Anda di halaman 1dari 11

POLITIK HUKUM PEMBATASAN USIA PERKAWINAN

Written by Mardiah | | |

POLITIK HUKUM PEMBATASAN USIA PERKAWINAN

Oleh : Khairuddin

(PA. Pasir Pengaraian)

1. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Masalah

Manusia dalam proses perkembangannya untuk meneruskan jenisnya membutuhkan pasangan


hidup yang dapat memberikan keturunan sesuai dengan apa yang diinginkannya. Perkawinan
sebagai jalan untuk bisa mewujudkan suatu keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini dimaksudkan, bahwa perkawinan itu hendaknya
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh berakhir begitu saja. Pembentukan keluarga yang
bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan
seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial biologis, psikologis maupun
secara sosial.

Seseorang dengan melangsungkan sebuah perkawinan maka dengan sendirinya semua kebutuhan
biologisnya bisa terpenuhi. Ia akan bisa menyalurkan kebutuhan seksnya dengan pasangan
hidupnya. Sementara itu secara mental atau rohani mereka yang telah menikah lebih bisa
mengendalikan emosinya dan mengendalikan nafsu seksnya.

Kematangan  emosi  merupaka  aspek  yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan
perkawinan. Keberhasilan rumah tangga sangat banyak di tentukan oleh kematangan emosi, baik
suami maupun istri. Dengan dilangsungkannya perkawinan maka status sosialnya dalam
kehidupan bermasyarakat diakui sebagai pasangan suami-istri, dan sah secara hukum.

Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada profesi,
agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit manusia
yang sudah mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari pasangannya sesuai
dengan apa yang diinginkannya. Dalam kehidupan manusia perkawinan bukanlah bersifat
sementara tetapi untuk seumur hidup. Sayangnya tidak semua orang tidak bisa memahami
hakekat dan tujuan dari perkawinan yang seutuhnya yaitu mendapatkan kebahagiaan yang sejati
dalam berumah-tangga.
Batas usia dalam melangsungkan perkawinan adalah penting atau dapat dikatakan sangat
penting. Hal ini disebabkan karena didalam perkawinan menghendaki kematangan psikologis.

Usia perkawinan yang terlalu muda dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian karena
kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga bagi suami
istri.

Pernikahan yang sukses sering ditandai dengan kesiapan memikul tanggung-jawab. Begitu
memutuskan untuk menikah, mereka siap menanggung segala beban yang timbul akibat adanya
pernikahan, baik yang menyangkut pemberian nafkah, pendidikan anak, maupun yang berkait
dengan perlindungan, pendidikan, serta pergaulan yang baik.

Tujuan dari perkawinan yang lain adalah memperoleh keturunan yang baik. Dengan perkawinan
pada usia yang terlalu muda mustahil akan memperoleh keturunan yang berkualitas. Kedewasaan
ibu juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan anak, karena ibu yang telah dewasa secara
psikologis akan akan lebih terkendali emosi maupun tindakannya, bila dibandingkan dengan para
ibu muda.

Selain mempengaruhi aspek fisik, umur ibu juga mempengaruhi aspek psikologi anak, ibu usia
remaja sebenarnya belum siap untuk menjadi ibu dalam arti keterampilan mengasuh anaknya.
Ibu muda ini lebih menonjolkan sifat keremajaannya daripada sifat keibuannya.

Zakiyah Daradjat (1975) mendefinisikan remaja sebagai anak yang ada pada masa peralihan dari
masa anak-anak menuju usia dewasa pada masa peralihan ini biasanya terjadi percepatan
pertumbuhan dalam segi fisik maupun psikis. Baik ditinjau dari bentuk badan, sikap, cara
berpikir dan bertindak mereka bukan lagi anak-anak. Mereka juga belum dikatakan manusia
dewasa yang yang memiliki kematangan pikiran.

