Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

PENYEBAB KASUS PERCERAIAN

Disusun Oleh :

1.Ahmad Jaelani Danifulhaq (20.02.51.0002)

2.Raskhafi Fajar Septiyanto (20.02.51.0024)

3.Patrick Assyauqi Lil Alamin (20.02.51.0015)

4.Hendrian Setio Nugroho (20.02.51.0025

PROGAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM DAN BAHASA

UNIVERSITAS STIKUBANK SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat serta karunia-
Nya kepada kami sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Makalah ini
berjudul “PENYEBAB KASUS PERCERAIAN”.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Amin.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebuah keluarga yang menjalani kehidupan tidak selamanya keadaan berjalan dengan
baik dan sesuai dengan yang diharapkan, tetapi ada hal-hal lainnya yang secara sengaja atau
tidak sengaja menjadi penghambat dan akhirnya menjadi masalah ditengah jalannya
keharmonisan dan kedamaian keluarga tersebut. Permasalahan-permasalahan kecil yang
terakumulasi karena tidak adanya penyelesaian yang baik akhirnya dapat menjadi masalah dan
hambatan besar. Apabila segala jalan dan upaya sudah ditempuh untuk menyingkirkan
hambatan-hambatan dan menyelesaikan segala permasalahan tersebut tetapi ternyata tidak
berhasil, maka jalan terbaik yang ditempuh adalah perceraian. Perceraian dianggap sebagai jalan
instan untuk membereskan segala hambatan dan permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga,
perceraian bukan lagi dianggap sebuah hal yang tabu untuk dijalani. Perceraian adalah hal yang
lumrah dan biasa dan memasyarakat.
Pasangan suami istri terkadang kurang bahkan tidak memikirkan dan memperhitungkan
segala akibat dan konsekwensi yang terjadi saat mereka memutuskan melakukan perceraian.
Mereka menganggap segala permasalahan baru yang akan terjadi pasca perceraian akan dapat
diselesaikan, padahal kenyataan yang ada tidak sesederhana itu. Perceraian bukan saja akan
merugikan beberapa pihak namun perceraian yang ada didalam lingkungan keluarga kristen juga
sudah jelas dilarang oleh agama, tetapi pada kenyataannya perceraian dikalangan masyarakat
terus saja terjadi.

1.2 Rumusan Masalah


1.Apa penyebab kasus perceraian?
2.Bagaimana langkah menghindari perceraian?

1.3 Tujuan
1.Untuk mengetahui penyebab kasus perceraian.
2.Untuk mengetahui langkah menghindari perceraian.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Pernikahan Menurut Undang-Undang di Indonesia

Setiap peristiwa yang terjadi khususnya di Indonesia tidak lepas dari pengaruh
undang-undang yang telah dibuat dan disepakati oleh pemerintah. Undang-undang ini dibuat
guna mengatur kehidupan masyarakat Indonesia dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Undang-undang yang dibuat dan disepakati pun sudah dipertimbangkan baik dan buruknya,
jug disetarakan dengan Pancasila dan juga pada prinsip-prinsip agama yang berlaku di
Indonesia, mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang banyak dihuni oleh orang-
orang yang memiliki latar belakang pemahaman tentang agama yang berbeda.

Pernikahan dirumuskan dalam pasal 1 Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun


1974 sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Oleh karena merupakan ikatan lahir batin dengan tujuan untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bagi bangsa
Indonesia suatu perkawinan dinilai bukan untuk memuaskan nafsu biologis semata, akan
tetapi merupakan sesuatu yang sakral. Tujuan pernikahan tersebut hanya mungkin dicapai
jika di antara suami dan istri saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
material. Dalam setiap pernikahan (pada umumnya) terdapat tiga aspek penting, yaitu aspek
hukum (legal aspect), aspek sosial (social aspect), dan aspek agama atau kepercayaan
(religious aspect).

