Disusun Oleh :
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
berjudul “PENYEBAB KASUS PERCERAIAN”.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Amin.
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui penyebab kasus perceraian.
2.Untuk mengetahui langkah menghindari perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Pernikahan Menurut Undang-Undang di Indonesia
Setiap peristiwa yang terjadi khususnya di Indonesia tidak lepas dari pengaruh
undang-undang yang telah dibuat dan disepakati oleh pemerintah. Undang-undang ini dibuat
guna mengatur kehidupan masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Undang-undang yang dibuat dan disepakati pun sudah dipertimbangkan baik dan buruknya,
jug disetarakan dengan Pancasila dan juga pada prinsip-prinsip agama yang berlaku di
Indonesia, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang banyak dihuni oleh orang-
orang yang memiliki latar belakang pemahaman tentang agama yang berbeda.
Perkawinan sebenarnya itu rumit dan butuh usaha yang keras . semua orang menikah
yang jujur pasti mengakui bahwa perkawinan dapat membahagiakan tapi juga dapat
merupakan pergaulan antara percintaan dan kekecewaan, tuntutan dan kompromi, idealnya
adalah terkait hidup sendiri. Yang penting sebenarnya adalah pernikahan yang baik atau
memutuskan untuk tidak menikah.
Perceraian dalam istilah Ahli Fiqih disebut talak atau Furqah. Talak berarti membuka
ikatan atau membatalakan perjanjian, Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari
berkumpul. Kemudian kedua dari perikatan ini dijadikan istilah oleh para Ahli Fiqih yang
berarti perceraian antara suami istri.
Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk
mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak
dari orang tuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap
sampai si anak mampu berdiri sendiri.
Didalam beberapa aturan perundang-undangan dapat kita lihat beberapa hal yang
mengatur kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya yaitu:
1) kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 . secara hukum kewajiban antara suami dan istri akan
timbul apabila perkawinan tersebut telah dilakukan atau dilangsungkan , dengan kata lain
kewajiban seorang istri atau suami tidak akan ada apabila seorang pria dan wanita belum
melangsungkan perkawinan.
Adapun kewajiban dan hak yang seimbang antara suami maupun istri apabila
dibarengi dengan kewajiban yang sama pula yaitu kewajiban untuk membina dan
menegakan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah
tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga.
2) Kewajiban Orang Tua terhadap anak setelah perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang
mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash Al-Qur’an dan
Al-Hadist, karena itu didalam pandangan Islam anak itu harus diperlakukan secara
manusiawi, diberikan pendidikan , pengajaran, keterampilan, keterampilan dan akhlakul
karimah agar anak tersebut kelak dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan diri
untuk memenuhi kebutuhan hidup dimasa depan.
Didalam KHI yang memuat hukum materiil tentang Perkawinan, kewarisan dan juga
wakaf yang dirumuskan secara Hukum Islam di Indonesia secara konkrit, maka karena
ditinjau beberapa hal mengenai ketentuan-ketentuan dalam KHI yang mengatur tentang
kewajiban orang tua terhadap anak.
Pasal 77 KHI menyebutkan :
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan keluarga yang sakinah ,
mawadah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarkat.Suami istri wajib
saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain.
b. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
c. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
d. Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan di
Pengadilan.
Berkaitan kewajiban orang tua setalah putusnya perkawinan. KHI dalam Pasal-
Pasalnya menggunakan istilah dengan nama Pemeliharaan Anak yang dimuat didalam bab
XVI Pasal 98 sampai dengan Pasal 106, tetapi secara eksplisit pasal yang mengatur
kewajiban pemeliharaan anak jika adanya perceraian hanya terdapat didalam Pasal 105 dan
Pasal 106. Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak tercacat fisik ataupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan di luar
Pengadilan.
c. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.
Dalam hal ini dengan siapapun anak ikut ayah sebagai mantan suami tetap berkewajiban
memberi nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya sampai anak tersebut
telah dewasa atau anak tersebut telah menikah. Sedangkan menyangkut harta yang dimiliki
anak, orangtua berkewajiban untuk merawat dan mengembangkan harta tersebut,hal ini
diatur didalam pasal 106 KHI yang menyebutan:
a. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa
atau masih dibawah pengampauan dan tidak diperbolehkan memindahkan
ataumenggadaikan kecuali keperluan yang sangat mendesak jika kepentingan dan
kemaslahatan anak iu menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindari lagi.
b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).
Pasal-pasal yang terdapat dalam KHI tentang hadlanah menegaskan bahwa kewajiban
pengasuhan meterial dan non material kepada anak merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya lebih lagi KHI membagi tugas yang haarus dilakukan
orangtua sekalipun mereka telah terpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh
ibunya sedangkan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab dan kewajibaan ayahnya.