Sifat-sifat  keremajaan  ini (seperti, emosi yang tidak stabil,

belum mempunyai kemampuan yang matang untuk menyelesaikan konflik-konflik yang


dihadapi, serta belum mempunyai pemikiran yang matang tentang masa depan yang baik), akan
sangat mempengaruhi perkembangan psikososial anak dalam hal ini kemampuan konflikpun,
usia itu berpengaruh.

Perkawinan usia muda juga membawa pengaruh yang tidak baik bagi anak-anak mereka.
Biasanya anak-anak kurang kecerdasannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Ancok yaitu:

Anak-anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu remaja mempunyai tingkat kecerdasan yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan anak yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang lebih dewasa.
Rendahnya angka kecerdasan anak-anak tersebut karena si ibu belum memberi stimulasi mental
pada anak-anak mereka. Hal ini disebabkan karena ibu-ibu yang masih remaja belum
mempunyai kesiapan untuk menjadi ibu.
Perkembangan bahasa si anak sangat tergantung pada cara si ibu berbicara pada anaknya. Aspek
kecerdasan non bahasa berkembang bila si ibu dapat memberikan permainan atau stimulan
mental yang baik. Ibu remaja biasanya kurang mampu memberikan stimulan mental itu.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa kedewasaan ibu baik secara fisik maupun
mental sangat penting, karena hal itu akan berpengaruh terhadap perkembangan anak kelak
dikemudian  hari. Oleh  sebab  itulah  maka  sangat penting

untuk memperhatikan umur pada anak yang akan menikah.

Meskipun batas umur perkawinan telah ditetapkan dalam pasal 7 ayat (1) UU No. 1 Tahun 74,
yaitu perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak
wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Namun dalam prakteknya masih banyak kita jumpai
perkawinan pada usia muda atau di bawah umur. Padahal perkawinan yang sukses pasti
membutuhkan kedewasaan tanggung jawab secara fisik maupun mental, untuk bisa mewujudkan
harapan yang ideal dalam kehidupan berumah tangga.

Peranan orang tua sangat besar artinya bagi perkembangan psikologis anak-anaknya.orang tua
dengan anak akan mempengaruhi kepribadian anaknya dimasa dewasanya. Anak yang masih
dalam proses perkembangan tersebut mempunyai kebutuhan-kebutuhan pokok terutama
kebutuhan rasa aman, sayang dan kebutuhan rasa harga diri. Apabila kebutuhan-kabutuhan
tersebut tidak terpenuhi akan mengakibatkan goncangan pada perkembangan anak. Masih
banyak orang tua yang belum menyadari pentingnya keterlibatan mereka secara langsung dalam
mengasuh anak. Tak jarang akibatnya merugikan perkembangan fisik dan mental anaknya
sendiri.

Upaya perlindungan anak perlu dilakukan sedini mungkin yakni sejak dari janin dalam
kandungan sampai anak berumun 18 tahun. Bertitik tolak dari konsepsi tersebut secara utuh,
menyeluruh dan konprehensif, pembangunan pembatasan usia perkawinan akan dapat
memeberikan perlindungan kepada anak berdasarkan azas-azas sebagaiberikut :

1. Non diskriminasi.
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak.
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan.
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.[1]

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, perlu peran orang tua,
keluarga, masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan , organisasi social, dunia usaha, media massa
atau lembaga pendidikan.

Suatu bangsa dalam membangun sumber daya manusia dan mengurus rumah tangganya harus
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta kepribadiannya. Usaha ini
merupakan suatu usaha yang terus menerus dari generasi kegenerasi.
Bagi bangsa Indonesia Pancasila merupakan pandangan hidup dan dasar tata masyarakat. Karena
itu usaha-usaha untuk memelihara, membina dan meningkatkan kesejahteraan anak haruslah
didasarkan falsafah Pancasila dengan maksud untuk menjamin kelangsungan hidup dan
kepribadian bangsa.[2]

