Anda di halaman 1dari 6

Resume Perbedaan UU No 1 Tahun 1974 Dengan UU No 16 Tahun 2019

Disusun untuk memenuhi tugas resume dalam kegiatan Magang Kerja Pengadilan
Agama (MKPA)

Pembina : H. April Yadi, S.Ag.,M.H.

Disusun Oleh :

Kelompok Jurusan Hukum Pidana Islam

Mariyah Ulfah Ahdiah

Rekhan Nur Sufiulloh

Rifaldi Fadilah

Ripan Saepul Rohman

Syaharani Nurul Fitri

Zahra Nur Fadillah Hidayat


Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1),perkawinan


adalah: ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pertimbangannya ialah sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dima-


na Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmaniah, tetapi unsur batin/
rohani juga mempunyai peranan yang penting.Membentuk keluarga yang bahagia
rapat hubungannya dengan turunan, yang merupakan pula tujuan perkawinan,
pemeliharan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang-tua (lihatlah pasal
1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut yang merupakan
dan sekaligus dasar Hukum Perkawinan Nasional). Apabila definisi perkawinan
menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yaitu “ ikatan lahir
batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” di atas kita telaah, maka terdapat lima unsur didalamnya, yaitu:

1. Ikatan lahir batin.


2. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
3. Sebagai suami istri
4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;

Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus
sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1). Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menentukan bahwa perkawinan hanya dibenarkan jika pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun. Ayat (2) menetapkan tentang kemungkinan
penyimpangan terhadap ketentuan tersebut di atas dengan ja-lan meminta terlebih
dahulu pengecualian kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh
kedua orang tua pihak pria maupun wanita. Dalam hal dimana salah seorang atau
kedua orang tua meninggal dunia, maka pengecua-lian dapat dimintakan kepada
pengadilan atau pejabat lain yang ditujukan oleh orang tua yang masih hidup atau
wali/orang yang memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak yang akan
melakukan perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang
hukum masing-masing agama dan keper-cayaan bersangkutan tidak menentukan
lain.

Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih ter-


ikat perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2)
dan pasal 4. Pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa: "Pengadilan dapat memberi
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan".

Tujuan Perkawinan

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa per-


kawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan seperti yang ter-
sebut dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah sangat ideal karena dari
tujuan perkawinan tersebut yang diperhatikan bukan segi lahirnya saja tetapi
sekaligus juga ikatan batin antara suami istri yang ditujukan untuk membina suatu
keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia.

Perkawinan Dibawah Umur

Usia dewasa pada hakekatnya mengandung unsur yang berkaitan dengan


dapat atau tidaknya seseorang mempertanggungjawabkan atas perbuatan hu-kum
yang telah dilakukannya, yang menggambarkan kecakapan seseorang untuk
bertindak dalam lalu lintas hukum perdata. Pengaturan usia dewasa Lazimnya
disimpulkan atau dikaitkan dengan pasal 47 dan pasal 50 Undang-Undang No.1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Sementara dalam pasal 47 UU Perkawinan, telah menjadi dewasa pada


usia 18 tahun, tetapi sekaligus menentukan kembali menjadi tidak dewasa ka-lau
anak tersebut belum menikah. Pasal 47 UU Perkawinan, tidak dapat di-baca
seperti pasal 330 KUHPerdata, karena usia dewasa dalam KUHPerdata,
ditentukan mereka yang sudah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum
menikah. Apabila perkawinan mereka putus sebelum berusia 21 (dua puluh satu)
tahun, maka mereka tidak kembali pada usia belum dewasa. Hukum da-lam lintas
masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang
pada orang belum dewasa masih dalam tarafpermulaan sedangkan sisi lain dari
pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa da-lam perkembangan
fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidakmampuannya
maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa
sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ia harus dibimbing.

