Anda di halaman 1dari 11

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

KORBAN PERCERAIAN
Dosen Pengampu : Dian Latifiani, S. H., M. H.

OLEH :
WAHNISA REDINAFITRI (8111420137)
EVELYNA RATNADEWATI (8111420140)
ROMBEL : SENIN, 09.00 WIB.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
i
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
Latar Belakang ............................................................................................. 1
PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian. ....................... 3
Perlindungan Hukum Anak ......................................................................... 4
Akibat Hukum Perceraian Menurut Undang-Undang ............................... 5
Hak Perwalian Bagi Seorang Anak Apabila Terjadi Perceraian............... 6
Hak Serta Kewajiban Kedua Orang tua. .................................................... 6
PENUTUP ........................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 9

ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pernikahan adalah salah satu sunnatullah yang berlaku di seluruh makhhluk-Nya baik
insan, hewan juga tumbuh-tumbuhan. Pernikahan adalah fitrah serta kebutuhan makhluk demi
kelangsungan hidupnya, pernikahan menjadi fitrah insan adalah adanya hasrat buat
mendapatkan keturunan yang itu hanya dapat menempuh melalui hubungan seksual antara
seseorang laki-laki dan seseorang perempuan . Korelasi dimaksud haruslah korelasi yang
dilakukan sesuai menggunakan aturan allah menjadi umat islam dan aturan nasional, maka
korelasi ini haruslah berdasarkan pada ikatan yang sah yaitu pernikahan. Dengan menikah juga
menjadikan rasa mawaddah, cinta kasih pada keluarga. Setiap insan mempunyai hasrat buat
mengasihi dan mengasihi orang yang didambanya. Manakala cinta kasihnya ini tak disalurkan
kepada orang eksklusif, maka dia akan mencari benda lain atau hal lain buat menumpahkan
cinta kasihnya itu, dengan menikah sepasang suami istri saling menerima cinta kasih yang
tertuang dan tersalurkan secara sahih, bukan semata-mata pada istri serta anak-anaknya kelak,
tetapi juga pada famili si istri serta kerabatnya. dengan demikian, pernikahan pada hakikatnya
bukan semata rendezvous antara suami dan istri saja, akan tetapi juga kepada famili besar
berasal kedua pasangan tadi. sang sebab itu, dalam ajaran islam disyaratkan adanya wali nikah,
hal ini membuktikan bahwa pernikahan memang bukanlah semata suami dan istri melainkan
ketika dua famili saling bertemu, disanalah daerah buat menuangkan rasa cinta kasih yang
sudah menjadi fitrah insan. Perceraian bisa dikatakan ialah suatu malapetaka, tetapi bila terjadi
maka malapetaka tersebut perlu diusahakan agar tidak mengakibatkan malapetaka lain yang
lebih berat bahayanya. Perceraian hanya dibenarkan penggunaannya pada keadaan darurat
menyebabkan mudharat yang lebih besar . sebab itu perceraian adalah pintu daruratnya asal
sebuah perkawinan demi keselamatan beserta. Beban berat sesungguhnya akan terjadi pada
pasangan terutama anak pasca perceraian. Padahal secara umum anak memiliki hak yang sama
seperti pada saat, ketika orang tua belum bercerai antara lain:

1. Kasih sayang, meskipun orangtua sudah bercerai.


2. Anak harus tetap mendapatkan kasih sayang dan anak berhak menentukan dengan
siapa dia akan tinggal.
3. Pendidikan.
4. Perhatian kesehatan.
5. Tempat tinggal yang layak.