Efektifitas ketentuan batas umur adalah tanggung jawab aparat, seperti Kepala Desa, Pegawai
Pencatat Nikah (PPN) dan PPPN serta Pengadilan Agama. Perkawinan dewasa ini berkenaan
dengan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang berstatus sebagai
hukum Negara dalam kaitannya terhadap hukum agama mengenai ketentuan – ketentuan sahnya
perkawinan. Hal ini dapat menimbulkan kontroversi, bagaimana hubungan antara hukum agama
dengan hukum Negara. Khususnya apabila terjadi benturan hukum seperti halnya  syarat – syarat
pelaksanaan perkawinan dini berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perkawinan
pelaksanaannya harus disertai dispensasi dari Pengadilan Agama sedangkan menurut hukum
islam tidak ada ketentuan mengenai batas umur melangsungkan perkawinan.[3]

Masalah perkawinan dini bila dibawa ke dalam ranah hukum adat, tergambarkan bahwa Bangsa
Indonesia dahulu kala mengenal perkawinan dini antara lain kawin gantung, dalam hukum adat
bugis dikenal dengan istilah kawin soro artinya ijab kabul sudah dilaksanakan pada umur 12 – 13
tahun. Bahkan ada yang dikawinkan dalam umur + 9 tahun, dengan syarat nanti setelah si wanita
sudah haid atau menstruasi sekitar + 13 tahun baru boleh dikumpuli oleh suaminya atau pada
umur + 15 tahun sesuai umur dewasa dalam hukum adat (Yurisprudensi Mahkamah Agung).[4]

Adapun alasan sehingga terjadinya perkawinan dini adalah sebagai berikut :

1. Adat kebiasaan meneruskan kebiasaan leluhur para pendahulu.


2. Banyak isteri muda adalah simbol kemakmuran kaum pria.
1. Menghindari rasa malu karena takut anaknya menjadi perawan tua.
2. Para orang tua ingin cepat melepaskan tanggung jawab.
3. Menjadi kebanggaan orang tua.
4. Akibat pergaulan bebas, sehingga hamil sebelum menikah.

Akibat yang ditimbulkan dengan adanya perkawinan dini tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Anak tersebut terpaksa putus sekolah, Undang-Undang Diknas menyatakan anak yang
sudah menikah tidak boleh ikut bersekolah (SD, SMP, dan SMA).
2. Anak kehilangan kehidupannya yang ceria semasa kecilnya.
3. Menghambat perkembangan kejiwaan / kepribadian anak.
4. Anak tersebut terpaksa untuk cepat menjadi dewasa.
1. Kurang matang dalam berfikir untuk mengambil keputusan  / kebijakan.
2. Dalam mengurus rumah tangga sebagai suami dan isteri, kurang pas dan
cenderung kurang bertanggung jawab.
3. Sering terjadi pertengkaran antara suami isteri tersebut.
4. Tingkat perceraian tinggi.

Bahwa dalam kesetaraan gender, wanita sering kali menjadi objek penderita oleh para kaum pria.
Ada kesan bahwa pria lebih unggul ketimbang wanita. Dalam hal ini wanita tidak banyak
pilihan, apalagi orang tua siperempuan memandang anak perempuannya  sebagai anak yang
segala urusannya masih orang tua yang bertanggung jawab dan memutuskannya. Sehingga kesan
yang paling nyata, kesetaraan gender masih kental berlaku di Indonesia.

Melihat dari hal ini maka pemerintah megatur dan membuat ketentuan peraturan dalam
pembatasan usia perkawinan sebagaimana di ataur di dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak –sebagai instrumen HAM — walaupun  tidak menyebutkan secara eksplisit
tentang usia minimum menikah selain menegaskan bahwa anak adalah mereka yang berusia di
bawah 18 tahun[5] dan pasal 26 (1) huruf (c ) UU Perlindungan Anak 2002 menyebutkan bahwa:
Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : (c ) mencegah terjadinya perkawinan
pada usia anak-anak[6], Pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.[7]

b. Rumusan Masalah.

