Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HAK MEMBENTUK KELUARGA DAN MELANJUTKAN


KETURUNAN
DOSEN PENGAMPU : ABDUL MUKMIN REHAS

NAMA KELOMPOK :
1. SITI MAULINA SAFITRI
2. RISNAWATI REBIT
3. AYU CHRISTAVENTY MARISTELLA
4. HARUN HASIHOLAN

UNIVERSITAS WIDYA GAMA MAHAKAM


SAMARINDA
2022-2023
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji dan syukur, kami panjatkan kehadirat Tuhan yang telah
melimpahkan nafas kehidupan dan karunia akal kepada saya hingga saat ini.
Waktu Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Makalah singkat ini ditulis untuk menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan. Dokumen ini mencakup pengertian hak, pengertian
kewajiban, pengertian warga negara, asas-asas kewarganegaraan, serta hak dan
kewajiban warga negara menurut UUD 1945. Penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kami dan khususnya bagi pembaca umum.
Bagaimanapun, tidak ada manusia yang tanpa kesalahan dan kekurangan. Dengan
rendah hati, saran dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami
hargai untuk meningkatkan kualitas makalah ini dan makalah lainnya di masa
yang akan datang.

Samarinda, 18 Oktober 2022


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memiliki keluarga dan memiliki anak adalah hak setiap manusia,
karena manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berpasang-
pasangan di dunia dalam ikatan pernikahan. Itu juga meski dianjurkan oleh
agama, dalam konteks ini pernikahan yang dimaksud bukanlah
perkawinan yang sah dari sudut hukum agama, melainkan dari sudut
pandang hukum negara.
Diketahui tujuan pernikahan adalah hak setiap orang, karena tujuan
pernikahan adalah membentuk keluarga bahagia dan langgeng, maka cerai
sebanyak-banyaknya dihindari dan hanya bisa dilakukan dengan sangat
ada alasan tertentu yang dipaksakan.
Dalam hal ini perkawinan dapat dibubarkan dengan perceraian hal
itu menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Berdasarkan
undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, meskipun perceraian
bukan berarti kewajiban suami istri, sebagai ayah dan ibu untuk anak
dibawah umur. Suami menyerah pada perceraian istrinya wajib membayar
tunjangan anak - harga pembelian. Urus kebutuhan pendidikan anak,
sesuai dengan pada posisi suaminya. Pendampingan anak harus terus
dilakukan sampai anak dewasa dan cerdas sehingga anak memiliki
penghasilan sendiri. 1
“Banyak anak; banyak peduli. Tidak ada anak; tidak ada kebahagiaan.”1
Penulis Christian Nebel Bobby berkata:
Kebangsaan Amerika dalam Menggambarkan Peran Anak-anak di
keluarga. Namun terkadang masalah muncul dalam pernikahan.
dimana pasangan suami istri tidak dapat memperoleh keturunan
disebabkan kondisi istri yang menderita suatu penyakit tertentu, yang
mengaruskan untuk menjalani operasi pengangkatan rahim (histerektomi).
Kekhawatiran yang muncul dengan histerektomi salah satunya adalah hilangnya
kemampuan untuk memiliki keturunan.2 Pada kondisi seperti ini, seorang wanita
masih dapat memproduksi sel telur. Namun ia harus kehilangan rahimnya,
sehingga dapat dipastikan ia tidak dapat lagi mengandung karena tempat
berkembangnya janin sudah tidak ada. Dalam hal ini tidak menutup kemungkinan
dilakukannya surrogate mother sebagai upaya untuk memperoleh keturunan.
Surrogate mother merupakan perluasan dari metode bayi tabung yang dikenal
sebagai perjanjian sewa rahim, yaitu perjanjian antara seorang wanita yang
mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-istri) untuk
menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami istri tersebut yang ditanamkan ke
dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut
kepada pihak suami istri berdasarkan perjanjian yang dibuat. 3 Kasus ini pernah
terjadi di Mimika, Papua. Pada tahun 2004, seorang wanita bernama S didiagnosa
1
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Indonesia Legal Centre Publishing, 2002), h. 46.
2
Evelyn Billings, et.al., Metode Ovulasi Billings, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia, 2006, hal. 179
3
Desriza Ratman, Bolehkan Sewa Rahim di Indonesia?, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2012, hal. 35-36.
oleh dokter bahwa ia tidak bisa hamil karena kandungannya terinfeksi parah.
Menurut adat suku Key, bila pasangan menikah belum dikaruniai anak, maka
suami harus menceraikan istrinya. S dan B lalu memutuskan untuk melakukan
program bayi tabung pada sebuah rumah sakit di Surabaya, namun hasil
pemeriksaan menunjukkan bahwa S tidak bisa hamil. Sebelumnya dokter yang
memeriksa telah menjelaskan bahwa program bayi tabung dapat juga dilakukan
dengan menanam hasil pembuahannya pada rahim wanita lain. Cara ini dilakukan
oleh S dan B dengan bantuan dari M, yang merupakan adik dari S dengan
melakukan pemeriksaan terlebih dahulu4