Tujuan Pernikahan menurut Syariat Islam

a. Mendapat keturunan atau anak


Sungguh ada Hadist dari Anas Bin Malik Radhiyallahu ‘anhu berkata : adalah Nabi SAW
kami menikah dan melarang membujang dengan larangan yang keras dan beliau
bersabda: ‘’Nikahlah oleh kalian perempuan-perempuan yang pecinta dan peranak, maka
sungguh aku berbangga dengan banyaknya kalian dari para Nabi di hari kiamat’’
b. Menjaga diri dari yang haram
Oleh Bukhori dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud Radiyaallahu’anhu berkata : telah
berkata Rasulullah :‘’Wahai para pemuda barangsiapa diantara kalian yang mampu
maka nikahlah, karena sesungguhnya itu dapat menundukan pandangan dan
memelihara kemaluan, maka barangsiapa yang tidak mampu hendaknya dia berpuasa,
karena sesungguhnya itu benteng baginya.’’

Perkawinan sebenarnya itu rumit dan butuh usaha yang keras . semua orang menikah
yang jujur pasti mengakui bahwa perkawinan dapat membahagiakan tapi juga dapat
merupakan pergaulan antara percintaan dan kekecewaan, tuntutan dan kompromi, idealnya
adalah terkait hidup sendiri. Yang penting sebenarnya adalah pernikahan yang baik atau
memutuskan untuk tidak menikah.

Perceraian dalam istilah Ahli Fiqih disebut talak atau Furqah. Talak berarti membuka
ikatan atau membatalakan perjanjian, Furqah berarti bercerai, yang merupakan lawan dari
berkumpul. Kemudian kedua dari perikatan ini dijadikan istilah oleh para Ahli Fiqih yang
berarti perceraian antara suami istri.

Anak merupakan persoalan yang selalu menjadi perhatian berbagai elemen


masyarakat. Bagaimana kedudukan dan hak-haknya dalam keluarga dan bagaimana
seharusnya ia diperlakukan oleh kedua orang tuanya, bahkan juga dalam kehidupan
masyarakat dan negara melalui kebijakan-kebijakannya dalam mengayomi anak ayah
kandung berkewajiban memberikan nafkah anak kandungnya dan seorang anak begitu
dilahirkan berhak mendapat nafkah dari ayahnya baik berupa pakaian ,tempat tinggal,dan
kebutuhan-kebutuhan lainnya meskipun perkawinan orangtua Anak sudah putus.Bagi anak-
anak yang dilahirkan perceraian orang tuanya merupakan hal yang akan mengguncangkan
kehidupannya dan akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan
perkembangannya,biasanya anak-anak adalah pihak yang paling menderita dengan
terjadinya perceraian orang tuanya.
Landasan kewajiban ayah menafkahi anak selain karena hubungan nasab juga karena
kondisi anak yang belum mandiri dan sedang membutuhkan pembelanjaan, hidupannya
tergantung kepada adanya pihak yang bertanggung jawab menjamin nafkah hidupnya. Orang
yang paling dekat dengan anak adalah ayah dan ibunya, apabila ibu bertanggung jawab atas
pengasuhan anak dirumah maka ayah bertanggung jawab mencarikan nafkah anaknya. Pihak
ayah hanya berkewajiaban menafkahi anak kandungnya selama anak kandungnya dalam
keadaan membutuhkan nafkah, Ia tidak wajib menafkahi anaknya yang mempunyai harta
untuk membiayai kehidupannya sendiri. Sebaliknya anak keturunan sudah semestinya
berbuat baik dan berkhidmad kepada orang tuanya secara tulus. Orang tualah yang menjadi
sebab terlahirnya ia didunia.

Pasal 9 Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak menyebutkan


bahwa orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas
terwujudnyakesejahteraan anak baik secara fisik,jasmani,maupun sosial. Tanggung jawab
orang tua atas anak mengandung kewajiban memelihara dan mendidik anak sedemikian
rupa, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang sehat, cerdas,
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbakti kepada kedua orang tua, berbudi pekerti
luhur dan berkemauan, serta berkemampuan untuk Meneruskan cita-cita bangsa berdasarkan
Pancasila.
Kewajiban bersama antara suami dan istri dalam membina dan menjalin rumah tangga
akan luntur apabila rumah tangga yang di bangun tersebut mengalami goncangan dan
terlebih parahnya lagi apabila tatkala rumah tangga tesebut bubar, perihal mengenai hal ini
sebelumnya telah ada dan diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.

