Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perkawinan timbul akibat adanya ikatan antara pria dan wanita yang sepakat untuk
mengikatkan dirinya sebagai suami isteri serta membentuk suatu keluarga dalam jangka
waktu yang lama. Keluarga merupakan lingkup terkecil dari masyarakat yang terdiri dari
kepala keluarga dan anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dimana antara yang
satu dengan yang lainnya merupakan satu kesatuan dan saling membutuhkan.1
Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 adalah ikatan batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dari adanya perkawinan, menimbulkan hubungan hukum dengan anak yang
dilahirkan. Dari hubungan hukum tersebut timbulah hak dan kewajiban baik anak
terhadap orang tua maupun sebaliknya. Hak –hak dan kewajiban orang tua terhadap anak
yang masih dibawah umur diatur di dalam kitab undang-undang hukum perdata dan
Undang Undang Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai Kekuasaan Orang Tua.
Menurut Pasal 300 ayat 1 BW, kekuasaan orang tua dilakukan oleh kedua belah
pihak, yaitu ayah maupun ibu. Namun dalam kasus perceraian, kekuasaannya menjadi
kekuasaan perwalian. Jika salah satu dari orang tua tersebut meninggal, maka menurut
undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi wali bagi anak-
anaknya. Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak
berada dibawah kekuasaan orang tua.
Seorang anak yang lahir diluar perkawinan berada dibawah perwalian orang tua yang
mengakuinya. Apabila seorang anak yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua
ternyata tidak mempunyai wali, hakim akan mengangkat seorang wali atas permintaan
salah satu pihak yang berkepentingan atau karena jabatanya.
Tetapi ada juga kemungkinan, seorang ayah atau ibu dalam surat wasiatnya
mengangkat seorang wali bagi anaknya. Perwalian semacam ini disebut perwalian
menurut Wasiat. Seseorang yang telah ditunjuk untuk menjadi wali harus menerima
pengangkatan tersebut, kecuali jika ia mempunyai alasan-alasan tertentu menurut
undang-undang dibenarkan untuk dibebaskan dari pengangkatan tersebut.

1
Sulastri, Satino, Yuliana Yuli, 2019, Perlindungan Hukum Terhadap Isteri Sebagai Korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal Yuridis Vol. 6 No. 2, Desember 2019, Fakultas Hukum,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jakarta
1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
makalah ini adalah
1. Pengertian Kekuasaan Orang Tua
2. Ruang Lingkup Kekuasaan Orang Tua
3. Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
4. Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua
5. Pengertian Perwalian
6. Ruang Lingkup Perwalian
7. Persyaratan Perwalian
8. Pencabutan Kekuasaan Perwalian

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kekuasaan Orang Tua


Kekuasaan orang tua adalah kekuasaan, kewajiban-kewajiban terhadap anak mereka
yang sah yang masih dibawa umur sampai anak tersebut dewasa dan juga sampai anak
tersebut melangsungkan perkawinan.2
Menurut pasal 299 KUHPerdata dijelaskan bahwa "seorang anak yang belum
mencapai usia dewasa atau kawin, berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan. Namun apabila perkawinan
bubar baik karena meninggal atau cerai maka kekuasaan orang tua berubah menjadi
perwalian."
Sebelum orang tua memberikan kekuasaan ada berbagai macam hak dan kewajiban
yang patut dilaksanakan terlebih dahulu. Kewajiban dari orang tua di sisi lain sebagai hak
anak telah diatur dalam pasal 45 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, di mana dalam
pasal tersebut dijelaskan bahwa “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
sebaik-baiknya sampai anak-anak kawin atau sampai mandiri, walau kekuasaan orang
tua dicabut."
Selain itu dijelaskan pula dalam pasal 311 KUHPerdata bahwa “Setiap Bapak atau Ibu
yang memangku kekuasaan orang tua atau menjadi wali berhak menikmati segala hasil
kekayaan anak-anaknya yang belum dewasa." Namun di samping memiliki kekuasaan
atas harta anak yang belum dewasa, orang tua juga memiliki kekuasaan atas diri anak itu
sendiri dan untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan
di luar pengadilan.

2.2 Ruang Lingkup Kekuasaan Orang Tua


Ruang lingkup kekuasaan orang tua terhadap anaknya menurut UUP
1. Kekuasaan terhadap diri anak, bahwa orang tua berkewajiban memelihara
dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, seperti memberi
nafkah, menyediakan tempat kediaman, perawatan dan pengobatan, dan
pendidikan.

