Anda di halaman 1dari 12

UNIVERSITAS JAYABAYA

KEPASTIAN HUKUM HAK ASUH ANAK KARENA PERCERAIAN


(LEGAL CERTAINTY OF CHILD CUSTODY RIGHTS DUE TO DIVORCE)

MAKALAH
Disusun Sebagai Pemenuhan Tugas Kelompok Mata Kuliah Hukum Perdata

KELOMPOK TIGA
AMANAH MUNADI : 2022330050076
GARRY JULIAN SJAH PUTRA : 2022330050077
RAFLEX N. PUTTILEIHALAT : 2022330050066
NURUL Z. TOMAGOLA : 2022330050067
MARTIANI A. PURBA : 2022330050068
M. RIZKI ARIANSYAH : 2022330050073
RIDHO P. SIBUEA : 2022330050075

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI S1 HUKUM
JAKARTA TIMUR
MEI 2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perebutan hak asuh anak akibat perceraian bukan hal asing yang sering kali terjadi di dalam
kehidupan masyarakat modern. Perebutan hak asuh ini sering terjadi ketika orang tua yang bercerai
tidak dapat mencapai kesepakatan damai mengenai hak asuh untuk pemeliharaan anak-anak
mereka. Sistem hukum di Indonesia telah menetapkan pedoman dan standar untuk menentukan
pengaturan hak asuh anak. Faktor-faktor seperti usia anak, kesehatan, kesejahteraan emosional,
dan kemampuan masing-masing orang tua untuk menyediakan lingkungan yang stabil dan
mengasuh menjadi pertimbangan. Pengadilan berusaha keras untuk membuat keputusan yang
memprioritaskan kesejahteraan anak secara keseluruhan dan bertujuan untuk memastikan bahwa
kedua orang tua agar tetap menjaga hubungan dengan anak.
Perebutan hak asuh ini sering menarik perhatian media, khususnya jika hal ini melibatkan
pasangan artis yang terkenal. Liputan media memainkan peran penting dalam membentuk opini
publik dan menyoroti tantangan dan kompleksitas yang terkait dengan perebutan hak asuh anak.
Penting untuk dicatat bahwa pada setiap peristiwa perebutan hak asuh anak itu unik dan hasilnya
bergantung pada keadaan khusus dan sistem hukum yang terlibat. Sementara kasus-kasus terkenal
seperti yang pernah terjadi pada kasus perceraian Ahmad Dhani (AD) dan Maya Estianti (ME)
mungkin sangat menarik perhatian publik, akan tetapi penting untuk membahas diskusi semacam
itu dengan kepekaan dan menghormati privasi individu yang terlibat.

B. RUMUSAN MASALAH
Bentuk-bentuk putusan hakim tentang penentuan hak asuh anak karena perceraian
berdasarkan hukum yang berlaku?

C. TEORI PENELITIAN
Pendekatan metode penelitian kuantitatif bersifat deduktif, artinya proses penelitian
diawali observasi, membuat hipotesis dan mengumpulkan data. Proses penalaran yang dilakukan
berdasarkan fakta-fakta secara umum (general) menjadi khusus (particular).

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAK ANAK
Hak anak adalah untuk tak dipisahkan oleh karena sebab apapun dari orang tuanya, perihal
ini tertuang dalam Konvensi Hak Anak Internasional Tahun 1989, Pemerintah Indonesia telah
meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) pada tanggal 25 Agustus 1990 dengan
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan demikian, Indonesia tidak dapat melepaskan
diri dari segala ketentuan yang berlaku dalam CRC tersebut. 12 tahun kemudian, Indonesia
mengadopsi hasil konvensi ini masuk ke dalam Undang-Undang (UU) No.23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang kemudian diubah oleh UU No.35 Tahun 2014.
1. Hak Anak, Menurut CRC:
• Pasal 12: Menekankan bahwa anak juga berhak untuk mengemukakan pendapat dan
didengar, serta dipertimbangkan pendapatnya saat pengambilan keputusan yang akan
berpengaruh pada kehidupannya. Hak semacam ini dianggap hanya berlaku untuk orang
dewasa dan tidak relevan untuk anak. CRC menegaskan bahwa hak semacam itu juga
berlaku untuk anak.
2. Hak Anak, Menurut UU Perlindungan Anak:
● Pasal 1 angka 1: Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
● Pasal 1 angka 12: Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan
pemerintah daerah.
● Pasal 14: Menerangkan bahwa dalam hal terjadi pemisahan anak dengan orang tua,
misalnya pemisahan akibat perceraian, maka anak tetap berhak bertemu langsung dan
berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya.

