Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Perdata
Dosen Pengampu :
Susilo Wardani, S.H.,S.E. M.Hum
Oleh :
Nama : Septian Dwi Andini
NIM : 2010010080
Semester/Kelas : II C
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri,
atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga. Keluarga terutama orang tua merupakan peranan penting dalam perkembangan
anak.
Seperti yang diatur dalam KUH Perdata dan Undang-Undang nomor 1 tahun
1974 pada umumnya dapatlah dikatakan bahwa kekuasaan orang tua terhadap anak
adalah kewajiban orang tua untuk memberikan pendidikan dan penghidupan kepada
anaknya. Secara khusus KUH Perdata mengatur kekuasaan orangtua terhadap anak
dari Pasal 298 sampai Pasal 329. Kekuasaan orang tua itu berlaku ketika anak itu lahir
ke dunia. Jadi orang tua memiliki hubungan dengan anak anaknya disebut dengan
kekuasaan orang tua yang ditujukan untuk kesejahteraan anak anaknya. Kekuasaan
orangtua terhadap anak pada dasarnya akan terus berlangsung berdasarkan dua prinsip
utama. Pertama, kekuasaan orangtua berlaku sampai anak menjadi dewasa. Kedua,
kekuasaan orangtua berlaku sepanjang tidak dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas penulis dapat merumuskan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimanakah pengaturan kekuasaan orang tua terhadap anaknya dalam KUH
Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974?
2. Sampai kapankah berakhirnya kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya baik
menurut KUH Perdata maupun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
3. Bagaimanakah kekuasaan orang tua terhadap anak apabila perkawinan orang tua
tersebut terputus karena perceraian?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengaturan hukum terkait kekuasaan orang tua terhadap anaknya
dalam KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
2. Mengetahui sebab-sebab dan kapan berakhirnya kekuasaan orang tua terhadap
anak.
3. Mengetahui akibat perceraian orang tua terhadap hak kekuasaan orang tua
terhadap anaknya.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai konsekuensi yuridis dari ketentuan umur 21 tahun dan atau telah kawin
adalah dewasa, maka orang yang belum memenuhi syarat tersebut, sesuai dengan ketentuan
Pasal 330 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, haruslah berada dalam kekuasaan
orang tua dan atau perwalian.
Pasal 299 BW menentukan bahwa selama perkawinan orang tua masih berlangsung,
maka anak-anak berada dalam kekuasaan orang tua sampai anak itu menjadi dewasa, selama
kekuasaan orang tuanya itu tidak dicabut (ontzet) atau dibebaskan (ontheving). Dengan
demikian kekuasaan orang tua itu mulai berlaku semenjhak anaknya lahir atau semenjak
pengesahan anak, dan akan berakhir apabila anak, menjadi dewasa, kecuali apabila
perkawinan orang tua itu bubar atau kekuasaanya dicabut atau dibebaskan.
Apabila kita bertitik tolak dari pasal 299 BW di atas, maka sesungguhnya dari pasal
itu dapat disimpulkan 3 asas yaitu: Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua.
Kekuasaan orang tua itu dimiliki oleh kedua orang tua, yaitu ayah dan ibu, tetapi lazimnya
dilakukan oleh ayah, kecuali jika ia dicabut atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua, atau
berada dalam keadaan perpisa han meja dan ranjang. Ibu baru menjalankan kekuasaan orang
tua, apabila bapak tidak mampu melakukan kekuasaan itu seperti karena sakit keras, sakit
ingatan, sedang bepergian, selama mereka tidak berada dalam keadaan perpisahan meja dan
ranjang. Mana kala ibu juga tidak mampu melakukannya, maka oleh pengadilan negeri
diangkatlah seorang wali. Kekuasaan orang tua hanya ada selama perkawinan mereka,
apabila perkawinan bubar maka kekuasaan orang tua menjadi hapus. Sebagaimana telah
diketahui bahwa apabila perkawinan bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap
anak yang masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan menunjukkan asas
bahwa kekuasan orang tua hanya ada selama ada perkawinan orang tua itu sendiri. Dengan
perkataan lain apabila pada saat bubarnya perkawinan masih ada anak yang belum dewasa,
maka pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang akan ditunjuk berdasarkan
kepentingan anak yang belum dewasa. Orang tua dapat dicabut kekuasaan orang tuanya atau
dijelaskan atas alasanalasan tertentu. Di Indonesia pembatasan terhadap kekuasaan orang tua
yang sekaligus merupakan sanksi bagi orang tua itu adalah pencabutan dan pembebasan
kekuasaan orang tua. Di Indonesi karena belum ada hakim khusus anak-anak, maka baik
pencabutan ataupu pembebasan kekuasaan orang tua di mintakan kepada hakim perdata. Dan
pencabutan itu dapat di lakukan bukan saja terhadap salah satu dari mereka, melainkan dapat
keduanya baik terhadap salah seorang atau terhadap semua anak-anak.