2
Nur Zakiah, 2021, Kekuasaan Orang Tua Menurut KUHP Dan Undang Undang Perkawinan,
Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, Volume 7, Nomor 1, Januari 2021, STAI DDI SIDRAP, Sumatera
Utara
3
2. Kekuasaan terhadap perbuatan hukum, bahwa mengingat anak dianggap
tidak cakap melakukan perbuatan hukum, maka diwakili oleh orang tuanya
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3. Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak, karena anak dianggap tidak
cakap dalam melakukan perbuatan hukum, maka pengurusan dan tanggung
jawab terhadap harta kekayaannya diwakili oleh orang tuanya. Ketentuan
dalam pasal 48 UUP menetapkan bahwa orang tua tidak diperbolehkan
memindahkan hak atau menggadaikan barang- barang tetap yang dimiliki
anaknya yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum melangsungkan
perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.
Kekuasaan orang tua atas harta benda anak ini meliputi:3
 Pengurusan
 Menikmati hasil

2.3 Pencabutan Kekuasaan Orang Tua


Pencabutan kekuasaan orang tua dapat terjadi apabila ternyata, bahwa seorang bapak
atau ibu yang memangku kekuasaan orang tua tidak cakap atau tidak mampu menunaikan
kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, dan kepentingan anak-anak
itupun karena hal-hal lain tidak menentangnya, maka, atas permintaan Dewan Perwalian
atau atas tuntutan jawatan Kejaksaan, bolehlah ia dibebaskan dari kekuasaan orang
tuanya, baik terhadap sekalian anak, maupun terhadap seorang atau lebih dari anak-anak
itu.
Jika menurut pertimbangan hakim kepentingan anak-anak menghendakinya, maka
masing- masing orang tua, sekadar ia belum kehilangan kekuasaan orang taunya, atas
permintaan orang tua yang lain, atau salah seorang keluarga sedarah atau semenda
sampai dengan derajat ke empat dari anak-anak itu, atau atas permintaan Dewan
Perwalian, atau akhirnnya pun atas tuntutan jawatan Kejaksaan, boleh dipecat dari
kekuasaan orang tuanya. baik terhadap sekalian anak-anak maupun terhadap seorang atau
lebih dari anak-anak itu, karena
1. Telah menyalah gunakan kekuasaan orang tuanya, atau terlalu mengabaikan
kewajibannya dalam memelihara dan mendidik seorang atau lebih;
2. Kelakuannya yang buruk

4
3. Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan
mutlak karena sengaja telah turut serta dalam suatu kejahatan terhadap seorang
anak belum dewasa yanga daa dalam kekuasaannya
4. Telah mendapat hukuman dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan
mutlak, karena sesuatu kejahatan yang tercantum dalam Bab XII, XIV, XV,
XVIII, XIX dan XX buku ke dua Kitab Undang - Undang Hukum Pidana,
dilakukan terhadap seorang anak belum dewasa yang ada dalam kekuasaannya.
5. Telah mendapat hukuman badan dua tahun lamanya atau lebih, dengan putusan
yang telahmemperoleh kekuatan mutlak. Dalam paham kejahatan, termasuk juga
turut membantudan mencoba melakukan kejahatan itu (pasal 319 a KUHPerdata).

Selain itu kekuasaan orang tua berakhir apabila:

1. Karena pembebasan dari kedua orang tua. 


2. Karena pencabutan/pemecatan kekuasaan dari kedua orang tua.
3. Karena kematian anak
4. Karena anak menjadi dewasa.
5. Karena pencabutan terhadap salah satu orang tua
6. Pembubaran perkawinan orang tua anak tersebut.

Menurut pasal 49 ayat 1 UUP, yang berhak mengajukan permintaan


pencabutan tersebut adalah:
1. Orang tua, apabila salah satuya dimintakan pencabutan;
2. Keluarga anak dalam garis lurus ke bawah;
3. Saudara kandung yang telah dewasa; dan
4. Pejabat yang berwenang.