B. HAK ASUH ANAK


Dalam istilah hukum di Indonesia, hak asuh anak sering juga disebut hak perwalian anak
atau hak pengampu anak. Berikut pengertian hak asuh anak menurut beberapa sumber:
1. Menurut Imam Syafi’I, hak atas pengasuhan anak itu berturut-turut adalah ibu, ibunya ibu
dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka itu adalah ahli waris si anak. Sesudah

2
3

itu adalah ayah, ibunya ayah, ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas dengan
syarat mereka adalah ahli waris si anak pula.1
2. Menurut Ali Afandi, perwalian (Voogdij) adalah pengawasan pribadi dan pengurusan
terhadap harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di
bawah kekuasaan orang tua. Jadi dengan demikian anak yang orang tuanya telah bercerai
atau salah satu dari mereka atau semuanya meninggal dunia, ia berada dibawah perwalian.2
3. Amin Suma mengatakan, perwalian ialah kekuasaan atau otoritas (yang dimiliki) seseorang
untuk secara langsung melakukan suatu tindakan sendiri tanpa harus bergantung (terikat)
atas izin orang lain.3
4. Hak asuh anak terjadi ketika orang tua yang sedang dalam ikatan perkawinan memutuskan
untuk bercerai. Hak asuh anak adalah istilah yang sering digunakan di pengadilan perkara
perceraian untuk memutus pihak mana yang akan mendapatkan hak untuk mengasuh anak,
selanjutnya baik pihak ibu ataupun bapak akan memiliki kesempatan yang sama untuk
mendapatkan hak asuh anak mereka. Mayoritas pengadilan memutus hak asuh anak
didasarkan pada umur anak saat orang tuanya bercerai. Artinya, apabila anak tersebut
belum dewasa, maka kemungkinan hak asuh anak jatuh kepada pihak ibu dari anak
tersebut.4
5. Hak asuh anak dalam ajaran Agama Islam, diatur dengan tegas tata cara penentuannya di
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI); Pasal 1 huruf g KHI: Pemeliharaan anak atau
Hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau
mampu berdiri sendiri.5

1
Manan, A. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama: Cetakan Ketiga.
Jakarta: Prenada Media.
2
Afandi, A. 1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW). Jakarta: Bina Aksara.
3
Suma, M. A. 2004.Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
4
Bursadvocates.com. 2023. Memahami Sistem Pembagian Hak Asuh Anak. Diakses dari:
https://bursadvocates.com/memahami-sistem-pembagian-hak-asuh-anak/ Pada Tanggal 18 Mei
2023.
5
Indonesia. 1991. Instruksi Presiden Tanggal 10 Juni 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Inpres No.1
Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
4

6. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 330: Yang belum dewasa
adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin
sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu
tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. Mereka yang belum dewasa
dan tidak di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan
cara seperti yang diatur dalam Bagian 3, 4, 5 dan 6 dalam bab ini. Arti perwalian disini
adalah tentang Hak Perwalian (Voogdij), yakni wali bertanggung jawab untuk menjaga,
melindungi, dan mengurus kepentingan serta kesejahteraan orang yang berada di bawah
perwaliannya.6
7. Menurut UU Perkawinan Pasal 45; (1), Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2), Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1)
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku
terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.7
8. Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.102/1973: Kaidah: Ibu
kandung yang diutamakan khususnya bagi anak yang masih kecil karena kepentingan anak
menjadi kriterium, kecuali terbukti bahwa ibu tersebut tidak wajar untuk memelihara anak-
anaknya.8
9. Yurisprudensi MARI No.126K/2001: “Bila terjadi perceraian, anak yang masih dibawah
umur pemeliharaannya seyogyanya diserahkan kepada orang terdekat & akrab dengan si
anak yaitu ibu”.9

6
Indonesia. 1945. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Masih Berlakunya
Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847 Tentang Burgerlijk Wetboek voor Indonesië (BW). Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
7
Indonesia. 1974. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU NO.1 Tahun 1974 (UU Perkawinan).
8
Indonesia. 1973. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) No.102K/Sip/1973 Tanggal 15 Oktober 1973.
9
Indonesia. 1973. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia (MARI) No.126K/Pdt/2001 Tanggal 28 Agustus 2003.
5