Pengurusan ada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua, yang pada umumnya
pada bapak dengan maksud agar anak itu di wakili dalam segala tindakannya yang masih di
anggap tidak cakap. Pasal 307 BW mengatakan, bahwa siapa yang melakukan kekuasaan
orang tua atas anak minderjarig mempunyai hak pengurusan atas benda anak itu. Perbuatan di
atas membawa konsekuensi untuk memberikan perhitungan dan pertanggung jawaban. Hal
ini sama dengan hal-hal didalam perwalian akan tetapi dalam bidang perwalian anak tidak
mempunyai hak hipotik terhadap barangbarang ayahnya, yang berbeda dengan diatur dalam
perwalian.
Pasal 309 BW mengatakan penguasaan oleh orang tuanya hanya dapat di lakukan
dengan memperhatikan ketentuan tentang pemindahan barang-barang anak yang masih
minderjarig kedalam hal perwakilan. Pelaksanaan pengurusan itu terikat kepada ketentuan-
ketentuan tentang perwalian dalam menjalankan penguasaan atas barang-barang anak itu.
Baru kalau pelaksanaan pengurusan itu tidak ada karena suatu sebab, maka pengurusan itu
jatuh pada orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua.
b. Menikmati hasil
Pasal 311 ayat 1 BW mengatakan, bahwa bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan
orang tua atau perwalian mendapat penikmatan hasil atas harta benda anak-anak itu. Ayat 2
menentukan bahwa jika kedua orang tua dihentikan dari kekuasaan orang tua atau perwalian,
maka kedua orang tua yang berikutnya yang akan memperoleh kenikmatan hasil atas
kekayaan anak-anak minderjarig itu. Pasal 311 ayat 3 BW mengatakan bahwa jika salah
seorang orang tua itu meninggal dunia atau dicabut dari kekuasaan orang tua atau perwalian
dan kemudian orang tua yang berikutnya yang melakukan kekuasaan orang tua di hentikan
atau dibebaskan maka penghentian atau pembebasan itu tidak mempengaruhi kenikmatan
hasilnya. Penikmatan keuntungan adalah suatui hak pribadi yang tidak dapat dipindah
tangankan kepada orang lain dan merupakan suatu hak atas harta benda anak yang diperoleh
orang tua, sedang isinya adalah apa yang di hasilkan oleh harta benda anak itu. Tentang
kewajiban timbal balik antara orang tua dan keluarga sedarah dengan anak. Pertama-tama
perlu diketahui ialah bahwa seorang anak tidak perduli berapa umurnya wajib hormat dan
tunduk kepada orang tuanya (pasal 298 BW).Yang penting benar dalam bagian hubungan
orang tua dan anak ini adalah kewajiban orang tua dalam memberikan nafkah. Selama anak
ini masih minderjarig, maka orang tua wajib memberikan nafkah dan penghidupan kepada
anak itu. Akan tetapi di samping itu orang tua dan anak, demikian pula antara keluarga
sedarah yang lain dalam garis lurus keatas maupun kebawah ada kewajiban timbal balik
untuk pemberian nafkah dan penghidupan. Terhadap kewajiban ini orang tua tidak
diwajibkan memberikan suatu kedudukan yang tetap dengan memberikan segala persediaan
dalam perkawinan atau dengan cara lain (pasal 320 BW).