B. Rumusan masalah
a. Pengertian hak membentuk keluarga dan membentuk keturunan
b. Pengertian perkawinan
c. Hak untuk membentuk keluarga

C. Tujuan penulisan

4
Agnes Sri Rahayu, Penerapan Hak Reproduksi Perempuan Terhadap Perjanjian SewaMenyewa Rahim Dalam Kerangka
Hukum Perdata Indonesia, Tesis tidak diterbitkan, Program Pasca Sarjana Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang,
Telah diuji pada 25 Oktober 2009, hal. 87-88.
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Hak membentuk keluarga
Ketentuan Konstitusi Negara Bagian 28b Republik Indonesia
Tahun 1945, setiap orang berhak membentuk keluarga dan mewarisi garis
keturunan Perkawinan yang Sah dan Jaminan Negara Hak Anak
kelangsungan hidup, pertumbuhan, perkembangan dan hak Perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah’
lebih lanjut ayat (2) mengatakan ‘perkawinan yang sah hanya dapat
berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang
bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang’.
Pasal-pasal tersebut adalah manifestasi dari kebebasan setiap orang dalam
memilih pasangan dan membentuk keluarga dengan siapapun dan
dimanapun tanpa batas.
Tujuan perkawinan itu tidak hanya melihat dari segi lahirnya saja tapi
sekaligus terdapat adanya suatu pertautan batin antara suami dan istri yang
ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan
bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga perkawinan itu hendaklah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh
berakhir begitu saja.5
Dari pengertian dan tujuan penulis diatas pernikahan Kalau ada
regulasi hukum yang ingin kita atur, tidak bisa dibenarkan. Adapun
larangan pernikahan, karena itu sama dengan pembatasan hak, untuk
kebahagiaan. Kalau tidak, melarang pernikahan sama dengan melarang
pernikahan Orang-orang menyembah Pencipta mereka. Dari dua pendapat
di atas, Sehubungan dengan Pasal 153(1)(f), disebutkan bahwa:
Hak pengusaha untuk mengatur dan tidak mengatur larangan
perkawinan kontrak kerja, peraturan perusahaan, peraturan kerja bersama,
Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa artikel tersebut tidak
sesuai dengan hukum Atau katakan itu tidak mencerminkan keadilan
B. Pengaturan HAM dalam menjamin hak untuk melanjutkan keturunan
1. Jaminan hak untuk melanjutkan keturunan dalam hukum HAM
internasional.
Menunda keturunan dalam perkawinan yang sah adalah salah.
Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16(1).
Duham:
Tidak ada batasan jenis kelamin dewasa kewarganegaraan,
kewarganegaraan atau agama, hak untuk menikah dan memulai sebuah
keluarga. mereka punya hak yang sama berlaku dalam hubungan
perkawinan dan pada saat pernikahan-perceraian.

5
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-Azas Hukum Perkawinan di Indonesia (Bina Aksara 1987) 4.
Berdasarkan kasus di atas, ini berarti setiap orang memiliki hak yang
sama mewarisi garis keturunan keluarga dan membangun keluarga
pernikahan. Bagian 16(3) UDHR mengacu pada "keluarga". unit alami
dan dasar masyarakat dan memiliki hak untuk itu mendapatkan
perlindungan pemerintah" itulah yang dikatakan peraturan itu. Negara
memiliki kewajiban untuk mengakui dan melindungi keluarga dari
tahap awal.