1
Kelima unsur dasar di atas harus dipenuhi sang orangtua terhadap anak, bila mereka
mengambil konsekuensi buat bercerai. Namun tidak bisa kita pungkiri jua, Jika pada
waktu orangtuanya bercerai, maka salah satu pihak tidak dapat memenuhi hak-hak anak,
sebagai akibatnya hak-hak anak tersebut terabaikan. Hak-hak inilah yang dilindungi dalam
Undang-undang dasar 1945 Amandemen ke-4 sebagai landasan konstitusional secara tegas
telah mengatur wacana pentingnya proteksi terhadap hak asasi insan, termasuk
didalamnya hak-hak perempuan dan anak-anak, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 28 B
ayat (2) menyebutkan: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun, 1945: Th). Dan Undang-undang Republik Indonesia No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 12 yang menyebutkan : “Hak anak adalah
bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara” dan juga dalam Konvensi Hak Anak yang
sudah diratifikasi juga oleh negara kita. Disamping itu beberapa keputusan setelah perceraian
pun juga harus disepakati melalui meja hijau secara bersama salah satunya hak asuh anak. Hak
Asuh anak seringkali sebagai konflik sebelum ataupun sesudah perceraian. Bahkan tidak
jarang Jika antar mantan suami dan mantan isteri, saling berebut menerima hak asuh
anak mereka. seringkali pada kenyataannya salah satu orang wali saja yg menerima hak
perwalian anak serta ternyata tidak bisa melaksanakan kewajibannya, sedangkan pihak lain
yang tidak mendapatkan hak perwalian jua ternyata sangat melalaikan kewajibannya,
sehinggga mengakibatkan kepentingan asal si anak menjadi terabaikan dan dominasi
terhadap anak menjadi tidak kentara. pada masalah yang lain terjadi juga, Bila ada pihak yg
telah mengantungi putusan pengadilan agama untuk mengasuh anak, tetapi tidak mematuhi
serta menjalankannya, alias tidak mengasuh anak yang dipercayakan kepadanya menggunakan
baik. Disinilah akan terjadi hilangnya hak bagi anak- anak di bawah umur. sesuai pemikiran
di atas, maka artikel ini akan difokuskan pada kepastian hukum terhadap proteksi Hak Anak
Korban Perceraian.

2
PEMBAHASAN
Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Perceraian.
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengartikan
Perkawinan sebagai "Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam suatu rumah tangga tidak selamanya sesuai
dengan keinginan kedua mempelai untuk selalu berjalan dengan mulus dan bahagia setelah
melangsungkan perkawinan. Ada masa dimana suatu ikatan perkawinan harus putus karena
perceraian. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan merupakan salah satu bagian dari
kebutuhan hidup yang ada dalam masyarakat dan juga suatu lembaga yang sah dan diakui oleh
masyarakat dan negara. Menurut ajaran agama islam perkawinan merupakan hal sakral yang
memiliki nilai ibadah, yang ditegaskan dalam kompilasi hukum islam ayat 2 bahwa perkawinan
merupakan akad yang sangat kuat untuk dapat menaati perintah Allah, dan melaksanakanya
dengan benar dan baik juga merupakan ibadah. Dalam suatu hubungan pernikahan, tidak bias
dipungkiri memang akan terjadi suatu perceraian, penyebabnya pun bias dating dari setiap
masalah dari pertengkaran kecil sampar besar dan pihak ketiga, dan biasanya yang menjadi
korban adalah anak.

Angka pernikahan dini di banyak negara terus meningkat dari tahun ke tahun dan selalu
berhubungan dengan berbagai upaya perlindungan hukum terhadap anak. Terdapat sekitar 142
juta anak perempuan yang melakukan pernikahan sebelum waktunya (CFR 2015) yang terjadi
pada tahun 2015. Meskipun undang-undang perkawinan memberlakukan usia 18 tahun sebagai
usia minimun pernikahan, namun dalam praktiknya pernikahan anak semakin meluas. Secara
universal, 720 juta wanita yang hidup dan menikah sebelum usia 18 tahun, yakni kisaran 15
tahun. Di Indonesia pernikahan dini sudah menjadi fenomena nasional dan budaya yang
menjadi faktor yang berpengaruh besar terhadap pola kehidupan dalam masyarakat
kedepannya dalam perlindungan hukum terhadapa anak korban perceraian. Menurut Undang-
undang No. 35 Tahun 2004 menjelaskan perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002
yakni mengenai Perlindungan Anak, yang diartikan seseorang yang belum 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan ibunya. Anak mempunyai hak
yang harus dilindungi, dijamin, dan dipenuhi oleh orang tuanya, masyarakat, keluarga,
pemerintah, dan negara.