Adapun fungsi adanya kekuasaan orang tua, menurut Pasal 298 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata antara lain adalah : "Si bapak dan si ibu keduanya berwajib memelihara dan
mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku
kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban
memberikan tunjangan-tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka guna
membiayai pemeliharaan dan pendidikan itu." Adapun berlakunya kekuasaan orang tua itu,
berdasarkan Pasal 299 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dikatakan : "Sepanjang
perkawinan bapak dan ibu, tiap-tiap anak sampai ia menjadi dewasa atau sudah kawin, tetap
bemaung dibawah kekuasaan mereka sekedar mereka tidak dibebaskan dari kekuasaan itu".
Sesuai dengan ketentuan Pasal 330 ayat 3 KUHPerdata, bahwa seseorang yang tidak berada
dalam kekuasaan orang tua, berada dalam perwalian.
Adapun subyek hukum yang dapat melaksanakan tugas sebagai wali menurut
KUHPerdata :
a. Perwalian oleh bapak atau ibu yang masih hidup Pasal 345; apabila salah satu dari
kedua orang tua meninggal dunia, maka perwalian terhadap anak-anak kawin yang
belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang hidup terlam, sekedar ini
tidak telah dibebaskan, atau telah dipecat dari kekuasaan orang tuanya. Terdapat
ketentuan tersebut di atas maka Subekti mengatakan, pada umumnya dalam tiap
perwalian hanyalah dapat ada seorang wali. Kekecualian terdapat apabila seorang ibu
wali (moeder voogdes) berkawin lagi dalam hal mana suaminya, "medevoogd".
Adapum perwalian tersebut diatur dalam Pasal 351 yang mengatakan : "Apabila wali
ibu menyeburkan diri dalam perkawinan, maka suaminya kecuali ia telah
dikecualikan atau dipecat dari perwalian sepanjang perkawinan itu dan selama antara
suami dan isteri tiada perpisahan meja dan ranjang atau perpisahan harta kekayaan,
demi hukum menjadi kawan wali dan disamping isterinya secara tanggung
menaggung bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatan yang dilakukan
setelah perkawinan berlangsung. Perwalian si suami tadi berakhir apabila ia dipecat
dari itu atau si ibu berhenti menjadi wali". Dalam Pasal 351 ayat 1 selanjutnya
menentukan : "Wali bapak atau wali ibu yang menyemburkan diri dalam perkawinan
baru berwajib apabila wali pengawas memintanya, sebelum atau sesudah perkawinan
berlangsung menyampaikan pada wali pengawas sebua daftar lengkap yang
memperlihatkan harta kekayaan si anak belum dewasa".
b. Perwalian yang diperintahkan oleh bapak atau ibu. Pasal 355 ; masıng-masing orang
tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau wali bagi seorang anaknya, atau lebih,
berhak mengangkat seorang wali anak- anak itu jika kiranya perwalian itu setelah ia
meninggal dunia demi hukum ataupun karena penempatan hakim menurut ayat
terakhir Pasal 353 tidak harus dilakukan oleh orang tua yang lain., pengangkatan
dilakukan dengan wasiat atau dengan akta notaris yang dibuat untuk keperluan itu
semata-mata.. c. Perwalian yang diperintahkan oleh pengadilan Negeri. Pasal 359 ;
"Bagi sekalian anak belum dewasa yang tidak bemaung dibawah kekuasaan orang tua
dan yang perwaliannya tidak telah diatur dengan cara yang sah. Pengadilan Negeri
harus mengangkat seorang wali setelah mendengar atau memanggil dengan sahj para
keluarga sedarah dan semenda"
c. Perwalian oleh Perkumpulan Lembaga-lembaga Amal : Pasal 365; "Dalam segala hal,
bilamana hakim harus mengangkat seorang wali maka perwalian itu boleh
diperintahkan kepada suatu perhimpunan berbadan hukum yang bertempat kedudukan
di Indonesia, kepada suatu yayasan atau lembaga amal yang bertempat kedudukan
disini pula yang mana menurut anggaran dasamya akta-akta pendirian atau reglemen-
reglemennya berusaha memelihara anak-anak belum dewasa untuk waktu yang lama.
d. Perwalian Pengawas Pasal 366 ; Dalam tiap-tiap perwalian yang diperintahkan di
Indonesia, Balai Harta Peninggalan berwajib melakukan tugas wali pengawas.
Melalui uraian di muka, jelaslah bahwa kecuali terhadap perbutan-perbuatan hukum
dengan izin orang tua seseorang yang belum dewasa dalam pemeliharaan baik dirinya,
harta bendanya maupun dalam hal melakukan perbuatan hukum, maka orang tualah
atau wali yang harus bertindak untuk kepentingan anak itu.
Penghapusan kekuasaan orang tua terhadap anak menurut KUH Perdata, yaitu :
Sebagaimana disebutkan dalam KUH Perdata pasal 319a yang menyatakan bahwa
Bapak atau ibu yang melakukan kekuasaan orang tua dapat dibebaskan dari kekuasaan orang
tua, baik terhadap semua anak-anak maupun terhadap seorang anak atau lebih, atas
permohonan dewan perwalian atau atas tuntutan kejaksaan, bila ternyata bahwa dia tidak
cakap atau tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk memelihara dan mendidik anak-
anaknya dan kepentingan anak-anak itu tidak berlawanan dengan pembebasan ini
berdasarkan hal lain. Bila Hakim menganggap perlu untuk kepentingan anak-anak, masing-
masing dan orang tua, sejauh belum kehilangan kekuasaan orang tua, boleh dipecat dan
kekuasaan orang tua, baik terhadap semua anak maupun terhadap seorang anak atau lebih,
atas permohonan orang tua yang lainnya atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda
dan anak-anak itu, sampai dengan derajat keturunan keempat, atau dewan perwalian, atau
Kejaksaan.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang status anak di dalam Pasal 42,
43, dan Pasal 44. Undang-undang ini mengenal dua macam stastus yaitu anak sah dan anak
luar kawin. Siapa yang dimaksud dengan anak sah tercantum di dalam Pasal 42, yang
menyebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah. Undang-undang tidak menyebutkan adanya suatu tenggang waktu
untuk dapat menentukan kesalahan anak (sebagaimana kita ketahui di dalam Hukum Islam
maupun di dalam KUHPerdata ada tenggang waktu kehamilan seorang ibu untuk dapat
menyatakan kesalahan anaknya, sedangkan hukum adat tidak mengenal tenggang waktu)
hanya menyebut di dalam atau akibat perkawinan yang sah. Disini disebutkan sebagai akibat
perkawinan yang sah, dapat disimpulkan pula bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinanpun dapat menjadi anak yang sah kalau kedua orang tuanya kemudian menikah
(tentang pengesahan ini tidak disebutkan di dalam Undang-undang tetapi melalui Pasal 66
bagi mereka terhadap siapa berlaku BW dapat melihat ketentuan di dalam BWKUHPerdata).
Juga dapat diartikan anak itu lahir akibat satu perkawinan yang sah antara sepasang suami
isteri, meskipun temyata si anak secara biologis bukan anak dari suami yang mengawini ibu
si anak (ini dimungkinkan dalam hukum adat, nikah tambelan). Di dalam hukum adat sendiri
tentang kesahan anak ditentukan oleh satu perkawinan yang dilakukan sebelum anak itu lahir.