Pemeliharaan anak juga mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk
mengawasi, memberikan pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup anak
dari orang tuanya, kewajiban untuk melakukan pemeliharaan terhadap anak bersifat tetap
sampai si anak mampu berdiri sendiri.

Didalam beberapa aturan perundang-undangan dapat kita lihat beberapa hal yang
mengatur kewajiban orang tua terhadap anak diantaranya yaitu:
1) kewajiban orang tua terhadap anak setelah perceraian menurut Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 . secara hukum kewajiban antara suami dan istri akan
timbul apabila perkawinan tersebut telah dilakukan atau dilangsungkan , dengan kata lain
kewajiban seorang istri atau suami tidak akan ada apabila seorang pria dan wanita belum
melangsungkan perkawinan.

Adapun kewajiban dan hak yang seimbang antara suami maupun istri apabila
dibarengi dengan kewajiban yang sama pula yaitu kewajiban untuk membina dan
menegakan rumah tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah
tangga yang diharapkan akan menjadi dasar dalam membangun rumah tangga.

Dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai berikut:


a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
b. Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak–anak
itu kawin atau berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
keduanya putus.

Selanjutnya dalam pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan sebagai


berikut:
a. Anak yang belum mencapai umur 18 Tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya selama mereka tidak dicabut dari
kekuasaannya.
b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar
pengadilan.

Dari beberapa penjelasan Undang-Undang No 1 Tahun 1974maka, dapat disimpulkan


bahwa Undang-Undang perkawinan mengatur kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya
sekalipun rumah tangga telah putus karena perceraian. Kewajiban orangtua tersebut
meliputi:
a. Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
b. Orangtua mewakili anak mengenai perbuatan hukum didalam dan diluar pengadilan.
Sebagaimana adapun didalam pasal 41 Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bapak
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaannya dan pendidikan yang diperlukan
anak, kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun kekuasaan sebagai orangtua dicabut.

2) Kewajiban Orang Tua terhadap anak setelah perceraian menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pandangan ajaran Islam terhadap anak menempatkan anak dalam kedudukan yang
mulia. Anak mendapatkan kedudukan dan tempat yang istimewa dalam Nash Al-Qur’an dan
Al-Hadist, karena itu didalam pandangan Islam anak itu harus diperlakukan secara
manusiawi, diberikan pendidikan , pengajaran, keterampilan, keterampilan dan akhlakul
karimah agar anak tersebut kelak dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan diri
untuk memenuhi kebutuhan hidup dimasa depan.

Didalam KHI yang memuat hukum materiil tentang Perkawinan, kewarisan dan juga
wakaf yang dirumuskan secara Hukum Islam di Indonesia secara konkrit, maka karena
ditinjau beberapa hal mengenai ketentuan-ketentuan dalam KHI yang mengatur tentang
kewajiban orang tua terhadap anak.
Pasal 77 KHI menyebutkan :
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan keluarga yang sakinah ,
mawadah, warahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarkat.Suami istri wajib
saling mencintai, hormat menghormati, setia dan memberikan bantuan lahir batin yang satu
kepada yang lain.
b. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
c. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
d. Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan di
Pengadilan.

Berkaitan kewajiban orang tua setalah putusnya perkawinan. KHI dalam Pasal-
Pasalnya menggunakan istilah dengan nama Pemeliharaan Anak yang dimuat didalam bab
XVI Pasal 98 sampai dengan Pasal 106, tetapi secara eksplisit pasal yang mengatur
kewajiban pemeliharaan anak jika adanya perceraian hanya terdapat didalam Pasal 105 dan
Pasal 106. Dalam Pasal 98 KHI ditegaskan :
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak tercacat fisik ataupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
b. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum didalam dan di luar
Pengadilan.
c. Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu
menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orangtuanya tidak mampu.