2.4 Kewajiban Anak Terhadap Orang Tua

Dalam UU Perkawinan hanya diatur bahwa anak yang telah dewasa wajib
memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas,
bila mereka itu memerlukan bantuannya. Akan tetapi tidak diatur apa yang dapat
dilakukan oleh orang tua jika si anak tidak melakukan kewajibannya tersebut.
Sedangkan jika ditinjau dari UU PKDRT, anak yang menurut hukum berlaku
baginya untuk memelihara orang tua itu, dapat dipidana jika melalaikan kewajibannya
(dalam hal orang tua tersebut termasuk dalam lingkup rumah tangga si anak).
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”):

5
1. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik.
2. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua
dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya.

2.5 Pengertian Perwalian


Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada
dibawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur
walian.3
Perwalian menurut KUH Perdata yaitu pada Pasal 330 ayat (3) menyatakan:
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada
dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga
keempat, kelima dan keenam bab ini”.
Sedangkan menurut Prof. Subekti S.H mengatakan Perwalian (voogdij) adalah
pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-
undang.
Ketentuan pasal 50 ayat 1 UUP, mengatur bahwa anak yang belum berumur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Maka, anak yang berada di bawah
perwalian adalah :
a. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang
tua
b. Anak sah yang orang tuanya sudah bercerai
c. Anak yang lahir diluar perkawinan (natuurlijk kind)

Perwalian menurut pasal 50 ayat 2 UUP adalah kewajiban hukum untuk


melakukan pengawasan dan pengurusan mengenai pribadi anak yang belum dewasa dan
harta bendanya. Menurut pasal 51 ayat 2 UUP, yang dapat ditunjuk sebagi wali adalah
keluarga anak tersebut atau orang lain.
Kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai Wali :

1. Mengurus harta kekayaan anak yang berada dibawah perwaliannya;

3
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Intermasa, 1994. Hal.
6
2. Bertanggung-jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena pengurusan yang
buruk;
3. Menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan anak belum dewasa sesuai harta
kekayaannya dan mewakili anak dalam segala tindakan perdata;
4. Mengadakan pencatatan dan inventarisasi harta kekayaan si anak;
5. Mengadakan pertanggungjawaban pada akhir tugas sebagai wali.

2.6 Ruang Lingkup Perwalian


Ada 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:
a. Perwalian oleh suami atau isteri yang hidup lebih lama, pasal 345 sampai
pasal 354 KUHPerdata. Namun pada pasal ini tidak dibuat pengecualian bagi
suami istri yang hidup terpisah disebabkan perkawinan putus karena
perceraian atau pisah meja dan ranjang. Jadi, bila ayah setelah perceraian
menjadi wali maka dengan meninggalnya ayah maka si ibu dengan sendirinya
(demi hukum) menjadi wali atas anak-anak tersebut.
b. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta
tersendiri. Pasal 355 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa :“Masing-
masing orang tua, yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian bagi
seorang anaknya atau lebih berhak mengangkat seorang wali bagi anak-anak
itu, jika kiranya perwalian itu setelah ia meninggal dunia demi hukum
ataupun karena penetapan Hakim menurut ayat terakhir pasal 353, tidak
harus dilakukan oleh orang tua yang lain” Dengan kata lain, orang tua
masing-masing yang menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua
berhak mengangkat wali kalau perwalian tersebut memang masih terbuka.
c. Perwalian yang diangkat oleh Hakim. Pasal 359 KUH Perdata
menentukan :“Semua minderjarige yang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua dan yang diatur perwaliannya secara sah akan ditunjuk seorang
wali oleh Pengadilan”.4

Perwalian pada umumnya diatur dalam Pasal 331-344 KUHPerdata. Berdasarkan


Hukum Perdata, ada 3 (tiga) asas dalam perwalian, yaitu:
1. Asas Tidak Dapat Dibagi-bagi (ondeelbaarheid)

4
RiduanSyahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT alumni, 2006. Hal. 7

7
Asas ini menyatakan bahwa pada tiap-tiap perwalian hanya ada satu wali (Pasal
331 KUHPerdata). Ada 2 (dua) pengecualian terhadap asas ini, yaitu:
a. Jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup paling lama
(langstlevende ouder) maka jika kawin lagi suaminya menjadi wal serta/wali
peserta (medevoogd).
b. Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan (bewindvoerder) yang mengurus
barang- barang anak di bawah umur di luar Indonesia (Pasal 361
KUHPerdata).
2. Asas Persetujuan dari Keluarga
Keluarga harus diminta persetujuan tentang perwalian. Dalam hal keluarga
tidak ada maka tidak diperlukan sepertujuan dari keluarga.
3. Orang-orang yang Dipanggil Menjadi Wali atau yang Diangkat Menjadi Wali

Sebagaimana diketahui bahwa anak-anak yang masih di bawah umur mereka belum
cakap bertindak dalam menjalankan perbuatan hukum, dalam hal demikian mereka ini
rentan sekali untuk dimanfaatkan oleh walinya akan hal-hal mereka.

