Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PERKAWINAN DINI DAN DISPENSASI NIKAH

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perdata Islam Indonesia

Dosen Pengampu: Prof .Dr.H. Ahmad Rofiq,MA.

Disusun oleh:

1. Inayah Azahro (2202036071)


2. Assalia Alviatur Rohmaniah (2202036126)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikahyang dirayakan atau
dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara
norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak
ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau
hukum agama tertentu pula. Adapun Pengertian pernikahan dini adalah pernikahan
yang dilakukan oleh salah satu pasangan yang memiliki usia di bawah umur yang
biasanya di bawah 17 tahun. Baik pria atau wanita jika belum cukup umur (17 Tahun)
jika melangsungkan pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini. Di
Indonesia sendiri pernikahan belum cukup umur ini marak terjadi, tidak hanya di desa
melainkan juga di kota. Dalam undang-undang pernikahan disebutkan bahwa
pernikahan yang ideal adalah laki-laki berusia 21 tahun dan perempuan berusia 19
tahun, pada usia tersebut seseorang yang melakukan pernikahan sudah memasuki uis
dewasa, sehingga sudah mampu memikul tanggung jawab dan perannya masing-
masing, baik sebagai suami maupun sebagai istri. Namun, dalam realitasnya banyak
terjadi pernikahan dini, yaitu pernikahan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan
yang belum dewasa dan matang berdasarkan undang-undang maupun dalam perpektif
psikologis.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian pernikahan dini?
2. Jelaskan yang dimaksud dispensasi nikah?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian dari pernikahan dini
2. Mengetahui apa itu dispensasi nikah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pernikahan Dini
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan sebelum
mencapai usia 18 tahun. Selain bisa berdampak buruk bagi kesehatan, pernikahan
dini juga berpotensi memicu kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi
manusia. Melalui peraturan perundang-undangan di Indonesia, batas minimal usia
untuk menikah adalah 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Jika belum
mencapai usia tersebut, pernikahan dapat dikatakan pernikahan dini. Keluarga
merupakan unit masyarakat terkecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak. Keluarga
terbentuk dari ikatan cinta kasih anatara seorang pria dewasa dan wanita dewasa
yang diresmikan dengan perkawinan, sesuai dengan perkawinan agama dan hukum
yang berlaku. Menurut undang-undang No 1 Tahun 1974. Untuk membentuk suatu
keluarga harus dipersiapkan dengan matang diantaranya pasangan yang akan
membentuk keluarga harus sudah dewasa, baik secara biologis maupun pedagogis
atau bertanggung jawab. Bagi pria harus sudah siap untuk memikul tanggung
jawab sebagai kepala keluarga, sehingga berkewajiban member nafkah kepada
anggota keluarga. Bagi seorang wanita ia harus sudah siap menjadi ibu rumah
tangga yang bertugas mengendalikan rumah tangga, melahirkan, mendidik, dan
mengasuh anak-anak.Tetapi apa yang diidam-idamkan dan ideal, apa yang
seharusnya dalam kenyataan tidak sesuai harapan dan berjalan sebagaimana
mestinya. Kebahagiaan yang diharapkan dapat diraup dari kehidupan berumah
tangga, kerap kali hilang kandas tak berbekas yang menonjol justru derita dan
nestapa.
Azas-azas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang- undang ini
adalah sebagai berikut:
Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan sprituil dan material. Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa
suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam Surat-
surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam pencatatan.
Undang-undang ini menganut azas monogami. Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu
dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila
dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

2
Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat
mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan
mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya
perkawinan diantara calon suami isteri yang masih dibawah umur. Disamping itu,
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyatalah
bahwa batas umur yang lobih rendah bagi seorang wanita untuk kawin
mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka
undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun
bagi wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun
bagi wanita.
Dari undang-undang di atas tempak jelas, bahwa pernikahan dan semua
ketentuannya telah di atur dengan baik, sehingga untuk melangsungkan pernikahan
sebaiknya mengikuti ketentuan yang sudah ada. Pernikahan yang dilangsungkan
dimana calon pasangan masih berusia di bawah batas usia tersebut termasuk dalam
pernikahan dini, karena usia calon pasangan masih dalam usia anak sekolah.
Tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam
(1991/1992) demikian angka perkawinan dibawah umur menurut standar
kementerian kesehatan pasal 3 adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang sakinah, mawadah dan rahmah masih cukup tinggi. Terkait dengan UU
Perkara rumah tangga, maka dalam pernikahan menuntut kesiapan calon suami
dan istri, baik kesiapan fisik dan mental untuk memikul tidak sesuai dengan UU
Perkawinan.