Pasal 6 ayat(1) dan (2) disebutkan bahwa:

Ayat (1) : Perkawinan harus didasarkan atas persetjuan kedua calon mem-pelai

(2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21


tahun harus mendapat izin dari kedua orangtua

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami isteri dan mem-bentuk
keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi ma-nusia,
maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melang-sungkan
perkawinan, tanpa ada paksaan dari pihak manapun,

Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) disebutkan:

Ayat (1):Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun

(2) : Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat me-minta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditun-juk oleh kedua
orangtua pria maupun pihak wanita,

Pembatasan usia minimal untuk kawin bagi warga Negara pada prinsip-
nya dimaksudkan agar orang yang menikah diharapkan sudah memiliki ke-
matangan berpikir, kematangan jiwa, kekuatan fisik yang memadai, memiliki
keuntungan untuk menghindari kemungkinan keretakan RT yang berakhir dengan
perceraian karena pasangan tersebut be.lum memiliki kesadaran dan pengertian
yang lebih matang mengenai tujuan perkawinan yang menekankan pada aspek
kebahagiaan lahir batin. Secara kasuistis perkawinan dibawah umur terpaksa
dilakukan, maka undang-undang perkawinan masih memberi ke-mungkinan
penyimpangannya melalui permohonan dispensasi ke Pengadilan.

Pasal 47 ayat (1) mengatur bahwa anak yang belum mencapai umur 18
tahun atau belum pernah menikah, ada di bawah kekuasaan orang tu-anya.

Apabila kita mengamati dan menganalisa serta mencari fakta yang terjadi
dalam masyarakat, khususnya dalam proses persidangan yang terjadi setelah
diterbitkan revisi Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 ke Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2019 yang pada pokoknya merubah usia perkawinan anak-anak
perempuan dari minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan Presiden Joko
Widodo pada tanggal 14 Oktober 2019 di Jakarta. Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan mulai berlaku setelah diundangkan Plt. Menkumham Tjahjo
Kumolo pada tanggal 15 Oktober 2019 di Jakarta.

Alasannya dalam Undang-Undang tersebut, batas minimal umur


perkawinan bagi wanita dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan
bagi pria, yaitu 19 (sembilan belas) tahun (Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun
2019 tentang perkawinan). Batas usia tersebut dinilai telah matang jiwa raganya
untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik sehingga tidak berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang sehat dan berkualitas.

Pertimbangan UU Nomor 16 tahun 2019 terkait kenaikan batas umur yang


lebih tinggi dari 16 (enam belas) tahun bagi wanita untuk kawin antara lain bahwa
perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang
anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak
pendidikan, dan hak sosial anak. Diharapkan, dengan perubahan usia tersebut
akan mengakibatkan laju kelahiran yang lebih rendah dan menurunkan risiko
kematian ibu dan anak. Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga
mengoptimalkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta
memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.

Ditemukan fakta-fakta terhadap dampak revisi undang-undang perkawinan


no 1 tahun 1974 ke uu no 16 tahun 2019 yang mengubah umur perkawinan anak
perempuan dari umur minimal 16 tahun menjadi 19 tahun yang antara lain sebagai
berikut :

a. Terjadi lonjakan permohonan dispensasi kawin secara drastis sejak


dilakukan revisi.
b. Menambah beban masyarakat dalam menyikapi revisi undang-undang
perkawinan tersebut karena bilamana masyarakat ingin menikahkan
anaknya yang belum berumur 19 tahun harus mengajukan permohonan
dispensasi kawin kepada pengadilan agama dengan kewajiban mengikuti
seluruh prosedur berperkara disamping itu ada beban biaya yang harus
dikeluarkan baik dalma pendaftarkan perkara maupun untuk akomodasi
dan transfortasi.

Revisi undang-undang perkawinan dengan menambah ambang batas umur


perkawinan bagi anak perempuan pada faktanya menimbulkan kemudharatan bagi
masyarakat pencari keadilan dan berdampak dalam pelaksanaannya yang
berbanding terbalik dengan harapan undang-undang.

Untuk efektifitas pemberlakuan revisi UU perkawinan tersebut yang


menyangkut usia minimal perkawinan membutuhkan berbagai pemenuhan, antara
lain pemerintah sebaiknya terlebih dahulu memberikan pelayanan pendidikan
yang merata bagi seluruh rakyat sampai ke pelosok desa seperti wajib belajar 9
tahun itu dengan benar-benar dapat diterapkan seluruhnya. Kemudian harus pula
diiringi peningkatan ekonomi masyarakat secara signifikan dan menyeluruh serta
sosialisasi yang menyentuh.

Anda mungkin juga menyukai