Pada Konvensi Hak Anak PBB tahun 1989, hak anak yakni:

1) hak untuk bermain

3
2) hak untuk mendapatkan Pendidikan

3) hak untuk mendapatkan perlindungan

4) hak untuk mendapatkan nama (identitas)

5) hak untuk mendapatkan status kebangsaan

6) hak untuk mendapatkan makanan

7) hak untuk mendapatkan akses kesehatan

8) hak untuk mendapatkan rekreasi

9) hak untuk mendapatkan kesamaan

10) hak untuk memiliki peran dalam pembangunan

Guna menangani maraknya fenomena pernikahan dibawah umur pemerintah daerah


harus berperan aktif dalam mensosialisasikan tentang damapak negative dan harus mengatur
perikehidupan masyarakatnya agar dapat hidup dengan baik dan sejahtera.

Perlindungan Hukum Anak


Perlindungan Anak yang dijelaskan dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 Pasal 1 ayat 1
dan 2 adalah :

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, dan termasuk
yang masih dalam kandungan
2. Perlindungan anak merupakan segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.

Salah satu bidang dalam pembangunan nasional ialah perlindungan anak dimana
melindungin anak sama saja dengan melindungi manusia dan membangun manusia seutuh
mungkin, hal ini merupakan pemikiran menurut Retnowulan Sutianto. Pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur merupakan Hakekat Pembangunan Nasional. Salah
satu cara memajukan pembangunan nasional adalah dengan tidak mengabaikan permasalahan
perlindungan anak. Berbagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum,
ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional merupakan dampak dari tidak adanya
perlindungan anak. Oleh karena itu perlindungan anak harus diusahakan apabila kita ingin

4
mengusahakan pembangunan nasional yang memuaskan pemikiran menurut Romli
Atmasasmita.

Suatu pasangan yang akan bercerai pasti disibukkan dengan mencari pembenaran terhadap
keputusan mereka dalam berpisah sehingga, tidak lagi mempertimbangkan kondisi anak yang
menderita akan keputusan orangtuanya dan meninggalkan hak mereka sebagai orantua untu
menafkahi dan menyayangi anak dengan tulus. Mengenai perlindungan anak, Indonesia sendiri
telah meratifikasi Konvensi Hak Anak yang disahkan oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan Resolusi 44/25 pada tanggal 20 November 1989, sehingga
mempunyai kekuatan memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi
Hak Anak merupakan perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang
mengintegrasikan hak sipil dan politik (political and civil rights), secara bersamaan dengan
hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (economic, social and cultural rights).

Menurut Pasal 3 ayat 1 Konvensi Hak Anak meminta negara dan pemerintah, serta badan
publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan mereka, untuk
menjamin bahwa prinsip the best interest of the child menjadi pertimbangkan utama,
memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-anak dan membangun masyarakat yang ramah
anak (child friendly society). Hak anak dalam wilayah yuridiksi menjamin perlindungan anak
dan memberikan kepeduliannya yang terdapat dalam rumusan pasal 3 ayat 2.

Akibat Hukum Perceraian Menurut Undang-Undang


a) Perceraian dapat terjadi karena alasan yang dijelaskan dalam Pasal 19 UU No.1 Tahun
1974 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 ( dua ) tahun berturut- turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya
b) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain
e) Salah satu pihak mendapatkan cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami isteri
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga

5
Hak Perwalian Bagi Seorang Anak Apabila Terjadi Perceraian.
Dalam Undang –undang No 23 Tahun 2002 mengenai perlindungan anak yang
menginginkan hak anak dapat dapat terlindungi khususnya akibat perceraian. Jika terjadi
sengketa maka diantara suami dan isteri yang berhak memelihara anak tersebut ialah ibu(isteri)
dikarenakan ada beberapa dalil yang menyebutkan bahwa ibu lebih berhak daripada ayah atas
hadlonah sehingga jika hakim belum melihat ada sebab yang menyebabkan pihak ayah lebih
patut mengasuh anak tersebut maka ibu menjadi pihak yang lebih berhak mengasuh. Bagi
masyarakat yang tidak menganut agama islam maka perkara/kasus tersebut diperiksa dan
diputus di Pengadilan Negeri dikarenakan belum adanya pedoman dan aturan secara tegas yang
mengatur mengenai batasan pemberian hak asuh bagi pihak yang menginginkan, sehingga
hakim dapat menjatuhkan putusanya dengan pertimbangan-pertimbangan berikut

 Fakta-fakta yang terungkap di persidangan.


 Bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak
 Argumentasi yang dapat meyakinkan hakim mengenai kesanggupan dari pihak yang
memohonkan hak asuh anak dalam menjalankan kepentingan anak tersebut

Permasalahan lain yang timbul setelah pemberian hak asuh Antara lain keinginan salah satu
orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh anak untuk tetap dapat bertemu meskipun sang
anak berada dalam asuhan pihak lain, meskipun pemberian hak asuh sendiri diberikan kepada
salah satu pihak bukan berarti menghilangkan hubungan Antara bapak/ibu kepada anak yang
dapat menggangu secara psikis dan fisik anak tersebut. Sehingga hal tersebut dapat dituangkan
dalam putusan atas perkara tersebut (sesuai dengan permohonan para pihak) agar pihak
Bapak/Ibu sewaktu-waktu dapat bertemu dengan anaknya dengan sepengetahuan dari
Bapak/Ibu.

Hak Serta Kewajiban Kedua Orang tua.


Dalam Undang – Undang Perkawinan mengatur hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak yang menyangkut beberapa hal. Pertama mengatur ihwal kewajiban pemeliharaan dan
pendidikan, bahwa ke 2 orang tua wajib memelihara serta mendidik anak – anak mereka
dengan sebaik – baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam Pasal 45 ( 1 ) Undang –
Undang Perkawinan ini berlaku sampai anaknya anaknya menikah atau bisa berdiri sendiri,
kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan diantara ke dua orang tua putus.
Ketentuan ini diatur pada Pasal 45 Undang – Undang Perkawinan. kedua, mengatur wacana
kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati
orang tua serta menaati kehendak mereka dengan baik. Bila anak sudah dewasa, beliau wajib

6
memelihara dari kemampuannya, orang tua serta famili garis lurus ke atas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya ( Pasal 46 Undang – Undang Perkawinan). Kedua, mengatur wacana
kebalikannya, yakni kewajiban anak terhadap orang tuanya, yaitu: Anak wajib menghormati
orang tua serta menaati kehendak mereka dengan baik. Bila anak sudah dewasa, beliau wajib
memelihara dari kemampuannya, orang tua serta famili garis lurus ke atas, bila mereka itu
memerlukan bantuannya ( Pasal 46 Undang – Undang Perkawinan). Ketiga, mengatur ihwal
adanya keharusan anak diwakili orang tua pada segala perbuatan aturan yang diatur dalam pasal
47 yaitu: Anak yang belum mencapai umur 18 tahun ( delapan belas tahun). Atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut berasal kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tadi tentang segala perbuatan
aturan pada dalam dan pada luar pengadilan. Kelima, diatur pada Pasal 49 Undang – Undang
Perkawinan ihwal adanya kemungkinan pencabutan kekuasaan, yaitu: salah seorang atau ke
2 orang tua bisa dicabut kekuasaannya terhadap seseorang anak atau lebih untuk saat yang
eksklusif atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak pada garis lurus keatas serta
saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat, yang berwenang menggunakan keputusan
pengadilan ialah jika ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak dan berkelakuan buruk.