Perceraian, walaupun dianggap sebagai salah satu cara mengatasi pernikahan tidak
bahagia, pasti membawa akibat-akibat yang tidak menyenangkan. Perceraian pasti
membawa dukacita. Tentu saja tidaklah adil untuk mempersalahkan saja mereka yang
mengalami perceraian. Bagi mereka yang sungguh-sungguh saling mencintai, perceraian
pasti menjadi mimpi buruk, traumatic, dan bahkan bisa menyebabkan kehiupan pribadi
masing-masing kacau balau, terlebih bila proses perceraian tidaklah mulus. Perceraian pasti
menyakitkan, menimbulkan luka besar dan sulit disembuhkan untuk jangka waktu yang
lama, terutama bagi pihak yang tidak menghendaki perceraian terjadi. Rasa gagal dan
bersalah dapat menjadi tikaman yang hebat bagi mereka yang bercerai. Perceraian dapat
merusak sistem kemasyarakatan secara luas. Masyarakat yang dibangun diatas pondasi
keluarga-keluarga yang rapuh akan mengakibatkan masyarakat yang rapuh juga. Tidak dapat
disangkal bahwa mereka yang bercerai pada akhirnya dapat membangun kembali keluarga
baru yang bahagia, dan bahwa mereka bisa mendidik anak-anak mereka dengan baik dan
menjadi anak-anak yang bahagiadan berhasil. Tetapi perceraian memang bisa menimbulkan
banyak persoalan dalam masyarakat, misalnya saja banyak pasangan suami istri dan anak-
anak korban perceraian menjadi tidak produktif.
Perceraian berdampak buruk bagi anak-anak, bahkan mungkin mereka menjadi korban
yang paling buruk. Dalam keluarga yang utuh, si anak mendapatkan kasih sayang yang utuh
pula, tetapi perceraian menghilangkan situasi yang dirasakan si anak dalam menerima kasih
sayang yang utuh tersebut. Tidak adanya pengertian yang benar tentang alasan-alasan orang
tua bercerai, dapat mengakibatkan dampak yang buruk bagi si anak. Bahkan pada kasus
tertentu, dampak perceraian orang tuanya akan dirasakan sang anak jauh setelah mereka
sendiri dewasa dan menjadi orang tua. Perceraian orang tuanya dapat terus menjadi trauma
dan mimpi buruk serta penderitaan yang panjang. Dampak yang terjadi terhadap pendidikan
dalam keluarga dan penanaman nilai-nilai yang mendidik anak menjadi pincang, seiring
pertumbuhan mereka menjadi lebih dewasa. Secara umum ada beberapa dampak psikologis
yang dialami adalah:
-Kebutuhan akan adanya kasih sayang
-Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok
-Kebutuhan untuk berdiri sendiri
-Kebutuhan untuk berprestasi
-Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain
-Kebutuhan untuk dihargai
-Kebutuhan untuk memperoleh falsafah hidup yang baru
a. Bina pranikah
Sebelum pasangan hendak menikah, dilakukan pembinaan pranikah untuk
mempersiapkan calon pasangan mrnyadari secara dini kemungkinan kemelut yang akan
timbul dan cara-cara mengatasinya. Permbinaan itu mencakup arti dan tujuan pernikahan
serta cara-cara mengelola pernikahan bahagia, termasuk mengelola konflik.
b. Konseling pernikahan
Ketika pernikahan sudah terjadi, tidak ada salahnya untuk meminta bantuan konselor
yakni pendeta, ustad, pastor, biksu, pedanda, pendidik, psikolog, ahli hukum, dan
sebagainya, untuk memahami pernikahan secara mendalam. Terlebih ketika mengalami
gesekan tertentu dalam pernikahan, sebaiknya konseling ini segera dilaksanakan.
c. Terapi
Terapi berguna untuk mengatasi ‘penyakit’ tertentu dalam pernikahan, sebagai contoh
masalah ekonomi, gangguan dari pihak ketiga, hubungan orang tua-anak, keluarga besar,
teman-teman, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi tingkat keharmonisan dan
kebahagian perkawinan.
d. Komunikasi
Keharmonisan dan kebahagiaan dalam pernikahan sangat bergantung pada komunikasi
suami-istri. Kesibukan yang menyita banyak waktu di luar rumah cenderung
menghambat dan memacetkan komunikasi verbal suami-istri. Namun demikian harus
selalu disediakan waktu untuk berkomunikasi, langsung ataupun tidak langsung,
tergantung dari kesepakatan dan kemauan baik yang dilandaskan cinta dan komitmen
pada perkawinan.
Dalam masalah-masalah pernikahan, jika tidak diatasi dengan cepat maka dampaknya
akan semakin buruk. Bagi generasi saat ini bahkan generasi yang akan datang, jalan satu-
satunya yang dapat mengubah keadaan tentang perceraian ini adalah taat dan tunduk kepada
perintah Tuhan dan dibangun keluarga berdasarkan Alkitab/firman Allah, maka sangat perlu
untuk diberikan pemahaman tentang pernikahan, agar percaraian dapat dihindari.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mengakhiri pernikahan dengan perceraian memang sah secara hukum, namun karena
perkawinan merupakan persekutuan seumur hidup, mestinya masalah-masalah yang timbul
dalam rumah tangga dapat diatasi dan disembuhkan dengan kedewasaan sikap dari suami
maupun istri. Perceraian pasti menyakitkan, dan menimbulkan luka besar yang sulit
disembuhkan dalam jangka waktu yang lama, terutama bagi pihak yang tidak menghendaki
perceraian.
Perceraian juga berdampak buruk bagi anak-anak, bahkan mungkin mereka menjadi
korban yang paling buruk, oleh karena banyaknya akibat buruk perceraian, memang lebih baik
mencegah perceraian sebagai alternative mengatasi masalah perkawinan dan rumah tangga.
Betapapun beratnya tantangan dalam rumah tangga, tidak ada yang tidak bisa diatasi, yang
penting komitmen pada perkawinan dan rumah tangga sebagai suatu persekutuan hidup yang
suci dan abadi.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Ali dan Muhammad Astori, Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik,
https://www.academia.edu/37245094/Makalah_perceraian