Bagaimana tinjauan politik hukum dalam pembatasan usia perkawinan.

2. PEMBAHASAN

Tinjauan Politik Hukum dalam Pembatasan Usia Perkawinan.

Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung
mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap
pembangunan hukum. Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek yaitu proses pembentukan ius
contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk
memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga
dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever
the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai
pembangunan hukum.[8]

Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk
hukum. Dalam hal ini Satjipto Raharjo menyatakan, bahwa hukum adalah instrumentasi dari
putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-
kepentingan tertentu, dan dengan demikian medan pembuatan undang-undang menjadi medan
perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan. Badan pembuat undang-undang akan
mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi
kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena
pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku
berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu.

Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang,


intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang.
Intervensi tersebut dilakukan terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan,
baik secara sosial, politik maupun ekonomi.[9] Di Indonesia intervensi pemerintah dalam bidang
politik sudah lazim, begitu pula di negara-negara berkembang lainnya. Sejak zaman penjajahan
Belanda sampai saat ini pemerintah sangat dominan di dalam mewarnai politik hukum di
Indonesia.[10]

Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik
mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang
pembuatan dan penegakan hukum.[11] Juga mempertimbangkan etik hukum, baik buruknya, adil
tidaknya, atau cocok tidaknya ketentuan-ketentuan hukum itu bagi masyarakat yang
bersangkutan, karena hal itu ada hubungannya dengan ditaati atau tidaknya hukum itu dalam
suatu masyarakat.[12]

Perkawinan apabila ditinjau dari berbagai aspek mengandung beberapa kemaslahatan. Dari segi
sosial bahwa dalam setiap masyarakat ditemui suatu penilaian yang umum bahwa orang yang
berkeluarga atau yang pernah berkeluarga dianggap mempunyai kedudukan yang lebih dihargai
dari mereka yang tidak kawin. Dari sudut pandnag keagamaan perkawinan merupakan suatu hal
yang dipandang suci (sakral) yang dianjurkan oleh Laquran dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Perkawinan akan terlihat semakin jelas eksistensinya apabila dilihat dari aspek hukum yakni
perkawinan meruapakn perbuatan dan tingkah laku subjek hukum yang membawa akibat hukum
karena hukum mempunyai kekuatan mengikta bagi subjek hukum atau karena subjek hukum
terikat oleh kekuatan hukum. Oleh karena itulah perkawinan perlu dicatat di KUA dan
percerainnya di Pengadilan Agama.

Di dalam UU No 1 tahun 1974 telah diatur tentang usia  yang diperbolehkan untuk
melangsungkan pernikahan dan orang-orang yang dilarang untuk dinikahi yaitu sebagai berikut :

Pasal 6 :

(1)   Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

(2)  Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Pasal 7 :

(1)   Perkawinan hanya diizinkan bila piha pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

(2)   Dalam  hal penyimpangan  dalam ayat (1)  pasal ini  dapat minta dispensasi kepada
Pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.

Secara politis bunyi dari UU itu memiliki nilai-nilai yang positif demi menjaga kemaslahatan
perkawinan itu,  misalnya bagi yang belum berusia 21 tahun harus mendapat izin dari orang tua,
batas usia minimal boleh kawin adalah 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita
merupakan usaha untuk mencegah terjadinya kerusakan dalam membina rumah tangga nantinya,
karena usia di bawah 21 tahun bisa dikatakan usia belum matang untuk melaksanakan dan
membina rumah tangga. Kemudian dengan pembatasan   usia   dalam   perkawinan   tersebut
tentunya  akan membawa nilai kemaslahatan bagi yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 ditetapkan ketentuan batas umur bagi calon suami
isteri, yaitu pria umur 19 tahun dan wanita umur 16 tahun, Penyipangan terhadap ketentuan
tersebut, maka perkawinan baru dapat dilakukan setelah mendapat dispensasi dari Pengadilan
Agama. Pencegahan perkawinan di bawah umur menurut ketentuan Undang-Undang Perkawinan
antara lain dimaksudkan untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunan, serta mengarah
kepada kematangan jiwa / pemikiran. Menurut Satjipto Raharjo, dilihat dari proses
perkembangan masyarakat menuju kepada masyarakat industry, Undang-undang nomor 1 tahun
1974 Perkawinan patut dicatat sebagai suatu kemajuan yang pesat.[13].