B. Faktor-Faktor Munculnya Pernikahan Dini


Beberapa faktor terjadinya pernikahan dini sangat bervariasi diantaranya
menurut penulis adalah karena faktor ekonomi, karena perjodohan, ingin
melanggengkan hubungan, dan karena faktor yang sebenarnya tidak dikehendaki
yaitu MBA (married by accident) menikah karena kecelakaan. Dalam hal ini,
sepasang laki-laki dan perempuan terpaksa menikah di usia muda (pernikahan
dini) karena perempuan telah hamil duluan di luar nikah. Dalam rangka
memeperjelas status anak yang dikandung, maka dilakukan perniakah antar
keduanya. Meskipun hal ini akan berdampak negatif bagi keduanya, terutama jika
keduanya masih berstatus sebagai pelajar dan belum bekerja, sehingga pasangan
pengantin baru ini akan rawan terjadi cekcok, yang berawal dari munculnya
masalah-masalah kecil seperti bara api yang kena panas sedikit akan terbakar.
Secara lebih detil berikut faktor-faktor terjadinya pernikahan dini menurut penulis
yaitu:

1. Faktor ekonomi Kesulitan ekonomi menjadi salah satu faktor penyebab


terjadinya pernikahan dini, keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi akan
cenderung menikahkan anaknya pada usia muda untuk melakukan pernikahan
dini. Pernikahan ini diharapkan menjadi solusi bagi kesulitan ekonomi

3
keluarga, dengan menikah diharapkan akan mengurangi beban ekonomi
keluarga, sehingga akan sedikit dapat mengatasi kesulitan ekonomi. Disamping
itu, masalah ekonomi yang rendah dan kemiskinan menyebabkan orang tua
tidak mampu mencukupi kebutuhan anaknya dan mampu membiayai sekolah
sehingga mereka memutuskan untuk menikahkan anaknya dengan harapan
sudah lepas tanggung jawab untuk membiayai kehidupan anaknya ataupun
dengan harapan anaknya bisa memperoleh penghidupan yang lebih baik.
2. Orang tua pada sisi lain, terjadinya pernikahan dini juga dapat disebabkan
karena pengaruh bahkan paksaan orang tua. Ada beberapa alasan orang tua
menikahkan anaknya secara dini, karena kuatir anaknya terjerumusa de
pergaulan bebas dan berakibat negatif; karena ingin melanggengkan hubungan
dengan relasinya dengan cara menjodohkan anaknya dengan relasi atau
anaknya relasinya; menjodohkan anaknya dengan anaknya saudara dengan
alasan agar harta yang dimiliki tidak jatuh ke orang lain, tetapi tetep dipegang
oleh keluarga.
3. Kecelakaan (marride by accident) Terjadinya hamil di luar nikah, karena anak-
anak melakukan hubungan yang melanggar norma, mamaksa mereka untuk
melakukan pernikahan dini, guna memperjelas status anak yang dikandung.
Pernikahan ini memaksa mereka menikah dan bertanggung jawab untuk
berperan sebagai suami istri serta menjadi ayah dan ibu, sehinga hal ini
nantinya akan berdampak pada penuaan dini, karena mereka belum siap lahir
dan batin. Disamping itu, dengan kehamilan diluar nikah dan ketakutan orang
tua akan terjadinya hamil di luar nikah mendorong anaknya untuk menikah
diusia yang masih belia .
4. Melanggengkan hubungan Pernikahan dini dalam hal ini sengaja dilakukan
dan sudah disiapkan semuanya, karena dilakukan dalam rangka
melanggengkan hubungan yang terjalin antara keduanya. Hal ini menyebabkan
mereka menikah di usia belia (pernikahan dini), agar status hubungan mereka
ada kepastian.selain itu, pernikahan ini dilakukan dalam rangka menghindari
dari perbuatan yang tidak sesuai dengan norma agama dan masyarakat. Dengan
pernikahan ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi keduanya.
5. Tradisi dikeluarga (kebiasaan nikah usia dini pada keluarga dikarenakan agar
tidak dikatakan perawan tua). Pada beberapa keluarga tertentu, dapat dilihat
ada yang memiliki tradisi atau kebiasaan menikahkan anaknya pada usia muda,
dan hal ini berlangsung terus menerus, sehingga anak-anak yang ada pada
keluarga tersebut secara otomatis akan mengikuti tradisi tersebut. Pada
keluarga yang menganut kebiasaan ini, biasanya didasarkan pada pengetahuan
dan informasi yang diperoleh bahwa dalam Islam tidak ada batasan usia untuk
menikah, yang penting adalah sudah mumayyis ( baligh) dan berakal, sehingga
sudah selayaknya dinikahkan.