C. DASAR HUKUM HAK ASUH ANAK DALAM PROSES PERCERAIAN


Sabda Rasulullah ‫ﷺ‬: “Barang siapa memisahkan seorang ibu dengan anaknya, niscaya
Allah akan memisahkannya dengan yang dikasihinya di hari kemudian (HR.Tirmidzi).
Pasal 105 KHI, yang menyatakan dalam hal terjadinya perceraian:
1. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (berumur 12 tahun) adalah hak ibunya;
2. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara
ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
3. Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Pasal 156 KHI, yang menyatakan akibat putusnya perkawinan adalah karena perceraian:
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila
ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh: (1) Wanita-wanita
dalam garis lurus ke atas dari ibu; (2) Ayah; (3) Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas
dari ayah; (4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan; (5) Wanita-wanita kerabat
sedarah menurut garis samping dari ibu; (6) Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis
samping dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau
ibunya;
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan
rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut
kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri
sendiri (21 tahun);
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya
untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.
Pasal 156 huruf c KHI: yang disebutkan diatas:
Pihak ayah bisa mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama terkait pemindahan hak
asuh anak (hadhanah), disertai dengan alasan-alasan yang kuat untuk mendukung terkabulnya
6

permohonan peralihan hak asuh anak tersebut. Syarat hadhanah juga diatur oleh Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2017 Huruf c angka 4; Dalam hadhanah perlu
dicantumkan kewajiban pemegang hak hadhanah untuk memberi akses kepada orang tua yang
tidak memegang hak hadhanah untuk bertemu dengan anaknya. Adapun pengertian hadhanah
adalah amar penetapan hak asuh anak.
Bagi Non-Muslim dasar hukumnya, merujuk pada yurisprudensi:
Karena UU Perkawinan tidak mengatur secara khusus siapa yang berhak mendapatkan hak
asuh anak yang belum berusia 12 tahun. Pasal 41 UU Perkawinan hanya mengatur baik ibu atau
bapak tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya dan jika ada perselisihan hak asuh anak,
pengadilan yang akan memberi putusannya dan jika kedua orang tua tak melayangkan gugatan
terkait hak asuh atas anaknya saat bercerai, maka permasalahan hak asuh pun tak perlu diselesaikan
di pengadilan.
Pengadilan yang dimaksud untuk penyelesaian hak asuh anak karena perceraian:
Bagi Non-Muslim, pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan umum sesuai Pasal 63
UU Perkawinan. Sementara bagi orang yang beragama Islam, pengadilan dimaksud adalah
pengadilan agama, sesuai ketentuan Pasal 49 s/d 53 UU No.7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta wakaf dan sedekah.

D. EKSEKUSI HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN


Eksekusi putusan hak asuh anak tidak diatur secara tegas dalam KUHPerdata maupun
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku khusus bagi Peradilan Agama, dengan belum
adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti
bahwa putusan hak asuh anak tersebut tidak bisa dijalankan melainkan harus dapat dilaksanakan
berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum.
Dinamika Pelaksanaan Eksekusi Hak Asuh Anak; Proses pelaksanaan eksekusi hak asuh
anak masih menjadi perdebatan dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakan bahwa anak tidak
dapat dieksekusi dengan alasan bahwa selama ini dalam praktik peradilan yang ada tentang
eksekusi semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap orang. Sedangkan sebagian
lagi mengatakan bahwa putusan mengenai hak asuh anak dapat di eksekusikan, dengan alasan
7

bahwa penguasaan anak yang putusannya bersifat menghukum (Condemnatoir), jika sudah
berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat di eksekusi.
Berdasarkan UU Kehakiman, suatu putusan Hakim dapat dilakukan dengan dua cara:
1. Secara sukarela, adalah putusan yang mana oleh para pihak yang kalah dengan sukarela
menaati putusan tanpa pihak yang menang harus meminta bantuan pengadilan atau
mengeksekusi putusan tersebut.
2. Secara paksa, adalah putusan yang mana pihak yang menang dengan meminta bantuan alat
Negara atau pengadilan untuk melaksanakan putusan, apabila pihak yang kalah tidak mau
melaksanakan scara sukarela.