Perwalian anak dibawah umur terjadi karena :

1. Salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia;


2. Orang tua bercerai; dan,
3. Pencabutan dari kekuasaan orang tua.

Menelaah keterangan di atas ini, maka dapat disimpulkan bahwa kekuasaan


perwalian pada dasarnya ada pada keluarga dari pihak ayah dari anak-anak itu. Telah
menjadi kelaziman di dalam masyarakat, apabila kedua orang tua telah meninggal dunia,
sedangkan ada anak yang telah dewasa (dan telah kawin), maka kewajiban untuk
memelihara adik-adiknya terletak5 di tangan kakaknya tersebut. Dengan demikian dapat
pula dikatakan, bahwa anak yang telah dewasa (dan telah kawin) merupakan wali bagi
adik-adiknya.
Demikian juga pada situasi meninggalkan salah satu dari kedua orang tuanya, yang
lebih memungkinkan terjadinya perwalian, adalah apabila kedua orang tua dan anak
(anak) tersebut meninggalkan dunia, dan anak (anak) yang6 ditinggalkan itu belum
dewasa. Dengan meninggalkannya kedua orang tua, anak-anak menjadi yatim piatu dan
mereka semuanya tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
5
Ibid, hal 258
6
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010. Hal. 257
8
Oleh karena dan sebagaimana telah dinyatakan dimuka bahwa dalam sistem
kekeluargaan bilateral, pemeliharaan anak yang ditinggalkan itu dilakukan oleh salah satu
dari keluarga pihak bapak atau pihak itu yang terdekat, (yaitu, misalnya, peranan atau
bibik, nenek dan kakek dan di Indonesia lazim pemeliharaan anak itu diberikan kepada
kakek dan neneknya, itupun bila orang tua dari suami-isteri itu masih hidup dan cukup
mampu untuk melakukan pemeliharaan). Berdasarkan atas konsepsi di atas, maka yang
menjadi wali adalah mereka yang melakukan pemeliharaan terhadap anak (anak) itu.

9
2.7 Persyaratan Perwalian
Cara untuk mendapatkan seorang wali diatur dalam pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan bahwa, “Wali dapat
ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan salah satu kekuasaan orang tua, sebelum
ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan dua orang saksi”.
Sehingga dapat dipahami dari ketentuan tersebut di atas bahwa cara penunjukan wali
terdapat tiga macam.
1. Melalui lisan dihadapan dua orang saksi.
2. Secara tertulis melalui surat wasiat.
3. Dengan cara tertulis melalui penetapan hakim dalam hal pencabutan.
Pada tanggal 26 April 2019 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019
tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali. Penerbitan PP ini untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 33 ayat (5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pengertian wali berdasarkan PP ini yaitu orang atau badan yang dalam kenyataannya
menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. Penunjukan Wali
bertujuan untuk melindungi hak dan memenuhi kebutuhan dasar Anak serta mengelola
harta anak agar dapat menjamin tumbuh kembang dan kepentingan terbaik bagi anak.
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2019 tentang Syarat dan
Tata Cara Penunjukan Wali, untuk dapat ditunjuk sebagai wali karena orang tua tidak
ada, orang tua tidak diketahui keberadaannya, atau suatu sebab orang tua tidak dapat
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, seseorang yang berasal dari:
1. Keluarga anak;
2. Saudara;
3. Orang lain; atau
4. Badan hukum, harus memenuhi syarat penunjukan wali dan melalui
penetapan Pengadilan.

Seseorang yang ditunjuk menjadi wali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diutamakan keluarga anak. Dalam hal keluarga anak tidak ada, tidak bersedia, atau tidak
memenuhi persyaratan dapat ditunjuk saudara.
Kemudian, dalam hal keluarga anak dan saudara tidak ada, tidak bersedia, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak memenuhi persyaratan dapat ditunjuk orang lain atau
badan hukum. Wali yang ditunjuk harus memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan pada Pasal 5.

