Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rini

NIM : 043276299

Tugas.1
1. Jelaskan konsep dan kedudukan hukum pernikahan dini dalam
Nilai 80 – 100
Peraturan Perundang-undangan Indonesia?
1. Jelaskan akibat dilakukannya pernikahan dini dari aspek
Nilai 60 – 70
biologis, psikologis, dan ekonomi terhadap perkawinan?
1. Jelaskan bagaimana prosedur pengajuan dispensasi
Nilai 0
perkawinan ke Pengadilan?

Jawab :
1. Pernikahan dini menimbulkan problematika, baik dari segi perspektif kompilasi
hukum Islam maupun dalam Undang-Undang Perkawinan. Mengenai batasan
usia perkawinan, dalam UU Perkawinan mengacu pada pasal 7 ayat 1 tahun
1974 yang kemudian di revisi dan menjadi UU Perkawinan Nomor 16 tahun
2019. Kemudian dalam hukum Islam tidak ada dalil dalam al-Qur’an maupun
Hadits yang menyebutkan berapa batasan usia perkawinan. Hal itu kemudian
yang menyebabkan para ulama memberikan penafsiran yang berbeda
mengenai batasan usia perkawinan. Rumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah;Pertama, dampak sosiologis pernikahan dini;Kedua,
Bagaimana pernikahan dini dalam perspektif undang-undang perkawinan dan
kompilasi hukum islam. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa Problematika
perkawinan anak adalah terkait dengan adanya perbedaan pandangan
substansi aturan tentang perkawinan anak baik dalam perspektif fikih atau
hukum Islam dan hukum positif. Pada perbedaanya sumber dari kedua hukum
tersebut tentu berbeda. Hukum positif seperti undnagundang perkawinan
bersumber dari hukum materiil yaitu faktor yang membantu pembentukan
hukum atau tempat dimana material hukum itu diambil seperti norma, tradisi
dan kebiasaan. Kemudian hukum Islam bersumber dari al-Qur’an dan hadits
yang kemudian ditafsirkan oleh beberapa ulama yang sudah terkaji ilmunya
dalam mementukan suatu hukum.Pada hukum positif batas usia ditetapkan
dengan menyebutkan angka yang berarti jelas batasan dari usia tersebut.
Mungkin masih melekat di dalam benak kita tentang UU yang kontroversial
yaitu UU pernikahan Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dimana salah
satu bunyi pasalnya adalah tentang batasan usia menikah. Usia minimal
menikah untuk laki – laki 19 tahun dan untuk perempuan adalah 16 tahun pada
UU Nomor 1 tahun 1974, ketentuan tersebut memungkinkan terjadinya
perkawinan dalam usia anak pada anak wanita karena dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak
didefinisikan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Selain itu, batas
usia dimaksud dinilai telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan
perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa
berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.
Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam belas)
tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih
rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat
terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptimalkan tumbuh kembang anak
termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap
pendidikan setinggi mungkin.
Pertanya paling mendasar, sudah siapkah Indonesia untuk menerapkan UU
No.16 ini jika kita melihat fakta presentase umur pertama berhubungan seksual
pada wanita dan pria meningkat dari 59% dari hasil SDKI tahun 2012 menjadi
74% pada SDKI tahun 2017. Hal ini juga terjadi perubahan pada umur
terbanyak pada umur 18 – 19 dari SDKI tahun 2012 menjadi umur 17 – 18
sebagai umur terbanyak pada SDKI 2017.

2. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh salah satu pasangan
yang memiliki usia di bawah umur yang biasanya di bawah 17 tahun. Baik pria
atau wanita jika belum cukup umur (17 Tahun) jika melangsungkan pernikahan
dapat dikatakan sebagai pernikahan usia dini. Di Indonesia sendiri pernikahan
belum cukup umur ini marak terjadi, tidak hanya di desa melainkan juga di kota.
Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik
maupun biologis remaja, remaja yang hamil akan lebih mudah menderita
anemia selagi hamil dan melahirkan, salah satu penyebab tingginya kematian
ibu dan bayi. Kehilangan kesempatan mengecap pendidikan yang lebih tinggi.
Disamping itu juga memiliki dampak psikologis bagi pelakunya.