Konvensi Wina dan Rencana Aksi 1993 menegaskan hal ini.


Negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memajukan hak-hak
ini. Lima Kewajiban negara meliputi legislatif, administratif, Praktik
yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan hak-haknya kami
akan melakukannya semaksimal mungkin. Pasal 2 UDHR menegaskan
hal ini

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan deklarasi ini
berisi tanpa pengecualian ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal kebangsaan atau hak sosial, hak
milik, kelahiran atau status lainnya. Selain itu, tidak ada pembedaan
berdasarkan jabatan. status poitik, hukum atau internasional suatu
Negara atau daerah dengan orang-orang dari negara tertentu
kemerdekaan, wilayah kepercayaan, koloni, atau Itu berada di bawah
batas-batas kedaulatan lainnya.

C. Pengertian perkawinan
Masyarakat terdiri dari manusia, baik perorangan (individu) atau
kelompokkelompok manusia yang telah berhimpunan untuk berbagai
keperluan atau tujuan. Pergaulan atau hubungan masyarakat adalah
interaksi antara manusia dan kelompok manusia yang saling berhubungan
dan tergantung. Agar hubungan ini berjalan dengan baik dibutuhkan aturan
berdasarkan mana orang melindungi kepentingannya dan menghormati
kepentingan dan hak orang lain sesuai hak dan kewajiban yang ditentukan
aturan (hukum) itu.6
Ada pun pendapat dari sudut pandang agama yang merumuskan
pengertian perkawinan sebagai berikut:
a. Kristen Protestan Pandangan Agama Protestan mengenai
perkawinan dimulai dangan melihat perkawinan sebagai suatu
peraturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Mereka memandang
pernikahan sebagai tata-tertib suci yang ditetapkan Tuhan. 7
b. Katolik Agama Katolik menganggap pernikahan sebagai suatu
sakramen. Gereja Roma Katolik mendasarkan ajarannya itu pada
Efesus 5:25-33. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Efesus, Paulus
mengumpamakan perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita itu sebagai hubungan antara Kristus dan jemaatnya.

6
Herman M. Karim, Kebebasaan Perkawinan Beda Agama di Indonesia dalam Prespektif Cita Hukum Pancasiala (2017) 8
(2) ADIL jurnal hukum 187, 192.
7
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang perkawinan No. 1/1974 (Dian Rakyat 1986) 38
c. Islam Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan
lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan
untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara
pendapat yang satu dengan yang lain.
d. Hindu Agama Hindu memandang perkawinan sebagai sesuatu yang
suci. Perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah
satu dari sekian banyak sakramen sejak proses kelahiran
(gharbadana) sampai proses upacara kematian (Antysti). Pengertian
perkawinan menurut hukum Hindu adalah, ikatan suci antara
seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang utama, yaitu keturunan, “purusa”.
e. Budha Pengertian perkawinan menurut agama Budha adalah
sebagai suatu ikatan suci yang harus dijalani dengan cinta dan kasih
sayang seperti yang diajarkan oleh Budha. Atau dapat pula
dikatakan bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir dan batin dari dua
orang yang berbeda kelamin, yang hidup bersama untuk selamanya
dan bersama-sama melaksanakan Dharma Vinaya untuk
mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan sekarang ini dan
kehidupan yang akan datang”. Tujuan perkawinan menurut ajaran
agama Budha adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin,
baik dalam kehidupan sekarang ini dan kehidupan yang akan dating.

D. Syarat-syarat perkawinan
Berikut syarat-syarat perkawinan baik yang menyangkut orangnya,
kelengkapan administrasi, prosedur pelaksanaannya dan mekanismenya.
Adapun syarat-syarat yang lebih dititikberatkan pada orangnya diatur di dalam
UU sebagai berikut :8
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai;
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua;
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud
ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari
orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya;
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam
keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

8
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional (Rineka Cipta 1991) 40.

Anda mungkin juga menyukai