10
1. Saudara yang ditunjuk sebagai Wali harus memenuhi syarat:
a. Warga negara Indonesia yang berdomisili tetap di Indonesia;
b. Berumur paling rendah 21 (dua puluh satu) tahun;
c. Sehat fisik dan mental;
d. Berkelakuan baik;
e. Mampu secara ekonomi;
f. Beragama sama dengan agama yang dianut anak;
g. Mendapat persetujuan tertulis dari suami/istri, bagi yang sudah menikah;
h. Bersedia menjadi wali yang dinyatakan dalam surat pernyataan;
i. Membuat pernyataan tertulis tidak pernah dan tidak akan melakukan:
kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah terhadap anak;
atau penerapan hukuman fisik dengan alasan apapun termasuk untuk
penegakan disiplin terhadap anak;
j. Mendapat persetujuan tertulis dari orang tua jika: masih ada; diketahui
keberadaannya; dan cakap melakukan perbuatan hukum.

2. Saudara yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dapat ditunjuk sebagai wali dengan ketentuan:
1. Diutamakan memiliki kedekatan dengan anak;
2. Mendapatkan persetujuan dari anak; dan
3. Dalam hal anak tidak mampu memberikan persetujuannya secara
langsung, maka pernyataan anak difasilitasi oleh ahli atau lembaga yang
ditunjuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan persyaratan bagi orang lain yang ditunjuk sebagai wali diatur pada Pasal 6,
1. Orang lain yang ditunjuk sebagai wali harus memenuhi syarat:
1. Warga negara Indonesia yang berdomisili tetap di Indonesia;
2. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun;
3. Sehat fisik dan mental;
4. Berkelakuan baik;
5. Mampu secara ekonomi;
6. Beragama sama dengan agama yang dianut anak;
7. Mendapat persetujuan tertulis dari suami/istri, bagi yang sudah menikah;
8. Bersedia menjadi wali, yang dinyatakan dalam surat pernyataan;membuat
pernyataan tertulis tidak pernah dan tidak akan melakukan: kekerasan,
eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah terhadap anak; dan penerapan
11
hukuman fisik dengan alasan apapun termasuk untuk penegakan disiplin
terhadap anak;
9. Mendapat persetujuan tertulis dari orang tua jika: masih ada; diketahui
keberadaannya; dan cakap melakukan perbuatan hukum.

Ditegaskan pada Pasal 331 huruf a KUHPerdata, jika seorang wali diangkat oleh
hakim dan ia hadir dalam pengangkatan itu maka perwalian dimulai dari saat
pengangkatan. Bila ia tidak hadir maka perwalian itu dimulai saat pengangkatan itu
diberitahukan kepadanya.
Jika seorang wali diangkat oleh salah satu orang tua, dimulai dari saat orang tua itu
meninggal dunia dan sesudah wali dinyatakan menerima pengangkatan tersebut. Bagi
wali menurut undang-undang dimulai dari saat terjadinya peristiwa yang menimbulkan
perwalian itu, misalnya kematia salah seorang orang tua. Berdasarkan pasal 362 KUH
Perdata maka setiap wali yang diangkat kecuali badan hukum harus mengangkat sumpah
dimuka Balai Harta Peninggalan.

2.8 Pencabutan Kekuasaan Perwalian


Wali berakhir sesuai ketentuan pada Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun
2019 tentang Syarat dan Tata Cara Penunjukan Wali apabila :
1. Anak telah berusia 18 (delapan belas) tahun;
2. Anak meninggal dunia;
3. Wali meninggal dunia; atau
4. Wali yang badan hukum bubar atau pailit.

Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, wali dapat berakhir karena
kekuasaan wali dicabut berdasarkan penetapan/putusan Pengadilan. Pencabutan
sebagaimana dimaksud dikarenakan Wali:
1. Melalaikan kewajiban sebagai wali;
2. Tidak cakap melakukan perbuatan hukum;
3. Menyalahgunakan kewenangan sebagai wali;
4. Melakukan tindak kekerasan terhadap anak yang ada dalam pengasuhannya;
dan/atau
5. Orang tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajiban.