Berencana Nasional (BKKBN) didapatkan angka pernikahan di perkotaan


lebih rendah dibanding di pedesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun

4
perbedaannya cukup tinggi yaitu 5,28% di perkotaan dan 11,88% di pedesaan. Hal
ini menunjukkan bahwa wanita usia muda di perdesaan lebih banyak yang
melakukan perkawinan pada usia muda.

C. Dispensasi Nikah
Perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara pasangan suami istri
dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa atau dalam bahasa Hukum Islam disebut dengan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Guna mencapai tujuan
perkawinan, menekan angka perceraian, menghasilkan keturunan (generasi) yang
sehat, serta untuk mengatur laju pertumbuhan penduduk, maka UUP menganut
prinsip bahwa ketika menikah, calon suami dan istri telah matang jiwa dan
raganya, telah mencapai batas usia perkawinan (dahulu laki-laki 19 [sebilan belas]
tahun dan perempuan 16 [enam belas] tahun dan sekarang telah direvisi, laki-laki
dan perempuan samasama 19 [sebilan belas] tahun). Oleh karena itu, pernikahan di
bawah usia tersebut harus semaksimal mungkin dicegah oleh pihak-pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan suatu pernikahan, terutama pihak keluarga. 1
Dalam Pasal 7 ayat (2) UUP diatur bahwa dalam hal penyimpangan terhadap
ketentuan batas usia perkawinan, maka orang tua dapat mengajukan permohonan
dispensasi ke pengadilan. 2
Dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku
II) dijelaskan bahwa permohonan dispensasi kawin diajukan kepada Pengadilan
Agama yang yurisdiksinya meliputi tempat tinggal orang tua dan/atau anak yang
dimohonkan dispensasi perkawinannya. Permohonan dispensasi kawin diajukan
secara volunteir oleh orang tua dan/atau calon mempelai yang belum cukup umur,
baik laki-laki maupun perempuan. Permohonan dispensasi kawin dapat diajukan
secara bersama-sama, ketika calon mempelai pria dan wanita sama-sama belum
cukup umur. Pengadilan Agama dapat menjatuhkan penetapan atas permohonan
dispensasi kawin setelah mendengar keterangan orang tua, keluarga dekat, atau
wali anak yang akan diberikan dispensasi kawin. 3
Sebagai upaya untuk mewujudkan kemaslahatan bagi segenap warga negara
dalam bidang perkawinan, pembuat undang-undang (pemerintah bersama dengan
DPR RI) telah menetapkan batas minimal usia perkawinan yakni 19 (sembilan
belas) tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Pihak-pihak yang terkait
dengan pelaksanaan suatu pernikahan, kedua calon mempelai beserta dengan
keluarga terdekat, harus berupaya mengantisipasi terjadinya perkawinan di bawah
umur. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya boleh dilakukan sebagai
alternatif terakhir dan setelah mendapat dispensasi dari pengadilan. Pernikahan di
bawah batas usia pernikahan adalah persoalan yang kompleks, sehingga dalam

