5/2013), bekas
penjahit yang mengaku memiliki usaha di bidang perfilman itu melepaskan
empat dari delapan istrinya..
(Sumber: http://www.solopos.com/2013/06/02/konferensi-nahdlatul-
ulamanu-bahas- oli ami-ala-e an -subur-412309

Ilustrasi Kasus 2: Aceng Fikri


PERBUATAN Bupati Garut Aceng HM Fikri yang menikahi Fany Oktora
(18) dinilai melanggar Peraturan Pemerintah No 81 tentang poligami.
Sebagai pejabat publik, Aceng harus mendapat surat izin dari atasan serta
istri secara tertulis. "Bupati Garut itu jelas menyalahi aturan. Sebab dia
selalu bilang mendapatkan izin lisan dari istrinya untuk menikahi Fany.
3.31 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
Seharusnya izin tertulis bukan lisan," ujar Ketua Komnas Perlindungan
Anak Arist Merdeka Sirait, Selasa (04/12). Dia menyebut
Acen melan gar Undan -Undan Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 82 tentan
a

Perlindungan Anak. Ancaman dari undang-undang tersebut adalah ancaman


paling lama 15 tahun penjara. "Mengapa dapat dikatakan Bupati Garut
melanggar Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Pasal 82 karena jelas
saat dinikahi 14 Juli 2012 Fany masih berusia di bawah 18 tahun,"
imbuhnya. Pelanggaran yang dilakukan Aceng karena dirinya melakukan
hubungan seksual dengan anak di bawah 18 tahun.
Seperti diketahui, Bupati Garut Aceng Fikri mengaku menceraikan Fany
karena kecewa. Dia merasa dibohongi soal keperawanan Fany dan juga
penyakit fisik yang diderita Fany. Menurutnya, dirinya tak bermaksud
melecehkan Fany dengan menceraikannya melalui SMS. Namun hal ini
dibantah Oleh Fany. Menurutnya dia masih perawan sampai malam
pertama bersama Aceng. Akhirnya, siang tadi, Senin (03/12), Fany
melaporkan Aceng ke Mabes Polri atas dugaan penipuan dan KDRT.[riz]
http://www.indonesiarayanews.com/news/nasional/12-04-2012-1945/acen -
Fikri-Ian ar-uu- Oli ami

Sebagaimana diketahui, bahwa makna poligami adalah perkawinan


dimana seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu. Dalam konstruksi ini,
maka posisi perempuan dianggap rentan untuk dilanggar. Dalam pandangan
Musdah Mulia, perilaku poligami berakar dari mentalitas dominasi (merasa
berkuasa) dan sifat despotis (semena-mena) kaum laki-laki serta perbedaan
kecenderungan alami antara laki-laki dan perempuan dalam fungsi
reproduksi. 3 Berkaitan dengan hal tersebut maka Islam sesungguhnya
memberikan syarat-syarat sebagai berikut untuk dapat dilaksanakannya
Poligami yaitu:
1. Jumlah istri yang dipoligami tidak lebih dari empat wanita
(berdasarkan pembatasan dalam Al-Qur'an surah An-Nisa ayat (3)
2. Sanggup berbuat adil kepada para istri yang meliputi adil secara
materiil (sandang, pangan, papan, dan rekreasi) serta dalam hal
perasaan atau hati.