Permohonan dispensasi perkawinan dini diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita
kepada Pengadilan Agama dalam wilayah hukum Pemohon. Setelah pemeriksaan dalam
persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk memberikan
dispensasi perkawinan di bahwa umur dengan suatu penetapan. Salinan penetapan ini dibuat dan
diberikan kepada Pemohon untuk memenuhi persyaratan melangsungkan perkawinan.

Dalam kenyataan prosedur pelaksaan perkawinan dini di bawah umur, umumnya dilangsungkan
tanpa dispensasi perkawinan yang dikeluarkan oleh Pengadilan agama, bahkan terjadi
penyimpangan dalam hal penambahan umur. Hal itu disebabkan antara lain karena factor biaya
dan birokrasi, kurangnya komunikasi hukum, lemahnya penegakan hukum serta perangkat
hukumnya itu sendiri.[14]

Selain tidak efektifnya pelaksanaan ketentuan dispensasi nikah, maka latar belakang yang
mendorong terjadinya perkawinan di bawah umur dapat disebabkan oleh beberapa factor baik
ekonomi, pendidikan, budaya / adat serta akibat pergaulan (keadaan memaksa).

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bagi pasangan suami isteri di bawah umur, sering terjadi
pertengkaran dalam rumah tangga dan bahkan cenderung berakibat perceraian. Gejala ini antara
lain disebabkan karena kurangnya kematangan jiwa dan pemikiran, rendahnya pendidikan serta
keadaan ekonomi.

Bila dikaitkan antara dengan teori – teori tersebut di atas maka perkawinan dini atau di bawah
umur belum mendatangkan manfaat bagi orang yang melakukan perkawinan tersebut terutama
dalam melangengkan kehidupan rumah tangganya, karena belum mempunyai kematang secara
fisik dan secara mental karena cenderung belum dapat mengendalikan emosional sehingga rentan
dengan terjadinya perceraian.

Untuk itu diperlukan konsep pemecahan terhadap factor-faktor yang melatar belakangi
perkawinan di bawah umur, dampak yang diakibatkan dan efektifitas dispensasi.

Secara politis ada tiga kepentingan pembangunan kualitas sumber daya manusia yaitu
kepentingan individu, kepentingan organisasi dan kepentingan nasional.

1. Kepentingan individu.
Pengembangan sumber daya manusia sangat penting bagi setiap individu karena dapat
membantu meningkatkan potensinya, begitu pula keputusan individu dapat dicapai melalui
pembangunan karier.

1. Kepentingan Organisasi.

Pengembangan sumber daya manusia sangat bermanfaat bagiorganisasi dalam mendapatkan


individu yang memenuhi kualifikasi. Dengan adanya pengembangan kualitas sumber daya
manusia, dapat disiapkan individu-individu yang berpotensi untuk menduduki posisi manajer dan
pimpinan puncak untuk masa yang akan datang.

1. Kepentingan Nasional.

Pengembangan kualitas sumber daya manusia sangat bermanfaat bagi kepentingan nasional. Hal
ini karena individu-individu yang berpotensi tinggi dapat dimanfaatkan pula oleh pemerintah
dalam rangka meningkatkan produktivitas nasional. Mereka dapat dijadikan tenaga-tenaga ahli
dalam bidang tertentu untuk membantu program Pemerintah.[15]

Adapun tujuan pembatasan perkawinan secara politik hukum adalah untuk pembangunan
kualitas sumber daya manusia berdasarkan kepentingan individu, organisasi dan kepentingan
nasional. Tujuan pengembangan kualitas sumber daya manusia adalah menghubungkan sumber
daya manusia yang ada untuk kebutuhan pada masa yang akan datang.[16]

1. 3. Kesimpulan dan Saran.