1
Pemerintah Republik Indonesia, ‚Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,‛ Pub. L. No.
Nomor 1 Tahun 1974 (1974); Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama RI,
‚Kompilasi Hukum Islam‛ (1991)
2
Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3
Ibid., hal. 231.
5
mempertimbangkan permohonan dispensasi kawin, Pengadilan Agama harus
merumuskan pertimbangan dari berbagai sudut pandang, di antaranya
pertimbangan secara syar’i, yuridis, sosiologis, psikologis, dan termasuk
kesehatan. Pengadilan Agama dalam mempertimbangkan permohonan dispensasi
kawin juga harus menyertakan pertimbangan tujuan syariah Islam (maqasidu al-
shari’ah), baik dari segi adanya (janibu al-wujud) melalui adanya perintah,
maupun dari segi tidak adanya (janibu al-‘adm) dengan adanya larangan.4 Dalam
mengadili perkara dispensasi kawin, Pengadilan Agama selama ini tidak selalu
mengabulkan permohonan, meskipun menurut data yang disampaikan oleh Deri
Fahrizal Ulum, Child Protection OfficerUNICEF Indonesia, lebih dari 90%
(sembilan puluh persen) permohonan dispensasi kawin dikabulkan oleh
pengadilan. Di antara pertimbangan yang dikemukakan oleh Pengadilan Agama
dalam mengabulkan permohonan dispensasi kawin adalah karena permohonan
tersebut beralasan secara syar’i, yuridis, dan sosiologis, dimana:
a. Anak yang dimohonkan dispensasi kawin, jika laki-laki telah memiliki
pekerjaan dengan penghasilan yang cukup dan jika perempuan telah terbiasa
melakukan tugas kerumahtanggaan;
b. Keluarga kedua belah pihak sudah sama-sama menyetujui berlangsungnya
pernikahan;
c. Berdasarkan fakta hukum di persidangan, hubungan kedua calon mempelai
sudah sedemikian erat, sudah ada indikasi jika tidak segera dinikahkan akan
melakukan tindakan yang bertentangan dengan syariat Islam, sehingga dapat
merusak tatanan kehidupan sosial yang baik;
d. Kedua mempelai tidak ada halangan secara syar’i untuk menikah.

Adapun pertimbangan Pengadilan Agama ketika menolak permohonan


dispensasi adalah ketika Pengadilan Agama tidak menemukan fakta hukum yang
menjadi dasar permohonan tersebut beralasan secara syar’i, yuridis, dan sosiologis
untuk dikabulkan. Mengabulkan permohonan dispensasi kawin atau menolak
permohonan tersebut akan dihadapkan kepada dialektika pertimbangan di antara
dua kemudaratan yang mungkin terjadi. Majelis Hakim harus mempertimbangkan
secara seksama dari berbagai aspek pertimbangan, sebagaimana disebutkan di atas,
kasus per kasus (case to cae) yang tidak bisa digeneralisir.
Majelis Hakim harus mempertimbangkan permohonan dispensasi kawin dari
berbagai aspek pertimbangan, baik syar’i, yuridis, sosiologis, psikologis, dan juga
kesehatan. Untuk keperluan tersebut, diperlukanMengabulkan permohonan
dispensasi kawin atau menolak permohonan tersebut akan dihadapkan kepada
dialektika pertimbangan di antara dua kemudaratan yang mungkin terjadi. Majelis
Hakim harus mempertimbangkan secara seksama dari berbagai aspek
pertimbangan, sebagaimana disebutkan di atas, kasus per kasus (case to cae) yang
tidak bisa digeneralisir.