7
PENUTUP
Suatu perceraian yang terjadi jika meninggalkan anak yang masih dibawah umur secara
umum di masyarakat hak perwalian atau asuh akan jatuh kepada ibu. Hak asuh anak harus
sebaiknya diberikan kepada pihak yang memiliki finansial yang cukup matang untuk dapat
memnuhi kehidupan anak, jika hal tersebut tidak disepakati maka pengadilan lah solusinya.
Lebih baik jika setiap perwalian yang ditentukan oleh kedua belah pihak meminta Penetapan
Pengadilan apabila keputusan perceraian telah mempunyai kepastian hukum, hal ini demi
kepastian hukum dalam perlindungan anak tersebut. Perlindungan anak di Indonesia sendiri
sesungguhnya sudah dengan jelas mengatur tentang hak perlindungan anak, namun demikian
hal tersebut akan kembali kepada para pihak yang bersengketa yaiti orang tua. Dalam suatu
penetapan pengadilan dimaksudkan menjadi bukti yang kuat, sehingga penempatan anak ini
memperoleh kekuatan hukum yang pasti untuk melindungi kepentingan anak maupun pihak
yang ditunjuk menjadi wali. Bagi kedua belah pihak yang ingin bercerai pasti juga tidak mudah
untuk memutuskan hal tersebut, namun akibat dari perceraian sendiri sangat berdampak pada
psikologis anak dan berpengaruh akan kurangnya pemenuhan hak anak yang seharusnya
diberikan oleh ibu dan ayahnya. Pemerintah juga harus mempertegas peraturan mengenai
perlindungann anak khususnya akibat perceraian dikarenakan anak-anak sangat rentan
terhadap perilaku kriminal dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku tindak criminal kepada
anak-anak misalnya perdagangan anak, pelecehan seksual,penelantaran dan kekerasan anak.
Negara Indonesia perlu membuat lembaga perlindungan nafkah anak, agar nafkah anak setelah
terjadinya perceraian dapat teratasi. Serta putusan atas gugatan nafkah yang diajukan oleh salah
satu pihak dapat dieksekusi.

8
DAFTAR PUSTAKA
Novita, Choirunnisa N, Dian L, Ridwan A, 2019, Analisis Hukum Islam terhadap Faktor
Putusnya Tali Perkawinan, Volume 3 No. 2 Juli-Desember 2019.

Muntamah, Ana L, Dian L, Ridwan A, 2019, Pernikahan Dini di Indonesia : Faktor dan Peran
Pemerintah (Perspektif Penegakan dan Perlindungan Hukum bagi Anak, Volume 2 No.
1 Juni 2019.

Ali, Zainuddin, 2006 Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.

Meliala, Djaja S., 2006, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang Dan Hukum
Keluarga, Bandung: Nuansa Aulia.

Soebekti, 2003 Pokok – Pokok Hukum Perdata Bandung : PT Intermasa.

Soemitro, Irma Setyowati, 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta: Bumi Aksara

Masdoeki Arif dan M.H Tirta Hamidjaja, 1985, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta:
Akademika Persindo.

Romli Atmasasmita (ed) , 1997, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Rahmawati, Ika, 2005, Hak Anak Akibat Perceraian, Surabaya, Fakultas Hukum Universitas
Airlangga.

Tektona, Rahmadi Indra, 2012, Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak Korban
Perceraian, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Warasshandy, Erfandha, 2020, Perlindungan Hukum terhadap Anak Akibat Perceraian atas hak
Nafkah, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana.

Cholifah, Nur dan Bambang Ali Kusumo, “Hak Nafkah Anak Akibat Perceraian”, Wacana
Hukum, Vol IX (2 Oktober 2011).

Fuady, Munir, 2014, Konsep Hukum Perdata Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Sudarsono, 2005, Hukum Perkawinan Nasional Jakarta : Rineka Cipta.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri Jakarta Ghalia
Indonesia

Anda mungkin juga menyukai