3 Musdah Mulia, Pandnagan Islam tentang Poligami, Cet ke-l (Jakarta: The Asia Fondation,
1999), hal.7
• HKUM420B/MODUL 3.32
3. Wanita yang dipoligami tidak ada hubungan saudara dengan
istrinya baik saudara sesusuan atau nasab (darah) karena dilarang
mengumpulkan istri dengan saudaranya atau dengan bibinya
(AlQur'an surah An-Nisa ayat (23).
4. Memiliki harta yang cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga
dengan bertambahnya istri. Ahmad Syalaby menyatakan bahwa
"keadilan yang disyaratkan dalam poligami mencakup kepada tiga
pihak, yaitu: keadilan terhadap istri-istri, anak-anak yang dilahirkan
dan keadilan terhadap diri sendiri. Orang yang berpoligami
haruslah memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Nafsu
syahwatnya perlu dipertimbangkan dan diimbangi dengan kekuatan
ekonominya. 4
5. Persetujuan dari istri atau para istri. Hal ini penting berkaitan
dengan keutuhan dan kelangsungan perkawinan sebelumnya.
Dibandingkan dengan ketentuan Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan maka poligami hanya diperkenankan bila dikehendaki
oleh seseorang dan dibenarkan oleh agama yang dianutnya karena pada
dasarnya perkaeinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pasal 4-
5 Undang-Undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974 menyatakan apabila
seseorang yang berkasud kawin lebih dari seorang maka ia wajib
mengajukan permohonan tertulis dengan alasan-alasan:
1. bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit tidak dapat
disembuhkan dan
3. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan,
4. Alasan ini bersifat alternatif, akan tetapi lebih baik jika dipenuhi
secara komulatif.5
Disamping alasan-alasan tersebut diatas, suami yang bermaksud kawin
lebih dari seorang harus mendapat persetujuan dari istri atau istri-istrinya.
Persetujuan ini dapat berbentuk lisan atau tertulis. Namun jika persetujuan
ini dalam bentuk lisan, maka harus diucapkan didepan sidang pengadilan
Agama. Syarat selanjutnya adalah bahwa suami harus menunjukan ada atau

4 Ahmad Syalaby, Sejarah dan Kebudayaan Islam, alih bahasa Muhtar Yahya,
(Jakarta:Pustaka Al Husna, 1990), 1:6.
5 Abdul Manan, Aneka Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.23
3.33 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
tidaknya kemampuan untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anakanaknya dengan memperlihatkan
1. Jumlah penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara
tempat ia bekerja;
2. Surat keterangan pajak penghasilan;
a

3. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pihak pengadilan.

Hal lainnya adalah adanya jaminan bahwa suami dapat berlaku adil
terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk pernyataan yang ditentukan oleh
Pengadilan agama. Pemeriksaan permohonan izin Poligami oleh pengadilan
agama dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak
dietrimanya surat permohonan yang diajukan ke pengadilan. Dalam
pemeriksaan permohonan izin beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
Agama memanggil dan mendengar keterangan istri atau istri-istri yang
bersangkutan. Apabila pengadilan agama berpendapat bahwa alasan bagi
pemohon cukup memenuhi syarat, maka Pengadilan Agama memberikan
penetapan berupa izin beristri lebih dari satu orang. Namun apabila
Pengadilan Agama menilai bahwa pemohon tidak atau kurang memenuhi
syarat-syarat yang diajukan maka Pengadilan membuat penetapan yang
isinya menolak permohonan beristri lebih dari satu tersebut. Dalam hal ini
maka Pegawai pencatat perkawinan dilarang melakukan pencatatatn
perkawinan bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari satu sebelum
adanya izin dari Pengadilan Agama. 6
Ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang poligami sama
dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
yaitu meliputi pembatasan dan syarat-syarat tertentu yang ditentukan oleh
negara. Ketentuan tersebut terdapat dalam:
Pasai 55:
(1) Beristri lebih dari seorang pada waktu yang bersamaan, terbatas hanya
sampai empat istri.
(2) Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku
adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak mungkin
dipenuhi, suami dilaang beristri lebih dari seorang.

6 Ibid, Hal.24
• HKUM420B/MODUL 3.34
Pasai 56
(l) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari
pengadilan Agama.
(2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut
tata cara sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah
H

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat
tanpa izin Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila:
(1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
(2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
(3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebutkan dalam Pasal 55 ayat (2) maka untuk
memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat
yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari seorang berdasarkan salah satu alasan yang diatur
dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan
tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengarkan istri yang
bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini
istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

LATI HAN

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Apakah yang dimaksud dengan poligami?


3.35 HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
2) Apakah poligami merupakan suatu pelanggaran terhadap "kesetiaan
dalam perkawinan"
3) Dalam kondisi apa poligami dapat dilakukan?
4) Mengapa persetujuan istri menjadi syarat untuk dapat dilakukannya
poligami?
5) Apakah persetujuan istri dapat dipenuhi hanya dalam bentuk tertulis?
Bagaimana bila persetujuan itu dalam bentuk lisan?

Anda mungkin juga menyukai