Sementara Pasal 105 KHI dalam hal terjadinya perceraian , menyebutkan:


a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak
ibunya.
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih
diantaranya ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Dalam hal ini dengan siapapun anak ikut ayah sebagai mantan suami tetap berkewajiban
memberi nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya sampai anak tersebut
telah dewasa atau anak tersebut telah menikah. Sedangkan menyangkut harta yang dimiliki
anak, orangtua berkewajiban untuk merawat dan mengembangkan harta tersebut,hal ini
diatur didalam pasal 106 KHI yang menyebutan:
a. Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa
atau masih dibawah pengampauan dan tidak diperbolehkan memindahkan
ataumenggadaikan kecuali keperluan yang sangat mendesak jika kepentingan dan
kemaslahatan anak iu menghendaki atau sesuatu kenyataan tidak dapat dihindari lagi.
b. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

Pasal-pasal yang terdapat dalam KHI tentang hadlanah menegaskan bahwa kewajiban
pengasuhan meterial dan non material kepada anak merupakan hal yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lainnya lebih lagi KHI membagi tugas yang haarus dilakukan
orangtua sekalipun mereka telah terpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh
ibunya sedangkan pembiayaan tetap menjadi tanggung jawab dan kewajibaan ayahnya.

2.2 Faktor Penyebab Perceraian


Banyak sekali alasan orang bercerai, kebanyakan alasan yang ada bersifat subyektif,
tetapi ada alasan lain bagi pasangan suami istri dalam mengambil keputusan untuk bercerai
antara lain:
a. Pendidikan
Di Amerika Serikat, penelitian menunjukkan bahwa angka perceraian di kalangan mereka
yang berpendidikan rendah, sebesar 55% dari angka perkawinan bercerai (1984, Glick
P.C. : Marriage, Divorce and Living Arrangements”. Journal of Family Issues). Di
Indonesia angka perceraian di kalangan masyarakat kurang berpendidikan banyak
ditemukan didesa-desa, dan variabelnya dengan pernikahan dini dengan tingkat
pendapatan yang rendah.
b. Pendapatan/pekerjaan
Penelitian Glick dan Norton di Amerika memperlihatkan bahwa perceraian di kalangan
pasangan dengan pendapatan rendah tiga kali lebih banyak disbanding di kalangan
pasangan dengan pendapatan yang cukup. (Glick and Norton, 1971, “Frequency,
Duration and Probability of Marriage and Divorce”. Journal of Marriage and Family).
Masalah ekonomi sering menjadi alasan orang bercerai. Terlebih kalau sang suami tak
punya pekerjaan tetap.
c. Perkawinan dini
Penelitian Spanier dan Glick di Amerika menunjukkan bahwa perkawinan dini
menghadapi resiko dan dapat menjadi penyebab perceraian yang serius. Perempuan muda
yang menikah pada usia 18 tahun tiga kali cenderung bercerai dibandingkan dengan
perempuan yang menikah pada usia 20 tahun keatas. Bahkan mereka yang menikah pada
usia 18 sampai 19 tahun 50% mengalami kegagalan pernikahan. Kecenderungan yang
sama juga dialami pada pria yang menikah terlalu nuda (Glick and Norton, 1976,
“Marital Instability, Past, Present, and Future”. Journal of Social Issues).
d. Kekerasan dalam rumah tangga
Perlakuan yang diterima dari salah satu pasangan baik itu suami kepada istrinya atau
sebaliknya istri kepada suaminya berupa kekerasan fisik yang berkepanjangan turut
menyumbang terjadinya perceraian.
e. Perselingkuhan
Perselingkuhan yang dilakukan salah satu pasangan baik istri ataupun suami yang dapat
terjadi karena berbagai sebab, sehingga menimbulkan perceraian.
f. Kondisi tertentu
Perceraian juga dapat terjadi karena suami atau isteri tidak mampu memuaskan
pasangannya karena penyakit tertentu.
g. Motivasi yang keliru dalam menikah
Pernikahan karena ada motivasi dan tujuan tertentu.