12
Perwalian dapat berakhir atau dipecat Menurut Pasal 382 KUHPer apabila7 :
1. Wali berperilaku buruk
2. Wali tidak cakap hukum dalam menjalankan tugasnya atau menyalahgunakan
kecakapannya untuk perwalian
3. Wali yang telah dipecat dari perwalian
4. Wali dalam keadaan pailit
5. Wali yang terhadap dirinya atau keluarganya sendiri melakukan perlawanan
terhadap anak itu.
6. Jika wali telah dijatuhi hukuman pidana dan bersifat tetap
7. Wali yang mendapat jatuhan hukuman badan yang tidak dapat diubah lagi dalam
2 tahun

7
Nursalamah Rahmatullah, 2016, Konsep Perwalian Dalam Perspektif Hukum Perdata Barat dan
Hukum Perdata Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar
13
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kekuasaan orang tua adalah suatu kewajiban yang harus di lakukan oleh orang
tua (kandung) kepada anaknya, semasa si anak tersebut belum dewasa. Kekuasaan Orang
Tua menurut Undang-Undang Pokok Perkawinan (UUP) No. 1 Tahun 1974
1. Kekuasaan terhadap diri anak, bahwa orang tua berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya, seperti memberi nafkah,
menyediakan tempat kediaman, perawatan dan pengobatan, dan pendidikan.
2. Kekuasaan terhadap perbuatan hukum, bahwa mengingat anak dianggap tidak
cakap melakukan perbuatan hukum, maka diwakili oleh orang tuanya mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
3. Kekuasaan terhadap harta kekayaan anak, karena anak dianggap tidak cakap
dalam melakukan perbuatan hukum, maka pengurusan dan tanggung jawab
terhadap harta kekayaannya diwakili oleh orang tuanya
Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak dapat terjadi ketika orang tua
dianggap tidak mampu menjalani kewajibannya sebagai orang tua demi kepentingan
orang yang berada dibawah perwaliannya atas permintaan orang tua lain, keluarga anak
dalam garis lurus ke atas, dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang dalam putusan pengadilan yang mana dalam hal ini sudah dinilai sangat lalai
dalam melaksanakan kewajiban terhadap anaknya dan berkelakuan sangat buruk. Dalam
hal pencabutan kekuasaan orang tua terhadap anak dapat dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan pencabutan kekuasaan orang tua di Pengadilan Agama di mana ia
bertempat tinggal.
Perwalian adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur
oleh undang-undang. Timbulnya suatu Perwalian diakibatkan oleh putusnya perkawinan
baik karena kematian maupun karena suatu putusan pengadilan dan selalu membawa
akibat hukum baik terhadap suami/isteri, anak-anak maupun harta kekayaannya terutama
terhadap anak-anak yang masih dibawah umur. Perwalian dapat berakhir karena
kekuasaan wali dicabut berdasarkan penetapan/putusan Pengadilan. Pencabutan
perwalian dikarenakan wali tidak cakap melakukan perbuatan hukum, menyalahgunakan
kewenangan sebagai wali, melakukan tindak kekerasan terhadap anak yang ada dalam
pengasuhannya, dan orang tua dianggap telah mampu untuk melaksanakan kewajiban.
14
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang - Undangan :


Kitab Undang - Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
UU No, 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Buku :
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000, hlm.72.
A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kuliah Agama, Al-Ikhlas, Surabaya, 1984 hlm. 155
Faisar Ananda Arfa, Metodologi Penelitian Hukum Islam, Pranadamedia Group, Jakarta,
2016, Hlm. 40.
Jonny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Malanng, 2006, Hlm. 295.
Max Weber, Essay in Sociology, Oxford Univercity Press, 1946, hal.180, yang
diterjemahkan oleh Noorkholis dan Tim Penerjemah Promothea, Sosiologi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2006.
R. Sarjono, Masalah Perceraian. Cet 1,Academika, Jakarta, 1979, hal. 36.
R. Soetojo Prawirogahidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni,
Bandung, 1986, hlm.150.
R.Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 3, (Jakarta: Intermasa, 2003),hal. 47.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, Hlm. 13.

Internet :
Kompas, Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak, Sudahkan Kita Penuhi ?
https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/23/064644320/kewajiban-orangtua-
terhadap-anak-sudahkah-kita-penuhi?page=all diakses pada 28 September 2022
Hukum Online, Manakala Kurandus Sudah Sembuh
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt58c125c4cbf5d/manakala-kurandus-sudah-
sembuh/ diakses pada 28 September 2022

15
16

Anda mungkin juga menyukai