3. Pasal 7 ayat (2) jo. Pasal 1 huruf b UU Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan
bahwa pengajuan dispensasi itu harus diajukan ke Pengadilan sesuai dengan
wilayah tempat tinggal Pemohon. Maka, dalam hal ini kedua orang tua dari pihak
laki-laki atau kedua orang tua dari pihak perempuan harus mengajukan
“Dispensasi Nikah” ke Pengadilan, bagi yang beragama Islam (muslim)
mengajukan ke Pengadilan Agama (PA), dan bagi yang bergama non muslim
mengajukan ke Pengadilan Negeri (PN) untuk melaksanaan perkawinan dibawah
umur.

SYARAT PENGAJUAN DISPENSASI NIKAH KE PENGADILAN


1. Surat Permohonan/ Gugatan (rangkap 5 + softcopy dalam CD/ Flashdisk)
2. Fotocopy KTP para Pemohon (Orang Tua)
3. Fotocopy Surat Nikah Pemohon (Akta Cerai bagi yang berstatus Duda/Janda
Cerai, Surat Kematian bagi yang berstatus Duda/Janda Mati)
4. Surat Penolakan dari KUA
5. Surat Keterangan Status Calon Mempelai dari KUA (N1)
6. Fotocopy Akta Kelahiran/ Surat Keterangan Lahir/ Ijasah Calon Mempelai
7. Persyaratan nomor 2 – 6 di Nazegelen (dimeterai dan cap POS)
8. Membayar Panjar Biaya Perkara.

Dalam persidangan, hakim menggunakan bahasa dan metode yang mudah


dimengerti, hakim dan panitera pengganti dalam memeriksa anak tidak memakai
atribut persidangan. Dalam persidangan, hakim harus memberi nasihat kepada
pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang tua/wali calon suami/isteri. Nasihat
yang disampaikan hakim terkait kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak;
keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun; belum siapnya organ
reproduksi anak; dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak; dan potensi
perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga.

Hakim pun harus mendengar keterangan anak yang dimintakan dispensasi


kawin; calon suami/isteri yang dimintakan dispensasi kawin; orang tua/wali
anak yang dimohonkan dispensasi kawin; dan orang tua/wali calon suami/isteri.
Hakim harus mempertimbangkan keterangan para pihak. “Hakim yang tidak
mendengarkan keterangan para pihak mengakibatkan penetapan batal demi
hukum,” demikian bunyi Pasal 13 ayat (3) Perma 5/2019 ini.

Dalam pemeriksaan di persidangan, hakim perlu mengidentifikasi anak yang


diajukan dalam permohonan mengetahui dan menyetujui rencana
perkawinannya; kondisi psikologis, kesehatan dan kesiapan anak
melangsungkan perkawinan dan membangun kehidupan rumah tangga; dan
paksaan psikis, seksual atau ekonomi terhadap anak dan/atau keluarga untuk
kawin atau mengawinkan anak.

Lalu, saat memeriksa anak yang dimohonkan dispensasi kawin, hakim dapat
mendengar keterangan anak tanpa kehadiran orang tua; mendengar
keterangan anak melalui pemeriksaan komunikasi audiovisual jarak jauh di
pengadilan setempat atau ditempat lain; menyarankan agar anak didampingi
pendamping; meminta rekomendasi dari psikolog atau dokter/bidan, pekerja
sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, pusat pelayanan terpadu
perlindungan perempuan dan anak (P2TP2A), Komisi Perlindungan Anak
Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD); dan menghadirkan penerjemah/orang yang
biasa berkomunikasi dengan anak, dalam hal dibutuhkan.

Demikian jawaban dari saya, Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai