E. Pengampuan (curatele)
Pengampuan adalah keadaan orang yang telah dewasa
yang disebabkan sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap
mengurus kepentingannya sendiri atau kepentingan orang lain
yang menjadi tanggungannya, sehingga pengurusan itu harus
diserahkan kepada seseorang yang akan bertindak sebagai wakil
menurut undang-undang dari orang yang tidak cakap tersebut.
Orang yang telah dewasa yang dianggap tidak cakap tersebut
disebut kurandus, sedangkan orang yang bertindak sebagai
wakil dari kurandus disebut pengampu (kurator).
Orang-orang yang ditempatkan di bawah pengampuan
yaitu:
1. Orang dungu
2. Orang sakit ingatan
3. Orang boros
Orang-orang yang berhak mengajukan pengampuan, ialah:
1. Bagi orang dungu adala pihak yang merasa tidak mampu
untuk mengurus kepentingannya sendiri;
2. Bagi orang yang sakit ingatan adalah setiap anggota keluarga
sedarah dan istri atau suami, dan jaksa dalam hal curandus
tidak mempunyai istri atau suami ataupun keluarga sedarah
di wilayah Indonesia;
3. Bagi orang yang boros adalah setiap anggota keluarga
sedarah dan sanak keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat keempat dan/istri atau suaminya.
Permintaan untuk menaruh seorang di bawah
pengampuan, harus diajukan kepada pengadilan negeri dengan
menguraikan peristiwa-peristiwa yang menguatkan persangkaan
tentang adanya alasan-alasan untuk menaruh orang di bawah
pengawasan, dengan disertai bukti-bukti dan saksi-saksi yang
dapat diperiksa oleh hakim. Pengadilan akan mendengar saksi-
saksi, begitupun anggota-anggota keluarga dari orang yang
dimintakan pengampuan dan akhirnya orang tersebut akan
diperiksa. Jikalau hak, menganggap perlu, ia berwenang untuk
selama pemeriksaan jalan, mengangkat seorang pengawas
sementara guna mengurus kepentingan orang itu.
Putusan pengadilan yang menyatakan bahwa orang itu
ditaruh di bawah curatele, harus diumumkan dalam Berita
Negara. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan berhak
memperoleh kekuatan tetap, pengadilan negeri akan
mengangkat seorang pengampu atau kurator. Terhadap seorang
yang sudah kawin sebagai pengampu harus diangkat suami
atau isterinya, kecuali jika ada hal-hal yang penting yang tidak
mengizinkan pengangkatan itu. Dalam putusan hakim selalu
ditetapkan, bahwa pengawasan atas curatele itu diserahkan
pada BHP.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh di bawah
pengampuan sama seperti seorang yang belum dewasa, tidak
dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah.
Akan tetapi seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas
alasan boros, menurut undang-undang masih dapat membuat
wasiat dan juga masih dapat melakukan perkawinan serta
membuat perjanjian perkawinan, meskipun untuk perkawinan
ini ia selalu harus mendapat izin dan bantuan kurator serta
BHP. Bahwa seorang yang ditaruh di bawah pengampuan atas
alasan sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan
juga tidak dapat melakukan perkawinan karena untuk
perbuatan-perbuatan tersebut, diperlukan pikiran yang sehat
dan kemauan yang bebas.
Pengampuan mulai berlaku sejak hari keputusan atau
ketetapan pengadilan yang diucapkan. Dengan diletakkannya
seseorang di bawah pengampuan, maka orang tersebut
mempunyai kedudukan yang sama dengan orang yang belum
cukup umur, dalam arti dinyatakan menjadi tidak cakap
berbuat hukum dan semua perbuatan yang dilakukannya dapat
dinyatakan batal.
Bagi orang yang berada dibawah pengampuan karena
keborosan, maka ketidakcakapannya berbuat hanya berkaitan
dengan perbuatan-perbuatan hukum dalam bidang harta
kekayaan saja. Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan hukum
lainnya, misalnya perkawinan, itu tetap sah. Terhadap seorang
yang berada di bawah pengampuan karena dungu maka ia
sama dengan orang yang sakit ingatan.
Seseorang yang sakit ingatan jika melakukan perbuatan
hukum sebelum ia dinyatakan di bawah pengampuan, dengan
sendirinya perbuatannya dapat pula dimintakan pembatalan.
Meskipun demikian masih ada perkecualiannya, yaitu jika yang
bersangkutan melakukan perbuatan melanggar hukum (onrecht
matige daad, maka tetap bertanggung gugat, artinya ia harus
membayar ganti rugi yang ditimbulkan oleh semua
kesalahannya itu.
Pengampuan akan berakhir dengan 2 (dua) macam cara,
yaitu:
1. Secara Absolut, karena orang yang berada di bawah
pengampuan meninggal dunia dan adanya putusan
pengadilan yang menyatakan bahwa sebab-sebab di bawah
pengampuan telah hapus.
2. Secara Relatif, karena:
a. Pengampu menanginggal dunia;
b. Pengampu dipecat atau dibebastugaskan;
c. Suami diangkat sebagai pengampu yang dahulunya
berstatus sebagai orang yang berada dibawah pengampu
(dahulu berada di bawah pengampu karena alasan-alasan
tertentu)
Dengan berakhirnya pengampuan, maka berakhirnya tugas
dan kewajiban pengampu. Menurut ketentuan Pasal 141
KUHPerdata bahwa berakhirnya pengampuan harus
diumumkan sesuai dengan formalitas yang harus dipenuhi
seperti pada waktu permulaan pengampuan. Disamping itu
bahwa ketentuan-ketentuan berakhirnya perwalian seluruhnya
mutatis mutandis berlaku pula berakhirnya pengampuan (Pasal
452 ayat (2) KUHPerdata).
G. Domisili
Domisili adalah terjemahan dari domicile atau woonplaats
yang artinya tempat tinggal. Menurut Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, domisili atau tempat kediaman itu adalah “tempat di
mana seseorang dianggap hadir mengenai hal melakukan hak-
haknya dan memenuhi kewajibannya juga meskipun
kenyataannya dia tidak di situ”. Menurut KUHPerdata, tempat
kediaman itu seringkali ialah rumahnya, kadang-kadang
kotanya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa setiap
orang dianggap selalu mempunyai tempat tinggal di mana ia
sehari-harinya melakukan kegiatannya atau di mana ia
berkediaman pokok. Kadang-kadang menetapkan tempat
kediaman seseorang itu sulit, karena selalu berpindah-pindah
(banyak rumahnya). Untuk memudahkan hal tersebut
dibedakan antara tempat kediaman hukum (secara yuridis) dan
tempat kediaman yang sesungguhnya.
Tempat kediaman hukum adalah “tempat di mana
seseorang dianggap selalu hadir berhubungan dengan hal
melakukan hak-haknya serta kewajiban-kewajibannya,
meskipun sesungguhnya mungkin ia bertempat tinggal di lain
tempat. Menurut Pasal 77 dan Pasal 1393 KUHPerdata, tempat
tinggal itu adalah “tempat tinggal di mana sesuatu perbuatan
hukum harus dilakukan”.
Bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman
tertentu,maka tenpat tinggal dianggap di mana ia sungguh-
sungguh berada. Arti hukum domisili adalah tempat di mana
seseorang harus dianggap selalu berada untuk memenuhi
kewajiban serta melaksanakan hak-haknya itu. Contoh, seorang
Anggota DPR RI yang pada kenyataannya bertempat tinggal di
Kendal akan dikatakan berdomisili di Jakarta karena meskipun
tempat tinggalnya di Kendal namun di Jakarta adalah tempat
dimana ia sewaktu-waktu dapat dipanggil dan melakukan hak-
hak serta kewajibannya.
Berdasarkan KUH Perdata dan undang-undang lainya,
domisili ditentukan berdasarkan tempat di mana perbuatan
hukum harus atau dapat dilakukan oleh kompetensi suatu
instansi yang bersangkutan. Misalnya, Pasal 76 KUHPerdata,
perkawinan harus dilangsungkan dihadapan pegawai catatan
sipil dari tempat tinggal salah satu pihak yang hendak kawin.
Domisili juga penting bagi seseorang dalam hal untuk
menentukan atau menunjukkan suatu tempat dimana berbagai
perbuatan hukum harus dilakukan, misalnya mengajukan
gugatan, pengadilan mana yang berwenang mengadili.
Disamping itu, juga untuk mengetahui dengan siapakah
seseorang itu melakukan hubungan hukum serta apa yang
menjadi hak dan kewajiban masing-masing.