Hukum adat tidak mengenal tenggang waktu untuk dapat menentukan kesahan seorang anak
seperti yang terdapat di dalam Hukum Islam maupun KUHPerdata BW. Hukum adat hanya
mensyaratkan anak itu harus lahir di mana orang tuanya harus dalam keadaan kawin. Tentang
kesahan ini jelas hanya dapat dibuktikan kesahan secara formil, pembuktian yang sebenamya
bahwa anak itu benar-benar anak yang dihasilkan dari perkawinan ibu bapaknya adalah
sangat sukar, sebab penilaian itu bersifat moril. Mengenai kesahan anak yang berdasarkan
keyakinan yang hakiki ini memang tidak dapat dijadikan sandaran, karena itu Undang-
undang biasanya hanya berpegang pada keadaan yang terlihat dari luar saja. Dapatlah
diartikan bahwa yang disebut dengan anak sah ini belum tentu sah dalam arti sempuma.
Tentang anak sah yang sempuma ini H.F.A. Volmar mengatakan : "Sah dalam arti yang
sempuma hanyalah bahwa si anak menurut darahnya adalah keturunan dari kedua orang tua
yang kawin itu". Jadi memang sulit kalau harus dipegang kepada keyakinan secara pribadi
itu.
Status anak luar perkawinan tercantum di dalam Pasal 43 ayat (1) dan (2). Pasal 43 (1)
menyebutkan : Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Isi Pasal ini sesuai dengan pemikiran hukum adat yang
memberikan hak dan kewajiban si anak terhadap ibunya dan keluarga ibunya. Di sini si anak
diberi status keperdataan yang jelas meskipun hanya dengan ibu dan keluarga ibu (di dalam
KUHPerdata/BW anak luar kawin hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan
bapak/ibu yang mengakuinya saja, jadi dimungkinkan seorang anak diluar kawin tidak diakui
oleh keduanya baik oleh ibunya maupun bapaknya) dan ketentuan ini karena merupakan
hukum nasional berlaku bagi semua warga negara Indonesia baik asli maupun keturunan.
Undang-undang perkawinan dengan demikian memberikan status yang jelas dan pasti bagi
seorang anak luar kawin. Di dalam ayat 2 dari Pasal tersebut dikatakan bahwa kependudukan
anak tersebut akan diatur dengan peraturan pemerintah, tetapi sampai sekarang ketentuan itu
belum ada Pasal 44 mengatur hak seorang suami untuk menyangkal kebapaknya atas seorang
anak yang dilahirkan isterinya kalau tenyata dan dapat dibuktikan bahwa isterinya telah
berzinah (Pasal 44 ayat 1). Proses status anak ini selama belum ada peraturan yang
merupakan peraturan pelaksanaanya tetap dipakai ketentuan yang berlaku sebelum
diundangkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang melalui Pasal 66 kembali kepada
ketentuan sebelumnya yang berlaku bagi masing-masing.
Di dalam Pasal 47 disebutkan hak orang tua untuk memegang kekuasaannya sebagai
orang tua terhadap anaknya yang berada dibawah umur atau belum kawin, selama ia tidak
dicabut kekuasaannya (1), dan berhak mewakili si anak dalam setiap memberikan perbuatan
hukum di dalam maupun diluar Pengadilan (2). Pasal 47 hak kepada orang tua untuk
memegang kekuasaan anak ini merupakan juga Pasal tentang batas usia dewasa (juga Pasal
50), vaitu 18 tahun. Berdasarkan Pasal imi belum berusia 18 tahun dalam setiap perbuatan
hukumnya selalu seorang anak yang harus diwakili oleh orang tuanya, kecuali dalam
melakukan perkawinan bagi anak laki-laki disyaratkan 19 tahun. Syarat usia kawin bagi anak
laki-laki ini memang merupakan satu keganjilan di mana ia secara yuridis telah cukup hukum
tapi untuk melakukan perkawinan belum (ini mungkin dikaitkan dengan program pemerintah
dalam keluarga berencana).
Secara umum dengan membaca Pasal 47 (1,2) dan Pasal 50 tentang perwalian telah
ada untuk menentukan usia dewasa dan apabila secara khusus diperlukan ketentuan usia
tertentu (seperti adanya beberapa peraturan yang berlaku sekarang misalnya dalam : Undang-
undang tentang kesejahteraan anak Undang-umdang No. 4 Tahun 1979, Undang-undang
Pemilu dan sebagainya) dapat dipergunakan dengan berdasarkan lex speciale derogat lex
generale.