2.3 Dampak Perceraian

Perceraian, walaupun dianggap sebagai salah satu cara mengatasi pernikahan tidak
bahagia, pasti membawa akibat-akibat yang tidak menyenangkan. Perceraian pasti
membawa dukacita. Tentu saja tidaklah adil untuk mempersalahkan saja mereka yang
mengalami perceraian. Bagi mereka yang sungguh-sungguh saling mencintai, perceraian
pasti menjadi mimpi buruk, traumatic, dan bahkan bisa menyebabkan kehiupan pribadi
masing-masing kacau balau, terlebih bila proses perceraian tidaklah mulus. Perceraian pasti
menyakitkan, menimbulkan luka besar dan sulit disembuhkan untuk jangka waktu yang
lama, terutama bagi pihak yang tidak menghendaki perceraian terjadi. Rasa gagal dan
bersalah dapat menjadi tikaman yang hebat bagi mereka yang bercerai. Perceraian dapat
merusak sistem kemasyarakatan secara luas. Masyarakat yang dibangun diatas pondasi
keluarga-keluarga yang rapuh akan mengakibatkan masyarakat yang rapuh juga. Tidak dapat
disangkal bahwa mereka yang bercerai pada akhirnya dapat membangun kembali keluarga
baru yang bahagia, dan bahwa mereka bisa mendidik anak-anak mereka dengan baik dan
menjadi anak-anak yang bahagiadan berhasil. Tetapi perceraian memang bisa menimbulkan
banyak persoalan dalam masyarakat, misalnya saja banyak pasangan suami istri dan anak-
anak korban perceraian menjadi tidak produktif.

Perceraian berdampak buruk bagi anak-anak, bahkan mungkin mereka menjadi korban
yang paling buruk. Dalam keluarga yang utuh, si anak mendapatkan kasih sayang yang utuh
pula, tetapi perceraian menghilangkan situasi yang dirasakan si anak dalam menerima kasih
sayang yang utuh tersebut. Tidak adanya pengertian yang benar tentang alasan-alasan orang
tua bercerai, dapat mengakibatkan dampak yang buruk bagi si anak. Bahkan pada kasus
tertentu, dampak perceraian orang tuanya akan dirasakan sang anak jauh setelah mereka
sendiri dewasa dan menjadi orang tua. Perceraian orang tuanya dapat terus menjadi trauma
dan mimpi buruk serta penderitaan yang panjang. Dampak yang terjadi terhadap pendidikan
dalam keluarga dan penanaman nilai-nilai yang mendidik anak menjadi pincang, seiring
pertumbuhan mereka menjadi lebih dewasa. Secara umum ada beberapa dampak psikologis
yang dialami adalah:
-Kebutuhan akan adanya kasih sayang
-Kebutuhan akan keikutsertaan dan diterima dalam kelompok
-Kebutuhan untuk berdiri sendiri
-Kebutuhan untuk berprestasi
-Kebutuhan akan pengakuan dari orang lain
-Kebutuhan untuk dihargai
-Kebutuhan untuk memperoleh falsafah hidup yang baru

Disamping dampak-dampak diatas, terdapat fakta-fakta mengejutkan yang muncul


sebagai efek dari perceraian:
-Tiga dari lima anak merasa ditolak oleh paling tidak satu orang tua
-Lima tahun sesudah perceraian, lebih dari sepertiga jumlah anak memperoleh nilai yang
lebih buruk dari sebelum perceraian.
-Setengahnya dibesarkan di lingkungan dimana orang tua masih tetap bertengkar bahkan
sesudah bercerai.
-Sepertiga jumlah perempuan dan seperempat jumlah laki-laki merasa bahwa hidup tidak
adil, mengecewakan, dan sepi.
-Para laki-laki dan perempuan yang bercerai memiliki masalah kesehatan yang lebih
besar daripada rekan mereka yang tidak bercerai.
-Lebih banyak orang bercerai yang datang untuk menemui psikiater daripada mereka
yang masih menikah atau lajang.
-Anak-anak yang orangtuanya bercerai memiliki prestasi yang lebih rendah di sekolah,
memiliki masalah dengan tingkah lakunya di rumah dan di sekolah, dan terlibat dalam
tindak kejahatanmaupun seksual lebih cepat dari mereka yang orang tuanya tidak bercerai.
-Dibandingkan dengan mereka yang keluarganya tetap utuh/bersama, orang dewasa yang
mengalami perceraian orang tuanya dimasa kecil akan mengalami kesulitan menyesuaikan
diri secara psikologis, pendapatan sosial ekonomi yang lebih rendah, dan ketidakstabilan
kehidupan pernikahannya.