4
al-Muwafaqat, Jilid 2 [al-Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah: Dar al-Affan, 1997], hal. 18-23
6
Majelis Hakim harus mempertimbangkan permohonan dispensasi kawin dari
berbagai aspek pertimbangan, baik syar’i, yuridis, sosiologis, psikologis, dan juga
kesehatan. Untuk keperluan tersebut, diperlukan rekomendasi/pertimbangan secara
medis (fahsu al-tib), seperti hasil pemeriksaan dari dokter spesialis kebidanan dan
psikolog, serta dua orang saksi dari pihak keluarga atau orang terdekat;Dari
berbagai persyaratan teknis pengajuan permohonan dispensasi kawin di atas,
penulis berpendapat perlu diklasifikasikan menjadi dua kriteria, yakni persyaratan
formil dan materil. Persyaratan formil mengakibatkan permohonan tidak dapat
diterima ketika persyaratan tidak terpenuhi, seperti permohonan harus diajukan
oleh kedua orang tua.
Adapun persyaratan materil mengakibatkan permohonan ditolak jika tidak
terpenuhi, seperti surat pernyataan kesanggupan menjalankan kewajiban
pernikahan dari anak yang dimohonkan dispensasi perkawinannya dan pernyataan
akan menuntaskan kewajiban belajar 9 (sembilan) tahun.Dispensasi kawin hanya
dapat diberikan, jika berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan setelah
dipertimbangkan dari berbagai aspek, baik syar’i, yuridis, sosiologis, psikologis,
dan juga kesehatan, pernikahan tersebut sangat mendesak untuk dilangsungkan
guna mewujudkan tujuan syariat Islam (maqasidu al-shari’ah) guna menjaga
keselamatan keturunan (hifzhu al-nasl), tanpa membahayakan keselamatan jiwa
anak yang diberikan dispensasi kawin (hifzhu al-nafs) serta keberlanjutan
pendidikannya (hifzhu al-aql). Tujuan tersebut mesti berada pada tingkatan al-
daruriyyah atau sekurang-kurangnya al-hajiyyah. Apabila pernikahan tidak segera
dilangsungkan, berdasarkan fakta hukum yang terbukti di persidangan, akan terjadi
kerusakan disebabkan hubungan yang diharamkan oleh Allah Swt, yakni zina. Di
persidangan ditemukan fakta hukum seperti yang bersangkutan pernah ditangkap
oleh masyarakat ketika berdua-duaan di tempat yang sunyi (khalwat) atau
sekurang-kurangnya yang bersangkutan sering berduaduaan, bertemu, atau
menunjukkan hubungan dekat lainnya yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku serta hukum yang hidup di tengah masyarakat
(living law), meskipun keduanya telah diingatkan oleh pihak keluarga dan
berbagai pihak lain yang berwenang.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan
sebelum mencapai usia 18 tahun. Selain bisa berdampak buruk bagi kesehatan,
pernikahan dini juga berpotensi memicu kekerasan seksual dan pelanggaran
hak asasi manusia. Melalui peraturan perundang-undangan di Indonesia, batas
minimal usia untuk menikah adalah 19 tahun, baik laki-laki maupun
perempuan. Jika belum mencapai usia tersebut, pernikahan dapat dikatakan
pernikahan dini. Dispensasi kawin adalah persoalan yang kompleks. Dalam
mengadili perkara permohonan dispensasi kawin, Pengadilan Agama harus
mengemukakan pertimbangan dari berbagai aspek, seperti aspek syar’i,
sosiologis, psikologis, yuridis, dan kesehatan. Dispensasi hanya dapat
diberikan jika tidak bertentangan dengan tujuan syariat Islam (maqasidu al-
shari’ah) dalam menjaga keselamatan keturunan (hifzhu al-nasl) pada
tingkatan al-daruriyyah atau sekurang-kurangnya al-hajiyyah, tanpa
membahayakan keselamatan jiwa pihak-pihak yang terikat dalam ikatan
pernikahan (hifzhu al-nafs) serta keberlanjutan pendidikan anak yang diberikan
dispensasi perkawinannya (hifzhu al-aql).

8
DAFTAR PUSTAKA

al-Kahlani. Subulu al-Salam. Juz III. Bandung: Dahlan, t.t.Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama Mahkamah Agung RI.

Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama RI. Kompilasi


Hukum Islam [1991].
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama (Buku II). Revisi 2013.
Jakarta: Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, 2013

Anda mungkin juga menyukai