Meskipun demikian kekuasaan orang tua ada batasnya yaitu tidak boleh
memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap milik anaknya yang belum
berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya (pasal 48). Kekuasaan salah seorang atau kedua orang
tua terhadap anaknya dapat di cabut untuk waktu tertentu, apabila ai sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anak atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua
terhadap seorang anaknya ini dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang
tua yang lain keluarga dalam garis turun keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau
penjabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang di cabut ini tidak termasuk kekuasaan
sebagai wali nikah. Meskipun orang tua di cabut kekuasaannya ,namun mereka masih tetap
kewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut (pasal 49). Sebaliknya,anak
tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, akan tetapi juga mempunyai kewajiban.
Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan mentaati
kehendak yang baik dari orang tuanya. Dan bila mana anak telah dewasa ia wajib memelihara
orang tuanya dengan sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bashkan anak juga
berkewajiban untuk memelihara keluarga dalam garis lurus keatas, bila mereka ini
memerlukan bantuannya (pasal 46).
Hak dan kewajiban orang tua dan anak ini merupakan bagian dari hubungan orang tua
dan anak. Dalam bagian ini diuraikan hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya dan
juga tentang hak dan kewajiban anak terhadap orang tuanya. Hubungan orang tua dengan
anaknya meliputi hakkekuasaan dan kewajiban orang tua terhadap diri si anak, hak kekuasaan
dan kewajiban orang tua terhadap harta benda si anak dan hak dan kewajiban anak terhadap
orang tuanya.
Hak dan kewajiban antara anak dan orang tua ini dalam Undang-undang No. 1 Tahun
1974 diatur di dalam Pasal 45, 46, 47, 48, dan 49. Tentang hak dan kewajiban orang tua
terhadap diri si anak diatur dalam Pasal 45 dan 47.
Pasal 45 berbunyi :
(1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik- baiknya.
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku samapi anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
kedua orang tua itu putus.
Isi Pasal ini memuat kewajiban orang tua terhadap diri si anaknya untuk memberikan
pemeliharaan dan pendidikan yang baik, kewajiban mana melekat pada orang tua itu sampai
si anak dapat berdiri sendiri meskipun anak tersebut sudah kawin. Jelas isi Pasal ini
berdasarkan pemikiran dalam hukum adat yang membebankan kepada orang tua atas
pemeliharaan dan pendidikan anaknya samapi ia mentas mencar.
Di dalam Pasal 47 disebutkan hak orang tua untuk memegang kekuasaannya sebagai
orang tua terhadap anaknya (1), dan berhak mewakili si anak dalam setiap perbuatan hukum
di dalam maupun diluar pengadilan.
Mengenai hak dan kewajiban orang tua terhadap harta benda anaknya disinggung di
dalam Pasal 48, di mana orang tua tidak diperkenankan untuk memindahtangankan ataupun
mengadaikan harta benda si anak kecuali apabila kepentingan si anak memerlukannya. Di
dalam Undang-undang ini tidak disebutkan apa yang merupakan hak dan sejauh mana hak
orang tua terhadap harta benda si anak tersebut Apa yang tersebut di dalam Pasal 48 dalam
pelaksanaannya memerlukan ketentuan yang lebih lanjut dan jelas, dan sebelum ada
pengaturan mengenai hal ini kita harus kembali melalui Pasal 66 yaitu kembali kepada
ketentuan lama.
Pasal 46 menyebutkan Anak wajib menghormati dan mentaati kehendak orang tua
mereka (1). Apabila telah dewasa ia wajib memelihara berdasarkan kemampuannya (2).