2.4 Langkah-Langkah Menghindari Perceraian


Perceraian tidak pernah menjadi harapan bagi orang-orang yang menikah, itu sebabnya
ketika perceraian harus menjadi pilihan, sangat sulit bagi suami-istri untuk mengalami dan
menjalani proses perceraian itu dengan mulus, sehingga memang harus diusahakan agar
sedapat mungkin mencegah terjadinya perceraian. Beberapa hal yang dapat ditempuh
diantaranya adalah:

a. Bina pranikah
Sebelum pasangan hendak menikah, dilakukan pembinaan pranikah untuk
mempersiapkan calon pasangan mrnyadari secara dini kemungkinan kemelut yang akan
timbul dan cara-cara mengatasinya. Permbinaan itu mencakup arti dan tujuan pernikahan
serta cara-cara mengelola pernikahan bahagia, termasuk mengelola konflik.

b. Konseling pernikahan
Ketika pernikahan sudah terjadi, tidak ada salahnya untuk meminta bantuan konselor
yakni pendeta, ustad, pastor, biksu, pedanda, pendidik, psikolog, ahli hukum, dan
sebagainya, untuk memahami pernikahan secara mendalam. Terlebih ketika mengalami
gesekan tertentu dalam pernikahan, sebaiknya konseling ini segera dilaksanakan.
c. Terapi
Terapi berguna untuk mengatasi ‘penyakit’ tertentu dalam pernikahan, sebagai contoh
masalah ekonomi, gangguan dari pihak ketiga, hubungan orang tua-anak, keluarga besar,
teman-teman, dan sebagainya yang dapat mempengaruhi tingkat keharmonisan dan
kebahagian perkawinan.

d. Komunikasi
Keharmonisan dan kebahagiaan dalam pernikahan sangat bergantung pada komunikasi
suami-istri. Kesibukan yang menyita banyak waktu di luar rumah cenderung
menghambat dan memacetkan komunikasi verbal suami-istri. Namun demikian harus
selalu disediakan waktu untuk berkomunikasi, langsung ataupun tidak langsung,
tergantung dari kesepakatan dan kemauan baik yang dilandaskan cinta dan komitmen
pada perkawinan.

Dalam masalah-masalah  pernikahan, jika tidak diatasi dengan cepat maka dampaknya
akan semakin buruk. Bagi generasi saat ini bahkan generasi yang akan datang, jalan satu-
satunya yang dapat mengubah keadaan tentang perceraian ini adalah taat dan tunduk kepada
perintah Tuhan dan dibangun keluarga berdasarkan Alkitab/firman Allah, maka sangat perlu
untuk  diberikan pemahaman tentang pernikahan, agar percaraian dapat dihindari.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Mengakhiri pernikahan dengan perceraian memang sah secara hukum, namun karena
perkawinan merupakan persekutuan seumur hidup, mestinya masalah-masalah yang timbul
dalam rumah tangga dapat diatasi dan disembuhkan dengan kedewasaan sikap dari suami
maupun istri. Perceraian pasti menyakitkan, dan menimbulkan luka besar yang sulit
disembuhkan dalam jangka waktu yang lama, terutama bagi pihak yang tidak menghendaki
perceraian.
Perceraian juga berdampak buruk bagi anak-anak, bahkan mungkin mereka menjadi
korban yang paling buruk, oleh karena banyaknya akibat buruk perceraian, memang lebih baik
mencegah perceraian sebagai alternative mengatasi masalah perkawinan dan rumah tangga.
Betapapun beratnya tantangan dalam rumah tangga, tidak ada yang tidak bisa diatasi, yang
penting komitmen pada perkawinan dan rumah tangga sebagai suatu persekutuan hidup yang
suci dan abadi.
DAFTAR PUSTAKA

Lili Rasjidi,Alasan Perceraian menurut UU NO. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

,1983, (Bandung: Alumni,)

Muhammad Ali dan Muhammad Astori, Psikologi Remaja, Perkembangan Peserta Didik,

2014, (Jakarta: Bumi Aksara)

Robert P. Borrong, Etika Seksual Kontemporer, 2006, (Bandung: Ink Media)

https://www.academia.edu/37245094/Makalah_perceraian

Anda mungkin juga menyukai