E. BENTUK-BENTUK HAK ASUH ANAK PASCA PERCERAIAN


1. Hak Asuh Anak Jatuh Kepada Ibu Kandungnya; Dikarenakan di dalam beberapa
aturan hukum dan yurisprudensi MA menegaskan hal tersebut, yaitu :
• Pasal 105 ayat (1) KHI; Dalam hal terjadinya perceraian: ”Pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.”
• Yurisprudensi Putusan MARI No.126K/2001: ”Bila terjadi perceraian, anak yang masih
di bawah umur, pemeliharaan seyogyanya diserahkan kepada orang terdekat dan akrab
dengan si anak, yaitu ibu.”
2. Hak Asuh Anak Jatuh Kepada Ayah Kandungnya
Dalam prakteknya hakim dapat mempertimbangkan yang lain, yakni demi kebaikan anak,
maka hakim dapat mengambil keputusan mengesampingkan aturan, sehingga hak asuh anak
tersebut jatuh kepada ayah (mantan suami). Terdapat beberapa alasan yang memungkinkan mantan
suami (ayah) mendapatkan hak asuh anak daripada ibu (mantan istri), diantaranya adalah:
• Istri meninggalkan rumah dalam jangka waktu yang lama, sehingga tidak mengurus anak.
• Istri sering mabuk-mabukan dan keluar malam; Pemakai narkoba; Dipenjara; Dalam
keadaan tidak waras atau gila; Ibu dari anak mengidap penyakit yang membahayakan anak
bila berdekatan.
• Dalam Hukum Islam dimungkinkan ayah mendapatkan hak asuh anak bila mantan istri
telah menikah lagi.10

10
Syekh Ibrāhīm al-Bājurī, Hasyiyyah al–Bājurī ‘Ala Ibn Qāsim, Juz. Ke-2,., h. 198
8

3. Hak Asuh Anak Jatuh Kepada Kedua Orangtuanya


Dalam beberapa putusan pengadilan, terkadang terdapat pihak yang mengajukan gugatan
cerai namun di dalam gugatannya tersebut meminta agar hak asuh anaknya tetap jatuh dan diasuh
bersama oleh kedua orang tuanya. Contoh dalam Putusan Pengadilan Agama Manado
Nomor:50/Pdt.G/2018/PA.Mdo disebutkan Pemohon meminta agar hak asuh anak dan
pengasuhan terhadap kedua anaknya tetap jatuh kepada kedua orang tuanya. Adapun bunyi
putusan tersebut adalah: Mengabulkan gugatan Penggugat; Menjatuhkan talak satu bain sughra
Tergugat terhadap Tergugat; Menyatakan kedua anak, Anak I dan Anak II diasuh dan dibesarkan
bersama hingga anak-anak tersebut dewasa dan mandiri; Membebankan kepada Penggugat untuk
membayar biaya perkara ini sejumlah Rp. 511.000,00 (lima ratus sebelas ribu rupiah).
4. Hak Asuh Anak Jatuh Di Bagi Dua Kepada Kedua Orangtuanya
Dalam praktek, terkadang hak asuh anak dapat dibagi 2 (dua). Bila suami dan isteri
memiliki 4 (empat) anak, maka 2 (dua) anak dapat diberikan hak asuhnya kepada Ibunya dan 2
(dua) anak lagi diberikan hak asuhnya kepada ayahnya. Namun, biasanya dalam pertimbangan
hukum hakim menyebutkan anak-anak tetap mempunyai hak untuk bertemu dan mendapatkan
kasih sayang dari ke-2 (dua) orang tuanya.

F. STUDI KASUS
Perebutan Hak Asuh Anak; Perceraian musisi ternama Ahmad Dhani dan Maia Estianty
Dalam perkara ini, mengutip dari situs mahkamahagung.go.id:
- Maia menggugat cerai Ahmad Dhani pada 16 November 2007.
- Melalui putusan pada 23 September 2008, Pengadilan Agama Jakarta Selatan (PA Jaksel)
mengabulkan gugatan cerai yang diajukan Maia. Dalam putusannya, Majelis hakim
memutuskan hak asuh anak jatuh ke tangan Maia.
- Atas putusan PA Jaksel ini, Dhani mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama
Jakarta. Namun, upaya hukum banding kandas.
- Upaya Dhani mengajukan kasasi juga kandas, dimana hak asuh anak dinyatakan tetap jatuh
ke tangan Maia.
- Melalui kesempatan upaya hukum yang terakhir, Dhani mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali (PK), dan pada 14 Mei 2013, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan PK yang diajukan Dhani terkait gugatan cerai istrinya, Maia Estianty.
9