Tentang Pasal 46 ini temyata hanya memuat kewajiban si anak terhadap orang tuanya saja,
sedangkan haknya terdapat di dalam Pasal 45, di mana si anak berhak mendapat
pemeliharaan dan pendidikan yang baik dari orang tua mereka sampai ia dapat berdiri sendiri
atau kawin. Mengenai hak dan kewajiban anak inipum memerlukan penjelasan yang lebih
lanjut.
Perwalian adalah pemeliharaan seorang anak belum dewasa yang tidak berada di
dalam kekuasaan orang tuanya lagi, serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut
sebagaimana diatur oleh undang-undang. Di dalam Undang-undang perkawinan ini tentang
perwalian diatur dalam Pasal 50, 51, 52, 53 dan 54, selain itu ada peraturan lain juga yang
mengatur tentang perwalian ini yaitu di dalam Undang- undang Tentang Kesejahteraan Anak
(Undang-undang No. 4 tahun 1974).
Di dalam Hukum Adat, perwalian dikenal dalam pengurusan anak yatim piatu,
seorang anak yang belum dewasa yang telah yatim piatu memerlukan perlindungan yang
biasanya diberikan karena anggota keluarganya merupakan kewajiban memelihara anak
tersebut. Pemeliharaan anak tersebut merupakan kewajiban secara moril, yang apabila tidak
dilakukan akan mendapat sorotan masyarakatnya. Tetapi bagaimanapun di dalam hukum adat
pengurusan anak yatim piatu ini bukan keharusan, sebab apabila seseorang tidak melakukan
kewajibannya, tidak ada sansi yang tegas, ia hanya akan mendapat malu karena masyarakat
sekelilingnya mengancamnya. Sedangkan bagi mereka terhadap siapa berlaku BW tidak
merupakan masalah, sebab BW/KUHPerdata telah mengatur tentang perwalian secara
terperinci.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ketentuan hukum tentang kekuasaan orang tua dapat diperoleh dalam pasal
298 sampai 329 BW. Terbagi dalam tiga bagian yaitu: Kekuasaan orang tua terhadap
diri anak (pasal 298-306 BW), kekuasaan orang tua terhadap harta benda anak (pasal
307-319 BW), hubungan orang tua dan anak tanpa memandang umur anak dan tak
terbatas pada orang tua itu saja, tetapi meliputi pula itu nenek pihak ayah dan ibu
(pasal 320-329 BW).
Baik dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
mengatur tentang kapan berakhirnya kekuasaan orang tua yaitu KUHPerdata sampai
umur 21 tahun atau belum 21 tahun tetapi sudah kawin, dan Undang-Undang
Perkawinan umur 18 tahun atau belum 18 tetapi sudah kawin. Juga baik KUHPerdata
maupun UU Perkawinan, menentukan bahwa kekuasaan orang tua akan berakhir
apabila kekuasaan orang tua itu dicabut.
Apabila perkawinan bubar, maka berakhirlah kekuasaan orang tua terhadap
anak yang masih dibawah umur. Hal ini tiada lain dari konsekuensi clan menunjukkan
asas bahwa kekuasan orang tua hanya ada selama ada perkawinan orang tua itu
sendiri. Dengan perkataan lain apabila pada saat bubarnya perkawinan masih ada anak
yang belum dewasa, maka pada saat itu kekuasaan orang tua menjadi perwalian yang
akan ditunjuk berdasarkan kepentingan anak yang belum dewasa.
B. Saran
Penulis tentu menyadari makalah ini masih banyak kesalahan dan jauh dari
kata sempurna. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca dan terutama bagi saya selaku penulis makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dimas Pranowo. 2020. Opini: Peran Jaksa Pengacara Negara Dalam Permohonan
Pembebasan Orangtua Dari Kekuasaannya di
http://pji.kejaksaan.go.id/index.php/home/berita/1209 (di akses 15 Juni)
Letezia Tobing. 2013. Kekuasaan Orang Tua Terhadap Harta Kekayaan Anak di
https://new.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt513205ad78e35/kekuasaan-
orang-tua-terhadap-harta-kekayaan-anak/ (diakses 17 Juni)