2. a. Kesimpulan.

Pada prinsipnya dibentuknya peraturan oleh Pemerintah dalam pembatasan usia perkawinan
adalah guna melindungi anak dari hak-haknya selaku anak bangsa untuk dapat mengecap
pendidikan, mendapatkan kehidupan yang ceria semasa kecilnya, tidak menghambat
perkembangan kejiwaan / kepribadian anak, tidak  terpaksa untuk cepat menjadi dewasa, matang
dalam berfikir untuk mengambil keputusan  / kebijakan, bertanggung jawab dalam mengurus
rumah tangga dan menghindari sering terjadi pertengkaran antara suami isteri serta menurunkan
tersebut tingkat perceraian.

1. b. Saran.

Perlu sosialisasi secara efektif kepada masyarakat tentang peraturan perkawinan guna mencapai
sasaran sehingga kebijakan secara politis sampai kepada sasaran.

DAFATAR PUSTAKA

Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

Buku

Abidin Abu Bakar, Zainal, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jurnal
Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993,

al-Hanif, Budiman, Membangun keluarga sakinah meneladani keharmonisan keluarga


Rasulullah, Cakrawala Publishing, 2009.

Athar, Radhawi Said, Keluarga Islam, Bandung : Risalah, 1985.

Departemen Kehakiman, Bacaan bagi Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum), Penerbit Depkeh
Penytuluhan Hukum, 1991.

Jazuni, Legislsi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005.

Mahfud MD., Moh., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998.

Mahkamah Agung, Himpunan Putusan dari Tahun 1972 sampai Tahun 1992, Penerbit
Mahkamah Agung ,Tahun 1992.

Prabu, A.A., Anwar , Mangkunegara, Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
Bandung, Refika Aditama, 2003.

Raharjo, Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, 1979.

Wahyuni, Sri, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi mpilasi Hukum
Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003.
 

Wantjik. K., Saleh, Hukum Perkawina Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia.

Wirawan, Tjuk, Politik Hukum di Indonesia, UPT Unej, Jember, 2004,

[1] Budiman al-Hanif, Membangun keluarga sakinah meneladani keharmonisan keluarga


Rasulullah, Cakrawala Publishing, 2009, halaman 29.

[2] Departemen Kehakiman, Bacaan bagi Keluarga Sadar Hukum (Kadarkum), Penerbit Depkeh
Penytuluhan Hukum, 1991, halaman 25.

[3] Radhawi Said Athar, Keluarga Islam, Bandung : Risalah, 1985, halaman 43.

[4] Mahkamah Agung, Himpunan Putusan dari Tahun 1972 sampai Tahun 1992, Penerbit
Mahkamah Agung ,Tahun 1992.

[5] Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ,

[6] Ibid

[7] Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.

[8] Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum
Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hal. 74.

[9] Jazuni, Legislsi Hukum Islam di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 9-10

[10] Tjuk Wirawan, Politik Hukum di Indonesia, UPT Unej, Jember, 2004, hal. 8.

[11] Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1998, hal. 1-2.

[12] Zainal Abidin Abu Bakar, Pengaruh Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia,
Jurnal Mimbar Hukum No. 9 Thn. IV, Al-Hikmah, Jakarta, 1993, hal. 56.

[13] Satjipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : Alumni, 1979, halaman 48.

[14] Saleh Wantjik. K., Hukum Perkawina Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia, halaman 34.

[15] Mangkunegara Anwar Prabu, A.A., Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia, Bandung, Refika Aditama, 2003, halaman 6.
[16] Ibid.

http://pa-pasirpengaraian.go.id/new/index.php?option=com_content&view=article&id=127:politik-
hukum-pembatasan-usia-perkawinan&catid=34:berita

Anda mungkin juga menyukai