- Dalam putusan PK, MA memutuskan tiga anak hasil pernikahan Dhani dan Maia yakni Al
(16 tahun), El (14 tahun) dan Dul (13 tahun) bebas memilih terkait hak asuh (hadhanah).
- Majelis menganggap ketiga anak pasangan Dhani-Maia itu kini telah mumayyiz, sehingga
mereka berhak memilih apakah mau diasuh ibunya atau ayahnya.
- Majelis merujuk pada Pasal 156 huruf b Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam disebutkan anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk
mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
- Ketiga anak pasangan Dhani-Maia itu memilih untuk diasuh oleh Ahmad Dhani.
Analisis Studi Kasus:
Proses perceraian yang berlarut-larut mempengaruhi kondisi mental dan psikologis anak,
sehingga anak cenderung lebih dekat dengan pihak yang menaunginya selama proses perceraian
berlangsung. Selain itu, perlu diperhatikan juga bahwa aturan hak asuh anak yang
mempertimbangkan batasan usia perlu mengikuti perkembangan waktu proses peradilan, sehingga
keputusan hakim tetap relevan dengan keadaan anak saat putusan akhir diambil.
BAB III
KESIMPULAN
Hak anak adalah hak yang tak dapat dipisahkan dari orang tua, yang dijamin oleh Konvensi
Hak Anak Internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Undang-Undang Perlindungan
Anak juga menegaskan hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi oleh berbagai pihak. Hak asuh anak, dalam konteks hukum Indonesia,
mengacu pada pengaturan pengasuhan dan perwalian anak setelah perceraian atau pemisahan
orang tua. Konsep hak asuh anak dapat berbeda menurut sumber-sumber yang berbeda, termasuk
ajaran agama, undang-undang, dan prinsip hukum yang berlaku. Keputusan pengadilan umumnya
mempertimbangkan umur anak ketika orang tua bercerai, dan biasanya memberikan hak asuh
kepada ibu jika anak belum dewasa.
Dalam proses perceraian, hak asuh anak diatur oleh dasar hukum seperti hadits Nabi
Muhammad ‫ﷺ‬, Pasal 105 dan 156 Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) No.1 Tahun 2017. Bagi non-Muslim, aturan mengenai hak asuh anak yang belum
berusia 12 tahun belum diatur secara khusus dalam UU Perkawinan, sehingga penyelesaiannya
dapat dilakukan melalui pengadilan umum berdasarjkan yurisprudensi. Pelaksanaan eksekusi hak
asuh anak pasca perceraian masih menjadi perdebatan di kalangan ahli hukum, namun putusan
mengenai hak asuh anak dapat dijalankan baik secara sukarela maupun paksa berdasarkan UU
Kehakiman.
Pasca perceraian, bentuk-bentuk hak asuh anak dapat bervariasi. Hak asuh anak dapat jatuh
kepada ibu kandungnya berdasarkan aturan hukum dan yurisprudensi yang mengakui hak tersebut.
Namun, hakim juga dapat mempertimbangkan kebaikan anak dan memberikan hak asuh kepada
ayah kandung jika terdapat alasan yang mendukung. Selain itu, ada juga kemungkinan hak asuh
anak jatuh kepada kedua orangtua secara bersama-sama atau dibagi dua di antara keduanya. Dalam
semua bentuk hak asuh tersebut, penting untuk memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan
anak serta memberikan kesempatan bagi anak untuk bertemu dan mendapatkan kasih sayang dari
kedua orangtuanya. Saran singkat untuk pembahasan ini adalah perlunya adanya peraturan yang
lebih tegas mengenai eksekusi putusan hak asuh anak dalam kasus perceraian. Hal ini penting
untuk melindungi hak-hak anak dan meminimalisir dampak negatif dari proses perceraian yang
berlarut-larut.

10
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Manan, A. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama: Cetakan
Ketiga. Jakarta: Prenada Media.
Afandi, A. 1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata (BW). Jakarta: Bina Aksara.
Suma, M. A. 2004.Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Syekh Ibrāhīm al-Bājurī, Hasyiyyah al–Bājurī ‘Ala Ibn Qāsim, Juz. Ke-2, h.198.
Peraturan Perundang-Undangan:
Indonesia. 1945. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 Tentang Masih
Berlakunya Staatsblaad Nomor 23 Tahun 1847 Tentang Burgerlijk Wetboek voor
Indonesië (BW). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer).
Indonesia. 1974. Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU NO.1 Tahun 1974 (UU Perkawinan).
Indonesia. 1991. Instruksi Presiden Tanggal 10 Juni 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam. Inpres
No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Indonesia. 1973. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.102K/Sip/1973 Tanggal 15 Oktober
1973.
Indonesia. 1973. Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) No.126K/Pdt/2001 Tanggal 28 Agustus
2003.
Naskah Internet:
Bursadvocates.com. 2023. Memahami Sistem Pembagian Hak Asuh Anak. Diakses dari:
https://bursadvocates.com/memahami-sistem-pembagian-hak-asuh-anak/ Pada Tanggal 18
Mei 2023.

Anda mungkin juga menyukai